• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Jenis Kemasan dan Kondisi Penyimpanan terhadap Mutu dan Umur Simpan Produk Keju Lunak Rendah Lemak

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengaruh Jenis Kemasan dan Kondisi Penyimpanan terhadap Mutu dan Umur Simpan Produk Keju Lunak Rendah Lemak"

Copied!
168
0
0

Teks penuh

(1)

ABSTRACT

MUHAMMAD PRADANA BUDIYANTO. Effect of Packaging Materials and Storage Conditions to The Quality and Shelf Life of Low Fat Soft Cheese. Under the Guidance of BUDI SETIAWAN and MISKIYAH

Cheese is a food that contain a complete nutrition in balanced proportions. Along with the increasing of the awareness of healthy foods, the low fat cheese had been formulated. Low fat cheese is a cheese made from milk protein, using vegetable oils as a substitute of milk fat, such as corn oil, soybean oil and palm oil core. On the other hand, low fat soft cheese contain many components that is easy to decline in quality cause by deterioration reaction. To maintain low fat soft cheese’s quality, storage conditions and packaging materials is required to protect product from deterioration reaction during storage. This research aimed to study the effect of packaging materials and storage conditions to the quality and shelf life of low fat soft cheese. The shelf life of the low fat soft cheese estimated by Arrhenius method. The type of packaging that used were polypropylene, polyethylene, aluminium foil, and edible coating carrageenan based, stored at temperature 5oC and 25oC. The analysis included in the form of physical analysis (water content, texture), chemical analysis (pH, TBA), and microbiological analysis (Coliform, lactic acid bacteria, Staphylococcus aureus). The result showed that water content decreased during storage, although TBA value, texture and pH increased. The used of low temperatur during storage could delay the deterioration reaction rate of the cheese. The best parameter to determine the shelf life of low fat soft cheese was pH. Based on that parameter, polyethylene plastic was the best packaging material that have the longest shelf life time 36 day at 5oC.

(2)

RINGKASAN

MUHAMMAD PRADANA BUDIYANTO.

Pengaruh Berbagai Jenis Kemasan dan

Suhu Penyimpanan terhadap Mutu dan Umur Simpan Keju Lunak Rendah Lemak. Dibawah bimbingan BUDI SETIAWAN dan MISKIYAH

Susu dan produk olahannya adalah komponen penting sebagai asupan makanan kita. Salah satu bentuk olahan susu adalah keju yang mengandung berbagai zat gizi esensial yang diperlukan oleh tubuh. Seiring dengan tuntutan gaya hidup dan aspek kesehatan yang semakin meningkat, formulasi keju rendah lemak mulai dikembangkan. Keju rendah lemak ini terbuat dari protein susu dengan menggunakan minyak nabati sebagai pengganti dari lemak susu. Disisi lain, keju banyak mengandung komponen gizi yang mudah mengalami penurunan mutu. Beberapa penurunan mutu yang terjadi diantaranya perubahan tekstur keju akibat penyerapan uap air, ketengikan yang disebabkan reaksi oksidasi komponen lemak, serta meningkatnya kandungan mikroba di dalamnya. Untuk mencegah penurunan mutu pada keju, diperlukan teknologi pengemasan dan teknik penyimpanan yang dapat mempertahankan mutu keju. Penggunaan kemasan yang efektif diharapkan dapat menjaga mutu dan kualitas, serta memperpanjang umur simpan dari produk tersebut.

Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mempelajari pengaruh berbagai jenis kemasan dan suhu penyimpanan terhadap mutu dan umur simpan keju lunak rendah lemak, dengan tujuan khusus menganalisis perubahan fisik, kimia dan mikrobiologis dari keju lunak rendah lemak selama penyimpanan; menghitung umur simpan produk keju lunak rendah lemak yang dikemas dengan berbagai jenis bahan pengemas dan kondisi penyimpanan; mendapatkan informasi tentang jenis kemasan dan kondisi penyimpanan terbaik yang dapat digunakan untuk menyimpan produk keju lunak rendah lemak; serta menganalisis daya terima keju lunak rendah lemak yang dikemas dengan pengemasan terbaik.

Penelitian ini dilakukan dalam dua tahap, yaitu penelitian pendahuluan dan penelitian utama. Penelitian pendahuluan diawali dengan pembuatan keju lunak rendah lemak dengan menggunakan bahan dasar susu sapi yang telah di modifikasi. Penelitian utama adalah penentuan umur simpan keju dengan metode Accelerated Shelf Life Testing. Tahapan penentuan umur simpan metode

ASLT meliputi penetapan parameter kriteria kadaluarsa, pemilihan jenis dan tipe pengemas, penentuan suhu untuk pengujian, prakiraan waktu dan frekuensi pengambilan contoh. Pengemasan keju lunak rendah lemak dengan menggunaakan kemasan plastik polipropilen (PP), plastik polietilen (PE), Aluminium foil (AL), dan edible coating berbahan dasar karagenan (Kampf & Nussinovitch, 2000), disimpan kedalam dua suhu penyimpanan yang berbeda, yaitu suhu refrigerator (5 ± 2,5oC) dan suhu ruang (27 ± 2,5oC). Analisis dilakukan terhadap sifat fisik (air, tekstur), kimia (pH dan bilangan TBA) dan mikrobiologis (Coliform, bakteri asam laktat, Staphylococcus aureus) dilakukan setiap minggu selama satu bulan. Selanjutnya dilakukan perhitungan umur simpan dari tiap-tiap kemasan dan suhu penyimpanan yang digunakan dengan metode akselerasi pendekatan model Arrhenius.Uji organoleptik dilakukan pada perlakuan yang memiliki umur simpan terpanjang.

(3)

paling panjang adalah keju yang dikemas dengan kemasan polietilen dengan suhu penyimpanan 5oC yaitu sebesar 36 hari. Pengemasan produk dengan kemasan polietilen dengan penyimpanan pada suhu 5oC berpengaruh nyata (p<0,05) dapat memperlambat penurunan mutu dan memperpanjang umur simpan keju lunak rendah lemak.

Hasil uji hedonik menunjukkan bahwa nilai rata-rata tingkat kesukaan panelis terhadap parameter warna, tekstur, aroma dan keseluruhan keju yang baru diproduksi dan keju yang telah mengalami penyimpanan tidak jauh berbeda, yaitu berada pada tingkat kesukaan biasa. Hasil uji t menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan (p>0,05) antara lama penyimpanan dan pengemasan terhadap tingkat kesukaan panelis pada parameter warna, tekstur, aroma dan keseluruhan keju, sedangkan pada parameter rasa terdapat perbedaan (p<0.05). Hasil uji t

untuk mutu hedonik menunjukan bahwa terdapat perbedaan (p<0,05) antara lama penyimpanan dan pengemasan terhadap mutu warna, aroma dan rasa keju lunak rendah lemak, sedangkan pada mutu tekstur tidak terdapat perbedaan (p>0,05).

(4)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Susu merupakan bahan pangan dengan kandungan nutrisi lengkap dalam proporsi yang seimbang. Secara alamiah yang dimaksud susu adalah hasil perahan sapi atau hewan menyusui lainnya yang dapat dikonsumsi atau dapat digunakan sebagai bahan makanan yang aman dan sehat serta tidak dikurangi komponen komponennya atau ditambah dengan bahan-bahan lain (Hadiwiyoto, 1983). Susu dan produk olahannya merupakan komponen penting sebagai asupan makanan kita. Produk-produk olahan susu yang sudah dikenal dalam industri pengolahan antara lain susu pasteurisasi, susu skim, mentega, keju, susu kental, susu bubuk, yoghurt, dadih, kefir, es krim, karamel/ kembang gula susu, dodol susu, dan kerupuk susu (Abubakar 1994).

Berdasarkan data statistik Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (2008), jumlah produksi susu di Jawa Barat terus meningkat. Produksi susu empat tahun terakhir tercatat dari tahun 2005 hingga 2008 sebanyak 201.885 ton, 211.889 ton, 225.212 ton, dan 236.473 ton. Namun, peningkatan produksi susu sapi tersebut tidak diiringi dengan peningkatan kualitasnya. Martindah dan Saptati (2008) menyatakan bahwa kualitas susu di tingkat peternak sapi perah masih berada dibawah persyaratan kualitas susu yang ditetapkan oleh IPS (industri pengolahan susu), yang salah satu syaratnya adalah jumlah total mikroba (total plate count) dalam susu tidak melebihi 107koloni/ml susu. Hal tersebut berdampak pada banyaknya susu peternak yang ditolak oleh IPS ataupun dibeli dengan harga dibawah harga standar.

(5)

55-80% dan kadar lemak sekitar 40% (Daulay 1991). Keju jenis ini memiliki tekstur yang lembut dan lunak, yang disebabkan oleh kadar air yang tinggi.

Seiring dengan tuntutan gaya hidup dan aspek kesehatan yang semakin meningkat, formulasi keju rendah lemak mulai dikembangkan. Keju rendah lemak terbuat dari protein susu dengan menggunakan minyak nabati sebagai pengganti dari lemak susu, seperti minyak jagung, minyak kacang kedelai dan minyak inti sawit. Kelebihan keju rendah lemak antara lain tidak mengandung kolesterol, rendah natrium, mengandung protein yang bisa lebih tinggi maupun lebih rendah, bebas laktosa, dan dapat menurunkan biaya produksi (Fawcett 2006).

