• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kondisi umum lokasi penelitian dideskripsikan pada cakupan wilayah yang lebih luas. Penelitian dilakukan di Kampung Ciburial yang berada di Desa Mekarsari dan kondisi umum menjelaskan mengenai Desa Mekarsari. Kemudian di Kampung Cibedug kondisi umum menjelaskan mengenai Wewengkon Kasepuhan Cibedug dimana Kampung Cibedug menjadi salah satu kampung yang ada di wilayahnya.

Desa Mekarsari Letak dan Luas

Desa Mekarsari merupakan salah satu desa yang terletak di kawasan Pegunungan Halimun yang termasuk dalam area Taman Nasional Gunung Halimun. Secara administratif desa ini termasuk dalam wilayah Kecamatan Cibeber, Kabupaten Lebak, Propinsi Banten. Berdasarkan sejarah, Desa Mekarsari merupakan bagian dari wilayah Desa Cidikit yang sejak tahun 1977-1978 dimekarkan menjadi 3 desa yaitu Desa Mekarsari, Desa Cidikit dan Desa Cikatomas. Desa Mekarsari menjadi satu-satunya desa yang masuk dalam Kecamatan Cibeber dan dua desa yang lainnya masuk dalam wilayah Kecamatan Bayah. Desa ini memiliki luas 3.097, 9 ha.

Aksesibilitas

Untuk mencapai desa yang terletak di lereng pegunungan ini memang tidak mudah karena kondisi jalan dan sarana transportasi yang kurang memadai. Sebagian besar jalan masih tersusun dari batuan kali dan tanah. Terdapat beberapa alternative jalan yang bisa ditempuh untuk sampai ke desa ini. Salah satunya melalui Rangkas Bitung yang merupakan pusat kota Kabupaten Lebak, dengan jarak 172 km ke Desa Mekarsari. Kendatipun termasuk dalam wilayah Kabupaten Lebak, desa ini lebih dekat apabila di tempuh melalui Pelabuhan Ratu yang

termasuk dalam wilayah Kabupaten Sukabumi. Untuk mencapai desa ini dari Bogor membutuhkan waktu sekitar 6 sampai 12 jam.

Kondisi Geografis

Desa dengan luas wilayah total 3.097,9 ha ini terletak di lingkungan pegunungan yang berbukit-bukit pada ketinggian 900 m diatas permukaan laut. Topografi desanya bervariasi, 40 % dari wilayahnya merupakan dataran rendah dan sekitar 60 % merupakan dataran tinggi. Daerah perbukitan pada umumnya masih ditutupi hutan yang disebut dengan istilah leuweng kolot.

Desa ini dilintasi oleh aliran dari beberapa anak sungai dari Sungai Cidikit yang merupakan pemisah antar Desa Mekarsari dengan desa di sebelah utara Desa Neglasari dan baratnya yaitu Desa Cidikit Batas sebelah timur desa ini juga berupa sungai yaitu Sungai Cibeber yang memisahkannya dengan Kujang Jaya. Di sebelah selatan Desa Mekarsari berbatasan dengan Desa Girimukti.

Tabel 2. Penggunaan Lahan Di Desa Mekarsari

No Penggunaan Lahan Luas (ha) Persentase (%)

1 Jalan 3, 9 0, 12

2 Sawah dan ladang 1826, 0 59, 3 3 Bangunan umum 2,5 0, 08 4 Pemukiman 38, 0 1,2 5 Empang 5, 0 0,16 6 Pekuburan 6, 5 0,2 7 Tanah wakaf 2, 9 0, 09 8 Perkantoran 1, 0 0, 03 9 Lain-lain 1196, 0 38, 9 10 Total 3.079, 9 100

Sumber : Monografi Desa Mekarsari Tahun 2004

Penduduk dan Mata Pencaharian

Penduduk Desa Mekarsari berjumlah sekitar 4.904 jiwa dengan komposisi penduduk 2445 jiwa laki-laki dan 2459 jiwa perempuan. Struktur penduduk Desa Mekarsari berdasarkan usia kerjanya didominasi oleh penduduk usia produktif yaitu usia 15 sampai dengan 50 tahun. Akan tetapi pada kenyataannya anak-anak semenjak usia skitar 10 tahun sudah dilibatkan dalam aktifitas pertanian

membantu orang tua mereka dan orang tua yang berusia 50 tahun keatas, usia tua tidak menjadi pengahalang mereka untuk melakukan aktivitas produktif.

