Karakteristik Keju Lunak Rendah Lemak
Karakterisasi keju lunak rendah lemak dilakukan sesuai dengan parameter atribut mutu yang diamati selama masa penyimpanan. Untuk satu produk, yang diuji bukan semua parameternya, melainkan hanya salah satu atau beberapa saja, yaitu parameter yang paling cepat mempengaruhi mutu dan umur simpan produk selama penyimpanan (Syarief et al. 1989). Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi penurunan mutu produk pangan. Floros dan Gnanasekharan (1993) menyatakan terdapat enam faktor utama yang mengakibatkan terjadinya penurunan mutu atau kerusakan pada produk pangan, yaitu massa oksigen, uap air, cahaya, mikroorganisme, kompresi atau bantingan, dan bahan kimia toksik atau off flavor.
Untuk produk keju lunak rendah lemak, parameter yang dipilih meliputi kadar air, bilangan TBA (kadar MDA), tekstur (kekerasan), dan pH. Keju merupakan bahan makanan yang mengandung lemak dan mudah teroksidasi, sehingga parameter TBA dipilih sebagai salah satu parameter umur simpannya. Parameter tekstur dan kadar air dipilih berdasarkan kriteria kadaluarsa produk keju yang ditetapkan Floros dan Gnanasekharan (1993) yaitu penurunan kadar air sehingga mengakibatkan perubahan pada kekerasan keju tersebut. Untuk parameter pH dipilih berdasarkan pengaruhnya terhadap pertumbuhan mikroba dalam keju. Hasil karakterisasi dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2 Nilai awal produk keju lunak rendah lemak
Karakteristik Nilai Awal
Kadar lemak (%) 19,9 Kadar air (%) 46,24 Tekstur Kekerasan (gf) 36,1 Bilangan TBA (mg MDA/kg sampel) 0,01 pH 5,1 Mikrobiologi
BAL (log CFU/gr) 7,28
Coliform (CFU/gr) 0
S. aureus (log CFU/gr) 0,7
Nilai mutu awal menunjukan bahwa kadar lemak keju lunak rendah lemak yang dihasilkan sebesar 19,9% telah sesuai dengan klaim keju lemak rendah yang ditetapkan oleh FDA (2009) yaitu kurang dari 25% dari total lemak pada keju whole milk (lemak penuh). Kadar air keju sebesar 46,24% sudah sesuai dengan standar kadar air keju lunak yaitu >40% (Davis 1965 dalam Gunasekaran
dan Mehmet 2003). Nilai awal Bilangan TBA keju lunak rendah lemak sebesar 0,01 mg MDA/kg berada dibawah bilangan TBA keju graviera yaitu 0,05 mg MDA/kg (Mexis et al. 2011). Nilai awal pH keju lunak rendah lemak sebesar 5,1, berada pada kisaran pH keju cottage yaitu 5,0-5,3 (Elmer dan James 1990).
Analisis mikrobiologi dilakukan untuk melihat bakteri yang terdapat pada awal pembuatan keju. Streptococcus lactis merupakan bakteri yang berfungsi sebagai starter dalam pembuatan keju. Bakteri ini memiliki nilai awal sebesar 7,28 log CFU/gr. Hasil ini tidak jauh berbeda jika dibandingkan dengan bakteri asam laktat pada keju graviera yang memiliki nilai awal sebesar 7,39 log CFU/gr (Mexis et al. 2011). Bakteri yang biasa mengontaminasi keju adalah Coliform dan
Staphylococcus aureus yang pada awal pengujian memiliki nilai awal masing- masing sebesar 0 CFU/gr dan 0,7 log CFU/gr.