Disisi lain, keju banyak mengandung komponen gizi yang mudah mengalami penurunan mutu, diantaranya perubahan tekstur keju akibat penyerapan uap air, ketengikan yang disebabkan reaksi oksidasi komponen lemak, serta meningkatnya kandungan mikroba di dalamnya. Penurunan mutu yang terjadi salah satunya disebabkan oleh jenis kemasan yang digunakan kurang dapat menjaga mutu keju selama penyimpanan, dimana kemasan yang kurang rapat akan memudahkan keluar masuknya gas dan uap air, sehingga mengakibatkan terjadinya penurunan mutu keju akibat reaksi oksidasi, dan tumbuhnya mikroba patogen serta absorpsi aroma selama masa penyimpanan.

Dengan demikian, diperlukan teknologi pengemasan dan teknik penyimpanan yang dapat mempertahankan mutu keju. Penggunaan kemasan yang efektif diharapkan dapat mempertahankan mutu dan kualitas, serta memperpanjang masa simpan dari produk tersebut.

Tujuan

Tujuan umum penelitian adalah untuk mempelajari pengaruh jenis kemasan dan kondisi penyimpanan terhadap mutu dan umur simpan produk keju lunak rendah lemak. Sedangkan tujuan khusus dari penelitian ini adalah:

1. Mempelajari pengaruh berbagai jenis kemasan (polipropilen, polietilen, aluminium foil, edible coating) dan suhu penyimpanan (5oC dan 25oC) terhadap mutu (bilangan TBA, kadar air, tekstur, pH, mikrobiologi) dan umur simpan keju lunak rendah lemak.

2. Menganalisis perubahan fisik (air, tekstur), kimia (TBA dan pH) dan mikrobiologis dari keju lunak rendah lemak selama penyimpanan.

(6)

4. Menganalisis uji hedonik (warna, aroma, rasa, tekstur, keseluruhan) dan mutu hedonik (warna, aroma, rasa, tekstur) keju lunak rendah lemak yang dikemas menggunakan pengemasan dan suhu penyimpanan terbaik.

Kegunaan Penelitian

(7)

TINJAUAN PUSTAKA

Definisi dan Karakteristik Susu Sapi

Secara alamiah yang dimaksud dengan susu adalah hasil perahan sapi atau hewan menyusui lainnya, yang dapat digunakan sebagai bahan makanan yang aman dan sehat, serta tidak dikurangi komponen–komponennya atau ditambah bahan–bahan lain. Jenis ternak yang susunya digunakan sebagai bahan makanan adalah sapi perah, kerbau, unta, kambing perah (kambing ettawa), dan domba. Penyusun utama susu adalah air, protein, lemak, laktosa, mineral, dan vitamin (Widodo 2003).

Susu sapi berwarna putih bersih sedikit kekuningan dan tidak tembus cahaya, dan mempunyai rasa sedikit manis atau gurih. Komposisi kimia susu terdiri atas air, lipid, dan bahan kering tanpa lemak. Sementara bahan kering tanpa lemak terdiri atas protein, laktosa, mineral, beberapa senyawa asam seperti asam sitrat, asam format, asam asetat, dan asam oksalat, enzim seperti peroksidase, katalase, fosfatase, dan lipase, gas seperti oksigen dan nitrogen, dan vitamin A, C, D, thiamin, dan riboflavin (Susilorini dan Sawitri 2006).

Lemak susu mengandung sekitar 12,5% gliserol dan 85,5% asam lemak. Komponen mikro dari lemak susu antara lain adalah fosfolipid, sterol, tokoferol (vitamin E), karoten, vitamin A, serta vitamin D. Susu mengandung kira-kira 0.3 % fosfolipid terutama lesitin, sphingomielin dan sepalin. Pada waktu susu dipisahkan menjadi skim milk dan krim, sekitar 70 % fosfolipid terdapat pada krim. Fosfolipid dapat dengan cepat teroksidasi, menyebabkan penyimpangan cita rasa susu (Buckle et al, 1987). Protein yang terdapat pada susu sebagian besar adalah kasein (76 %) dan protein whey (24 %). Whey merupakan cairan sisa dari curd yang terdiri dari laktalbumin, laktoglobulin, sisa nitrogen non protein (Susilorini dan Sawitri 2006).

(8)

Definisi dan Jenis-jenis Keju Definisi keju

Keju sebagai produk dengan bahan dasar susu merupakan alternatif yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan protein hewani. Keju merupakan hasil dari penggumpalan susu menggunakan penggumpal (koagulan) berupa

rennet anak sapi. Keju dibuat dengan cara menggumpalkan casein susu membentuk dadih atau curd. Dadih susu kemudian dipanaskan dan dipres sehingga menghasilkan dadih keras, yang selanjutnya dilakukan pemeraman atau pematangan keju. Di samping menggunakan rennet, penggumpalan casein

dapat juga dilakukan dengan fermentasi bakteri asam laktat (Nurhidayati 2003). Menurut Sutomo (2006), kandungan protein keju lebih tinggi jika dibandingkan susu segar. Kandungan protein rata-rata pada keju 22,8gr/100gr, sedangkan susu segar hanya 3,2 gr/100 gr. Sedangkan kandungan kalsium pada keju 777 mg/100 gr, dibandingkan pada susu segar hanya sekitar 143 mg/100 gr berat bahan. Selain itu, keju juga mengandung karbohidrat, lemak, zat besi, lemak, dan fosfor yang tinggi. Dengan mengkonsumsi 100 g keju, kebutuhan kalsium tersuplai 20-25% dari kebutuhan kalsium sehari.

Jenis-jenis keju

Daulay (1991) menyatakan bahwa perbedaan jenis bahan baku, metode pengolahan, dan lama pemeraman akan menghasilkan penampakan produk akhir keju yang berbeda. Keragaman jenis keju tergantung pada bahan dasar yang digunakan, metode koagulan susu, kadar whey dalam dadih, dan pemeraman. Penggolongan keju berdasarkan bahan dasar yang digunakan antara lain keju yang terbuat dari susu sapi, susu kambing, susu domba, susu campuran, dan susu mentah. Berdasarkan proses pemeraman, keju dibagi menjadi lima kelompok yaitu keju yang dimatangkan dari dalam (cheddar, gouda, parmesan), keju yang dicuci kulitnya (limburger), keju bercoreng biru (roquefort, stilton), keju berlapis kapang (camembert), dan keju yang tidak dimatangkan (cottage). Sedangkan penggolongan keju berdasarkan kulitnya dibagi menjadi lima kelompok yaitu keju berkulit keras (raclette, gouda), keju berbulu halus (brie), keju berkulit alami (sainte maure), keju berkulit asin (feta) dan keju segar (ricotta) (Nelson dan Trout 1951).

(9)

Tabel 1 Klasifikasi keju berdasarkan karakteristik kadar air

Pengelompokan keju berdasarkan kadar air dikarenakan kadar air dapat menentukan konsistensi dan kekompakan keju sehingga memudahkan dalam mengelompokan keju yang memiliki karakteristik serupa. Perbedaaan keju keras dan keju lunak terletak pada persentase kadar air. Istilah keju lunak digunakan untuk mendeskripsikan keju yang terasa lunak ketika disentuh dan dapat dengan mudah ditekan oleh jari, sedangkan istilah keju keras digunakan untuk mendeskripsikan keju yang kaku dan membutuhkan tekanan tertentu untuk dapat membaginya menjadi beberapa bagian (Farkye 2004).

Keju lunak. Keju lunak adalah keju yang mempunyai kadar air 55-80% dari berat keju (Daulay 1991). Sedangkan menurut Davis (1965) dalam Gunasekaran dan Mehmet (2003), keju lunak adalah keju yang mempunyai kadar air >40%. Salah satu jenis keju lunak adalah keju cottage yang dibuat tanpa proses pemeraman dan pemasakan curd atau dibuat dari susu skim dengan atau tanpa penambahan krim dan garam (Sugiyono 1992).

Keju rendah lemak. Secara umum, keju rendah lemak memiliki komponen lemak yang lebih rendah dibandingkan dengan keju lemak penuh (Mistry & Anderson 1993). Kadar lemak susu yang rendah mengakibatkan sedikitnya beta karoten di dalam keju, yang berpengaruh pada pembentukan warna pada keju. Semakin sedikit beta karoten maka warna keju semakin putih (Kelly 2007). Karakteristik tekstur keju rendah lemak dapat ditingkatkan dengan meningkatkan kelembaban dalam curd. Metode yang dapat dilakukan yaitu dengan meningkatkan kadar air termasuk manipulasi suhu pemanasan dan pengadukan (Banks et al. 1989), mencuci curd dan mengaduk curd (Johnson dan Chen 1995), atau mengaduk curd pada pH tinggi (Guinee et al. 1998).

Bahan-bahan Pembuatan Keju Lunak Rendah Lemak Susu skim

(10)

sebagian atau seluruhnya, mengandung banyak protein dan vitamin yang larut di dalam air. Sedangkan susu krim atau sering disebut kepala susu, adalah susu yang banyak mengandung lemak dan juga vitamin yang larut didalam lemak yakni vitamin A,D,E, dan K (Winarno 1993).

Susu skim mengandung semua zat makanan dari susu kecuali lemak dan vitamin yang larut dalam lemak. Susu skim masih mengandung laktosa, protein, mineral, vitamin yang larut lemak dan vitamin yang larut air (B12). Kandungan gizi susu skim sama dengan susu segar, kecuali kandungan lemaknya, yaitu ±15%. Susu skim dapat digunakan oleh orang yang menginginkan nilai kalori yang rendah dalam makanannya karena mengandung 55% dari seluruh energi susu. Selain itu, susu skim juga dapat digunakan dalam pembuatan keju rendah lemak dan yogurt (Bucket et al. 1987).

