• Tidak ada hasil yang ditemukan

Modal sosial dalam pengelolaan sumberdaya hutan pada masyarakat adat kasepuhan Banten Kidul

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Modal sosial dalam pengelolaan sumberdaya hutan pada masyarakat adat kasepuhan Banten Kidul"

Copied!
89
0
0

Teks penuh

(1)

KASEPUHAN BANTEN KIDUL

GUNANTO EKO SAPUTRO

E 14101055

DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN

FAKULTAS KEHUTANAN

(2)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi dengan judul Modal Sosial dalam Pengelolaan Sumberdaya Hutan pada Masyarakat Adat Kasepuhan Banten Kidul adalah hasil karya saya sendiri dan belum pernah diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, 6 Februari 2006

(3)

ABSTRAK

GUNANTO EKO SAPUTRO. Modal Sosial dalam Pengelolaan Sumberdaya Hutan pada Masyarakat Adat Kasepuhan Banten Kidul. Dibimbing Oleh DIDIK SUHARJITO

Dalam pengelolaan sumberdaya alam, modal sosial bisa mencegah terjadinya eksploitasi berlebihan dan tragedy of the common khususnya pada sumberdaya alam yang dikelola secara komunal. Penelitian difokuskan untuk menjelaskan pengaruh modal sosial dalam pengelolaan sumberdaya hutan. Modal sosial dalam bentuk kepercayaan, norma sosial dan jaringan sosial diharapkan bisa berperan penting dalam menjaga kelestarian hutan. Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan pengaruh modal sosial yang terdiri dari kepercayaan, norma sosial dan jaringan sosial (Coleman, 1988) dalam pengelolaan sumberdaya hutan dan menjaga kelestarian hutan.

Penelitian dilakukan di dua lokasi yaitu Kampung Ciburial, Desa Mekarsari, Kecamatan Cibeber, Kabupaten Lebak, Banten yang warganya memiliki garis kekerabatan (incu putu) dengan Kasepuhan Sirnaresmi dan Kampung Cibedug, Wewengkon Adat Kasepuhan Cibedug, Desa Citorek, Kecamatan Cibeber, Lebak, Banten yang warganya merupakan garis keturunan dari Kasepuhan Cibedug. Penelitian dimulai dari bulan Juli sampai dengan Desember 2005. Penelitian dilakukan dengan metode survai melalui wawancara kepada responden dengan menggunakan kuisioner kemudian data diolah dan disajikan dalam bentuk tabulasi silang dan dijelaskan secara deskriptif.

Bentuk-bentuk pengelolaan sumberdaya alam yang ada di lokasi penelitian antara lain : 1) Huma, yang sering diartikan sebagai perladangan gilir balik merupakan salah satu sistem budidaya padi huma (ladang) yang di tumpang sarikan dengan tanaman palawija, tanaman hortikultura dan tanaman keras, 2) Hutan yang terbagi menjadi 3 zonasi yaitu leuweng kolot / tutupan (hutan tua), leuweng titipan (hutan keramat) dan leuweng sampalan (leuweng garapan), 3) Kebun kayu, penggunaan lahan yang dikelola dengan tujuan untuk dimanfaatkan hasil kayunya, 4) Kebun talun, penggunaan lahan yang dikelola untuk menghasilkan hasil non kayu, 5) Sawah, penggunaan lahan dengan tujuan menghasilkan padi.

(4)

setiap bentuk pengelolaan sumberdaya hutan. Dari hasil penelitian pemahaman terhadap norma cukup tinggi dan pelanggaran terhadap norma sangat rendah. Selanjutnya, penelitian juga menilai bagaimana masyarakat dalam berjaringan dengan sesama warganya. Dalam berjaringan antar sesamanya, lebih didasari atas hubungan kekeluargaan dan lebih suka melaksanakannya secara informal. Hubungan yang terjalin dengan pihak luar antara lain dengan pihak perhutani, taman nasional, LSM, tengkulak dan masyarakat yang lain.

(5)

MODAL SOSIAL DALAM PENGELOLAAN SUMBERDAYA

HUTAN PADA MASYARAKAT ADAT

KASEPUHAN BANTEN KIDUL

GUNANTO EKO SAPUTRO

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperolah gelar Sarjana Kehutanan pada

Departemen Manajemen Hutan Fakultas kehutanan, Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN

FAKULTAS KEHUTANAN

(6)

Judul Penelitian : Modal Sosial dalam Pengelolaan Sumberdaya Hutan Pada Masyarakat Adat Kasepuhan Banten Kidul

Nama Mahasiswa : GUNANTO EKO SAPUTRO

NRP : E 14101055

Menyetujui,

Dosen Pembimbing

Dr. Ir. Didik Suharjito, MS

NIP. 132 104 680

Mengetahui,

Dekan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor

Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, MS NIP. 131 430 799

(7)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillahi rabbil ‘alamin. Puji Syukur kehadirat Allah SWT yang Maha mengetahui, atas segala limpahan Rahmat, Tufik dan Hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah yang berjudul “ Modal Sosial dalam pengelolaan Sumberdaya Hutan di Masyarakat Adat Banten Kidul “ bertempat di Kampung Ciburial, incu putu Kasepuhan Sirnaresmi dan Kampung Cibedug, Kasepuhan Cibedug.

Karya ilmiah ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Fakultas Kehuanan, Institut Pertanian Bogor. Dari mulai penyusunan proposal penelitian, pelaksanaan penelitian dan penyusunan skripsi penulis telah banyak mendapatkan bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada :

1. Ayahanda Suyitno dan Ibunda Siti Masithoh serta adikku Dian Kurnia Dwi Saputri dan Fajar Tria saputra yang selalu memberikan semangat dan doanya yang menghantarkan penulis seperti sekarang.

2. Dr. Ir. Didik Suharjito, MS selaku dosen pembimbing yang telah banyak memberikan bimbingan, nasihat dan saran selama penulis berproses untuk menghasilkan karya ilmiah ini.

3. Dr. Ir. Bramasto Nugroho, MS dosen Penguji dari Departemen Hasil Hutan dan Ir Endes N. Dahlan, MS dosen penguji dari Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata atas masukan, saran serta nasehatnya.

4. Ir. Yulius Hero. MSc yang telah membuka wawasan penulis, semoga segera diberi kesembuhan

5. RMI, The Indonesian Institute for Forest and Environment yang telah memfasilitasi penulis dalam melakukan penelitian,

(8)

7. Kawan-kawan di Dewan Perwakilan Mahasiswa / Majelis permusyawaratan Mahasiswa KM IPB 2002-2003 “Hujan Badai Tetap Rapat”, Komunitas Layar IPB (KLIP), Kabinet Perjuangan, Badan Eksekutif Mahasiswa KM IPB 2003-2004, Koran Kampus IPB 2004-2005 “ Dengan Pena Menjerat Berita Mengguncang Dunia”, Radio Kampus IPB, AGRI FM 2004-2005 “96.9 AGRI FM, The Voice of Agriculture”, dan Asean Forestry Student Asociation (AFSA) LC IPB yang telah menjadi wadah bagi penulis mengembangkan diri selama menjadi mahasiswa.

8. Bapak Dr. Ir. Arya Hadi Dharmawan, MSc dan kawan-kawan dari Program Studi Komunikasi Pemberdayaan Masyarakat (Mba Via, Dini, Ilham dan Rizal) atas diskusinya.

9. Sahabat seperjuangan Forester dan MeNeHe’ers Angkatan 38 yang telah bersama-sama selama lebih dari empat tahun mengemban amanah untuk menimba ilmu kehutanan.

10.Kawan-kawan di Pondok Al-Izzah, Asrama Putra TPB C1 dan Pondok Alaska yang telah mewarnai keseharian penulis.

11. Special thanks buat Ajay dan Jufri atas slidenya, buat Yhanuar atas koreksi prosidingnya, buat Dini dan Ibu ‘Darmawanita’ MNH atas bantuannya mempersiapkan seminar dan sidang, buat Melita, Ukhti Yuli, Indah, Dikkie dan Toni atas semangatnya

Dan semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu. Semoga segala amal kebaikan mendapatkan balasan dari Allah SWT.

Bogor, Februari 2006

(9)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Desa Langgar, Kecamatan Kejobong, Kabupaten Purbalingga pada tanggal 13 Agustus 1983 dari pasangan Suyitno dan Siti Masithoh. Penulis mengawali pendidikannya di TK Pertiwi Langgar, melanjutkan pendidikan dasar di SD N Langgar 3 dan SD N Langgar 1 lulus pada tahun 1995. Pada tahun 1995, penulis melanjutkan pendidikan di SLTP Negeri 1 Kejobong lulus pada tahun 1998. Kemudian penulis melanjutkan pendidikan menengah di SMU Negeri 1 Purbalingga, lulus pada tahun 2001. Pada bulan Agustus 2001 penulis diterima di Jurusan Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor melalui jalur Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri (UMPTN).

Penulis telah mengikuti kegiatan praktek Pengenalan dan Pengelolaan Hutan (P3H) di Leuweng Sancang dan Kamojang, BKSDA Jawa Barat serta dilanjutkan di Perum Perhutani KPH Indramayu tepatnya di BKPH Jati Munggul, BKPH Cikamurang dan BKPH Haurgeulis pada bulan Juli hingga Agustus 2004. Pada bulan Februari hingga April 2005 penulis melakukan Praktek Kerja Lapang (PKL) di HPH PT. ITCI Kartika Utama di Kalimantan Timur. Penulis juga pernah melakukan magang di Laboratorium Silvikutur, Agustus 2002 dan magang di Hutan Pendidikan Gunung Walat pada bulan Agustus 2003. Selain itu penulis juga pernah menjadi Asisten Mata Kuliah, Ilmu Tanah Hutan.

(10)

Prestasi yang pernah diperoleh penulis adalah Mahasiswa berprestasi Departemen Manajemen Hutan dan Mahasiswa berprestasi peringkat ke-6 Fakultas Kehutanan. Dalam beraktivitas, selain kuliah dan berkegiatan mahasiswa, penulis juga menjadi relawan di sebuah LSM lingkungan dan kehutanan, RMI The Indonesian Institute for Forest and Environment serta menjadi fasilitator Rute Pendidikan Lingkungan (REPLING) di Kebun Raya Bogor.

Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar sarjana kehutanan, penulis menyusun tugas akhir dengan judul “ Modal Sosial dalam Pengelolaan Sumberdaya Hutan di Masyarakat Adat Banten Kidul “ bertempat di Kampung Ciburial Desa Mekarsari, incu putu Kasepuhan Sirnaresmi dan di Kampung Cibedug, Wewengkon Kasepuhan Cibedug, Kecamatan Cibeber, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten di bawah bimbingan Dr. Ir. Didik Suharjito, MS.

Bogor, Februari 2006

(11)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillahi rabbil ‘alamin. Puji Syukur kehadirat Allah SWT yang Maha mengetahui, atas segala limpahan Rahmat, Tufik dan Hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah yang berjudul “ Modal Sosial dalam pengelolaan Sumberdaya Hutan di Masyarakat Adat Banten Kidul “ bertempat di Kampung Ciburial, incu putu Kasepuhan Sirnaresmi dan Kampung Cibedug, Kasepuhan Cibedug.

Karya ilmiah ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Fakultas Kehuanan, Institut Pertanian Bogor. Dari mulai penyusunan proposal penelitian, pelaksanaan penelitian dan penyusunan skripsi penulis telah banyak mendapatkan bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada :

1. Ayahanda Suyitno dan Ibunda Siti Masithoh serta adikku Dian Kurnia Dwi Saputri dan Fajar Tria saputra yang selalu memberikan semangat dan menghantarkan penulis seperti sekarang.

2. Dr. Ir. Didik Suharjito, M S selaku dosen pembimbing yang telah banyak memberikan bimbingan, nasihat dan saran selama penulis berproses untuk menghasilkan karya ilmiah ini.

3. Dr. Ir. Bramasto Nugroho, M S dosen Penguji dari Departemen Hasil Hutan dan Ir Endes N. Dahlan, M S dosen penguji dari Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata atas masukan, saran serta nasehatnya.

4. Ir. Yulius Hero. M Sc yang telah membuka wawasan penulis, semoga segera diberi kesembuhan

5. RMI, The Indonesian Institute for Forest and Environment yang telah memfasilitasi penulis dalam melakukan penelitian,

(12)

7. Kawan-kawan di Dewan Perwakilan Mahasiswa / Majelis permusyawaratan Mahasiswa KM IPB 2002-2003 “Hujan Badai Tetap Rapat”, Kabinet Perjuangan, Badan Eksekutif Mahasiswa KM IPB 2003-2004, Koran Kampus IPB 2004-2005 “ Dengan Pena Menjerat Berita Mengguncang Dunia”, Radio Kampus AGRI FM 2004-2005 “96.9 AGRI FM, The Voice of Agriculture”, dan Asean Forestry Student Asociation (AFSA) LC IPB yang telah menjadi wadah bagi penulis mengembangkan diri selama menjadi mahasiswa.

8. Bapak Dr. Ir. Arya Hadi Dharmawan, M Sc dan kawan-kawan dari Program Studi Komunikasi Pemberdayaan Masyarakat (Mba Via, Dini, Ilham dan Rizal) atas diskusinya.

9. Sahabat seperjuangan Forester dan MeNeHe’ers Angkatan 38 yang telah bersama-sama selama lebih dari empat tahun mengemban amanah untuk menimba ilmu kehutanan.

10.Kawan-kawan di Pondok Al-Izzah, Asrama Purta TPB C1 dan Pondok Alaska yang telah mewarnai keseharian penulis.

11. Special thanks buat Ajay dan Jufri atas slidenya, buat Yhanuar atas koreksi prosidingnya, buat Dini dan Ibu ‘Darmawanita’ MNH atas bantuannya mempersiapkan seminar dan sidang, buat Melita, Ukhti Yuli, Indah, Dikkie dan Toni atas semangatnya

Dan semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu. Semoga segala amal kebaikan mendapatkan balasan dari Allah SWT.

Bogor, Februari 2006

(13)

DAFTAR ISI

Hal

DAFTAR ISI ... i

DAFTAR TABEL ... ii

DAFTAR GAMBAR ... ii

DAFTAR LAMPIRAN ... iv

PENDAHULUAN Latar Belakang ... 1

Tujuan Penelitian ... 4

Kegunaan Penelitian ... 4

TINJAUAN PUSTAKA Modal Sosial ... 5

Modal Sosial : Definisi, Konsep dan Penyusunnya...5

Wujud Nyata Modal Sosial ... 12

Mengapa Modal Sosial itu Penting ... 15

METODE PENELITIAN Kerangka Konseptual ... 16

Kerangka pemikiran ... 18

Definisi Operasional ... 18

Metode Penelitian ... 20

Lokasi dan Waktu Penelitian ... 20

Teknik Pengumpulan Data ... 21

Analisis dan Penyajian Data ... 21

KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN Kampung Ciburial, Desa Mekarsari ... 22

Keadaan Umum ... 22

Aksesbilitas ... 22

Kondisi Geografis ... 22

(14)

Pola Perkampungan ... 23

Sarana dan Prasarana... 23

Kelembagaan ... 24

Wewengkon Kasepuhan Cibedug ... 24

Keadaan Umum ... 25

Aksesbilitas ... 26

Kondisi Geografis ... 27

Penduduk dan Mata Pencaharian ... 27

Pola Perkampungan ... 38

Sarana dan Prasarana... 39

Kelembagaan ... 30

Tinjauan Umum Masyarakat Adat Kasepuhan ... 30

Sejarah Mayarakat Adat Kaseuhan ... 30

Masyarakat Kasepuhan dan Pengelolaan Sumberdaya Hutan ... 34

HASIL DAN PEMBAHASAN Bentuk Bentuk Sistem Pengelolaan Sumberdaya Hutan ... 38

Kampung Ciburial ... 38

Kampung Cibedug ... 45

Modal Sosial dalam Pengelolaan Sumberdaya Hutan ... 51

Kepercayaan (Trust) ... 51

Norma-Norma Sosial (Social Norms) ... 58

Jaringan Sosial (Social Networking) ... 64

Hubungan Modal Sosial dengan Kelestarian Hutan ... 66

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan ... 68

Saran ... 70

DAFTARPUSTAKA...71

(15)

DAFTAR TABEL

Tabel Hal

Tabel 1. Matrik Kerangka Pemikiran ... 18

Tabel 2. Penggunaan Lahan di Desa Mekarsari ... 24

Tabel 3. Jumlah Penduduk Berdasarkan Mata Pencaharian di Desa Mekarsari 24 Tabel 4. Jumlah Penduduk Berdasarkan Usia di Desa Mekarsari ... 24

Tabel 5 Upacara-Upacara Adat di Masyarakat Adat Kasepuhan Banten Selatan...35

Tabel 6. Tahapan Ngahuma di kampung Ciburial ... 40

Tabel 7. Tahapan Pengelolaan Sawah di Kampung Ciburial ... 44

Tabel 8. Tahapan Ngahuma di Kampung Cibedug ... 46

Tabel 9. Persentase Kepercayaan di Kampung Ciburial...56

Tabel 10. Persentase Kepercayaan di Kampung Cibedug...56

Tabel 11. Persentase Pemahaman dan Tingkat Pelanggaran terhadap Norma di Kampung Cibedug...62

(16)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Hal

(17)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Hal

Lampiran 1. Peta Kabupaten Lebak ... 73

Lampiran 2. Peta Desa Mekarsari ... 74

Lampiran 3. Daftar Jenis Padi yang ada di Sawah ... 75

Lampiran 4. Daftar Jenis Padi yang ada di Huma ... 75

Lampiran 5. Daftar Jenis Tanaman yang ada di Kebun ... 76

Lampiran 6. Daftar Jenis Tumbuhan Obat yang ada Di leuweng ... 77

(18)

PENDAHULUAN

Latar belakang

Modal sosial, seperti diteliti oleh Brata (2004) memberikan manfaat ekonomis bagi pelaku ekonomi informal perkotaan, berdasarkan pengamatan sederhana pada pedagang angkringan di Yogyakarta. Modal sosial, dalam pengertian jaringan-jaringan atau hubungan-hubungan sosial informal, turut menentukan proses menjadi pedagang angkringan, termasuk dalam hal penentuan lokasi berdagang. Pengalaman teman ataupun kerabat dekat yang telah menjadi pedagang angkringan, misalnya, merupakan faktor penting dalam menjelaskan mengapa seseorang akhirnya memulai usaha warung angkring, termasuk melepaskan pekerjaan sebelumnya. Dapat disebutkan pula bahwa pendatang cenderung menjadi pedagang angkringan non-mandiri atau semi-mandiri, sedangkan penduduk lokal cenderung menjadi pedagang angkringan mandiri.

Sruktur modal usaha dan fungsi modal sosial juga telah membantu strategi bertahan hidup pekerja migran di sektor informal seperti yang diteliti oleh Suwartika (2003) dalam kasus di Kecamatan Pelabuhan Ratu, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Kemudian menurut Alfiasari (2004) modal sosial juga berperan dalam meningkatkan kesejahteraan ekonomi pada kelompok usaha berbasis komunitas di pedesaan di Bogor.

(19)

Modal sosial dalam bentuk asosiasi-asosiasi horisontal ini umpamanya berperan penting dalam mendukung kemajuan ekonomi pada komunitas Cina perantauan (overseas chinese) melalui apa yang disebut dengan network capitalism. Organisasi informal Cina perantauan di Asia Tenggara, misalnya di Singapura dan Malaysia, mendorong pada kemampuan kompetitif mereka dalam kegiatan bisnis. Keunggulan bersaing tersebut bukan hanya karena mereka memiliki bakat kewiraswastaan, tetapi juga berasal dari perkumpulan dan lembaga dagangnya. Pendirian perkumpulan satu dialek bahasa dan jaringan keluarganya, siang hwee (kamar dagang), memungkinkan mereka bisa saling membantu dan mempercayai satu sama lain dalam transaksi ekonomi modern tanpa harus melalui lembaga ekonomi formal yang birokratis (Rajab, 2005)

Modal sosial memiliki peranan yang cukup penting dalam memelihara dan membangun integrasi sosial, mencegah terjadinya integrasi sosial dan menjadi perekat sosial (social engagement) dalam masyarakat. Modal sosial secara tidak langsung mencegah terjadinya konflik horizontal dalam masyarakat (Hermawanti dan Rinandri, 2003)

Penelitian mengenai modal sosial dalam berbagai aspek sudah banyak diteliti akan tetapi pengaruh dan peranan modal sosial dalam pengelolaan sumberdaya hutan belum banyak diteliti. Sistem pengelolaan sumberdaya hutan tentunya tidak akan lepas dari modal sosial yang dimiliki oleh masyarakat. Modal sosial dengan wujud nyata seperti kepercayaan sosial, norma sosial yang terinternalisasi dalam masyarakat, jaringan sosial pasti memiliki pengaruh dalam pengelolaan sumberdaya hutan utamanya dalam menjaga kelestarian hutan.