Karakteristik Kemasan
Kemasan yang digunakan untuk penyimpanan keju lunak rendah lemak adalah kemasan plastik polipropilen, plastik polietilen, aluminium foil dan edible coating berbahan dasar karagenen. Karakterisasi kemasan bertujuan untuk mendapatkan nilai densitas, dan permeabilitas terhadap uap air dan gas oksigen yang akan berpengaruh terhadap mutu keju selama penyimpanan. Hasil karakterisasi kemasan dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3 Karakterisasi jenis kemasan
Jenis
Kemasan Ketebalan Densitas
Permeabilitas PH2O (g/m2/24jam) PO2 (cc/m2/24jam) PPa 0,03 0,9 6,8 2,3 PEa 0,03 0,95 1,3 1,06 ALb 0,05 1,058 0,1773 0,3 ECc 0,10 19,628 9,4 Sumber : a Robertson (1993) b Arundon et al. (2009) c Rusdi (2008)
Tabel 3 menunjukan bahwa kemasan yang memiliki ketebalan paling besar adalah kemasan edible coating, diikuti oleh kemasan aluminium, polipropilen dan polietilen. Densitas paling besar dimiliki oleh aluminium foil, diikuti oleh PE dan PP. Informasi tentang densitas pada edible coating terbatas. Namun, dilihat dari nilai permeabilitasnya yang besar, edible coating memiliki densitas yang lebih rendah dari kemasan lainnya. Pengukuran densitas penting dilakukan untuk mengetahui kemampuan suatu kemasan dalam melindungi produk dari air, oksigen, karbondioksida, dan gas-gas lainnya. Densitas yang
rendah menunjukan bahwa kemasan tersebut memiliki struktur yang terbuka dan permeabilitas yang tinggi sehingga mudah ditembus gas dan fluida (Bierley 1988).
Perubahan Parameter Mutu Simpan Selama Penyimpanan Bilangan TBA
Angka TBA menjadi faktor penting untuk suatu produk makanan yang mengandung lemak bila dihubungkan dengan kualitas produk. Secara umum, keju rendah lemak memiliki komponen lemak yang lebih rendah dibandingkan dengan varietas keju lemak penuh (Mistry dan Anderson 1993). Walaupun lebih rendah, kadar lemak yang terkandung pada keju tetap memungkinkan terjadinya reaksi oksidasi antara lemak dengan oksigen. Malonaldehid sebagai hasil oksidasi lemak mengindikasikan adanya ketengikan pada suatu produk. Perubahan angka TBA yang signifikan dapat merubah rasa, tekstur dan aroma dari suatu produk makanan. Hasil analisis bilangan TBA dari tiap perlakuan selama penyimpanan dapat dilihat pada Lampiran 2.
Gambar 5 menunjukan bahwa kadar malonaldehid pada masing-masing perlakuan semakin meningkat seiring dengan lama waktu penyimpanan. Dari grafik dapat dilihat, semua perlakuan kecuali EC2, memiliki peningkatan tren yang tidak begitu besar. Perlakuan PE1 memiliki peningkatan tren yang paling kecil dengan nilai slope yaitu 0,007. Sedangkan peningkatan tren paling besar dimiliki oleh EC2 dengan nilai slope yaitu 0,045.
Gambar 5 Perubahan angka TBA pada masing-masing perlakuan selama penyimpanan y = 0,009x - 0,005 R² = 0,796 y = 0,013x - 0,005 R² = 0,921 y = 0,007x - 0,008 R² = 0,925 y = 0,010x - 0,003 R² = 0,896 y = 0,007x + 0,041 R² = 0,850 y = 0,015x + 0,016 R² = 0,993 y = 0,011x + 0,035 R² = 0,774 y = 0,045x + 0,089 R² = 0,983 -0,200 0,000 0,200 0,400 0,600 0,800 1,000 1,200 1,400 1,600 0 10 20 30 m g MD A / kg s a m p e l Hari Ke- PP1 PP2 PE1 PE2 AL1 AL2 EC1 EC2
Keju yang disimpan pada suhu ruang (PP2, PE2, AL2, EC2) memiliki
slope yang lebih besar dari pada produk yang disimpan pada suhu refrigerator (PP1, PE1, AL1, EC1). Semakin tinggi nilai slope menunjukan semakin cepat terjadinya reaksi deteriorasi (penurunan mutu) pada produk. Hal ini menunjukan bahwa keju yang disimpan pada suhu ruang memiliki laju oksidasi lemak yang lebih cepat dibandingkan dengan keju yang disimpan pada suhu refrigerator. Hal ini disebabkan karena penggunaan suhu rendah (pendinginan) dapat memperlambat reaksi metabolisme, reaksi enzimatis, reaksi kimia, termasuk reaksi oksidasi lemak (Fardiaz 1982). Hasil uji t menunjukan bahwa peningkatan bilangan TBA berbeda nyata (p<0,05) antara produk yang disimpan pada suhu refrigerator dengan produk yang disimpan pada suhu ruang (Lampiran 3).