Berdasarkan data monografi desa tahun 2004 dapat disimpulkan bahwa ,sebagian besar penduduk Desa Mekarsari bermata pencaharian sebagai petani (52 %), kemudian buruh tani (14 %), sektor jasa (14, 5 %), sektor swasta / dagang (10,4 %), pertukangan (6,6 %), pegawai negeri (1 %) dan sektor lannya (1.5 %). Dari data tersebut secara langsung menunjukan bahwa mata pencaharian penduduk di Desa Mekarsari sebagian besar dari sektor pertanian.

Tabel 3. Jumlah Penduduk Berdasarkan Mata Pencaharian di Desa Mekarsari

No Pekerjaan Jumlah penduduk (jiwa) Persentase (%) 1 Pegawai 287 5.8 2 Jasa 531 10,8 3 Swasta / pedagang 140 2,8 4 Tani 2900 59,7 5 Pertukangan 242 4,9 6 Buruh tani 523 10,66 7 Pensiunan 15 3 Total 4904 100

Sumber : Monografi Desa Mekarsari Tahun 2004

Tabel 4. Jumlah Penduduk Menurut Usia di Desa Mekarsari

No Kelompok Usia Sekolah (th)

Jumlah Penduduk

(jiwa)

Kelompok usia kerja (th) Jumlah Penduduk (jiwa) 1 0 – 3 279 10 – 14 437 2 4 – 6 220 15 – 19 341 3 7 – 12 564 20 – 26 529 4 13 – 15 187 27 – 40 881 5 16 – 18 143 41 – 56 792

6 19 keatas 54 57 tahun keatas 789

Sumber : Monografi Desa Mekarsari Tahun 2004

Pola Perkampungan

Masyarakat Desa Mekarsari hidup berkelompok pada sembilan kampung yakni Kampung Tegal Lumbu. Cihaneut, Ciburial. Lebak Tipar, Lebak Larang, Ciawi, Ciladu, Gelar Sari dan Cibeber. Dari sembilan kampung tersebut terdapat satu perkampungan non kasepuhan yaitu Kampung Cibeber. Setiap kampung berada dalam satu kesatuan yang disebut kemandoran. Ada pula kampung seperti

Ciawi, Ciladu dan Gelarsari berada dalam satu kemandoran. Setiap kemandoran dipimpin oleh seorang ketua RK yang sering disebut dengan mandor/manor. Perkampungan biasanya di bangun menggerombol dengan bangunan yang ada adalah rumah yang sebagian besar masih tradisional, terdapat fasilitas olah raga dan tempat menggelar kesenian / acara adat.

Sebagian besar masyarakat adat kesepuhan tinggal di bangunan yang berarsitektur tradisional yaitu rumah panggung yang terbuat dari kayu dan beratapkan daun kirai, patat atau ijuk dari pohon aren. Lantai rumah mereka disusun dari kayu dan bambu yang disebut palupuh. Salah satu yang menjadi ciri bangunan rumah kasepuhan adalah hawu sebagai tungku yang digunakan untuk memasak. Disamping itu tungku ini juga digunakan sebagai penghangat ruangan dan ketidakadaan tungku di rumah mereka dipercaya akan membawa kesialan.

Pola pemukiman warga kasepuhan membentuk deretan rumah yang berhimpit dan saling berjejer. Pada umumnya antara satu rumah dengan rumah lainnya tidak terpisahkan dan saling dihubungkan oleh halaman yang disebut buruan. Rumah-rumah warga kasepuhan tidak mengenal konsep pekarangan rumah.