Permasalahan tersebut menarik bagi penulis untuk melakukan penelitian guna mencoba menelaah bagaimana modal sosial yang ada dalam masyarakat sekitar hutan mampu menopang pengelolaan sumberdaya hutan yang baik dan benar. Modal sosial diharapkan mampu mendukung proses pelestarian hutan.

(20)

termasuk dalam kategori aset/modal sosial tersebut akan mengakibatkan tergangunya seluruh elemen fungsional yang ada dalam elemen yang bersangkutan. Dengan demikian, secara umum permasalahan yang ingin dijawab dalam penelitian ini adalah bagaimana modal sosial yang dibangun dengan tiga pilar yaitu kepecayaan, jaringan sosial, dan norma-norma sosial mampu menopang dalam pengelolaan sumberdaya hutan yang dilakukan oleh masyarakat adat kasepuhan. Secara khusus, pertanyaan-pertanyaan yang ingin di jawab dalam penelitian ini adalah :

a. Bagaimana kepercayaan (trust) mampu menopang keberhasilan pengelolaan sumber daya hutan?

b. Bagaimana jaringan sosial (social networking) mampu menopang keberhasilan pengelolaan sumber daya hutan?

c. Bagaimana norma-norma sosial (social norms) mampu menopang keberhasilan pengelolaan sumber daya hutan?

d. Bagaimana modal sosial mampu menempatkan diri sebagai penopang pengelolaan sumber daya hutan dan menjaga kelestarian hutan.

Tujuan Penelitian

Seperti yang dijelaskan sebelumnya penelitian ini ingin melihat apa yang dapat disumbangkan modal sosial dalam menopang pengelolaan sumber daya hutan.. Secara ringkas tujuan penelitian ini dapat dijelaskan sebagai berikut :

1. Menganalisis kepercayaan (trust) yang menjadi elemen pokok modal sosial dalam menopang pengembangan pengelolaan sumber daya hutan 2. Menganalisis jaringan sosial (sosial networking) yang menjadi elemen

pokok modal sosial dalam menopang pengelolaan sumber daya hutan 3. Menganalisis norma-norma sosial (social norms) yang menjadi elemen

pokok modal sosial dalam menopang pengembangan pengelolaan sumber daya hutan

(21)

Kegunaan Penelitian

(22)

TINJAUAN PUSTAKA

Modal Sosial

Modal Sosial : Definisi, Konsep

Sebagai salah satu elemen yang terkandung dalam masyarakat sipil, modal sosial menunjuk pada nilai dan norma yang dipercayai dan dijalankan oleh sebagian besar anggota masyarakat dalam kehidupan sehari-hari, yang secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi kualitas hidup individu dan keberlangsungan komunitas masyarakat. Berikut beberapa definisi tentang modal sosial seperti yang di jelaskan dalam Modul Pemberdayaan Masyarakat Adat, Institute For Research and Empowerment (Hermawanti dan Rinandri, 2003):

1. Modal sosial sebagai suatu nilai mutual trust (kepercayaan) antara anggota masyarakat dan masyarakat terhadap pemimpinnya. Modal sosial didefinisikan sebagai institusi sosial yang melibatkan jaringan (networks), norma-norma (norms), dan kepercayaan sosial (social trust) yang mendorong pada sebuah kolaborasi sosial (koordinasi dan kooperasi) untuk kepentingan bersama. Hal ini juga mengandung pengertian bahwa diperlukan adanya suatu social networks (“networks of civic engagement”) - ikatan/jaringan sosial yang ada dalam masyarakat, dan norma yang mendorong produktivitas komunitas. Bahkan lebih jauh, Putnam melonggarkan pemaknaan asosiasi horisontal, tidak hanya yang memberi desireable outcome (hasil pendapatan yang diharapkan) melainkan juga undesirable outcome/hasil tambahan ( Putnam, 1995). 2. Modal sosial sebagai sumber daya aktual dan potensial yang dimiliki oleh

(23)

pertemanan, atau kekeluargaan, menjadi hubungan yang bersifat jangka panjang yang diwarnai oleh perasaan kewajiban terhadap orang lain (Bourdieu, 1970).

Bourdieu (1970) juga menegaskan tentang modal sosial sebagai sesuatu yang berhubungan satu dengan yang lain, baik ekonomi, budaya, maupun bentuk-bentuk social capital (modal sosial) berupa institusi lokal maupun kekayaan Sumber Daya Alamnya. Pendapatnya menegaskan tentang modal sosial mengacu pada keuntungan dan kesempatan yang didapatkan seseorang di dalam masyarakat melalui keanggotaannya dalam entitas sosial tertentu (paguyuban, kelompok arisan, asosiasi tertentu). 3. Modal sosial didefinisikan sebagai “sesuatu yang memiliki dua ciri, yaitu

merupakan aspek dari struktur sosial serta memfasilitasi tindakan individu dalam struktur sosial tersebut”. Dalam pengertian ini, bentuk-bentuk modal sosial berupa kewajiban dan harapan, potensi informasi, norma dan sanksi yang efektif, hubungan otoritas, serta organisasi sosial yang bisa digunakan secara tepat dan melahirkan kontrak sosial (Coleman, 1988). 4. Sedangkan dari hasil konferensi yang dilakukan oleh Michigan State

University, Amerika Serikat, tentang modal sosial dapat didefinisikan pengertian modal sosial sebagai “simpati atau rasa kewajiban yang dimiliki seseorang atau kelompok terhadap orang lain atau kelompok lain yang mungkin bisa menghasilkan potensi keuntungan dan tindakan preferensial, dimana potensi dan preferensial itu tidak bisa muncul dalam hubungan sosial yang bersifat egois”.

5. Modal sosial dipahami pula sebagai serangkaian norma, jaringan dan organisasi dimana masyarakat mendapat akses pada kekuasaan dan sumberdaya, serta dimana pembuatan keputusan dan kebijakan dilakukan (Bardhan, 1995).

(24)

menambahkan peran struktur dan hubungan institusional yang lebih formal, seperti pemerintah, rejim politik, hukum, sistem peradilan, serta kebebasan sipil dan politik.

Berbagai pandangan tentang modal sosial itu bukan sesuatu yang bertentangan. Ada keterkaitan dan saling mengisi sebagai sebuah alat analisa penampakan modal sosial di masyarakat. Modal sosial bisa berwujud sebuah mekanisme yang mampu mengolah potensi menjadi sebuah kekuatan riil guna menunjang pengembangan masyarakat.

Sebagai sebuah konsep, definisi modal sosial pun mengalami perkembangan. Bourdieu mendefinisikan modal sosial sebagai sumberdaya baik yang aktual maupun potenisal yang dimiliki oleh seseorang berkat adanya jaringan hubungan secara kelembagaan yang terpelihara dengan baik (Portes 1998). Sedangkan Stone dan Hughes (2002) melambangkan modal sosial sebagai sebuah perekat di antara anggota masyarakat untuk menjaga kebersamaan komunitas / masyarakat. Perlambangan modal sosial ini kemudian di pahami sebagai jaringan-jaringan dalam hubungan sosial yang dicirikan oleh adanya norma kepercayaan dan hubungan timbal balik yang mengarahkan masyarakat untuk mencapai kepentingan bersama.

Modal sosial didefinisikan sebagai pemersatu masyarakat dalam bentuk norma, jaringan dan organisasi yang memungkinkan anggota masyarakat mendapatkan akses terhadap sumberdaya (Seralgedin dan Grootaert, 1997). Ada tiga perspektif yang digunakan dalam memahami modal sosial menurut yaitu :

a. Modal sosial dilihat sebagai norma dalam menjalin kerjasama yang setara. Norma yang dimaksud ini meliputi perjanjian masyarakat dalam membentuk sebuah jaringan, norma-norma yang mengatur hubungan timbal balik di antara masyarakat dan kepercayaan yang ada dalam anggota masyarakat.

b. Lebih luas lagi, modal sosial ditinjau dari struktur sosial yang memfasilitasi tindakan sosial bersama.

(25)

Modal sosial didefinisikan berangkat dari pengertian bahwa suatu komunitas dapat bertahan dengan sebuah subtansi penting dari modal sosial, dimana modal ini mempunyai komponen penting yaitu keterlibatan aktif dalam pengembangan jaringan sosial, norma-norma yang sudah terinternalisasi dan kepercayaan sosial (Putnam, 1995 dalam Dharmawan, 2002). Modal sosial mempunyai tiga pilar utama yaitu ;

1. Trust (kepercayaan)

Trust atau kepercayaan bagi sebagian analis sosial disebut sebagai bagian tak terpisahkan dari modal sosial dalam pembangunan yang menjadi “ruh” dari modal sosial (Dharmawan, 2002). Kepercayaan terbagi dalam tiga klasisfikasi aras, yaitu :

a. Kepercayaan pada aras individu dimana kepercayaan merupakan bagian dari moralitas dan adab yang selalu melekat pada karakter setiap individu. Kepercayaan pada aras ini terbentuk bila seorang dapat memenuhi harapan orang lain sesuai janji (promise keeping) sesuai yang telah di sepakati. Hal ini menunjukan adanya nilai mengemban amanah.

b. Kepercayaan pada aras kelompok dan kelembagaan yang menjadi karakter moral kelompok dan institusi. Kepercayaan pada aras ini termasuk regulasi dan beragam bentuk agreed institutional agreement yang digunakan dalam rangka menjaga amanah di tingkat group sosial secara efektif.

c. Kepercayaan pada sistem yang abstrak seperti ideologi dan religi yang membantu setiap individu dalam mengoperasionalisasikan kepercayaan dalam hubungan bermasyarakat.