Kenaikan bilangan TBA menunjukkan kenaikan kadar malonaldehid selama penyimpanan yang disebabkan adanya proses oksidasi. Proses oksidasi terjadi karena kontak antara oksigen dengan lemak yang menghasilkan asam lemak, kemudian peroksida dioksidasi lebih lanjut membentuk aldehid dalam bentuk malonaldehid sehingga angka TBA meningkat (Fennema 1976). Penggunaan berbagai macam bahan pengemas juga berpengaruh terhadap angka TBA. Lampiran 2 menunjukan bahwa bilangan TBA paling rendah pada akhir pengamatan dimiliki oleh perlakuan PE1 yaitu sebesar 0,23 mg MDA/kg, sedangkan yang tertinggi dimiliki oleh perlakuan EC2 yaitu sebesar 1,325 mg MDA/kg.
Berdasarkan bilangan TBA yang didapat, plastik PE memiliki daya tahan terhadap oksigen yang lebih baik dibandingkan produk yang dikemas dengan plastik PP, aluminium foil dan edible coating. Hal ini dipengaruhi oleh densitas dan permeabilitas dari masing-masing kemasan. Kemasan yang memiliki densitas yang tinggi menandakan bahwa kemasan tersebut memiliki struktur yang tertutup, artinya tidak mudah ditembusi fluida dan gas (Bierley et al. 1988). Menurut nilai densitas, kemasan AL yang memiliki densitas paling tinggi seharusnya lebih memiliki daya tahan terhadap oksigen yang lebih baik. Penyimpangan ini terjadi karena pada kemasan AL tidak dilakukan proses vacum packaging (pengemasan vakum) sehingga udara maupun uap air masih bisa menembus kemasan melalui celah-celah yang terbuka.
Nilai densitas PP, PE dan AL tidak berbeda jauh, masing-masing sebesar 0,9 g/cm3, 0,95 g/cm3, dan 1,058 g/cm3 (Tabel 3), sehingga angka TBA yang terbentuk tidak jauh berbeda. Sedangkan untuk kemasan EC memiliki densitas
rendah, yang terlihat dari permeabilitas terhadap O2 dan H2O yang tinggi, sehingga laju oksidasinya menjadi lebih besar. Hasil uji sidik ragam menunjukan penggunaan berbagai bahan pengemasan berpengaruh nyata (p<0,05) terhadap peningkatan bilangan TBA (Lampiran 4). Hasil Uji lanjut Duncan menunjukan bahwa peningkatan bilangan TBA pada kemasan PE, AL, dan PP tidak berbeda nyata, namun berbeda nyata terhadap kemasan EC (Lampiran 5). Sejalan dengan hasil yang di dapat, Mexis et al. (2011) menemukan adanya peningkatan TBA yang signifikan pada keju graviera selama penyimpanan, yang berhubungan langsung terhadap jenis kemasan, waktu dan suhu penyimpanan.
Kadar Air
Kadar air merupakan faktor yang sangat berpengaruh terhadap penurunan mutu produk pangan. Kandungan air dalam bahan pangan, selain mempengaruhi terjadinya perubahan fisik, menentukan perubahan mikrobiologi (kandungan mikroba) dalam pangan. Hasil analisis kadar air dari tiap perlakuan selama penyimpanan dapat dilihat pada Lampiran 2.