Emulsifier

Emulsi adalah suatu sistem yang terdiri dari dua fase cairan yang tidak saling melarut, di mana salah satu cairan terdispersi dalam bentuk globula-globula di dalam cairan lainnya. Cairan yang terpecah menjadi globula-globula-globula-globula dinamakan fase terdispersi, sedangkan cairan yang mengelilingi globula-globula dinamakan fase kontinyu atau medium dispersi. Emulsifier atau zat pengemulsi didefinisikan sebagai senyawa yang memiliki aktivitas permukaan sehingga dapat menurunkan tegangan permukaan antara udara-cairan dan caira-cairan yang terdapat pada suatu sistem makanan. Kemampuan menurunkan tegangan permukaan menjadi hal menarik karena emulsifier memiliki keunikan struktur kimia yang mampu menyatukan dua senyawa yang polaritasnya berbeda. Daya kerja emulsifier mampu menurunkan tegangan permukaan yang dicirikan oleh bagian lipofilik (non polar) dan hidrofilik (polar) yang terdapat pada struktur kimianya (Vaclavic 2008).

Sorbitan Monostearate (Span-60). Menurut Igoe (2011), sorbitan monostearat merupakan emulsifier yang bersifat lipofilik dan merupakan sorbitan asam lemak ester, merupakan turunan sorbitol dari gliserol monostearat. Span-60 merupakan senyawa non ionik yang terdispersi dalam minyak, dan biasa digunakan sebagai penambah kilauan di lapisan cokelat dan sering di kombinasi dengan polysorbates. Tingkat penggunaan berkisar dari 0,30- 0,70%.

(11)

dapat direaksikan dengan etilen oksida, sehingga disebut polisorbat 60. Tween-60 bersifat non ionik dan hidrofilik, biasa digunakan dalam topping sayuran karena ringan, pada pembuatan kue digunakan untuk meningkatkan volume, dan untuk meningkatkan stabilitas emulsi. Penggunaannya pada kisaran 0,10-0,40% (Igoe 2011).

Glycerol Monostearate (GMS). Gliseril monostearat juga dikenal sebagai monostearin, merupakan campuran dari proporsi variabel monostearat gliseril, gliseril monopalmitate, dan ester gliseril dari asam lemak. GMS dikenal di masyarakat sebagai asam stearat. Gliseril monostearat dihasilkan dari glycerolysis lemak tertentu atau minyak yang berasal dari esterifikasi dengan gliserin dan asam stearat (Igoe 2011).

Minyak Jagung (Corn Oil)

Menurut Igoe (2011), minyak jagung adalah minyak yang berasal dari biji jagung yang mengandung asam lemak tak jenuh omega 6 (linoleat) dan omega 9 (oleat) 80-85% dari total asam lemak. Minyak jagung merupakan minyak goreng yang tahan terhadap ketengikan (stabil) karena adanya tokoferol yang larut dalam minyak. Tokoferol yang berada di dalam minyak jagung berfungsi melindungi minyak dari proses oksidasi.

Minyak jagung mudah dicerna, menyediakan energi dan mengandung asam lemak esensial. Asam linoleat merupakan asam lemak esensial yang diperlukan untuk integritas kulit, membran sel, sistem kekebalan, dan untuk sintesis icosanoid. Icosanoid penting untuk fungsi-fungsi reproduksi, kardiovaskuler, ginjal, pencernaan dan ketahanan terhadap penyakit. Minyak jagung efektif dalam menurunkan kadar kolesterol darah. Hal ini karena minyak jagung mengandung Saturated Fatty Acid (SFA) rendah dan mengandung

(12)

Starter Streptococcus lactis

Rahman et al. (1992), menyatakan bahwa bakteri asam laktat yang dapat digunakan pada pembuatan keju adalah Streptococcus, Leuconostoc, dan

Lactobacilli, baik dalam bentuk tunggal maupun kombinasi. Starter yang biasa digunakan umumnya adalah Streptococcus lactis. Pemilihan bakteri pada proses pembuatan keju sangat penting, karena akan mempengaruhi tekstur dan flavor keju (Settani dan Moschetti 2010).

Starter digunakan untuk memproduksi asam laktat saat fermentasi laktosa dan menurunkan pH. Streptococcus lactis optimum pada suhu 26-300C dan mati pada suhu 400C pada saat pembuatan keju. Streptococcus lactis juga berperan dalam pembentukan flavor pada saat pemeraman keju (Sheehan 2007). Eckles et al. (1980), menyatakan bahwa Streptococcus lactis merupakan bakteri asam laktat (BAL) yang membantu dalam koagulasi susu. Ditambahkan oleh Foster (1957), bahwa fungsi asam laktat dari S. lactis untuk membantu penyusutan kandungan whey pada curd, mencegah pertumbuhan bakteri yang tidak diinginkan, membantu penggabungan partikel-partikel dari curd, dan membantu kerja enzim proteolitik dari rennin (rennet). Speck (1980) menyatakan bahwa mikroorganisme seperti Streptococcus lactis dapat memperpanjang masa simpan keju, daging, dan berbagai produk makanan lainnya. Menurut Scott (1986), waktu yang diperlukan untuk mengasamkan susu dengan penambahan starter adalah 5-20 menit dengan jumlah starter berkisar antara 0,05-5% sesuai dengan jenis keju yang diinginkan.

Probiotik Lactobacillus casei

Probiotik adalah mikroorganisme hidup yang dikonsumsi untuk memperbaiki keseimbangan mikroflora dalam usus. Mikroorganisme yang biasa digunakan sebagai probiotik yaitu bakteri asam laktat (BAL), Lactobacilli (L. acidophilus, L. casei, L. plantarum, L. reuteri, L. rhamnosus, L. salivarus),

Bifidobacteria (B. breve, B. longum, B. lactis), Bacillus (B. subtilis, B. cereus var toyoi), Enterococcus (E. faecium), dll (Anadon et al. 2010).

(13)

Ross et al. (2002) menyatakan bahwa kandungan probiotik dalam suatu produk menjadi pilihan utama konsumen. Hal tersebut dikarenakan adanya pertimbangan kesehatan. Probiotik dapat tumbuh secara optimal pada penyimpan minggu pertama dan kedua.

Kalsium Klorida (CaCl2)

Penambahan CaCl2 biasanya digunakan untuk membantu kerja rennet

dalam mempercepat koagulasi dan pembentukan curd, dengan cara mengurangi waktu gelatinisasi rennet dan meningkatkan laju pembentukan curd. Pengaruh positif dari CaCl2 terhadap koagulasi rennet antara lain meningkatkan kadar ion Ca2+ dan ion H+ yang berpengaruh terhadap penurunan pH (Fox et al. 2000).

Rennet

Rennet adalah bahan bioaktif yang dapat diperoleh dari abomasum anak sapi yang masih menyusui, mengandung 6-12% pepsin dan 88-94% khimosin. Sedangkan ekstrak rennet yang diperoleh dari abomasum anak sapi yang lebih tua atau telah memakan pakan lain, mengandung 6-12% enzim khimosin dan 88-94% pepsin (Scott 1986). Bailey dan Ollis (1988) serta McSweeney (2007), menyatakan bahwa sumber enzim protease selain dari ternak juga dapat diperoleh dari tanaman (getah dan sari buah), yeast, kapang dan bakteri.

Proses Pembuatan Keju Lunak Rendah Lemak Separasi susu

Pembuatan keju lunak rendah lemak memerlukan susu yang mempunyai kadar lemak yang rendah. Proses separasi diperlukan untuk mengurangi atau menghilangkan kadar lemak susu. Menurut Eckles et al. (1980), separasi susu merupakan suatu proses pemisahan krim dari susu berlemak penuh. Proses ini dapat terjadi karena perbedaan berat jenis antara lemak susu atau krim dengan serum susu atau skim. Susu skim mempunyai berat jenis 1,036, sedangkan lemak susu 0,930. Alat yang digunakan dalam separasi susu adalah krim separator.

Pasteurisasi susu

(14)

susu segar, susu rekonstruksi, susu modifikasi serta susu rekombinasi dipasteurisasi pada temperatur 63-66oC selama minimum 30 menit atau pada temperatur 72oC selama 15 detik (BSN 1995).

Penambahan starter

Setelah pasteurisasi, susu didinginkan sampai suhu 40-45oC dan diasamkan dari pH 6,7 menjadi 5,7 dengan menambahkan kultur Bakteri Asam Laktat (BAL). Pengasaman bertujuan agar aktivitas rennet menjadi optimal dan mempercepat kenaikan koagulasi sampai 6 kali lipat (Murti 2004). Menurut Foster (1957), kultur yang dapat digunakan adalah Steptococcus lactis

ditambahkan pada suhu 37±0,5oC.

Bakteri asam laktat mempunyai peranan penting pada pembuatan keju, beberapa spesimen berpartisipasi pada proses fermentasi dan yang lainnya terlibat dalam pematangan keju. Starter bakteri asam laktat berfungsi dalam proses fermentasi laktosa sedangkan non-starter bakteri asam laktat berperan dalam proses pematangan keju (Fox et al. 2004). Menurut Gobbetti et al. (2002),

Lactobacillus casei merupakan non-starter bakteri asam laktat.

Penggumpalan (koagulasi/pembentukan dadih)

Penggumpalan bertujuan untuk menggumpalkan protein susu. Penggumpalan merupakan hasil dari proses fermentasi yang berasal dari kinerja

rennet, bakteri asam laktat atau melalui perpaduan rennet dan bakteri asam laktat (Eckles 1980). Menurut McSweeney (2007), rennet pada pembuatan keju berfungsi untuk mengkoagulasi protein susu, terutama kasein. Koagulasi ini berfungsi untuk membentuk curd keju. Penggumpalan juga dapat dibantu dengan menambahkan kalsium klorida. Menurut Gastaldi et al. (1994), CaCl2 akan membantu pembentukan struktur misel dan menghasilkan curd yang lebih mudah dipisahkan whey-nya. Scott (1986) menambahkan, penambahan garam kalsium harus tepat jumlahnya sebab jika berlebihan maka akan diproleh curd

yang keras, terbentuk rasa pahit serta tekstur yang kasar.