(26)

terpeliharanya “trust” atau kepercayaan dari pihak-pihak yang terlibat dalam hubungan sosial tersebut (Coleman, 1988).

Modal sosial dalam membangun ikatan sosialnya dilandasi dengan “trust” (kepercayaan). Sehingga modal sosial akan bermakna lebih menjadi aset sosial yang dikuasai dan dioperasionalkan dalam sistem sosialnya. Pada akhirnya ikatan-ikatan sosial yang terbentuk dari dibangunnya kepercayaan akan membentuk jaringan ikatan sosial yang merupakan infrastruktur komunitas yang dibentuk secara sengaja (Fukuyama, 2001)

2. Social Networking (Jaringan Sosial)

Jaringan sosial merupakan sebuah hubungan sosial yang terpola atau disebut juga pengorganisasian sosial. Jaringan sosial juga menggambarkan jaring-jaring hubungan antara sekumpulan orang yang saling terkait baik langsung maupun tidak langsung. (Calchoun, 1994). Membahas jaringan sosial, tentu saja tidak bisa lepas dari komunikasi yang terjalin antar individu (interpersonal comunication) sebagai unit analisis dan perubahan perilaku yang disebabkannya. Hal ini, menunjukan bahwa jaringan sosial terbangun dari komunikasi antar individu yang memfokuskan pada pertukaran informasi sebagai sebuah proses untuk mencapai tindakan bersama, kesepakatan bersama dan pengertian bersama (Rogers & Kincaid, 1930)

Jaringan sosial dilihat dengan menggunakan beberapa ukuran, yaitu : (a) ikatan informal yang dikarakteristikan dengan adanya kepercayaan dan hubungan timbal balik yang lebih familiar dan bersifat personal seperti pada ikatan keluarga, pertemanan, pertetanggaan; (b) ikatan yang sifatnya lebih umum , seperti ikatan pada masyarakat setempat, masyarakat umum, masyarakat dalam kesatuan kewarganegaraan. Ikatan ini dikarakteristikan dengan adannya kepercayaan dan hubungan timbal balik yang sifatnya umum; dan (c) ikatan kelembagaan yang dikaraktersitikan dengan adanya kepercayaan dalam kelembagaan yang ada. Misalnya, pada ikatan dalam sistem kelembagaan dan hubungan keluasan (Stone dan Hughes, 2002)

(27)

ketertutupan (density and closure) dan keragaman (diversity). Karakteristik bentuk dan luas misalnya mengenai jumlah hubungan informal yang terdapat dalam sebuah interaksi sosial, jumlah tetangga mengetahui hubungan pribadi seseorang dalam sebuah sistem sosial dan jumlah kontak kerja. Sedangkan kerapatan dan ketertutupan sebuah jaringan sosial dapat dilihat misalnya dengan seberapa besar sesama anggota keluarga saling mengetahui teman-teman dekatnya, diantara teman saling mengetahui satu sama lainnya, masyarakat setempat saling mengetahui satu sama lainnya. Sedangkan untuk keragaman, jaringan sosial dikaraktersitikan misalnya dari keragaman etnik teman, dari perbedaan pendidikan dalam sebuah group atau dari pencampuran budaya dalam wilayah setempat (Stone dan Hughes, 2002).

Coleman (1998) sebagai salah seorang penggagas konsep modal sosial melihat bahwa jaringan (networks) dalam modal sosial merupakan konsekuensi yang telah ada ketika kepercayaan diterapkan secara meluas dan didalamnya terdapat hubungan timbal balik yang terjalin dalam masyarakat dengan adanya harapan-harapan dalam masyarakat.

3. Social Norms (Norma – Norma Sosial)

Norma masyarakat merupakan elemen penting untuk menjaga agar hubungan sosial dalam suatu sistem sosial (masyarakat) dapat terlaksana sesuai dengan yang diharapkan (Soekanto, 1982). Ide bahwa norma sosial merupakan salah satu komponen dari modal sosial berawal dari pendapat Homans (1961) dan Nee (1998) dalam Darmawan (2001) yang menyebutkan bahwa norma sosial merupakan sebuah pertanda moral, khususnya sebuah pertanda dalam mendukung keberadaan trust dan kepercayaan antar individu.

(28)

ikatan timbal balik dan yang lainnya. Nilai-nilai sosial seperti ini sebenarnya merupakan aturan tidak tertulis dalam sebuah sistem sosial yang mengatur masyarakat untuk berperilaku dalam interaksinya dengan orang lain (Fukuyama, 2001)

Norma sebagai elemen penting modal sosial karena sebuah asosiasi sosial (organisasi sosial) didalamnya mengandung norma-norma berupa aturan-aturan informal dan nilai-nilai yang memfasilitasi adanya kordinasi diantara anggota dalam sebuah sistem sosial. Hal ini menurutnya memungkinkan adanya tindakan-tindakan kerjasama untuk memudahkan kerjasama untuk memudahkan pekerjaan guna mencapai keuntungan kolektif yang dirasakan bersama (Coleman, 1988).

Selanjutnya ada beberapa karakteristik dari modal sosial yang diungkapkan (Coleman,1988), yaitu :

a. Adanya kewajiban dan harapan, ini dimaksudkan bahwa dalam modal sosial yang dibangun dari kepercayaan, jaringan dan norma sosial masing-masing individu mempunyai kewajiban dan harapan dalam melakukan tindakan sosialnya.

b. Adanya informasi potensial yang terjalin melalui hubungan sosial yang sifatnya informal yang dapat menyimpan dan menyampaikan informasi. c. Norma-norma dan sanksi yang efektif

d. Hubungan kekuasaan

e. Kesamaan organisasi sosial, organisasi sosial terbentuk dari tujuan yang spesifik dimana terjadi proses pencapaian tujuan dan didalamnya terdapat mekanisme organisasi yang cukup luas skalanya dalam uasha pencapaian tujuannya.

f. Kesengajaan dalam membentuk organisasi

Hal ini terkait khususnya pada usaha untuk mengurangi biaya-biaya transaksi sosial.

Wujud Nyata Modal Sosial

(29)

capital itu?” Berwujud apakah dia sehingga banyak membuat orang terinspirasi oleh pentingnya kehadiran modal sosial sebagai pendukung pemberdayaan masyarakat, pendukung demokrasi termasuk sebagai salah satu pilar penting dalam pengembangan good governance yang dewasa ini banyak diperbincangkan masyarakat kita. Berikut ini adalah wujud nyata dari modal sosial seperti yang di konsepsikan oleh Institute for Research an Empowerment (Hermawanti dan Rinandri , 2003) :

1. Hubungan Sosial

Merupakan suatu bentuk komunikasi bersama lewat hidup berdampingan sebagai interaksi antar individu. Ini diperlukan sebab interaksi antar individu membuka kemungkinan campur tangan dan kepedulian individu terhadap individu yang lain. Bentuk ini mempunyai nilai positif karena masyarakat mempunyai keadilan sosial di lingkungannnya.

2. Adat dan Nilai Budaya Lokal

Ada banyak adat dan kultur yang masih terpelihara erat dalam lingkungan kita, budaya tersebut kita akui tidak semua bersifat demokratis, ada juga budaya-budaya dalam masyarakat yang terkadang sangat feodal bahkan sangat tidak demokratis. Namun dalam perjalanan sejarah masyarakat kita, banyak sekali nilai dan budaya lokal yang bisa kita junjung tinggi sebagai suatu modal yang menjunjung tinggi kebersamaan, kerjasama dan hubungan sosial dalam masyarakat.

3. Toleransi

(30)

4. Kesediaan untuk Mendengar

Dalam belajar berdemokrasi kita sangat tidak asing dengan upaya seperti menghormati pendapat orang lain, toleransi dan lain-lain. Namun ada satu hal yang hampir terlupakan yaitu tentang “kesediaan mendengar pendapat orang lain”. Begitu juga dalam bernegara, kearifan mendengar suara rakyat merupakan salah satu bentuk toleransi dan penghargaan negara terhadap masyarakat. Apa yang berkembang di dalam masyarakat sebagai suara rakyat haruslah ditampung, disimak dan dipahami untuk mengkaji ulang kebijakan–kebijakannya. Kekuasaan yang tidak mampu lagi mendengar suara anggotanya adalah kekuasaan yang tidak lagi inspiratif, dan tidak menjalankan kedaulatan rakyat. Kekuasaan seperti ini haruslah direformasi.

5. Kejujuran

Merupakan salah satu hal pokok dari suatu keterbukaan atau transparansi. Dalam masyarakat kita hal ini sudah ada, dan ini sangat mendukung perkembangan masyarakat ke arah yang lebih demokratis karena sistem sosial seperti ini akan mensuramkan titik-titik korupsi dan manipulasi di kalangan masyarakat adat sendiri.

6. Kearifan Lokal dan Pengetahuan Lokal

Merupakan pengetahuan yang berkembang dalam masyarakat sebagai pendukung nilai-nilai yang ada dalam masyarakat. Penghargaan terhadap nilai lokal ini memunculkan kebersamaan antar anggota masyarakat yang akan diturunkan kepada generasi berikutnya.

7. Jaringan Sosial dan Kepemimpinan Sosial

Jaringan sosial terbentuk berdasarkan kepentingan atau ketertarikan individu secara prinsip atau pemikiran. Sementara itu kepemimpinan sosial terbentuk dari kesamaan visi, hubungan personal atau keagamaan. Seluruh kepemimpinan sosial muncul dari proses demokrasi. Dalam demokrasi yang dominan adalah adu konsep rasional dan gagasan terhadap suatu kemajuan.

(31)

Merupakan hubungan sosial yang dibangun atas dasar rasa percaya dan rasa memiliki bersama.

9. Kebersamaan dan Kesetiaan

Perasaan ikut memiliki dan perasaan menjadi bagian dari sebuah komunitas.