Gambar 6 Perubahan kadar air pada masing-masing perlakuan selama penyimpanan
Gambar 6 memperlihatkan perubahan kadar air pada masing-masing perlakuan selama penyimpanan. Selama penyimpanan, semua perlakuan mengalami penurunan tren yang ditandai dengan slope negatif. Hal tersebut menunjukan bahwa kadar air pada masing-masing perlakuan semakin menurun seiring dengan lamanya penyimpanan. Semua perlakuan kecuali EC2, memiliki
y = -0,183x + 45,42 R² = 0,889 y = -0,467x + 43,21 R² = 0,802 y = -0,134x + 46,03 R² = 0,983 y = -0,209x + 44,46 R² = 0,732 y = -0,179x + 45,31 R² = 0,874 y = -0,362x + 43,07 R² = 0,72 y = -0,504x + 40,41 R² = 0,594 y = -1,279x + 42,13 R² = 0,915 0,00 5,00 10,00 15,00 20,00 25,00 30,00 35,00 40,00 45,00 50,00 0 10 20 30 % Hari Ke- PP1 PP2 PE1 PE2 AL1 AL2 EC1 EC2
penurunan tren yang tidak begitu besar. Perlakuan PE1 memiliki penurunan tren yang paling kecil dengan nilai slope yaitu 0,134 ; diikuti oleh AL1 sebesar 0,179 ; PP1 sebesar 0,183 ; PE2 sebesar 0,209 ; AL2 sebesar 0,362 ; PP1 sebesar 0,467 ; EC1 sebesar 0,504, serta penurunan tren yang paling besar dimiliki oleh EC2 dengan nilai slope sebesar 1,279.
Penurunan kadar air pada keju yang disimpan pada refrigerator maupun suhu ruang disebabkan oleh adanya perbedaan kelembaban pada keju dan lingkungannya. Keju lunak rendah lemak memiliki kelembaban sebesar 68%. Sedangkan kelembaban pada suhu refrigerator dan suhu ruang masing-masing ±62% dan ±45%. Menurut Syarief dan Halid (1992), jika kelembaban ruangan lebih kecil dari pada bahan, makanan akan menguapkan sebagian airnya. Kelembaban keju lebih besar dibandingkan dengan kondisi lingkungan penyimpanannya, baik pada refrigerator maupun pada ruangan. Hal ini mengakibatkan terjadinya dehidrasi (berkurangnya air) karena terjadi perpindahan uap air dari keju ke lingkungan sekitar sehingga kadar air dalam keju berkurang.
Keju yang disimpan pada suhu ruang (PP2, PE2, AL2, EC2) memiliki penurunan slope yang lebih besar dari pada produk yang disimpan pada suhu refrigerator (PP1, PE1, AL1, EC1). Hal tersebut menunjukan bahwa keju yang disimpan pada suhu ruang memiliki laju dehidrasi yang lebih cepat dibandingkan dengan keju yang disimpan pada suhu refrigerator. Hasil uji t menunjukan bahwa penurunan kadar air tidak berbeda nyata (p>0,05) antara produk yang disimpan pada suhu refrigerator dengan produk yang disimpan pada suhu ruang (Lampiran 3).
Penggunaan berbagai macam bahan pengemas juga berpengaruh terhadap penurunan kadar air. Lampiran 2 menunjukan bahwa kadar air paling tinggi pada akhir pengamatan dimiliki oleh perlakuan PE1 yaitu sebesar 42,47%, sedangkan yang terendah dimiliki oleh perlakuan EC2 yaitu sebesar 11,16%. Keju yang dikemas dengan kemasan polietilen menunjukan penurunan kadar air yang lebih kecil dibandingkan dengan kemasan lainnya. Hal ini disebabkan permeabilitas terhadap gas dan uap air pada plastik polietilen lebih rendah dibanding dengan polipropilen, aluminium foil, dan edible coating sehingga pertukaran gas dan uap air tidak mudah terjadi.