Pembentukan dadih atau curd dapat terjadi setelah 30 menit penambahan rennet (Rahman et al. 1992). Temperatur yang sesuai untuk penggumpalan kurang lebih pada suhu 37oC (Hadiwiyoto 1983). Setelah terjadi proses penggumpalan maka dilakukan pemotongan (cutting).

Pengaliran cairan whey

Fenomena keluarnya whey atau laktoserum dikenal juga dengan

(15)

whey serta mengurangi kandungan air yang terdapat dalam curd. Tujuan pengaliran cairan whey untuk memudahkan pengepresan keju sehingga diperoleh keju sesuai dengan keinginan. Sebelum pemisahan whey, curd dipotong terlebih dahulu dengan tujuan untuk membentuk ukuran curd menjadi lebih kecil dan menyeragamkan partikel, sehingga whey lebih mudah keluar, meningkatkan luas permukaan curd dan tekstur curd menjadi lebih keras. Pemotongan curd umumnya dilakukan dengan menggunakan pisau atau harpa, dengan cara memotong curd menjadi kubus-kubus berukuran 0,46-1,84 cm3 (Daulay 1991).

Pemisahan whey dapat dilakukan dengan mengalirkan whey melalui saringan metal pada tangki pembuatan keju (Rahman et al. 1992). Menurut Hadiwiyoto (1983), penyaringan bisa dilakukan dengan kain bersih. Proses pemisahan whey dapat dipacu dengan peningkatan suhu (sekitar 40oC untuk

Cheddar dan 34oC untuk Gouda) dan proses ini sering disebut dengan scalding

atau cooking. Proses ini menyebabkan matriks protein mengecil dan mengeras sehingga membantu pemisahan whey. Whey yang terpisahkan biasanya masih mengandung laktosa dan garam kecuali ion Ca2+ yang masih tersisa di dalam matriks protein. Besarnya kandungan laktosa dan garam yang tersisa pada keju sebanding dengan besarnya kandungan air pada koagulan. Kandungan laktosa tersisa pada keju sangat berpengaruh terhadap keasaman dan kekerasan keju (Widodo 2003).

Penggaraman

Proses penggaraman sering dilakukan ketika curd akan dipres. Penggaraman keju dapat dilakukan dengan menaburkan kristal garam pada permukaan curd secara manual/mekanis atau mencelupkan keju yang telah dipres ke dalam larutan garam. Garam yang ditambahkan berkisar antara 2-6% dari berat total curd agar keju mempunyai rasa asin. Tujuan penggaraman keju adalah untuk meningkatkan cita rasa, tekstur, menghambat pertumbuhan mikroorganisme pembusuk, meningkatkan sineresis/pemisahan whey, dan mengurangi kadar air sehingga menjadi penentu kadar air produk akhir keju (Daulay 1991).

Pemadatan/pengepresan

Tujuan utama pengepresan adalah pembentukan partikel–partikel dadih yang masih longgar menjadi massa yang cukup kompak, serta mengeluarkan

(16)

pengepresan menyebabkan karakteristik bentuk yang khas, tekstur yang kompak, serta menyempurnakan jaringan curd. Beberapa keju membutuhkan pengepresan dengan tekanan 40-150 Kpa atau dengan beban seberat 0,4–1,5 Kg/cm2 (Murti 2004). Berg (1988), menambahkan bahwa pengepresan keju bertujuan untuk memberikan bentuk pada keju, memisahkan whey dari curd, menjadikan curd lebih padat dan agar keju memiliki struktur yang homogen terutama jika partikel curd sangat kering sebelum dipres.

Pemeraman/pemasakan

Pemeraman dilakukan untuk menyempurnakan sebagian proses pembuatan keju, karena pada saat proses pemeraman akan memberikan kesempatan pada mikroba, serta enzim melakukan aktivitasnya (Rahman et al. 1992). Lebih lanjut dijelaskan bahwa pemeraman pada suhu 4oC memungkinkan terjadinya penguraian lemak, protein, dan karbohidrat sehingga terbentuk flavour, tekstur dan kenampakan yang khas dan spesifik terutama untuk keju yang digumpalkan menggunakan rennet (Daulay 1991).

Pengemasan Makanan

Pengemasan merupakan bagian integral pada pengolahan makanan modern. Peran pengemas semakin meningkat secara signifikan pada industri makanan seiring dengan bertambah luasnya kegiatan pengolahan, pemakaian, dan pemasaran produk makanan. Pengemasan makanan didefinisikan sebagai suatu sistem industri dan marketing yang terkoordinasi untuk memasukan makanan ke dalam sebuah wadah dengan tujuan untuk mewadahi produk, melindungi dan mengawetkan, memberikan identitas produk, sebagai sarana informasi dan komunikasi, serta memberi kenyamanan konsumen (Robertson 1993). Pengertian umum dari kemasan adalah suatu benda yang digunakan untuk wadah atau tempat yang dapat memberikan perlindungan sesuai dengan tujuannya (Syarief et al. 1989). Suatu pengemasan yang baik dapat menyediakan keamanan dan menjaga kualitas produk makanan sehingga dapat dijangkau oleh konsumen dengan biaya yang minimal.

(17)

Kerusakan yang disebabkan oleh lingkungan dapat dikontrol dengan pengemasan. Pengemasan merupakan salah satu cara dalam memberikan kondisi yang tepat bagi bahan pangan untuk menunda proses kimia dalam jangka waktu yang diinginkan (Buckel et al. 1987). Beberapa faktor yang perlu diperhatikan dalam pengemasan bahan pangan adalah sifat bahan pangan, keadaan lingkungan dan sifat bahan kemasan. Gangguan yang paling umum terjadi pada bahan pangan adalah kehilangan atau perubahan kadar air, pengaruh gas, cahaya, serta kehilangan atau penambahan citarasa yang tidak diinginkan. Sebagai akibat perubahan kadar air pada produk, akan timbul jamur dan bakteri, pengerasan pada bubuk, dan pelunakan pada produk kering (Syarief

et al. 1989).

Bahan pangan mempunyai sifat yang berbeda-beda dalam kepekaannya terhadap penyerapan atau pengeluaran gas (udara dan uap air). Bahan kering harus dilindungi dari penyerapan air dan oksigen dengan cara menggunakan bahan pengemas yang mempunyai daya tembus rendah terhadap gas tersebut (Purnomo dan Adiono 1987).

Salah satu sifat bahan kemasan yang sangat penting dan berhubungan dengan kerusakan produk yang dikemas adalah permeabilitas kemasan. Permeabilitas merupakan transfer molekul air atau gas melalui kemasan, baik dari dalam kemasan ke lingkungan atau sebaliknya. Kerusakan mutu produk kering terutama berkaitan dengan permeabilitas uap air karena penyerapan uap air selama penyimpanan dapat menurunkan mutu produk pangan kering tersebut, misalnya menurunnya tingkat kerenyahan produk (Eskin dan Robinson 2001).

(18)

Penggunaan plastik sebagai bahan pengemas mempunyai keunggulan dibanding bahan kemasan lain karena sifatnya yang ringan, transparan, kuat, termoplastis dan selektif dalam permeabilitasnya terhadap uap air, O2, CO2. Sifat permeabilitas plastik terhadap uap air dan udara menyebabkan plastik mampu berperan memodifikasi ruang kemas selama penyimpanan (Winarno 2002).

Jenis-jenis Kemasan dalam Pengemasan Keju Aluminium foil

Bahan pengemas dari aluminium banyak diaplikasikan sebagai bahan kaleng, bahan pengemas yang agak kaku dan bahan pengemas yang fleksibel. Contoh bahan pengemas dari aluminium yang fleksibel adalah aluminium foil. Bahan pengemas dari aluminium foil memiliki kelebihan karena bersifat

impermeable (tidak dapat ditembus) oleh cahaya, gas, air, bau dan bahan pelarut yang tidak dimiliki oleh bahan pengemas fleksibel lainnya. Aluminium foil banyak digunakan untuk mengemas produk coklat, bahan-bahan bakery, produk olahan susu, keripik dan lain-lain (Dwiari 2008).

Aluminium foil adalah bahan kemasan berupa lembaran logam aluminum yang padat dan tipis dengan ketebalan <0,15 mm. Ketebalan aluminium foil menentukan sifat protektifnya. Jika kurang tebal, maka foil tersebut dapat dilalui oleh gas dan uap. Foil dengan ukuran 0,009 mm biasanya digunakan untuk permen dan susu, sedangkan foil dengan ukuran 0.05 mm digunakan sebagai tutup botol multitrip (Dwiari 2008). Sifat-sifat dari aluminium foil adalah hermetis (tahan uap dan gas), fleksibel, tidak tembus cahaya sehingga dapat digunakan untuk mengemas bahan-bahan yang berlemak dan bahan-bahan yang peka terhadap cahaya seperti margarin dan yoghurt (Syarief et al. 1989).

Menurut Syarief et al. (1989), berbagai makanan yang dibungkus dengan alumunium foil menunjukkan bahwa produk-produk makanan tersebut cukup baik dan tahan terhadap alumunium dengan resiko pengkaratan yang kecil. Kemasan alumunium untuk produk susu biasanya memerlukan lapisan pelindung. Laminasi alumunium pada pengemasan keju terutama untuk mencegah pengurangan air, menjaga penampakan, pelindung dari jasad renik dan juga mencegah masuknya oksigen.