10.Tanggung Jawab Sosial

Merupakan rasa empati masyarakat terhadap perkembangan lingkungan masyarakat dan berusaha untuk selalu meningkatkan ke arah kemajuan. 11.Partisipasi Masyarakat

Kesadaran dalam diri seseorang untuk ikut terlibat dalam berbagai hal yang berkaitan dengan diri dan lingkungannya.

12.Kemandirian

Keikutsertaan masyarakat dalam setiap pengambilan keputusan yang ada dalam masyarakat dan keterlibatan mereka dalam institusi yang ada dilingkungannya sebagai rasa empati dan rasa kebersamaan yang mereka miliki bersama.

Arti Penting Modal Sosial

Modal sosial dapat menjadi penting keberadaanya dalam masyarakat dalam strategi bertahan dan berkembanganya ketika telah disadari peran dan fungsinya, berikut ini adalah beberapa fungsi dan peran modal sosial yang telah di teliti oleh Institut for Research and Empowerment (Hermawanti dan Rinandri 2003), sebagai berikut;

1. Membentuk solidaritas sosial masyarakat dengan pilar kesukarelaan.

2. Membangun partisipasi masyarakat .

3. Penyeimbang hubungan sosial dalam masyarakat . 4. Sebagai pilar demokrasi.

(32)

6. Membangkitkan keswadayaan dan keswasembadaan ekonomi.

7. Sebagai bagian dari mekanisme manajemen konflik.

8. Menyelesaikan konflik sosial yang terjadi dalam masyarakat.

9. Memelihara dan membangun integrasi sosial dalam masyarakat yang rawan konflik.

10. Memulihkan masyarakat akibat konflik, yaitu guna menciptakan dan memfasilitasi proses rekonsiliasi dalam masyarakat pasca konflik.

11. Mencegah disintegrasi sosial yang mungkin lahir karena potensi konflik sosial tidak dikelola secara optimal sehingga meletus menjadi konflik kekerasan.

12. Modal sosial yang berasal dari hubungan antar individu dan kelompok bisa menghasilkan trust, norma pertukaran.

(33)

METODE PENELITIAN

Kerangka Konseptual

Modal sosial sebagai salah satu modal dalam masyarakat mempunyai tiga pilar penting, yaitu kepercayaan (trust), norma sosial (social norms) dan jaringan sosial (sosial networking). Kepercayaan sosial (trust) dimana terdapat tiga aras kepercayaan yaitu pada tingkat individu dan kelembagaan serta sistem yang abstrak. Trust society dicerminkan oleh tingkat kepercayaan yang tinggi dapat diwujudkan bila trust menjadi gerakan atau aksi kolektif dan merupakan akumulasi gerakan individual. (Dharmawan dalam Alfiasari, 2004)

Kepercayaan (trust) merupakan salah satu essential contributor factor yang mempengaruhi kesejahteraan masyarakat ke arah harmoni dan integrasi. Oleh karena itu, disebutkan bahwa perlu adanya institusi formal dan informal yang menjamin trust berfungsi secara operasional. Pada kelembagaan formal, trust akan tumbuh bila fungsi-fungsi organisasi memberikan energi bagi tumbuh dan berkembangnya moralitas trust dalam masyarakat (Narayan, 1999). Sedangkan pada kelembagaan-kelembagaan informal yang dapat menumbuhkan trust adalah :

a. Hubungan interpersonal dalam masyarakat yang telah terbangun sejak lama.

b. Norma dan nilai yang telah dikukuhkan bersama dalam masyarakat bersama-sama untuk diyakini dan ditaati.

c. Sanksi sosial yang mengikat orang atau kelompok agar tidak berbuat semaunya..

(34)

(1980). Secara umum jaringan sosial dapat dilihat antara lain: (1) Dengan siapa seseorang berinteraksi dalam sebuah sistem sosial: (2). Apakah seseorang dalam sistem sosial bergabung satu dengan yang lainnya dalam sebuah group atau organisasi: (3). Apakah seseorang dalam sistem sosial mempuyai status yang lebih tinggi atau rendah. Sedangkan menurut Stone dan Hughes (2002) terdapat dua aspek utama dalam menganalisa jaringan sosial, yaitu : (1) jaringan sosial dan (2) karakteristik jaringan sosial. Dimana jaringan sosialnya di lihat dalam tiga jenis yaitu jaringan informal, jaringan yang lebih umum serta jaringan kelembagaan. Sedangkan karakteristik jaringan sosial dibedakan berdasarkan bentuk dan luas (size and extensiveness), kerapatan dan ketertutupan (density and closure) dan keragaman (diversity).

Norma sosial merupakan elemen penting untuk menjaga agar hubungan sosial dalam suatu sistem sosial (masyarakat) dapat terlaksana sesuai dengan yang diharapkan (Soekanto, 1982). Modal sosial dibentuk dari norma-norma informal berupa aturan-aturan yang sengaja di buat untuk mendukung terjadinya kerjasama diantara dua atau lebih individu. Norma yang dimaksud bisa berbentuk aturan tertulis atau nilai-nilai kejujuran, sikap menjaga komitmen, pemenuhan kewajiban, ikatan timbal balik dan yang lainnya. (Fukuyama, 2001). Sedangkan menurut Seralgedin dan Grotaert (1997) modal sosial dilihat sebagai norma dalam menjalin kerjasama yang setara meliputi perjanjian masyarakat dalam membentuk sebuah jaringan, norma-norma yang mengatur hubungan timbal balik di antara masyarakat dan kepercayaan yang ada dalam anggota masyarakat. Pengelolaan sumber daya alam tentunya tidak akan lepas dari aktifitas manusia sebagai individu, masyarakat dan kelembagaan di dalamnya.

(35)

Berdasarkan perumusan masalah, tinjauan pustaka dan kerangka konseptual yang telah dibuat maka dapat digambarkan kerangka pemikiran sebagai berikut :

Gambar 1. Kerangka Pemikiran Penelitan

Definisi Operasional

Definisi operasional yang diperlukan dalam penelitian ini, dengan tujuan untuk mempersempit pemahaman terhadap konsep-konsep yang digunakan, sebagai berikut :

1. Kelestarian hutan diteliti dengan indikator yang ada di lapangan. Seperti kondisi tegakan serta pengaruh hutan terhadap kondisi ekologis.

2. Kepercayaan yang dinilai adalah kepercayaan responden terhadap anggota masyarakat yang lain dengan parameter-parameter yang sudah ditentukan. 3. Norma sosial yang diteliti adalah norma sosial yang berkaitan dengan

kelestarian hutan dan akan dinilai persentase pemahaman dan pelanggaran yang terjadi.

4. Jaringan sosial akan diukur dari basis jaringan, sifat jaringan dan karakteristik jaringan dalam pengelolaan sumberdaya hutan.

Untuk lebih jelasnya dapat dilihat matrik kerangka pemikiran yang dibangun sebagai berikut :

Kepecayaan (Trust) Norma sosial (Social Noms) Jaringan Sosial

(Social Networking)

Pengelolaan SDH

(36)

Tabel 1. Matrik Kerangka Pemikiran diadaptasi dari Alfiasari (2004)

Topik/ konsep Sub topik/ variabel Sumber data/ informasi

Kepercayaan kepercayaan yang diteliti adalah kepercayaan responden terhadap anggota masyarakat yang lain dalam :.

ƒ kepercayaan terhadap manfaat hutan

ƒ kepercayaan terhadap aturan-aturan (tertulis, tidak tertulis, nilai agama dan norma lainnya)

ƒ kepercayan terhadap kemampuan menjaga kelestarian hutan

ƒ kepercayaan untuk bekerjasama

ƒ kepercayaan untuk menjaga keeratan hubungan

ƒ kepercayaan terhadap pihak lain dalam menjaga kelestarian hutan

ƒ Basis hubungan produksi

ƒ Basis kekeluargaan

ƒ Basis pertemanan

ƒ Basis kolektifitas

ƒ Basis komunitas (desa / etnis / religius / profesi / kegiatan)

Sifat jaringan

ƒ Fungsional ( hubungan yang didasarkan pada fungsi akan status yang dimiliki)

ƒ Struktural ( hubungan yang didasarkan status hierarki secara formal yang dimiliki)

ƒ Transaksional ( hubungan didasarkan pada proses pertukaran baik barang maupun jasa) Karakteristik jaringan : Bentuk, Luas, Kedalaman, Keterbukaan, Permanency

Norma sosial Tingkat pemahaman dan kepatuhan anggota masyarakat terhadap :

ƒ Aturan-aturan tertulis yang mengikat individu atau masyarakat

ƒ Aturan-aturan tidak tertulis yang mengikat individu maupun masyarakat

ƒ Kebiasaan yang dimiliki masyarakat

Informan kunci :

ƒ Hubungan dengan pihak lain

(37)

Metode Penelitian

Penelitian dilakukan dengan metode survai. Ciri khas penelitian ini adalah data dikumpulkan dari responden dengan menggunakan kuesioner. Penelitian dimulai dengan munculnya minat peneliti terhadap suatu fenomena sosial tertentu, minat tersebut kemudian disusun menjadi masalah penelitian yang lebih jelas dan sistematis dengan menggunakan informasi ilmiah yang sudah tersedia dalam literatur, yakni teori (Singarimbun, 1995).

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan di 2 lokasi. Pertama, Kampung Ciburial, Desa Mekarsari, Kecamatan Cibeber, Kabupaten Lebak Propinsi Banten. Desa Mekarsari merupakan desa yang penduduknya menganut kepada Kasepuhan Sirnaresmi (incu putu kasepuhan) yang berada di Pelabuhan Ratu, Sukabumi. Penelitian dimulai dengan survai lokasi pada bulan Juli 2005 dan pengambilan data primer dilakukan pada bulan September 2005. Kedua, di Kampung Cibedug, Wewengkon Adat Kasepuhan Cibedug, Desa Citorek, Kecamatan Cibeber, Kabupaten Lebak, Banten yang semua warganya adalah warga inti dari Kasepuhan Cibedug. Survei lokasi dilaksanakan pada bulan November 2005 dan pengambilan data pada bulan Desember 2005. Selanjutnya pengolahan data, pencarian literatur, dan penyusunan skripsi dilaksanakan pada bulan Oktober 2005 sampai dengan Januari 2006.