Diantara seluruh perlakuan, kemasan aluminium foil memiliki densitas yang paling tinggi, serta permeabilitas gas dan uap air yang rendah, sehingga
pertukaran gas dan uap air relatif kecil. Namun, penurunan kadar air pada kemasan aluminium foil lebih besar dibandingkan dengan kemasan polietilen yang memiliki densitas yang lebih kecil. Hal ini disebabkan pada kemasan aluminium foil tidak dilakukan proses vacum packaging (pengemasan vakum) sehingga gas dan uap air masing bisa masuk ke dalam. Hasil uji sidik ragam menunjukan penggunaan berbagai bahan pengemasan berpengaruh nyata (p<0,05) terhadap penurunan kadar air (Lampiran 4). Hasil uji lanjut Duncan menunjukan bahwa penurunan kadar air pada kemasan PE, AL, dan PP tidak berbeda nyata, namun berbeda nyata terhadap kemasan EC (Lampiran 5).
Tekstur
Menurut Floros dan Gnanasekharan (1993), keju memiliki kriteria kadaluwarsa dengan mekanisme penurunan kadar air yang berpengaruh terhadap tekstur. Semakin tinggi kadar air dalam bahan pangan, maka tekstur yang dihasilkan akan semakin lembut, begitu pula sebaliknya. Parameter yang dilihat pada pengukuran tekstur adalah kekerasan. Hasil analisis kekerasan dari tiap perlakuan selama penyimpanan dapat dilihat pada Lampiran 2.
Gambar 7 Perubahan tingkat kekerasan pada masing-masing perlakuan selama penyimpanan
Gambar 7 memperlihatkan tingkat kekerasan pada semua perlakuan mengalami peningkatan tren yang ditandai dengan slope positif. Hal tersebut menunjukan bahwa tingkat kekerasan pada masing-masing perlakuan semakin meningkat seiring dengan lamanya penyimpanan. Dari gambar dapat dilihat,
y = 1,262x + 38,78 R² = 0,877 y = 7,049x + 35,82 R² = 0,981 y = 1,016x + 35,71 R² = 0,824 y = 5,172x + 37,55 R² = 0,970 y = 1,203x + 36,81 R² = 0,892 y = 3,497x + 33,39 R² = 0,990 y = 17,65x - 25,26 R² = 0,937 y = 21,87x - 32,71 R² = 0,943 -100,00 0,00 100,00 200,00 300,00 400,00 500,00 600,00 700,00 0 10 20 30 gf Hari ke- PP1 PP2 PE1 PE2 AL1 AL2 EC1 EC2
masing-masing perlakuan memiliki peningkatan tren yang beragam. Perlakuan PE1 memiliki peningkatan tren yang paling kecil dengan nilai slope yaitu 1,016 ; diikuti oleh AL1 sebesar 1,203 ; PP1 sebesar 1,262 ; AL2 sebesar 3,497 ; PE2 sebesar 5,127 ; PP2 sebesar 7,049 ; EC1 sebesar 17,65, serta peningkatan tren yang paling besar dimiliki oleh EC2 dengan nilai slope sebesar 21,87.
Keju yang disimpan pada suhu ruang (PP2, PE2, AL2, EC2) memiliki
slope yang lebih besar dari pada produk yang disimpan pada suhu refrigerator (PP1, PE1, AL1, EC1). Semakin tinggi nilai slope menunjukan semakin cepat terjadinya reaksi deteriorasi (penurunan mutu) pada produk. Hal ini menunjukan bahwa keju yang disimpan pada suhu ruang memiliki tingkat kekerasan yang lebih tinggi dibandingkan dengan keju yang disimpan pada suhu refrigerator. Hal tersebut berkaitan dengan penurunan kadar air pada suhu ruang yang lebih tinggi dari pada yang terjadi pada suhu refrigerator, sehingga berpengaruh terhadap kekerasannya. Hasil uji t menunjukan bahwa peningkatan kekerasan tidak berbeda nyata (p>0,05) antara produk yang disimpan pada suhu refrigerator dengan produk yang disimpan pada suhu ruang (Lampiran 3).