Plastik polipropilen (PP)

(19)

mengurangi biaya transportasi (Hanlon 1971). Bahan pembuat plastik dari minyak dan gas sebagai sumber alami, dalam perkembangannya digantikan oleh bahan-bahan sintetis sehingga dapat diperoleh sifat-sifat plastik yang diinginkan dengan cara kopolimerisasi, laminasi, dan ekstruksi (Syarief et al. 1989). Komponen utama plastik sebelum membentuk polimer adalah monomer, yakni rantai yang paling pendek. Polimer merupakan gabungan dari beberapa monomer yang akan membentuk rantai yang sangat panjang. Bila rantai tersebut dikelompokkan bersamasama dalam suatu pola acak, menyerupai tumpukan jerami maka disebut amorp, jika teratur hampir sejajar disebut kristalin dengan sifat yang lebih keras dan tegar (Syarief et al. 1988).

Polipropilen memiliki sifat-sifat penggunaan yang sangat mirip dengan polietilen (Brody 1972). Polipropilen lebih kuat dan ringan dengan daya tembus uap yang rendah, ketahanan yang baik terhadap lemak, stabil terhadap suhu tinggi dan cukup mengkilap (Winarno dan Jenie 1983). Polipropilen bersifat hidrofob, tahan korosi, dan dibuat dari bahan baku yang murah dan mudah diperoleh. PP mempunyai sifat tidak bereaksi dengan bahan, dapat mengurangi kontak bahan dengan oksigen, tidak menimbulkan racun, dan mampu melindungi bahan dari kontaminan. Polipropilen lebih mudah terurai karena memiliki gugus CH3 pada rantai percabangannya (Sudirman et al. 2001).

Polipropilen termasuk jenis plastik oleolefin dan merupakan polimer dari propilen. Menurut Syarief (1989), sifat-sifat umum dari propilen adalah memiliki permeabilitas uap air yang rendah, permeabilitas gas sedang, tidak baik untuk makanan yang peka terhadap O2, tahan terhadap suhu tinggi sampai dengan 150oC sehingga dapat dipakai untuk makanan yang disterilisasi, titik leburnya tinggi, tahan terhadap asam kuat, basa, dan minyak, baik untuk kemasan sari buah dan minyak, ringan, kaku, densitasnya 0,9 g/cm3, mudah dibentuk, dan rapuh pada suhu beku. (Buckle et al. 1987). Syarief et al, (1989) menambahkan, bahwa polipropilen memiliki ketahanan yang lebih baik terhadap minyak, lemak dan pelarut dibandingkan dengan polietilen. Selain itu, film polipropilen lebih keras dan bersih dari polietilen, mencair, dan kering pada saat pembakaran.

Plastik polietilen (PE)

(20)

polietilen banyak digunakan sebagai pengemas makanan dengan kisaran ketebalan 0.001 sampai 0.01 inchi. Karena sifatnya yang thermoplastik, polietilen mudah dibuat kantung dengan derajat kerapatan yang baik (Sacharow dan Griffin 1980).

Jenis plastik polietilen paling banyak digunakan dalam industri, karena memiliki sifat mudah dibentuk, tahan bahan kimia, jernih dan mudah dilaminasi. PE banyak digunakan untuk mengemas buah-buahan dan sayuran segar, roti, produk pangan beku dan tekstil. Menurut Syarief et al. (1989), polietilen memiliki sifat penampakan bervariasi, dari transparan hingga keruh, mudah dibentuk, lemas dan mudah ditarik, daya rentang tinggi tanpa sobek, meleleh pada suhu 120oC, sehingga banyak digunakan untuk laminasi dengan bahan lain; tidak cocok untuk digunakan mengemas bahan berlemak atau mengandung minyak; tidak cocok untuk mengemas produk beraroma karena transmisi gas cukup tinggi; tahan terhadap asam, basa, alkohol dan deterjen; kedap air dan uap air.

Berdasarkan sifat kedap air dan uap air, plastik polietilen terdiri dari HDPE (high-density polyethylene), MDPE (medium-density polyethylene), LDPE (low-density polyethylene) dan LLDPE (linier low-density polyethylene). LDPE adalah jenis yang paling umum digunakan dan merupakan material plastik yang cukup murah. LDPE memiliki sifat kedap air, namun kurang kedap terhadap oksigen, fleksibel, dan mudah diregangkan. LLDPE umumnya lebih kuat dibandingkan dengan LDPE, lebih stabil pada suhu rendah maupun tinggi, lebih tahan terhadap bahan kimia, dan tidak mudah rusak. HDPE memiliki titik lunak, maupun sifat-sifat lainnya yang lebih tinggi dibandingkan LDPE, lebih kuat, tebal, jernih, dan lebih sulit meleleh. LDPE mempunyai densitas antara 0,915 - 0,939 g/cm3, sedangkan HDPE mempunyai densitas sebesar > 0,940 g/cm3 (Robertson 1993).

Edible coating

(21)

Edible coating dapat diklasifikasikan menurut bahan dasar pembentuknya, yaitu polisakarida, protein, lemak dan kombinasi dari bahan-hahan tersebut (Krochta et al. 1994). Lapisan yang berbahan dasar polisakarida secara umum memiliki perlindungan yang buruk terhadap kadar air. Hal ini mengacu pada sifat alami polisakarida yaitu hidrofilik. Pada kelembaban tinggi, bahan ini merupakan pelindung oksigen yang buruk. Lapisan berbahan dasar polisakarida biasa digunakan untuk menghambat proses pematangan buah klimaterik tanpa harus membuat kondisi anaerobik. Aplikasi edible coating pada produk makanan dengan cara mencelupkan produk kedalam larutan bahan pelapis (polisakarida, protein atau lemak), menyemprotkan larutan bahan pelapis ke seluruh permukaan produk, atau dengan membungkusnya (Smith dan Hui 2004).

Lapisan yang berbahan dasar protein secara umum terbuat dari gelatin, protein susu, kasein, protein jagung, gluten gandum, dan protein kedelai. Bahan ini merupakan pelindung oksigen yang lebih baik dibandingkan dengan lapisan polisakarida, dan juga dapat menambah nilai gizi produk tersebut. Lapisan berbahan dasar lemak secara umum digunakan untuk mencegah kehilangan berat pada buah dan sayuran. Kebanyakan lapisan berbahan dasar lemak kurang memiliki integritas dan ketahanan dalam membentuk suatu lapisan, maka lapisan tersebut digunakan dengan cara dikombinasikan dengan lapisan polisakarida dan lapisan protein. Lapisan kombinasi ini dibentuk dengan tujuan menggabungkan kelebihan dari tiap-tiap komponen, serta meminimalisasi kelemahan dari masing-masing lapisan. Zat antimikroba, vitamin, antioksidan, dan zat perasa dapat ditambahkan untuk memodifikasi fungsi dari pelapisan tersebut (Krochta et al. 1994).

(22)

Penyimpanan Makanan

Selama penyimpanan, parameter mutu yang meliputi karakteristik fisiko kimia, mikrobiologi dan organoleptik, akan mengalami perubahan. Hal ini terjadi sebagai akibat pengaruh lingkungan, seperti suhu, kelembaban dan tekanan udara atau komposisi bahan makanan. Suhu penyimpanan produk pangan akan mempengaruhi jenis bakteri yang mungkin berkembang dan menyebabkan kerusakan. Suhu rendah sering digunakan untuk memperlambat kecepatan perkembangbiakan bakteri (Buckle et al. 1987).

Faktor-faktor yang menyebabkan kerusakan pada makanan selama penyimpanan adalah (1) iklim, mempengaruhi fisik dan komposisi kimia makanan (sinar UV, kelembaban, oksigen, suhu); (2) kontaminasi (mikroorganisme, serangga); (3) kerusakan mekanik (benturan, goncangan atau pengikisan); (4) pencurian, pengrusakan, atau pencemaran (Fellows dan Axtell 1993). Kelembaban dan suhu ruang merupakan faktor yang sangat berpengaruh pada proses penyimpanan. Kelembaban berperan dalam menentukan mutu bahan dan proses kerusakan selama penyimpanan. Kadar air suatu bahan akan meningkat bila disimpan pada ruangan dengan kelembaban yang tinggi. Kadar air yang tinggi akan membantu pertumbuhan mikroorganisme dan mengakibatkan terjadinya penurunan mutu produk. Bahan yang disimpan akan menyerap uap air dari udara atau melepaskannya sampai tekanan uap air dalam bahan sama dengan tekanan uap air udara ruang penyimpanan. Setiap bahan mempunyai keseimbangan kadar air tertentu yang dipengaruhi oleh komposisi kimia bahan tersebut (Nathanson 1997).

Penggunaan suhu rendah dapat dilakukan untuk menghambat atau mencegah reaksi-reaksi kimia, reaksi enzimatis atau pertumbuhan mikroba. Semakin rendah suhu penyimpanan, maka akan memperlambat proses tersebut. Penggunaan suhu rendah dapat digolongkan menjadi tiga, yaitu : (1) penyimpanan sejuk; (2) pendinginan; dan (3) penyimpanan beku. Penyimpanan sejuk biasanya dilakukan pada suhu sedikit dibawah suhu kamar dan tidak lebih rendah dari 15oC (Winarno dan Jenie 1983).

(23)

hidup dari jaringan-jaringan di dalam bahan pangan. Hal ini disebabkan oleh kecepatan respirasi menurun, dan juga pertumbuhan mikroba penyebab kebusukan dan kerusakan dapat dihambat (Fardiaz 1982).