Komplek pemukiman masyarakat Kasepuhan juga mudah dikenali melalui lunbung penyimpanan padi yang disebut dengan leuit. Leuit milik warga pada umumnya sengaja diletakan di pinggir-pinggir kampung sehingga jika terjadi bencana seperti kebakaran, cadangan pangan mereka tetap terlindungi. Biasanya juga pada tiap kampung terdapat saung lisung sebagai tempat menumbuk padi. Aktivitas menumbuk padi bukan sekedar untuk mengolah padi mejadi beras, namun mengandung makna mempertemukan Dewi Sri yang merupakan personifikasi padi dengan pasangannya. Saat ini usaha penggilingan padi di Desa Mekarsari hanya ada di Kampung Tegal Lumbu.

Namun di Desa Mekarsari telah banyak rumah yang dibangun tidak sesuai dengan aturan adat, saat ini telah banyak dijumpai bangunan rumah bertembok, berlantai keramik dan beratap seng. Perubahan ini terjadi seiring dengan dinamika masyarakat dan stratifikasi sosial yang secara tidak langsung telah terbangun dalam masyarakat.

Sarana dan Prasarana

Beberapa jenis sarana dan prasarana di desa ini sangat terbatas seperti sarana transportasi, kesehatan, pendidikan dan komunikasi. Sarana transportasi yang terbatas membuat masyarakat terbiasa berjalan kaki untuk menempuh perjalanan yang cukup jauh. Hanya terdapat dua mobil elf yang melintasi jalan di beberapa kampung pada jam-jam tertentu setiap harinya. Selain mobil elf, terdapat pula sarana angkutan berupa ojek, tetapi ongkos perjalananya relative mahal sehingga masyarakat enggan menggunakannya.

Menjelang malam jalan-jalan antar kampung tampak sepi dan gelap. Sarana penerangan listrik memang sudah masuk ke desa ini pada pertengahan tahun 1990-an akan tetapi belum semua warga dapat menikmatinya. Pada petang hari biasanya masyarakat berkumpul disalah satu rumah penduduk yang memilki televisi. Selain televisi akses informasi dari luar juga dapat diterima melalui radio.

Di desa ini tidak terdapat puskesmas pembantu, hanya ada sebuah Polindes yang terletak di Kampung Tegal Lumbu yang dipimpin oleh satu orang bidan desa yang bekerja seorang diri. Untuk pertolongan awal biasanya warga mendatangi dukun atau orang pintar terlebih dahulu dan untuk membantu persalinan warga masih mengandalkan Mak Beurang (dukun beranak)

Untuk sarana pendidikan terdapat 5 buah SD dan dua buah SMP. Mengingat jarak dari satu kampung ke kampung yang lainnya yang sangat jauh dan terbatasnya sarana transportasi maka sudah menjadi hal yang biasa jika siswa SD ataupun SMP berjalan kaki sampai sekitar 2 jam hanya untuk menuju sekolahnya.

Kelembagaan Masyarakat

Kelembagaan masyarakat di Desa mekarsari secara garis besar terbagi menjadi dua yaitu kelembagaan pemerintahan yang dipimpin oleh aparat desa dengan jaro (kepala desa) sebagai pemimpinnya dan kelembagaan yang dipimpin oleh adat dengan kokolot lembur sebagai perwakilan adatnya. Penduduk Mekarsari merupakan perkumpulan dari beberapa penganut kelompok masyarakat

adat, yaitu kelompok masyarakat adat penganut Kasepuhan Sirnasresmi, Kasepuhan Ciptagelar dan Kasepuhan Cihaneut serta ada satu kampung yang tidak menganut adat kasepuhan yaitu Kampung Cibeber.

Desa Mekarsari juga mempunyai lembaga-lembaga desa selain adat, yaitu kelompok tani, kelompok perempuan dan kelompok pemuda. Kelompok tani ada 3 kelompok, kelompok pemuda ada di setiap kampung dan kelompok perempuan ada 3 kelompok.