Penggunaan berbagai macam bahan pengemas juga berpengaruh terhadap tekstur keju. Lampiran 2 menunjukan bahwa tingkat kekerasan paling rendah pada akhir pengamatan dimiliki oleh perlakuan PE1 yaitu sebesar 60,5 gf. Hasil ini tidak jauh berbeda dengan tingkat kekerasan AL1 dan PP1 yaitu sebesar 66,75 gf dan 69,92 gf. Sedangkan tingkat kekerasan yang paling tinggi dimiliki oleh perlakuan EC2 sebesar 616,15 gf. Pada kemasan polietilen, polipropilen dan aluminium peningkatan nilai kekerasan memiliki nilai yang tidak jauh berbeda. Hal ini disebabkan nilai densitas dan permeabilitas dari tiap-tiap kemasan tidak jauh berbeda.
Diantara seluruh kemasan yang digunakan, kemasan edible coating
memiliki nilai kekerasan yang paling tinggi. Hal ini disebabkan lapisan edible coating yang digunakan berbahan dasar polisakarida yang secara umum memiliki perlindungan yang buruk terhadap kadar air. Hal ini mengacu pada sifat alami polisakarida yaitu hidrofilik, dimana pada kelembaban yang tinggi merupakan perlindung oksigen yang kurang baik (Krochta et al. 1994). Selain itu,
edible coating yang digunakan memiliki permeabilitas terhadap uap air dan gas yang tinggi dibandingkan dengan kemasan lainnya. Hasil uji sidik ragam menunjukan penggunaan berbagai bahan pengemasan berpengaruh nyata (p<0,05) terhadap peningkatan kekerasan (Lampiran 4). Hasil uji lanjut Duncan
menunjukan bahwa peningkatan kekerasan pada kemasan PE, AL, dan PP tidak berbeda nyata, namun berbeda nyata terhadap kemasan EC (Lampiran 5).
Nilai pH
Nilai pH menunjukkan konsentrasi ion hidrogen yang menggambarkan tingkat keasaman. Semakin tinggi nilai pH berarti tingkat keasaman produk semakin rendah dan sebaliknya, semakin rendah nilai pH berarti tingkat keasaman produk semakin tinggi. Hasil analisis pH dari tiap perlakuan selama penyimpanan dapat dilihat pada Lampiran 2. Pada awal pengamatan, didapat nilai awal pH keju lunak rendah lemak sebesar 5,1. Nilai ini termasuk dalam katagori pH rendah (pH<7). pH rendah ini disebabkan oleh aktivitas bakteri asam laktat Streptococcus lactis pada awal proses pembuatan keju.
Bakteri asam laktat merupakan kelompok bakteri yang mempunyai kemampuan untuk membentuk asam laktat sebagai hasil utama dari metabolisme karbohidrat. Asam laktat yang dihasilkan akan menurunkan nilai pH dari lingkungan pertumbuhannya, menimbulkan rasa asam serta menghambat pertumbuhan dari beberapa jenis mikroorganisme lainnya (Fardiaz 1998).
Gambar 8 Perubahan nilai pH pada masing-masing perlakuan selama penyimpanan
Gambar 8 memperlihatkan nilai pH pada semua perlakuan mengalami peningkatan tren yang ditandai dengan slope positif. Hal tersebut menunjukan bahwa nilai pH pada masing-masing perlakuan semakin meningkat seiring
y = 0,012x + 5,054 R² = 0,911 y = 0,016x + 5,068 R² = 0,953 y = 0,011x + 5,03 R² = 0,825 y = 0,014x + 5,038 R² = 0,895 y = 0,016x + 5,072 R² = 0,969 y = 0,021x + 5,07 R² = 0,981 y = 0,017x + 5,066 R² = 0,964 y = 0,022x + 5,07 R² = 0,984 4,90 5,00 5,10 5,20 5,30 5,40 5,50 5,60 5,70 5,80 0 10 20 30 pH Hari ke- PP1 PP2 PE1 PE2 AL1 AL2 EC1 EC2
dengan lamanya penyimpanan. Gambar tersebut menunjukan masing-masing perlakuan memiliki peningkatan tren yang tidak jauh berbeda. Perlakuan PE1 memiliki peningkatan tren yang paling kecil dengan nilai slope yaitu 0,011 ; diikuti oleh PP1 sebesar 0,012 ; PE2 sebesar 0,014 ; AL1 dan PP2 sebesar 0,016 ; EC1 sebesar 0,017 ; AL2 sebesar 0,021, serta peningkatan tren yang paling besar dimiliki oleh EC2 dengan nilai slope sebesar 0,022.