Pengaruh suhu terhadap pertumbuhan mikroorganisme disebabkan suhu mempengaruhi aktivitas enzim yang mengkatalisasi reaksi-reaksi biokimia dalam sel mikroorganisme. Keaktifan enzim dalam sel menurun dengan semakin rendahnya suhu di bawah suhu optimum, mengakibatkan pertumbuhan sel terhambat. Pada suhu pembekuan, semua keaktifan metabolisme juga akan terhenti. Enzim terhenti juga karena semua sel kekurangan cairan di sekelilingnya yang digunakan untuk menyerap zat makanan dan mengeluarkan sisa metabolisme yang mengakibatkan pertumbuhan sel terhenti sama sekali (Fardiaz 1982). Walaupun suhu pendinginan dapat menghambat pertumbuhan dan aktivitas mikroba, atau mungkin membunuh beberapa bakteri, namun tidak dapat digunakan untuk membunuh semua bakteri (Winarno dan Fardiaz 1980). Penggunaan suhu rendah yang tepat dapat menghambat : (a) respirasi dan kegiatan metabolik lainnya; (b) penuaan karena pematangan, pelunakan, perubahan tekstur dan warna; (c) kehilangan air; (d) kerusakan yang disebabkan bakteri, jamur, dan khamir; (e) pertumbuhan yang tidak diinginkan; (f) perubahan rasa dan bau (Pantastico 1987).

Umur Simpan Makanan

Institute of Food Technologist (IFT) dalam Arpah (2001), mendefinisikan umur simpan produk pangan sebagai selang waktu antara saat produksi hingga saat konsumsi dimana produk berada dalam kondisi yang memuaskan pada sifat-sifat penampakan, rasa, aroma, tekstur, dan nilai gizi, sedangkan National Food Prosessor Association mendefinisikan umur simpan sebagai kualitas produk secara umum yang dapat diterima untuk tujuan seperti yang diinginkan oleh konsumen dan selama bahan pengemas masih memiliki integritas serta memproteksi isi kemasan (Arpah 2001).

Menurut Syarief dan Halid (1993), hasil atau akibat dari berbagai reaksi kimiawi yang terjadi pada produk pangan bersifat akumulatif dan irreversible

(24)

simpan optimum dan pada umumnya mutu gizi pangan tersebut menurun walaupun penampakannya masih bagus.

Faktor yang sangat berpengaruh terhadap penurunan mutu produk pangan adalah perubahan kadar air dalam produk. Kandungan air dalam bahan pangan, selain mempengaruhi terjadinya perubahan fisik juga ikut menentukan kandungan mikroba pada pangan. Selain kadar air, kerusakan produk pangan juga disebabkan oleh ketengikan akibat terjadinya oksidasi atau hidrolisis komponen bahan pangan. Tingkat kerusakan tersebut dapat diketahui melalui analisis tio barbituric acid (TBA). Kerusakan lemak selain menaikkan nilai peroksida juga meningkatkan kandungan malonaldehida. Malonaldehida merupakan suatu bentuk aldehida yang berasal dari degradasi lemak. Malonaldehida yang terkandung pada suatu bahan pangan diukur sebagai angka TBA (Arpah 2001).

Kandungan mikroba, selain mempengaruhi mutu produk pangan juga menentukan keamanan produk tersebut saat dikonsumsi. Pertumbuhan mikroba pada produk pangan dipengaruhi oleh faktor intrinsik dan ekstrinsik. Faktor intrinsik mencakup keasaman (pH), aktivitas air (aw), equilibrium humidity (Eh), kandungan nutrisi, struktur biologis, dan kandungan antimikroba. Faktor ekstrinsik meliputi suhu penyimpanan, kelembapan relatif, serta jenis dan jumlah gas pada lingkungan (Arpah 2001).

Pendugaan Umur Simpan

Penentuan umur simpan secara umum adalah penanganan suatu produk dalam suatu kondisi yang dikehendaki dan dipantau setiap waktu sampai produk tersebut menjadi rusak (Spiegel 1992). Penentuan umur simpan sangat penting dalam proses penyimpanan. Oleh karena itu, dalam menentukan umur simpan suatu produk pangan perlu dilakukan pengukuran terhadap atribut-atribut mutu produk tersebut. Menurut Syarief et al. (1989) faktor-faktor yang mempengaruhi umur simpan produk pangan yang dikemas antara lain kondisi atmosfer (terutama suhu dan kelembaban), sifat bahan pangan tersebut serta ukuran dan kekuatan keseluruhan dari kemasan terhadap keluar masuknya air, gas, dan bau, termasuk perekat, penutupan, dan bagian bagian lain yang terlipat.

(25)

mikroba; dan untuk produk berwujud bubuk, cair, atau kering parameter yang diukur adalah kadar airnya. Pengujian untuk satu produk, dilakukan bukan pada semua parameternya, melainkan hanya salah satu saja, yaitu parameter yang paling cepat mempengaruhi penerimaan konsumen (Syarief et al. 1989).

Sistem penentuan umur simpan secara konvensional membutuhkan waktu yang lama. Penetapan kadaluwarsa dengan metode konvensional atau biasa disebut sebagai metode ESS (Extended Storage Studies) dilakukan dengan cara menyimpan suatu seri sampel produk pada kondisi normal sambil dilakukan pengamatan terhadap penurunan mutunya hingga mencapai mutu yang telah kadaluwarsa. Untuk mempercepat waktu penentuan umur simpan tersebut maka digunakan metode ASLT (Accelerated Shelf Life Testing) atau dikenal dengan sebutan metode akselerasi. Pada metode ini, kondisi penyimpanan diatur di luar kondisi normal sehingga produk dapat lebih cepat rusak dan penentuan umur simpan dapat ditentukan (Arpah dan Syarief 2000). Selain itu, penggunaan metode akselerasi harus disesuaikan dengan keadaan dan faktor yang mempercepat kerusakan produk yang bersangkutan (Ellis 1994).

Tahapan penentuan umur simpan dengan ASLT meliputi penetapan parameter kriteria kedaluwarsa, pemilihan jenis/ tipe pengemas, penentuan suhu untuk pengujian, prakiraan waktu dan frekuensi pengambilan contoh, plotting

data sesuai ordo reaksi, analisis sesuai suhu penyimpanan, dan analisis pendugaan umur simpan sesuai batas akhir penurunan mutu yang dapat ditolerir. Selanjutnya, pendugaan umur simpan dengan metode akselerasi dihitung dengan menggunakan persamaan Arrhenius. Dalam model Arrhenius ini, suhu merupakan faktor yang berpengaruh terhadap produk pangan. Semakin tinggi suhu maka semakin tinggi pula laju berbagai senyawa kimia dan semakin mempercepat terjadinya penurunan mutu produk (Hariyadi dan Andarwulan 2006).

Perhitungan energi aktivasi juga penting dalam menentukan umur simpan suatu produk. Energi aktivasi adalah energi kinetik minimum yang harus dicapai agar reaksi kimia dapat berjalan. Energi aktivasi bisa juga diartikan sebagai energi minimum yang dibutuhkan agar reaksi kimia tertentu dapat terjadi. Energi aktivasi sebuah reaksi biasanya dilambangkan sebagai Ea, dengan satuan kilo

(26)

semakin sulit suatu reaksi kimia dapat dicapai. Begitu juga sebaliknya, semakin rendah energi aktivasi, semakin mudah reaksi kimia dapat dicapai, maka semakin cepat suatu produk mengalami penurunan mutu.

Menurut Kusnandar (2006), produk pangan yang dapat ditentukan umur simpannya dengan model Arrhenius adalah makanan kaleng steril komersial, susu UHT, susu bubuk/formula, produk chip/snack, jus buah, mi instan, frozen meat, dan produk pangan lain yang mengandung lemak tinggi (berpotensi terjadinya oksidasi lemak) atau yang mengandung gula pereduksi dan protein (berpotensi terjadinya reaksi kecoklatan).

Labuza (1982), reaksi penurunan mutu pada kebanyakan produk pangan mengikuti ordo reaksi nol dan satu serta hanya sedikit yang mengikuti ordo reaksi lain. Tipe kerusakan yang tergolong dalam reaksi ordo nol menurut Labuza (1982) diantaranya (1) degradasi enzimatis, misalnya pada buah dan sayuran segar serta beberapa pangan beku; (2) browning non enzimatis, misalnya pada biji-bijian kering, produk susu kering; dan (3) oksidasi lemak, misalnya peningkatan ketengikan pada snack, makanan kering dan pangan beku.

(27)

METODE

Tempat dan Waktu

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Oktober 2011 sampai dengan Januari 2012. Semua rangkaian penelitian (analisis sifat fisik, kimia, mikrobiologi dan organoleptik) dilakukan di laboratorium Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian, Jl. Tentara Pelajar No.12 Kampus Penelitian Pertanian Cimanggu, Bogor.

Bahan dan Alat

Bahan baku yang digunakan dalam penelitian ini adalah keju lunak rendah lemak, dengan formulasi berbahan dasar susu skim yang diemulsikan dengan minyak jagung dengan penambahan probiotik (Lactobacillus casei) (Lobato-Calleros et al 2008). Bahan dasar yang digunakan untuk membuat keju lunak rendah lemak adalah susu sapi segar berkualitas rendah, yang didapatkan dari peternak sapi perah di daerah Leuwiliang, Bogor. Bahan pembuatnya terdiri dari enzim rennet sapi komersial, starter Streptococcus lactis, Lactobacillus casei, minyak jagung (corn oil), polioksietilen sorbitan monostearat (TW-60), sorbitan monostearat (span-60), gliserol monostearat (GMS), dan garam dapur. Bahan yang digunakan untuk kemasan adalah aluminium foil dengan ketebalan 0,08 mm, plastik PP dan PE dengan ketebalan 0,03 mm, serta edible coating

berbahan dasar karagenan.

Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah lemari pendingin, krim separator, pipet volumetrik, inkubator, autoklaf, timbangan analitik, termometer, desikator, labu kjeldahl, erlenmeyer, penangas air, oven, cawan porselen, alat destilasi, texture analizer, pH meter, gelas ukur, tabung reaksi, cawan petri, alat-alat gelas, dan peralatan lain untuk analisis.