Wewengkon Kasepuhan Cibedug

Letak dan Luas

Kasepuhan Cibedug merupakan komunitas adat yang masuk dalam kelompok masyarakat Adat Kasepuhan Banten Selatan yang menganut garis keturunan pancer mandiri. Mereka telah mengalami beberapa kali perpindahan berdasarkan wangsit / ilapat selama beberapa kali dan pada tahun 1942 sampai ke Wewengkon Kasepuhan Cibedug. Pada perkembangannya telah mengalami 8 kali perpindahan, tempat yang menjadi persinggahanya adalah : Sajra, Lebak Menteng, Cidikit, Sinagar, Bojong Neros, Sangiyang, Wewengkon Cibedug sampai sekarang (RMI, 2003).

Sejak tahun 1992 Wewengkon Kasepuhan Cibedug masuk dan berada ditengah-tengah kawasan Taman Nasional Gunung Halimun, sehingga Wewengkon Cibedug mendapat status “encrouchment” yang artinya keberadaan warga secara hukum tidak diakui menempati kawasan tersebut. Padahal menurut penuturan sejarah mereka secara administratif masuk kedalam wilayah pemerintahan Desa Citorek sejak awal desa itu ada. Pada tahun 2003 Warga Kasepuhan Cibedug mendapat ancaman akan dipindahkan dari Taman Nasional Gunung Halimun. Permasalahan tersebut muncul ke permukaan karena adanya SK Menteri Kehutanan No. 175 tentang perluasan Kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak. Luas Wewengkon Kasepuhan Cibedug adalah 2.125, 7 ha berdasarkan pemetaan partisipatif yang dilakukan warga tahun 2004.

Kondisi Geografis

Secara umum daerah di Wewengkon Kasepuhan Cibedug merupakan daerah yang berbukit-bukit dengan wilayah datar digunakan sebagai perkampungan. Iklim di Kawasan Kabupaten Lebak umumnya dalah iklim muson dengan curah hujan yang cukup tinggi, begitu juga dengan kondisi Iklim di Wewengkon Kasepuhan Cibedug yang hampir sama dengan bagian kawasan Halimun Lainnya. Kondisi curah hujan yang tinggi menyebabkan daerah ini masuk dalam kategori paling basah dengan curah hujan tahunan berkisar 4000- 5000 mm, berdasarkan data yang diamati oleh dua stasiun pengamat curah hujan, curah hujan tertinggi terjadi pada bulan November dan Desember sedangkan bulan kering pada bulan Juli dan Agustus.

Berikut merupakan wilayah-wilayah yang mejadi batas-batas Wewengkon Adat Kasepuhan Cibedug :

1. Sebelah Barat

Berbatasan dengan Kampung Jamrut dan Parung Gedong (Desa Cikate), Kecamatan Cijaku dan Desa Kanekes (Baduy), Kecamatan Leuwidamar. Dengan ciri pembatas Pasir Heulang, Gunung Merak dan Pasir Ciburalang. Dengan ciri khusus adalah Tugu Parawilu yang menjadi pembatas dengan wilayah Adat Baduy.

2. Sebelah Utara

Berbatasan dengan Kampung Calebang, Desa Calebang dan Kampung Pasir Eurih, Desa Pasir Eurih, Kecamatan Sobang. Dengan ciri pembatas adalah Gunung Kendeng dan Gunung Bapang

3. Sebelah Timur

Berbatasan dengan Wewengkon Adat Kasepuhan Citorek, Kecamatan Cibeber. Dengan ciri pembatas adalah Gunung Bapang dan Gunung Nyuncung dan ciri khususnya adalah Tugu Alam Pasir Manggu, Batu Alam Cibenteur dan Batu Alam Gunung Nyuncung.

4. Sebelah Selatan

Berbatasan dengan Kampung Sinagar, Desa Sinagar, Kecamatan Pangarangan. Dengan ciri pembatas adalah Gunung Merak dan Pasir Ipis dan ciri khususnya adalah Tugu Alam Pasir Ipis.