Keju yang disimpan pada suhu ruang (PP2, PE2, AL2, EC2) memiliki
slope yang lebih besar dari pada produk yang disimpan pada suhu refrigerator (PP1, PE1, AL1, EC1). Hal ini menunjukan bahwa keju yang disimpan pada suhu ruang memiliki nilai pH yang lebih tinggi dibandingkan dengan keju yang disimpan pada suhu refrigerator. Penggunaan suhu rendah dapat dilakukan untuk menghambat atau mencegah reaksi-reaksi kimia, reaksi enzimatis atau pertumbuhan mikroba. Semakin rendah suhu semakin lambat proses tersebut. Hasil uji t menunjukan bahwa peningkatan nilai pH berbeda nyata (p<0,05) antara produk yang disimpan pada suhu refrigerator dengan produk yang disimpan pada suhu ruang (Lampiran 3).
Nilai pH juga mempengaruhi jenis mikroba yang dapat tumbuh. Mikroba pada umumnya dapat tumbuh pada kisaran pH 3 – 6. Kebanyakan bakteri mempunyai pH optimum, yaitu pH dimana pertumbuhannya maksimum, berkisar antaran 5 – 7,5. Pada pH dibawah 5,0 dan diatas 8,5 bakteri tidak dapat tumbuh dengan baik kecuali bakteri asam laktat. Aktivitas bakteri asam laktat berlawanan dengan aktivitas bakteri pathogen. Bakteri asam laktat menghasilkan asam laktat yang dapat menurunkan nilai pH untuk menghambat bakteri pathogen seperti
Salmonella dan Staphylococcus aureus (Fardiaz 1998).
Tiap-tiap mikroorganisme memiliki suhu pertumbuhan maksimal, minimal dan optimal, yaitu suhu yang memberikan pertumbuhan terbaik dan perbanyakan diri tercepat. Kebanyakan bakteri asam laktat mempunyai suhu optimum 30˚C, tetapi beberapa bakteri dapat membentuk asam dengan kecepatan yang sama pada suhu 37˚C maupun 30˚C. Suhu ruang merupakan suhu optimal bagi pertumbuhan bakteri asam laktat, dimana bakteri tersebut akan terus tumbuh, mengubah karbohidrat yang ada menjadi asam laktat sampai pada batas tertentu. Pertumbuhan selanjutnya dari bakteri ini akan terhambat oleh keasaman yang dihasilkannya sendiri (Winarno dan Fardiaz 1980). Selama penyimpanan terjadi peningkatan nilai pH yang disebabkan oleh terhambatnya pertumbuhan bakteri asam laktat serta tumbuhnya organisme proteolitik dan lipolitik lain yang
memiliki kemampuan melakukan metabolisme asam laktat dan memproduksi komponen alkaline yang bersifat basa (Gerasi 2003).
Lampiran 2 menunjukan bahwa nilai pH paling rendah pada akhir pengamatan dimiliki oleh perlakuan PE1 yaitu sebesar 5,38. Hasil ini tidak jauh berbeda dengan nilai pH pada perlakuan yang lain. Nilai pH paling tinggi dimiliki oleh perlakuan EC2 sebesar 5,71. Hasil uji sidik ragam menunjukan penggunaan berbagai bahan pengemasan berpengaruh nyata (p<0,05) terhadap peningkatan nilai pH (Lampiran 4). Hasil Uji lanjut Duncan menunjukan bahwa kemasan PE dan PP tidak berbeda nyata, namun berbeda nyata terhadap kemasan AL dan EC (Lampiran 5).