Kedua kampung tempat lokasi penelitian dipilih secara sengaja (purposive). Kedua kampung tersebut dipilih karena peneliti memiliki akses dan kedekatan dengan masyarakat di kedua kampung tersebut sehingga lebih mudah dalam melakukan penelitian.

Teknik Pengumpulan Data

(38)

wawancara terstruktur baik kepada responden maupun kepada informan dengan menggunakan daftar pertanyaan (kuesioner). Data yang dicari adalah data primer dan data sekunder. Data primer merupakan data yang diperoleh dari wawancara selama penelitian. Sedangkan data sekunder dikumpulkan dari dokumen-dokumen yang dimiliki kelompok ataupun aparat desa dan pihak-pihak yang terkait dengan kelompok yang diteliti.

Analisis dan Penyajian Data

(39)

KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

Kondisi umum lokasi penelitian dideskripsikan pada cakupan wilayah yang lebih luas. Penelitian dilakukan di Kampung Ciburial yang berada di Desa Mekarsari dan kondisi umum menjelaskan mengenai Desa Mekarsari. Kemudian di Kampung Cibedug kondisi umum menjelaskan mengenai Wewengkon Kasepuhan Cibedug dimana Kampung Cibedug menjadi salah satu kampung yang ada di wilayahnya.

Desa Mekarsari

Letak dan Luas

Desa Mekarsari merupakan salah satu desa yang terletak di kawasan Pegunungan Halimun yang termasuk dalam area Taman Nasional Gunung Halimun. Secara administratif desa ini termasuk dalam wilayah Kecamatan Cibeber, Kabupaten Lebak, Propinsi Banten. Berdasarkan sejarah, Desa Mekarsari merupakan bagian dari wilayah Desa Cidikit yang sejak tahun 1977-1978 dimekarkan menjadi 3 desa yaitu Desa Mekarsari, Desa Cidikit dan Desa Cikatomas. Desa Mekarsari menjadi satu-satunya desa yang masuk dalam Kecamatan Cibeber dan dua desa yang lainnya masuk dalam wilayah Kecamatan Bayah. Desa ini memiliki luas 3.097, 9 ha.

Aksesibilitas

(40)

termasuk dalam wilayah Kabupaten Sukabumi. Untuk mencapai desa ini dari Bogor membutuhkan waktu sekitar 6 sampai 12 jam.

Kondisi Geografis

Desa dengan luas wilayah total 3.097,9 ha ini terletak di lingkungan pegunungan yang berbukit-bukit pada ketinggian 900 m diatas permukaan laut. Topografi desanya bervariasi, 40 % dari wilayahnya merupakan dataran rendah dan sekitar 60 % merupakan dataran tinggi. Daerah perbukitan pada umumnya masih ditutupi hutan yang disebut dengan istilah leuweng kolot.

Desa ini dilintasi oleh aliran dari beberapa anak sungai dari Sungai Cidikit yang merupakan pemisah antar Desa Mekarsari dengan desa di sebelah utara Desa Neglasari dan baratnya yaitu Desa Cidikit Batas sebelah timur desa ini juga berupa sungai yaitu Sungai Cibeber yang memisahkannya dengan Kujang Jaya. Di sebelah selatan Desa Mekarsari berbatasan dengan Desa Girimukti.

Tabel 2. Penggunaan Lahan Di Desa Mekarsari

No Penggunaan Lahan Luas (ha) Persentase (%)

1 Jalan 3, 9 0, 12

2 Sawah dan ladang 1826, 0 59, 3 3 Bangunan umum 2,5 0, 08

4 Pemukiman 38, 0 1,2

5 Empang 5, 0 0,16

6 Pekuburan 6, 5 0,2

7 Tanah wakaf 2, 9 0, 09 8 Perkantoran 1, 0 0, 03 9 Lain-lain 1196, 0 38, 9

10 Total 3.079, 9 100

Sumber : Monografi Desa Mekarsari Tahun 2004

Penduduk dan Mata Pencaharian

(41)

membantu orang tua mereka dan orang tua yang berusia 50 tahun keatas, usia tua tidak menjadi pengahalang mereka untuk melakukan aktivitas produktif.

Berdasarkan data monografi desa tahun 2004 dapat disimpulkan bahwa ,sebagian besar penduduk Desa Mekarsari bermata pencaharian sebagai petani (52 %), kemudian buruh tani (14 %), sektor jasa (14, 5 %), sektor swasta / dagang (10,4 %), pertukangan (6,6 %), pegawai negeri (1 %) dan sektor lannya (1.5 %). Dari data tersebut secara langsung menunjukan bahwa mata pencaharian penduduk di Desa Mekarsari sebagian besar dari sektor pertanian.

Tabel 3. Jumlah Penduduk Berdasarkan Mata Pencaharian di Desa Mekarsari

No Pekerjaan Jumlah penduduk (jiwa)

Sumber : Monografi Desa Mekarsari Tahun 2004

Tabel 4. Jumlah Penduduk Menurut Usia di Desa Mekarsari

No Kelompok Usia

Sumber : Monografi Desa Mekarsari Tahun 2004

Pola Perkampungan

(42)

Ciawi, Ciladu dan Gelarsari berada dalam satu kemandoran. Setiap kemandoran dipimpin oleh seorang ketua RK yang sering disebut dengan mandor/manor. Perkampungan biasanya di bangun menggerombol dengan bangunan yang ada adalah rumah yang sebagian besar masih tradisional, terdapat fasilitas olah raga dan tempat menggelar kesenian / acara adat.

Sebagian besar masyarakat adat kesepuhan tinggal di bangunan yang berarsitektur tradisional yaitu rumah panggung yang terbuat dari kayu dan beratapkan daun kirai, patat atau ijuk dari pohon aren. Lantai rumah mereka disusun dari kayu dan bambu yang disebut palupuh. Salah satu yang menjadi ciri bangunan rumah kasepuhan adalah hawu sebagai tungku yang digunakan untuk memasak. Disamping itu tungku ini juga digunakan sebagai penghangat ruangan dan ketidakadaan tungku di rumah mereka dipercaya akan membawa kesialan.

Pola pemukiman warga kasepuhan membentuk deretan rumah yang berhimpit dan saling berjejer. Pada umumnya antara satu rumah dengan rumah lainnya tidak terpisahkan dan saling dihubungkan oleh halaman yang disebut buruan. Rumah-rumah warga kasepuhan tidak mengenal konsep pekarangan rumah.

Komplek pemukiman masyarakat Kasepuhan juga mudah dikenali melalui lunbung penyimpanan padi yang disebut dengan leuit. Leuit milik warga pada umumnya sengaja diletakan di pinggir-pinggir kampung sehingga jika terjadi bencana seperti kebakaran, cadangan pangan mereka tetap terlindungi. Biasanya juga pada tiap kampung terdapat saung lisung sebagai tempat menumbuk padi. Aktivitas menumbuk padi bukan sekedar untuk mengolah padi mejadi beras, namun mengandung makna mempertemukan Dewi Sri yang merupakan personifikasi padi dengan pasangannya. Saat ini usaha penggilingan padi di Desa Mekarsari hanya ada di Kampung Tegal Lumbu.

(43)

Sarana dan Prasarana

Beberapa jenis sarana dan prasarana di desa ini sangat terbatas seperti sarana transportasi, kesehatan, pendidikan dan komunikasi. Sarana transportasi yang terbatas membuat masyarakat terbiasa berjalan kaki untuk menempuh perjalanan yang cukup jauh. Hanya terdapat dua mobil elf yang melintasi jalan di beberapa kampung pada jam-jam tertentu setiap harinya. Selain mobil elf, terdapat pula sarana angkutan berupa ojek, tetapi ongkos perjalananya relative mahal sehingga masyarakat enggan menggunakannya.

Menjelang malam jalan-jalan antar kampung tampak sepi dan gelap. Sarana penerangan listrik memang sudah masuk ke desa ini pada pertengahan tahun 1990-an akan tetapi belum semua warga dapat menikmatinya. Pada petang hari biasanya masyarakat berkumpul disalah satu rumah penduduk yang memilki televisi. Selain televisi akses informasi dari luar juga dapat diterima melalui radio.

Di desa ini tidak terdapat puskesmas pembantu, hanya ada sebuah Polindes yang terletak di Kampung Tegal Lumbu yang dipimpin oleh satu orang bidan desa yang bekerja seorang diri. Untuk pertolongan awal biasanya warga mendatangi dukun atau orang pintar terlebih dahulu dan untuk membantu persalinan warga masih mengandalkan Mak Beurang (dukun beranak)

Untuk sarana pendidikan terdapat 5 buah SD dan dua buah SMP. Mengingat jarak dari satu kampung ke kampung yang lainnya yang sangat jauh dan terbatasnya sarana transportasi maka sudah menjadi hal yang biasa jika siswa SD ataupun SMP berjalan kaki sampai sekitar 2 jam hanya untuk menuju sekolahnya.

Kelembagaan Masyarakat

(44)

adat, yaitu kelompok masyarakat adat penganut Kasepuhan Sirnasresmi, Kasepuhan Ciptagelar dan Kasepuhan Cihaneut serta ada satu kampung yang tidak menganut adat kasepuhan yaitu Kampung Cibeber.

Desa Mekarsari juga mempunyai lembaga-lembaga desa selain adat, yaitu kelompok tani, kelompok perempuan dan kelompok pemuda. Kelompok tani ada 3 kelompok, kelompok pemuda ada di setiap kampung dan kelompok perempuan ada 3 kelompok.

Wewengkon Kasepuhan Cibedug

Letak dan Luas

Kasepuhan Cibedug merupakan komunitas adat yang masuk dalam kelompok masyarakat Adat Kasepuhan Banten Selatan yang menganut garis keturunan pancer mandiri. Mereka telah mengalami beberapa kali perpindahan berdasarkan wangsit / ilapat selama beberapa kali dan pada tahun 1942 sampai ke Wewengkon Kasepuhan Cibedug. Pada perkembangannya telah mengalami 8 kali perpindahan, tempat yang menjadi persinggahanya adalah : Sajra, Lebak Menteng, Cidikit, Sinagar, Bojong Neros, Sangiyang, Wewengkon Cibedug sampai sekarang (RMI, 2003).