Aksesibilitas

Jalur masuk ke Wewengkon Adat Cibedug relatif susah dan menghabiskan waktu yang cukup lama untuk menjangkaunya, kondisi ini tejadi karena jalan yang menghubungkan Wewengkon Kasepuhan Cibedug dengan kampung lainnya merupakan jalan setapak yang sulit dilalui kendaraan baik roda dua apalagi roda empat. Kondisi jalan masuk ke wewengkon memotong area yang berbeda-beda mulai dari kampung, sawah/kebun, sungai, hutan, bukit, punggungan gunung. Kendaraan yang akan menuju Wewengkon Cibedug hanya bisa sampai di Citorek, baik itu yang masuk arah Bogor, Rangkas Bitung ataupun Sukabumi. Warga Kasepuhan Cibedug berjalan kaki sejauh sekitar 10 kilometer terlebih dahulu selama 2 sampai 3 jam untuk menuju Citorek sebelum bepergian ke kota (Rangkas Bitung atau Bogor).

Penduduk dan Mata Pencaharian

Wewengkon cibedug tersebar dalam lima kampung yaitu Lebak Cibedug, Lebak Kalahang, Cibeledug, Cinakem dan Ciara. Jumlah penduduk 652 jiwa dengan 166 KK. Seratus persen penduduk Wewengkon Cibedug bermata pencaharian sebagai petani, baik bertani di sawah, huma, kebon / dudukuhan. Mata pencaharian tersebut merupakan pokok yang menjadi sandaran hidup warga untuk keberlangsungan hidupnya. Disamping itu ketika aktivitas bertani dalam masa menunggu panen, warga biasanya menyebar ke luar dari wewengkon untuk penghasilan tambahan seperti berdagang, menjadi tukang bangunan dan ngalobang (mencari emas). Tambahan tersebut untuk menambah pengahasilan dari bertani dan untuk memenuhi kebutuhan sekunder lainnya.

Pola Perkampungan

Warga Kasepuhan Cibedug hidup berkelompok dalam 5 kampung, yaitu Lebak Cibedug sebagai kampung utama kemudian Lebak Kalahang, Ciara, Cinakem dan Cibeledug yang merupakan kampung terjauh dan berbatasan langsung dengan Desa Kenekes, wilayah Adat Baduy.

Seluruh masyarakat kasepuhan Cibedug tinggal dalam rumah yang berarsitektur tradisional yaitu rumah panggung yang berdinding kayu dan beratapkan daun patat, kirai, tepus atau ijuk dari pohon aren. Lantai rumah mereka disusun dari kayu dan bambu yang disebut palupuh. Salah satu yang menjadi ciri bangunan rumah kasepuhan dalah hawu sebagai tungku yang digunakan untuk memasak. Disamping itu tungku ini juga digunakan sebagai penghangat ruangan dan ketidakadaan tungku di rumah mereka dipercaya akan membawa kesialan.

Dalam membuat rumah masyarakat Kasepuhan Cibedug Mempunyai beberapa aturaan diantaranya : letak kampung tidak boleh lebih timur dari kawasan keramat (Situs Cibedug), konstruksi dalam membuat rumah tidak boleh berbentuk turup sangku, akan tetapi rumah harus berbentuk babalean atau gado bangkong, atap rumah tidak boleh menggunakan genteng, rumah harus terbuat dari kayu akan tetapi tidak boleh menggunakan kayu rasamala, teureup atau kayu bergetah lainnya, rumah tidak boleh berbentuk dari tembok kecuali pondasi dan tidak boleh ditingkatkan.

Pola pemukiman warga kasepuhan Cibedug membentuk deretan rumah yang berhimpit dan saling berjejer. Pada umumnya antara satu rumah dengan rumah lainnya tidak terpisahkan dan saling dihubungkan oleh halaman yang disebut buruan. Rumah-rumah warga kasepuhan secara umum memang tidak mengenal konsep pekarangan rumah. Di buruan biasanya warga memanfaatkan untuk bersosialisasi dari anak kecil sampai orang tua, baik pria maupun wanita. Pemukiman biasanya terletak di dekat sungai dan di sungai tersebut terdapat tempat pemandian umum warga yang digunakan untuk MCK dan sarana air bersih yang disebut dengan tampian.