Tahapan Penelitian

(28)

pengemasan keju, penyimpanan keju, analisis fisik, kimia dan mikrobiologi selama penyimpanan, perhitungan umur simpan serta uji organoleptik.

Penelitian pendahuluan

Penelitian pendahuluan yang dilakukan adalah pembuatan keju lunak rendah lemak dengan menggunakan bahan dasar susu sapi yang telah di modifikasi (Lobato-Calleros et al. 2003). Proses pembuatan susu sapi modifikasi dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1 Diagram alir proses pembuatan susu sapi modifikasi (Lobato-Calleros et al. 2003)

Susu skim Dicampurkan

Tween-60 + Span-60 + GMS (0,5 : 0,2 : 0,3)

(Total campuran 19,25 g/L susu)

Dipanaskan (sampai tercampur rata)

Ditambahkan Corn Oil 175g/L

Dipanaskan sampai T = 600C

Susu sapi

Dipisahkan lemak

Dipanaskan sampai T = 600C

Diblender (t= 10 menit)

(29)

Proses pembuatan keju lunak rendah lemak menggunakan susu sapi modifikasi dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2 Diagram alir proses pembuatan keju lunak rendah lemak (Maulidayanti 2011)

Susu Sapi Modifikasi*

Dipasteurisasi (T= 63 ± 0,5 0C, t= 30’)

Didinginkan (T= 37 ± 0,5 0C)

Ditambahkan CaCl2 1,5 ml/L susu

Ditambahkan Strepcococus lactis 1 ml/L susu

Ditambahkan Probiotik (L. casei) 10ml/L

Ditambahkan rennet 0,05 g/L susu

Dikoagulasi (t= 30’)

Dipotong-potong ± 1 cm3

Disaring (whey dikeluarkan ± 80%)

Ditambahkan garam (2% berat curd)

Diaduk rata

Dicetak dalam round mold (t= 15 jam)

Diangkat dari round mold

Diperam (t= 3 hari)

(30)

Keju lunak rendah lemak yang dihasilkan selanjutnya dianalisis fisik (kadar air), kimia (bilangan TBA dan pH), dan mikrobiologi (Coliform,

Streptococcus lactis, dan Staphylococcus aureus) untuk mendapatkan nilai awal dari parameter kriteria kadaluwarsa tersebut.

Penelitian utama

Penelitian utama adalah melakukan kegiatan pendugaan umur simpan keju lunak rendah lemak yang dihasilkan pada tahap sebelumnya. Adapun kegiatan tersebut terdiri dari pengemasan keju, penyimpanan keju, analisis fisik, kimia dan mikrobiologi selama penyimpanan, perhitungan umur simpan serta uji organoleptik. Pendugaan umur simpan dilakukan dengan menggunakan metode

Accelerated Storage Studies (ASS) atau Accelerated Shelf Life Testing dengan pendekatan semi empiris persamaan Arrhenius. Tahapan penentuan umur simpan dengan ASS meliputi penetapan parameter kriteria kedaluwarsa, pemilihan jenis dan tipe pengemas, penentuan suhu untuk pengujian, prakiraan waktu dan frekuensi pengambilan contoh, plotting data sesuai ordo reaksi, analisis sesuai suhu penyimpanan, dan analisis pendugaan umur simpan sesuai batas akhir penurunan mutu yang dapat ditolerir. Tahapan pendugaan umur simpan dapat dilihat pada Gambar 3.

Parameter kriteria kadaluwarsa yang digunakan meliputi kadar air, bilangan TBA, tekstur (kekerasan), dan nilai pH. Pemilihan kriteria kadaluarsa ini didasarkan pada parameter yang paling cepat mempengaruhi mutu dan umur simpan produk selama penyimpanan (Syarief et al. 1989). Parameter mutu mikrobiologi meliputi uji pendugaan Coliform, Streptococcus lactis, dan

Staphylococcus aureus digunakan sebagai parameter keamanan pangan.

Bahan pengemas yang digunakan adalah bahan pengemas yang umum digunakan dalam pengemasan keju yaitu plastik polipropilen, pelietilen, aluminium foil serta edible coating berbahan dasar karagenan. Pembuatan edible coating berbahan dasar karagenan dapat dilihat pada Gambar 4. Pengemasan

(31)

Gambar 3 Tahapan proses pendugaan umur simpan

Gambar 4 Tahapan pembuatan dan aplikasi edible coating pada keju (Kampf dan Nussinovitch 2000)

Dipanaskan Akuades (T=90oC)

Dimasukan karagenan (Karagenan : akuades = 1:100)

Diaduk hingga larut

Diturunkan suhu (T=50oC)

Dicelupkan keju selama 20 detik

Diangkat dan dicelupkan ke dalam larutan KCl 1% selama 20 detik

Diangkat dan dikeringkan di suhu ± 40oC selama 20 menit Keju terpilih

Dikemas dengan plastik

polipropilen

Dikemas dengan edible

coating*

Dikemas dengan Aluminium foil Keju lunak rendah lemak

Dikemas dengan plastik

polietilen

Analisis fisik, kimia, mikrobiologi

Pendugaan umur simpan

Uji organoleptik Disimpan dalam

ruang pendingin (suhu 5 ± 2,5oC)

(32)

Pendugaan umur simpan metode ASLT (Arpah 2001). Metode ASLT ini pada awalnya dilakukan dengan membuat plot data hubungan antara nilai mutu (Qt) untuk masing-masing suhu terhadap waktu pengamatan (t, hari) menurut reaksi ordo 0 dan 1. Selanjutnya berdasarkan persamaan tersebut dapat diperoleh nilai konstanta laju reaksi atau penurunan mutu (kt) dan dengan membandingkan nilai R2 -nya, maka dapat ditentukan pula ordo reaksi yang paling cocok. Kemudian, penetapan umur simpannya dapat diperoleh melalui ekstrapolasi suhu penyimpanan pada persamaan Arrhenius (1.1).

Kt = ko.exp (-Ea/RT) (1.1) dimana:

kt = konstanta laju penurunan mutu

ko = konstanta (faktor frekuensi yang tidak tergantung suhu) Ea = energi aktivasi

T = suhu mutlak (K)

R = konstanta gas (1.986 kal/mol K)

Untuk menentukan umur simpan (ts) pada suhu penyimpanan tertentu sebagaimana yang diinginkan dapat digunakan persamaan berikut :

Untuk perhitungan umur simpan ordo nol : ts = (A0-At)/kt (1.2) Untuk perhitungan umur simpan ordo nol : ts = [ln(A0-At)]/kt (1.3) dimana:

t = umur simpan (hari) A0 = nilai mutu awal

At = nilai batas kritis / batas mutu akhir Kt = konstanta penurunan mutu pada suhu T

(33)

Rancangan Percobaan

Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah rancangan acak lengkap (RAL) dengan dua faktor perlakuan dan dua kali ulangan. Bentuk umum dari rancangan tersebut adalah:

Yijk=

+ Ai + Bj + ABij +

ijk Keterangan:

Yijk = nilai pengamatan respon percobaan karena pengaruh taraf ke-i faktor kemasan, taraf j faktor suhu, taraf k faktor minggu, pada ulangan ke l (l = 1,2)

= nilai rata-rata umum

Ai = efek faktor kemasan pada taraf ke-i (i =1 untuk plastik PP, 2 untuk plastik PE, 3 untuk aluminium foil, dan 4 untuk edible coatings) Bj = efek faktor suhu pada taraf ke-j (j=1 untuk suhu 5 ± 2,5oC, 2 untuk

suhu 25 ± 2,5oC)

ABij = efek interaksi faktor kemasan taraf ke-i dengan faktor suhu taraf j

ijk = efek kesalahan percobaan pada ulangan ke l (l=1, 2) karena pengaruh kombinasi perlakuan

Pengolahan dan Analisis Data

(34)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Karakteristik Keju Lunak Rendah Lemak

Karakterisasi keju lunak rendah lemak dilakukan sesuai dengan parameter atribut mutu yang diamati selama masa penyimpanan. Untuk satu produk, yang diuji bukan semua parameternya, melainkan hanya salah satu atau beberapa saja, yaitu parameter yang paling cepat mempengaruhi mutu dan umur simpan produk selama penyimpanan (Syarief et al. 1989). Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi penurunan mutu produk pangan. Floros dan Gnanasekharan (1993) menyatakan terdapat enam faktor utama yang mengakibatkan terjadinya penurunan mutu atau kerusakan pada produk pangan, yaitu massa oksigen, uap air, cahaya, mikroorganisme, kompresi atau bantingan, dan bahan kimia toksik atau off flavor.

Untuk produk keju lunak rendah lemak, parameter yang dipilih meliputi kadar air, bilangan TBA (kadar MDA), tekstur (kekerasan), dan pH. Keju merupakan bahan makanan yang mengandung lemak dan mudah teroksidasi, sehingga parameter TBA dipilih sebagai salah satu parameter umur simpannya. Parameter tekstur dan kadar air dipilih berdasarkan kriteria kadaluarsa produk keju yang ditetapkan Floros dan Gnanasekharan (1993) yaitu penurunan kadar air sehingga mengakibatkan perubahan pada kekerasan keju tersebut. Untuk parameter pH dipilih berdasarkan pengaruhnya terhadap pertumbuhan mikroba dalam keju. Hasil karakterisasi dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2 Nilai awal produk keju lunak rendah lemak

Karakteristik Nilai Awal

Kadar lemak (%) 19,9

Kadar air (%) 46,24

Tekstur Kekerasan (gf) 36,1

Bilangan TBA

(mg MDA/kg sampel) 0,01

pH 5,1

Mikrobiologi

BAL (log CFU/gr) 7,28

Coliform (CFU/gr) 0

S. aureus (log CFU/gr) 0,7

(35)

dan Mehmet 2003). Nilai awal Bilangan TBA keju lunak rendah lemak sebesar 0,01 mg MDA/kg berada dibawah bilangan TBA keju graviera yaitu 0,05 mg MDA/kg (Mexis et al. 2011). Nilai awal pH keju lunak rendah lemak sebesar 5,1, berada pada kisaran pH keju cottage yaitu 5,0-5,3 (Elmer dan James 1990).