(45)

Kondisi Geografis

Secara umum daerah di Wewengkon Kasepuhan Cibedug merupakan daerah yang berbukit-bukit dengan wilayah datar digunakan sebagai perkampungan. Iklim di Kawasan Kabupaten Lebak umumnya dalah iklim muson dengan curah hujan yang cukup tinggi, begitu juga dengan kondisi Iklim di Wewengkon Kasepuhan Cibedug yang hampir sama dengan bagian kawasan Halimun Lainnya. Kondisi curah hujan yang tinggi menyebabkan daerah ini masuk dalam kategori paling basah dengan curah hujan tahunan berkisar 4000-5000 mm, berdasarkan data yang diamati oleh dua stasiun pengamat curah hujan, curah hujan tertinggi terjadi pada bulan November dan Desember sedangkan bulan kering pada bulan Juli dan Agustus.

Berikut merupakan wilayah-wilayah yang mejadi batas-batas Wewengkon Adat Kasepuhan Cibedug :

1. Sebelah Barat

Berbatasan dengan Kampung Jamrut dan Parung Gedong (Desa Cikate), Kecamatan Cijaku dan Desa Kanekes (Baduy), Kecamatan Leuwidamar. Dengan ciri pembatas Pasir Heulang, Gunung Merak dan Pasir Ciburalang. Dengan ciri khusus adalah Tugu Parawilu yang menjadi pembatas dengan wilayah Adat Baduy.

2. Sebelah Utara

Berbatasan dengan Kampung Calebang, Desa Calebang dan Kampung Pasir Eurih, Desa Pasir Eurih, Kecamatan Sobang. Dengan ciri pembatas adalah Gunung Kendeng dan Gunung Bapang

3. Sebelah Timur

(46)

4. Sebelah Selatan

Berbatasan dengan Kampung Sinagar, Desa Sinagar, Kecamatan Pangarangan. Dengan ciri pembatas adalah Gunung Merak dan Pasir Ipis dan ciri khususnya adalah Tugu Alam Pasir Ipis.

Aksesibilitas

Jalur masuk ke Wewengkon Adat Cibedug relatif susah dan menghabiskan waktu yang cukup lama untuk menjangkaunya, kondisi ini tejadi karena jalan yang menghubungkan Wewengkon Kasepuhan Cibedug dengan kampung lainnya merupakan jalan setapak yang sulit dilalui kendaraan baik roda dua apalagi roda empat. Kondisi jalan masuk ke wewengkon memotong area yang berbeda-beda mulai dari kampung, sawah/kebun, sungai, hutan, bukit, punggungan gunung. Kendaraan yang akan menuju Wewengkon Cibedug hanya bisa sampai di Citorek, baik itu yang masuk arah Bogor, Rangkas Bitung ataupun Sukabumi. Warga Kasepuhan Cibedug berjalan kaki sejauh sekitar 10 kilometer terlebih dahulu selama 2 sampai 3 jam untuk menuju Citorek sebelum bepergian ke kota (Rangkas Bitung atau Bogor).

Penduduk dan Mata Pencaharian

(47)

Pola Perkampungan

Warga Kasepuhan Cibedug hidup berkelompok dalam 5 kampung, yaitu Lebak Cibedug sebagai kampung utama kemudian Lebak Kalahang, Ciara, Cinakem dan Cibeledug yang merupakan kampung terjauh dan berbatasan langsung dengan Desa Kenekes, wilayah Adat Baduy.

Seluruh masyarakat kasepuhan Cibedug tinggal dalam rumah yang berarsitektur tradisional yaitu rumah panggung yang berdinding kayu dan beratapkan daun patat, kirai, tepus atau ijuk dari pohon aren. Lantai rumah mereka disusun dari kayu dan bambu yang disebut palupuh. Salah satu yang menjadi ciri bangunan rumah kasepuhan dalah hawu sebagai tungku yang digunakan untuk memasak. Disamping itu tungku ini juga digunakan sebagai penghangat ruangan dan ketidakadaan tungku di rumah mereka dipercaya akan membawa kesialan.

Dalam membuat rumah masyarakat Kasepuhan Cibedug Mempunyai beberapa aturaan diantaranya : letak kampung tidak boleh lebih timur dari kawasan keramat (Situs Cibedug), konstruksi dalam membuat rumah tidak boleh berbentuk turup sangku, akan tetapi rumah harus berbentuk babalean atau gado bangkong, atap rumah tidak boleh menggunakan genteng, rumah harus terbuat dari kayu akan tetapi tidak boleh menggunakan kayu rasamala, teureup atau kayu bergetah lainnya, rumah tidak boleh berbentuk dari tembok kecuali pondasi dan tidak boleh ditingkatkan.

Pola pemukiman warga kasepuhan Cibedug membentuk deretan rumah yang berhimpit dan saling berjejer. Pada umumnya antara satu rumah dengan rumah lainnya tidak terpisahkan dan saling dihubungkan oleh halaman yang disebut buruan. Rumah-rumah warga kasepuhan secara umum memang tidak mengenal konsep pekarangan rumah. Di buruan biasanya warga memanfaatkan untuk bersosialisasi dari anak kecil sampai orang tua, baik pria maupun wanita. Pemukiman biasanya terletak di dekat sungai dan di sungai tersebut terdapat tempat pemandian umum warga yang digunakan untuk MCK dan sarana air bersih yang disebut dengan tampian.

(48)

milik warga pada umumnya sengaja diletakan di pinggir-pinggir kampung sehingga jika terjadi bencana seperti kebakaran, cadangan pangan mereka tetap terlindungi. Biasanya juga pada tiap kampung terdapat saung lisung sebagai tempat menumbuk padi. Aktivitas menumbuk padi bukan sekedar untuk mengolah padi menjadi beras, namun mengandung makna mempertemukan Dewi Sri yang merupakan personifikasi padi dengan pasangannya. Sampai saat ini masyarakat Kasepuhan Cibedug masih mematuhi aturan adat dengan tidak membangun gilingan padi di kampungnya.

Di tengah kampung selalu terdapat imah gede yang merupakan rumah dari tetua adat dan di depan imah gede terdapat buruan gede yaitu halaman yang cukup luas dan menjadi tempat berlangsungnya acara-acara adat. Batas-batas wewengkon selalu ditandai dengan tugu yang biasanya berupa batu alam. Secara turun-temurun mereka juga mewarisi tukuh atau cadangan kampung yang merupakan ciri suatu tempat yang relatif datar yang akan dijadikan sebagai tempat pemukiman warga nantinya.

Sarana dan Prasarana

Beberapa jenis sarana dan prasarana yang ada di Wewengkon Cibedug ini sangat terbatas seperti sarana transportasi, kesehatan, pendidikan dan komunikasi.

Sarana transportasi yang terbatas membuat masyarakat terbiasa berjalan kaki untuk menempuh perjalanan yang cukup jauh. Untuk menjangkau Wewengkon Cibedug harus berjalan kaki dari desa terdekat yaitu Desa Citorek selama kurang lebih 2 sampai 3 jam. Di Desa Citorek-pun, hanya terdapat dua mobil elf yang melintasi jalan di beberapa kampung pada jam-jam tertentu setiap harinya. Selain mobil elf, terdapat pula sarana angkutan berupa ojek, tetapi ongkos perjalananya relatif mahal sehingga masyarakat enggan menggunakannya.

(49)

Kampung Cibedug yang memiliki televisi dan itupun jarang dinyalakan karena keterbatasan daya listrik / accu. Akses informasi dari luar dapat hanya maksimal diterima melalui radio yang memang ada di sebagian besar rumah.

Fasilitas kesehatan tidak ada di Wewengkon Cibedug, untuk ke bidan desa atau polindes warga harus ke Desa Citorek atau Ciparay. Untuk pertolongan awal biasanya warga mendatangi dukun atau orang pintar dan untuk membantu persalinan warga masih mengandalkan Mak Beurang (dukun beranak). Jika sakit warga biasanya memanfaatkan obat-obatan tradisional atau obat yang biasa dijual di warung

Untuk sarana pendidikan hanya terdapat 2 buah SD dengan kondisi yang sangat memprihatinkan, satu SD hanya terdapat 3 orang guru dan itupun tdak makismal karena guru-gurunya berasal dari desa lain yang sangat jauh untuk mencapai sekolah tempat mereka mengajar. Untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang SMP atau SMA warga kasepuhan harus menempuh jarak yang sangat jauh sehingga sangat jarang warga Kasepuhan Cibedug yang melanjutkan sekolahnya.

Kelembagaan Masyarakat

Kelembagaan masyarakat di Wewengkon Kasepuhan Cibedug secara garis besar terbagi menjadi dua yaitu kelembagaan pemerintahan yang dipimpin oleh aparat desa dengan jaro (kepala desa) yang diwakili oleh RK / mandor yang sekarang dimandori oleh Bapak Udir dan kelembagaan yang dipimpin oleh ketua Adat yang sekarang dipangku oleh Aki Asbaji. Warga Wewengkon Cibedug secara keseluruhan merupakan pengikut Kasepuhan Cibedug.

(50)

Tinjauan Masyarakat Kasepuhan Banten Kidul

Sejarah Masyarakat Adat Kasepuhan

Masyarakat adat kasepuhan merupakan masyarakat yang masih setia memegang teguh adat dan tradisi warisan leluhur mereka. Menurut catatan sejarah mereka adalah keturunan kerajaan Hindu Sunda yang runtuh akibat serangan dari kerajaan Islam Banten. Setelah kerajaan tersebut digempur oleh tentara dari kerajaan Banten Islam, ratusan anggota kerajaan melarikan diri ke Gunung Cibodas dan Palasari, selain itu ada pula yang menyingkir ke daerah Bayah, Jasinga dan Ujung Kulon. Sebagian lagi ada yang melarikan diri ke Gunung Kendeng yang sekarang dikenal dengan orang Baduy. Sisa-sisa keturunan tersebut kemudian berkembang dan menjadi Masyarakat Kasepuhan yang kita kenal saat ini. Mereka kemudian menjadi suatu masyarakat yang kesatuan dan solidaritas sosialnya didikat oleh tradisi leluhur yang kuat, disebut dengan Kesatuan Adat Banten Kidul. (Adimiharja, 1992)

Dalam Kesatuan Adat Banten Kidul terdapat beberapa kelompok masyarakat kasepuhan diantaranya adalah kasepuhan Sirnaremi, Ciptagelar, Cisungsang, Cicacurub, Citorek, Urug, Cisitu dan lainnya. Di antara mereka terdapat beberapa perbedaan dalam hal aturan adat dan istiadat dalam aturan adat yang berkaitan dengan kehidupan maupun tata cara bertani dan mengelola hutan, namun hal tersebut tidak menimbulkan pertentangan karena mereka merasa masih ada pertalian darah.