Komplek pemukiman masyarakat Kasepuhan Cibedug juga mudah dikenali melalui lumbung penyimpanan padi yang disebut dengan leuit. Leuit

milik warga pada umumnya sengaja diletakan di pinggir-pinggir kampung sehingga jika terjadi bencana seperti kebakaran, cadangan pangan mereka tetap terlindungi. Biasanya juga pada tiap kampung terdapat saung lisung sebagai tempat menumbuk padi. Aktivitas menumbuk padi bukan sekedar untuk mengolah padi menjadi beras, namun mengandung makna mempertemukan Dewi Sri yang merupakan personifikasi padi dengan pasangannya. Sampai saat ini masyarakat Kasepuhan Cibedug masih mematuhi aturan adat dengan tidak membangun gilingan padi di kampungnya.

Di tengah kampung selalu terdapat imah gede yang merupakan rumah dari tetua adat dan di depan imah gede terdapat buruan gede yaitu halaman yang cukup luas dan menjadi tempat berlangsungnya acara-acara adat. Batas-batas wewengkon selalu ditandai dengan tugu yang biasanya berupa batu alam. Secara turun-temurun mereka juga mewarisi tukuh atau cadangan kampung yang merupakan ciri suatu tempat yang relatif datar yang akan dijadikan sebagai tempat pemukiman warga nantinya.

Sarana dan Prasarana

Beberapa jenis sarana dan prasarana yang ada di Wewengkon Cibedug ini sangat terbatas seperti sarana transportasi, kesehatan, pendidikan dan komunikasi.

Sarana transportasi yang terbatas membuat masyarakat terbiasa berjalan kaki untuk menempuh perjalanan yang cukup jauh. Untuk menjangkau Wewengkon Cibedug harus berjalan kaki dari desa terdekat yaitu Desa Citorek selama kurang lebih 2 sampai 3 jam. Di Desa Citorek-pun, hanya terdapat dua mobil elf yang melintasi jalan di beberapa kampung pada jam-jam tertentu setiap harinya. Selain mobil elf, terdapat pula sarana angkutan berupa ojek, tetapi ongkos perjalananya relatif mahal sehingga masyarakat enggan menggunakannya.

Menjelang malam kampung-kampung di wewengkon tampak sepi dan gelap. Sarana penerangan listrik belum masuk ke Wewengkon Cibedug sampai saat ini. Untuk penerangan warga Kasepuhan Cibedug menggunakan lampu minyak dan ada beberapa warga yang sudah menggunakan turbin yang memanfaatkan tenaga air walaupun sangat terbatas. Hanya satu penduduk

Kampung Cibedug yang memiliki televisi dan itupun jarang dinyalakan karena keterbatasan daya listrik / accu. Akses informasi dari luar dapat hanya maksimal diterima melalui radio yang memang ada di sebagian besar rumah.

Fasilitas kesehatan tidak ada di Wewengkon Cibedug, untuk ke bidan desa atau polindes warga harus ke Desa Citorek atau Ciparay. Untuk pertolongan awal biasanya warga mendatangi dukun atau orang pintar dan untuk membantu persalinan warga masih mengandalkan Mak Beurang (dukun beranak). Jika sakit warga biasanya memanfaatkan obat-obatan tradisional atau obat yang biasa dijual di warung

Untuk sarana pendidikan hanya terdapat 2 buah SD dengan kondisi yang sangat memprihatinkan, satu SD hanya terdapat 3 orang guru dan itupun tdak makismal karena guru-gurunya berasal dari desa lain yang sangat jauh untuk mencapai sekolah tempat mereka mengajar. Untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang SMP atau SMA warga kasepuhan harus menempuh jarak yang sangat jauh sehingga sangat jarang warga Kasepuhan Cibedug yang melanjutkan sekolahnya.

Kelembagaan Masyarakat

Kelembagaan masyarakat di Wewengkon Kasepuhan Cibedug secara garis besar terbagi menjadi dua yaitu kelembagaan pemerintahan yang dipimpin oleh aparat desa dengan jaro (kepala desa) yang diwakili oleh RK / mandor yang sekarang dimandori oleh Bapak Udir dan kelembagaan yang dipimpin oleh ketua Adat yang sekarang dipangku oleh Aki Asbaji. Warga Wewengkon Cibedug secara keseluruhan merupakan pengikut Kasepuhan Cibedug.