Analisis mikrobiologi dilakukan untuk melihat bakteri yang terdapat pada awal pembuatan keju. Streptococcus lactis merupakan bakteri yang berfungsi sebagai starter dalam pembuatan keju. Bakteri ini memiliki nilai awal sebesar 7,28 log CFU/gr. Hasil ini tidak jauh berbeda jika dibandingkan dengan bakteri asam laktat pada keju graviera yang memiliki nilai awal sebesar 7,39 log CFU/gr (Mexis et al. 2011). Bakteri yang biasa mengontaminasi keju adalah Coliform dan

Staphylococcus aureus yang pada awal pengujian memiliki nilai awal masing-masing sebesar 0 CFU/gr dan 0,7 log CFU/gr.

Karakteristik Kemasan

Kemasan yang digunakan untuk penyimpanan keju lunak rendah lemak adalah kemasan plastik polipropilen, plastik polietilen, aluminium foil dan edible coating berbahan dasar karagenen. Karakterisasi kemasan bertujuan untuk mendapatkan nilai densitas, dan permeabilitas terhadap uap air dan gas oksigen yang akan berpengaruh terhadap mutu keju selama penyimpanan. Hasil karakterisasi kemasan dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3 Karakterisasi jenis kemasan

Jenis

(36)

rendah menunjukan bahwa kemasan tersebut memiliki struktur yang terbuka dan permeabilitas yang tinggi sehingga mudah ditembus gas dan fluida (Bierley 1988).

Perubahan Parameter Mutu Simpan Selama Penyimpanan Bilangan TBA

Angka TBA menjadi faktor penting untuk suatu produk makanan yang mengandung lemak bila dihubungkan dengan kualitas produk. Secara umum, keju rendah lemak memiliki komponen lemak yang lebih rendah dibandingkan dengan varietas keju lemak penuh (Mistry dan Anderson 1993). Walaupun lebih rendah, kadar lemak yang terkandung pada keju tetap memungkinkan terjadinya reaksi oksidasi antara lemak dengan oksigen. Malonaldehid sebagai hasil oksidasi lemak mengindikasikan adanya ketengikan pada suatu produk. Perubahan angka TBA yang signifikan dapat merubah rasa, tekstur dan aroma dari suatu produk makanan. Hasil analisis bilangan TBA dari tiap perlakuan selama penyimpanan dapat dilihat pada Lampiran 2.

Gambar 5 menunjukan bahwa kadar malonaldehid pada masing-masing perlakuan semakin meningkat seiring dengan lama waktu penyimpanan. Dari grafik dapat dilihat, semua perlakuan kecuali EC2, memiliki peningkatan tren yang tidak begitu besar. Perlakuan PE1 memiliki peningkatan tren yang paling kecil dengan nilai slope yaitu 0,007. Sedangkan peningkatan tren paling besar dimiliki oleh EC2 dengan nilai slope yaitu 0,045.

(37)

Keju yang disimpan pada suhu ruang (PP2, PE2, AL2, EC2) memiliki

slope yang lebih besar dari pada produk yang disimpan pada suhu refrigerator (PP1, PE1, AL1, EC1). Semakin tinggi nilai slope menunjukan semakin cepat terjadinya reaksi deteriorasi (penurunan mutu) pada produk. Hal ini menunjukan bahwa keju yang disimpan pada suhu ruang memiliki laju oksidasi lemak yang lebih cepat dibandingkan dengan keju yang disimpan pada suhu refrigerator. Hal ini disebabkan karena penggunaan suhu rendah (pendinginan) dapat memperlambat reaksi metabolisme, reaksi enzimatis, reaksi kimia, termasuk reaksi oksidasi lemak (Fardiaz 1982). Hasil uji t menunjukan bahwa peningkatan bilangan TBA berbeda nyata (p<0,05) antara produk yang disimpan pada suhu refrigerator dengan produk yang disimpan pada suhu ruang (Lampiran 3).

Kenaikan bilangan TBA menunjukkan kenaikan kadar malonaldehid selama penyimpanan yang disebabkan adanya proses oksidasi. Proses oksidasi terjadi karena kontak antara oksigen dengan lemak yang menghasilkan asam lemak, kemudian peroksida dioksidasi lebih lanjut membentuk aldehid dalam bentuk malonaldehid sehingga angka TBA meningkat (Fennema 1976). Penggunaan berbagai macam bahan pengemas juga berpengaruh terhadap angka TBA. Lampiran 2 menunjukan bahwa bilangan TBA paling rendah pada akhir pengamatan dimiliki oleh perlakuan PE1 yaitu sebesar 0,23 mg MDA/kg, sedangkan yang tertinggi dimiliki oleh perlakuan EC2 yaitu sebesar 1,325 mg MDA/kg.

Berdasarkan bilangan TBA yang didapat, plastik PE memiliki daya tahan terhadap oksigen yang lebih baik dibandingkan produk yang dikemas dengan plastik PP, aluminium foil dan edible coating. Hal ini dipengaruhi oleh densitas dan permeabilitas dari masing-masing kemasan. Kemasan yang memiliki densitas yang tinggi menandakan bahwa kemasan tersebut memiliki struktur yang tertutup, artinya tidak mudah ditembusi fluida dan gas (Bierley et al. 1988). Menurut nilai densitas, kemasan AL yang memiliki densitas paling tinggi seharusnya lebih memiliki daya tahan terhadap oksigen yang lebih baik. Penyimpangan ini terjadi karena pada kemasan AL tidak dilakukan proses vacum packaging (pengemasan vakum) sehingga udara maupun uap air masih bisa menembus kemasan melalui celah-celah yang terbuka.

(38)

rendah, yang terlihat dari permeabilitas terhadap O2 dan H2O yang tinggi, sehingga laju oksidasinya menjadi lebih besar. Hasil uji sidik ragam menunjukan penggunaan berbagai bahan pengemasan berpengaruh nyata (p<0,05) terhadap peningkatan bilangan TBA (Lampiran 4). Hasil Uji lanjut Duncan menunjukan bahwa peningkatan bilangan TBA pada kemasan PE, AL, dan PP tidak berbeda nyata, namun berbeda nyata terhadap kemasan EC (Lampiran 5). Sejalan dengan hasil yang di dapat, Mexis et al. (2011) menemukan adanya peningkatan TBA yang signifikan pada keju graviera selama penyimpanan, yang berhubungan langsung terhadap jenis kemasan, waktu dan suhu penyimpanan.

Kadar Air

Kadar air merupakan faktor yang sangat berpengaruh terhadap penurunan mutu produk pangan. Kandungan air dalam bahan pangan, selain mempengaruhi terjadinya perubahan fisik, menentukan perubahan mikrobiologi (kandungan mikroba) dalam pangan. Hasil analisis kadar air dari tiap perlakuan selama penyimpanan dapat dilihat pada Lampiran 2.

Gambar 6 Perubahan kadar air pada masing-masing perlakuan selama penyimpanan

Gambar 6 memperlihatkan perubahan kadar air pada masing-masing perlakuan selama penyimpanan. Selama penyimpanan, semua perlakuan mengalami penurunan tren yang ditandai dengan slope negatif. Hal tersebut menunjukan bahwa kadar air pada masing-masing perlakuan semakin menurun seiring dengan lamanya penyimpanan. Semua perlakuan kecuali EC2, memiliki

Gambar

Gambar 1  Diagram alir proses pembuatan susu sapi modifikasi
Gambar 2  Diagram alir proses pembuatan keju lunak rendah lemak
Gambar 3  Tahapan proses pendugaan umur simpan
Gambar  5  Perubahan angka TBA pada masing-masing perlakuan selama
+7

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian menunjukan bahwa penyimpanan jamur tiram dalam kemasan plastik polypropylene dapat mempertahankan laju penurunan mutu dan umur simpan jamur tiram putih segar

Berdasarkan analisis mikroba selama penyimpanan di suhu 30 o C, batas umur simpan cumi-cumi olahan dengan kemasan non-vakum, dikemas dengan kemasan PP vakum dan PE vakum adalah 12

Dibandingkan dengan kemasan karton gelombang baik yang disimpan dalam suhu ruang maupun dalam chiller , nilai slope yang ditunjukkan lebih tinggi yaitu sebesar -0.1085

Pendugaan umur simpan tepung cine au hitam instan pada suhu 25oC adalah sebesar 216 minggu untuk kemasan polietilen densitas rendah dan 224 minggu untuk kemasan

4.2 Pengaruh Jenis Kemasan Dan Suhu Penyimpanan Terhadap Mutu Jamur Tiram (Pleorotus, sp) Kering Selama

Penyimpanan pada suhu rendah memiliki kontribusi yang nyata terhadap umur simpan jamur tiram putih segar, hal tersebut diperkuat dengan hasil penelitian yang

Akan tetapi, dengan melihat hasil dari ketiga faktor kritis diatas, yoghurt simbiotik dalam kemasan HDPE pada penyimpanan suhu 2-4°C memiliki umur simpan yang paling

Efektifitas kemasan dan suhu ruang simpan terhadap daya simpan benih kedelai Glycine max L... Mutu Fisiologis Benih Dari Berbagai Tingkat Bobot Biji Selama Periode