Sebagai satu kelompok sosial, masyarakat kasepuhan berpusat pada kepemimpinan adat yang memiliki keterkaitan erat dengan relasi keturunan, aktivitas ritual dan legitimasi supranatural. Pemimpin adat atau sesepuh girang yang lebih akrab dipanggil Abah atau aki dan di beberapa tempat dipanggil oyok merupakan tokoh yang memiliki kewenangan dalam mengatur segala aktivitas yang berkaitan dengan ritual adat.

(51)

tersebut tersebar pada kampung-kampung di kawasan Pegunungan Halimun tidak hanya tersebar di satu desa / kampung akan tetapi tersebar melintasi batas wilayah administratif formal pemerintaha setingkat kabupaten.

Wilayah kekuasan yang tersebar luas bukanlah hal yang mudah ditangani oleh sesepuh girang. Oleh karena itu, di tiap kampung adat ada perwakilan sesepuh girang yang disebut dengan kokolot lembur. Para kolot lembur menerima instruksi langsung dari sesepuh girang yang tinggal di kampung Gede (sebutan untuk kampung yang menjadi pusat kasepuhan dan menjadi tempat tinggal sesepuh girang). Serupa dengan pemilihan sesepuh girang , pemilihan kokolot lembur juga berdasarkan garis keturunan.

Masyarakat kasepuhan memiliki beberapa prinsip hidup yang merupakan warisan dari leluhur mereka yang salah satunya adalah prinsip hidup tilu sapumulu, dua sakarupa, nuhiji eta-eta keneh yang berartu tiga sejenis, dua serupa dan satu itu-itu juga). Prinsip hidup ini menjiwai kehidupan bermasyarakat. Prinsip tersebut mengandung arti bahwa dalam kehidupan mereka menjujung tiga aturan yang satu sama lain tidak dapat terpisahkan yakni, agama, mokaha (adat) dan pemerintahan (Asep, 2000).

Tradisi warisan leluhur yang coba dipertahankan masyarakat adat kasepuhan bukan hanya terlihat dari bangunan fisik, akan tetapi juga dalam keseharian mereka yang terjalin secara harmonis melalui berbagai macam ritual adat baik yang berhubungan dengan siklus pertanian, siklus kehidupan manusia mapun keagamaan. Upacara-upacara ritual yang dijalankan merupakan bentuk rasa syukur dan penghargaan atas limpahan berkah Sang Pencipta. Hal tersebut dapat tersirat dan tersurat dalam doa-doa yang dibawakan dalam Bahasa Sunda dan Arab yang dibacakan setiap mengawali ritual-ritual adat.

(52)

Tabel 5. Upacara-Upacara Adat yang ada di Masyarakat Adat Kasepuhan Banten Selatan (Asep, 2000)

No Jenis Upacara Jenis Upacara Waktu Pelaksanaan

1 Upacara yang berubungan dengan siklus petanian

1. ngaseuk 2. sapangjadian 3. mapag pare bekah 4. prah-prahan Saat padi baru tumbuh Saat bulir padi mulai berisi Sat sebelum panen Saat mengawali panen Saat setelah panen

Saat mengawali makan hasil Setia pertengahan bulan

Puncak dari siklus pertanian yang merupakan upacara adat terbesar 2 Upacara berhubungan

dengan siklus hidup

Upacara menurunkan anak pada usia 3 hari

Saat bayi mencapai usia 40 hari Upacara sunatan baik anak laki-laki maupun perempuan

Saat pernikahan

Saat akan menempati rumah baru.

3 Upacara yang 4. hari raya korban 5. cebor (penyucian

benda pusaka).

Saat maulud nabi Muhammad SAW

Bertepatan dengan Isra dan Mi’raj Nabi Muhammad

Hari raya Idul Fitri Hari raya Idul Kurbamn

Bertepatan dengan perayaan maulud Nabi

Masyarakat Adat Kasepuhan dan Pengelolaan Sumberdaya Alam

(53)

Sistem pengetahuan pertanian warga kasepuhan, pada dasarnya meliputi konsep dan penggolongan atas lahan dan hutan yang sesuai dengan keadaan lingkungannya, juga berbagai tata-cara pelaksanaan pola pertanian yang didalamnya tercakup patokan-patokan sistem penanggalan untuk memulai pengerjaan lahan. Semua hal tersebut tidak terlepas dari jalinan konsep magis-religius, sebagai acuan dasar dari pandangan kosmologisnya.

Klasifikasi Lahan Hutan Menurut Warga Kasepuhan

Pemahaman warga kasepuhan terhadap lahan hutan sebagai alam lingkungan sekitarnya. Diklasifikasikan menjadi tiga kategori hutan (leuweng), yaitu : Leuweng geledegan, leuweng sampalan dan leuweng titipan. Tiga kategori tersebut mengacu pada ketentuan adat mengenai boleh atau tidaknya hutan tersebut untuk digarap. (Adimihardja, 1992)

Leuweng geledegan / leuweng kolot biasanya merupakan hutan tua yang biasa dicirikan dari jenis hutannya yang masih lebat dengan berbagai jenis pohon besar dan kecil yang tumbuh secara alami. Ciri-ciri jenis hutan tersebut pepohonannya rimbun. Kerapatan pohon sangat tinggi dan masih banyak binatang hutan yang hidup didalamnya. Leuweng tutupan merupakan bagian tata guna lahan yang berada pada dataran paling tinggi dan memiliki kelerengan lahan yang cukup curam. Kawasan ini juga berfungsi sebagai daerah resapan air oleh karena itu daerah ini merupakan kawasan penyedia air bagi masyarakat dengan sumber mata air atau sirah cai didalamnya. Kawasan ini juga menjadi habitat atau tempat hidup berbagai macam binatang dan tumbuhan khas hutan alam yang dapat mendukung kehidupan di dataran di bawahnya. Apabila kawasan ini rusak maka keseimbangan alam akan terganggu dan bisa jadi terjadi bencana yang mengancam masyarakat. Bagi warga kasepuhan hutan tersebut tidak boleh digarap.secara adat hutan ini juga disebut sebagai leuweng tutupan.

(54)

keasliannya. Namun demikian, hutan ini dapat digarap dan dimanfaatkan bilamana telah diterima wangsit dari karuhun melalui sesepuh girang tentang penggunaan lahan tersebut. Didalam leuweung titipan biasanya terdapat tempat keramat yang berupa kuburan tua atau tempat pemujaan yang menjadi ciri khas. Adapun leuweng sampalan adalah jenis hutan yang dapat dieksploitasi oleh warga secara luas. Hutan tersebut dapat digarap dan dimanfaatkan seluas mungkin namun tetap dalam rambu-rambu adat. Warga boleh membuka huma (ladang), sawah, kebun, talun, menggembala ternak, mengambil kayu bakar dengan bebas. Hutan ini biasanya tidak jauh dari pemukiman penduduk.

(55)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Bentuk-bentuk Sistem Pengelolaan Sumberdaya Alam

Berikut ini merupakan bentuk-bentuk pengelolaan sumberdaya hutan yang ada di dua lokasi penelitian :

Kampung Ciburial, Desa Mekarsari

1. Huma

Sistem pengelolaan hutan tidak dapat dilepaskan begitu saja dari dengan sistem pertanian. Maka begitu juga sistem pengelolaan sumberdaya hutan di mekarsari tidak dapat juga dilepaskan dari pola ngahuma yang sudah begitu lekat dengan tradisi masyarakat. Berladang (ngahuma) bagi warga kasepuhan merupakan hal yang esensial dalam kehidupannya, sebagai manifestasi dalam menjalankan adat tatali piranti karuhun, kegiatan ngahuma, karenanya dilaksanakan secara sungguh-sungguh dengan diikat oleh jalinan ritual keagamaan yang mencerminkan aspek pemujaan kepada dunia supranatural.

Oleh karena itu, huma yang sering diartikan sebagai penanaman gilir balik merupakan salah satu sistem penanaman padi huma (ladang) yang di tumpang sarikan dengan tanaman sayuran (kacang-kacangan, sayuran, dll), tanaman buah (kopi, cengkeh, teh dan pohon buah) dan tanaman kayu (manii, manglid, jeunjing, dll), merupakan kegiatan wajib bagi warga Desa Mekarsari karena selain untuk pemenuhan kebutuhan hidup, huma juga sebagai wujud eksistensi mereka sebagai satu kesatuan sosial yaitu kesatuan sosial masyarakat adat kasepuhan.

Ngahuma dimulai dengan proses penyiapan lahan huma, sebelum proses pembukaan lahan huma, warga kasepuhan biasanya terlebih dahulu menghadap sesepuh girang / sesepuh kampung untuk meminta restu dan bekal (biasanya berupa kemenyan dan panglay) agar pelaksanaannya mendapatkan berkah dan keselamatan. Setelah ditentukan ahan huma yang akan digarap, kawasan tersebut kemudian dipasang tanda (ditarawas atau disawen) berupa pancang, ikatan alang atau batang pohon yang diikatkan pada semak-semak agar diketahui semua orang.

Gambar

Gambar 1. Kerangka Pemikiran Penelitan
Tabel 1. Matrik Kerangka Pemikiran diadaptasi dari Alfiasari (2004)
Tabel 2. Penggunaan Lahan Di Desa Mekarsari
Tabel 3. Jumlah Penduduk Berdasarkan Mata Pencaharian di Desa Mekarsari
+7

Referensi

Dokumen terkait