Wewengkon Cibedug juga mempunyai lembaga-lembaga desa selain adat, yaitu kelompok tani dan kelompok pemuda. Kelompok pemuda yaitu Himpunan Pemuda Citorek (Hiptor) cabang Cibedug dengan Kang Jamur sebagai ketuanya.

Tinjauan Masyarakat Kasepuhan Banten Kidul

Sejarah Masyarakat Adat Kasepuhan

Masyarakat adat kasepuhan merupakan masyarakat yang masih setia memegang teguh adat dan tradisi warisan leluhur mereka. Menurut catatan sejarah mereka adalah keturunan kerajaan Hindu Sunda yang runtuh akibat serangan dari kerajaan Islam Banten. Setelah kerajaan tersebut digempur oleh tentara dari kerajaan Banten Islam, ratusan anggota kerajaan melarikan diri ke Gunung Cibodas dan Palasari, selain itu ada pula yang menyingkir ke daerah Bayah, Jasinga dan Ujung Kulon. Sebagian lagi ada yang melarikan diri ke Gunung Kendeng yang sekarang dikenal dengan orang Baduy. Sisa-sisa keturunan tersebut kemudian berkembang dan menjadi Masyarakat Kasepuhan yang kita kenal saat ini. Mereka kemudian menjadi suatu masyarakat yang kesatuan dan solidaritas sosialnya didikat oleh tradisi leluhur yang kuat, disebut dengan Kesatuan Adat Banten Kidul. (Adimiharja, 1992)

Dalam Kesatuan Adat Banten Kidul terdapat beberapa kelompok masyarakat kasepuhan diantaranya adalah kasepuhan Sirnaremi, Ciptagelar, Cisungsang, Cicacurub, Citorek, Urug, Cisitu dan lainnya. Di antara mereka terdapat beberapa perbedaan dalam hal aturan adat dan istiadat dalam aturan adat yang berkaitan dengan kehidupan maupun tata cara bertani dan mengelola hutan, namun hal tersebut tidak menimbulkan pertentangan karena mereka merasa masih ada pertalian darah.

Sebagai satu kelompok sosial, masyarakat kasepuhan berpusat pada kepemimpinan adat yang memiliki keterkaitan erat dengan relasi keturunan, aktivitas ritual dan legitimasi supranatural. Pemimpin adat atau sesepuh girang yang lebih akrab dipanggil Abah atau aki dan di beberapa tempat dipanggil oyok merupakan tokoh yang memiliki kewenangan dalam mengatur segala aktivitas yang berkaitan dengan ritual adat.

Selain sesepuh girang dan jajaran elit adat lainnya sebagai penjaga adat, tradisi kasepuha sampai sekarang masih tetap terjaga berkat ketaatan dari para pengikutnya disebut sebagai incu putu kasepuhan. Para incu putu kasepuhan

tersebut tersebar pada kampung-kampung di kawasan Pegunungan Halimun tidak hanya tersebar di satu desa / kampung akan tetapi tersebar melintasi batas wilayah administratif formal pemerintaha setingkat kabupaten.

Wilayah kekuasan yang tersebar luas bukanlah hal yang mudah ditangani oleh sesepuh girang. Oleh karena itu, di tiap kampung adat ada perwakilan sesepuh girang yang disebut dengan kokolot lembur. Para kolot lembur menerima instruksi langsung dari sesepuh girang yang tinggal di kampung Gede (sebutan untuk kampung yang menjadi pusat kasepuhan dan menjadi tempat tinggal sesepuh girang). Serupa dengan pemilihan sesepuh girang , pemilihan kokolot lembur juga berdasarkan garis keturunan.

Masyarakat kasepuhan memiliki beberapa prinsip hidup yang merupakan warisan dari leluhur mereka yang salah satunya adalah prinsip hidup tilu sapumulu, dua sakarupa, nuhiji eta-eta keneh yang berartu tiga sejenis, dua serupa dan satu itu-itu juga). Prinsip hidup ini menjiwai kehidupan bermasyarakat.

Dokumen terkait