Mikrobiologi
Produk Keju lunak rendah lemak yang telah dibuat harus memenuhi syarat mutu mikrobiologis yang ditetapkan oleh SNI. Pada penelitian ini mutu mikrobiologis yang diuji meliputi uji pendugaan Coliform, Streptococcus lactis
(BAL), dan Staphylococcus aureus. Hasil uji pendugaan mikrobiologi dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4 Hasil Uji Coliform, BAL dan S. aureus
Kode Coliform (CFU/g) BAL (log CFU/g)
S. aureus (log CFU/g) 0 28 0 28 0 28 PP1 0 0 7,28 7,14 0,70 0,96 PP2 0 0 7,28 7,07 0,70 1,14 PE1 0 0 7,28 7,23 0,70 0,88 PE2 0 0 7,28 7,13 0,70 1,03 AL1 0 0 7,28 7,10 0,70 0,92 AL2 0 0 7,28 7,19 0,70 1,16 EC1 0 0 7,28 7,15 0,70 1,11 EC2 0 0 7,28 7,03 0,70 1,32
Uji pendugaan Coliform dilakukan untuk memastikan bahwa Coliform
yang biasanya mengkontaminasi produk melalui air yang digunakan dalam proses pembuatan produk tidak tumbuh pada produk keju. Hasil uji pendugaan
Coliform pada penyimpanan hari ke-0 dan ke-28 menunjukkan hasil yang negatif. Hal ini sangat dimungkinkan terjadi karena susu yang digunakan dalam proses pembuatan keju merupakan susu yang telah dipasteurisasi. Selain itu, perlatan yang digunakan pada pembuatan keju seperti kain saring, round mould, sendok, dan peralatan lainnya, telah mengalami proses perebusan terlebih dahulu untuk membunuh mikroba yang tidak diinginkan. Hasil uji bakteri ini telah memenuhi
syarat yang ditetapkan SNI 7388:2009 dimana batas maksimum Coliform pada keju sebesar 10 koloni/g (10 CFU/g).
Mikroba yang berperan dalam proses pembuatan keju adalah bakteri asam laktat, yang berfungsi untuk menurunkan pH keju dan membentuk curd. Keju lunak rendah lemak memiliki pH yang rendah pada awal pengamatan (pH 5,1) sehingga termasuk kelompok makanan asam. Nilai pH medium sangat mempengaruhi jenis jasad renik yang dapat tumbuh. Fardiaz (1998) menyatakan bahwa mikroorganisme umumnya dapat tumbuh pada kisaran pH 3-6. Bakteri mempunyai pH optimum sekitar 6.5 – 7.5. Pada pH di bawah 5.5 dan diatas 8.5 bakteri tidak dapat tumbuh dengan baik kecuali bakteri asam laktat. Lampiran 2 menunjukan bahwa pH awal dari keju adalah 5,1. Keju berada dalam pH rendah atau kondisi asam yang disebabkan aktivitas bakteri asam laktat (S. lactis)yang berperan sebagai starter pada awal proses pembuatan keju. Tetapi pertumbuhan selanjutnya dari bakteri ini akan terhambat oleh keasaman yang dihasilkannya sendiri. (Winarno dan Fardiaz 1980).
Tabel 4 menunjukan bahwa jumlah BAL pada hari ke-0 sebesar 7,28 log CFU/g, menurun menjadi 7,08 log CFU/g pada hari ke-28. Penurunan BAL mengakibatkan tumbuhnya mikroba lainnya seperti Staphylococcus aureus.
Bakteri ini tumbuh dengan baik dalam pangan yang mengandung protein tinggi, gula tinggi dan garam. Jenis bakteri ini dapat memproduksi enteretoksin yang menyebabkan pangan tercemar serta mengakibatkan keracunan pada manusia. Tabel 4 menunjukan bahwa jumlah S. aureus pada hari ke-0 sebesar 0,7 log CFU/g, meningkat menjadi 1,32 log CFU/g pada hari ke-28. Peningkatan ini