• Tidak ada hasil yang ditemukan

UMUR SIMPAN YOGHURT SIMBIOTIK DENGAN VARIASI BAHAN KEMASAN DAN SUHU PENYIMPANAN SKRIPSI RISA ASRIYANI F

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "UMUR SIMPAN YOGHURT SIMBIOTIK DENGAN VARIASI BAHAN KEMASAN DAN SUHU PENYIMPANAN SKRIPSI RISA ASRIYANI F"

Copied!
62
0
0

Teks penuh

(1)

UMUR SIMPAN YOGHURT SIMBIOTIK DENGAN VARIASI

BAHAN KEMASAN DAN SUHU PENYIMPANAN

SKRIPSI

RISA ASRIYANI

F34070019

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2012

(2)

SHELF LIFE OF SYMBIOTIC YOGHURT IN VARIETY OF

PACKAGING MATERIALS AND STORAGE TEMPERATURES

Risa Asriyani, Liesbetini Hartoto and Erliza Hambali

Departement of Agroindustrial Technology, Faculty of Agricultural Engineering and Technology, Bogor Agricultural University, IPB Dramaga Campus, PO BOX 220, Bogor 16002, West Java,

Indonesia

Phone: +6285723400448, E-mail: risaasriyani@yahoo.com

ABSTRACT

Symbiotic yoghurt was made by combination of probiotic culture (Bifidobacterium longum and Lactobacillus acidophilus) and non-probiotic bacteria (Lactobacillus bulgaricus and Streptococcus thermophilus) with instant soy bean flour as prebiotic source. This yoghurt was packaged in three different types of packaging namely HDPE, PET and glass bottle under three different temperatures (room temperature, 2-4°C and 7-9°C). Critical parameters of shelf life determination were titratable acidity, total of coliform bacteria, and organoleptic acceptance. Storage time caused decrease of symbiotic yoghurt quality which was characterized by increased titratable acidity and total of coliform bacteria also organoleptic deterioration. Shelf life of symbiotic yoghurt was determined based on how long the critical parameter was attained a minimum limit quality of yoghurt in SNI 2981-2009 about yoghurt. Shelf life of symbiotic yoghurt stored at room temperature with HDPE bottle was one day, whereas with PET bottle and glass bottle were 2 days. At 2-4 °C, the shelf life in HDPE and PET bottle was 21 days, whereas the shelf life in glass bottle was 14 days. At 7-9 °C, the shelf life in HDPE bottle was 7 days, whereas the shelf life in PET bottle and glass bottle were 10 days and 21 days respectively. The result showed that the best shelf life was obtained by used HDPE bottle and storage at 2-4 °C.

(3)

RISA ASRIYANI. F34070019. Umur Simpan Yoghurt Simbiotik dengan Variasi Bahan Kemasan dan Suhu Penyimpanan. Di bawah bimbingan Liesbetini Hartoto dan Erliza Hambali. 2012.

RINGKASAN

Yoghurt simbiotik yang digunakan dalam penelitian ini dibuat dengan menggabungkan bakteri probiotik (Bifidobacterium longum dan Lactobacillus acidophilus) dan bakteri non probiotik (Lactobacillus bulgaricus dan Streptococcus thermophilus) dengan sumber prebiotik dari kacang kedelai yang telah diolah menjadi kedelai bubuk instan (tepung kedelai). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perubahan mutu yoghurt simbiotik selama penyimpanan serta melakukan penentuan umur simpan yoghurt simbiotik dengan variasi bahan kemasan dan suhu penyimpanan.

Analisis awal dilakukan terhadap yoghurt simbiotik sebelum penyimpanan. Analisis dilakukan terhadap parameter kritis umur simpannya yang meliputi total asam tertitrasi (TAT), total koliform, dan penurunan mutu organoleptik. Yoghurt simbiotik kemudian dikemas dalam tiga jenis kemasan yaitu HDPE, PET, dan gelas serta disimpan pada tiga suhu yang berbeda yaitu pada suhu ruang, suhu 2-5°C, dan suhu 7-9°C. Pengujian yoghurt simbiotik yang disimpan pada suhu ruang dilakukan selama 3 hari penyimpanan. Pengukuran total asam tertitrasi (TAT) dan uji koliform yoghurt simbiotik pada dua suhu dingin dilakukan selama 28 hari penyimpanan. Batasan mutu dan batas minimum yoghurt simbiotik menggunakan SNI 2981-2009 mengenai yoghurt untuk penentuan umur simpannya. Data yang diperoleh diolah menggunakan Microsoft Excel dan analisis deskriptif.

Lama penyimpanan menyebabkan penurunan mutu yoghurt simbiotik yang ditandai dengan meningkatnya total asam tertitrasi, bertambahnya total koliform, dan penurunan mutu organoleptik. Penurunan mutu yang paling cepat terjadi saat yoghurt simbiotik disimpan pada suhu ruang yang ditandai dengan meningkatnya TAT, pertumbuhan bakteri koliform, dan penurunan mutu organoleptik yang melebihi standar SNI dalam waktu kurang dari satu minggu penyimpanan. Semakin rendah suhu penyimpanan, semakin lambat laju penurunan mutu yoghurt simbiotik. Sedangkan semakin rendah permeabilitas kemasan semakin cepat peningkatan TAT dan pertumbuhan koliform tetapi semakin lambat penurunan mutu organoleptiknya.

Umur simpan yoghurt dapat ditentukan dari faktor kritis kerusakan yang paling cepat. Yoghurt simbiotik yang disimpan pada suhu ruang umur simpannya adalah 1 hari saat dikemas dalam botol HDPE, dan 2 hari saat dikemas dalam botol PET dan gelas. Pada penyimpanan suhu 2-4°C, umur simpannya adalah 21 hari saat dikemas dalam botol HDPE dan PET, dan 14 hari saat dikemas dalam botol gelas. Pada suhu penyimpanan 7-9°C, umur simpannya adalah 7 hari saat dikemas dalam botol HDPE, 10 hari dalam botol PET, dan 21 hari saat dikemas dalam botol gelas. Akan tetapi, dengan melihat hasil dari ketiga faktor kritisnya, umur simpan yang paling lama (yang terbaik) adalah yoghurt simbiotik yang dikemas dalam botol HDPE pada penyimpanan suhu 2-4°C.

(4)

UMUR SIMPAN YOGHURT SIMBIOTIK DENGAN VARIASI

BAHAN KEMASAN DAN SUHU PENYIMPANAN

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN

pada Departemen Teknologi Industri Pertanian,

Fakultas Teknologi Pertanian,

Institut Pertanian Bogor

Oleh

RISA ASRIYANI

F34070019

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2012

(5)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI

Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi dengan judul Umur Simpan Yoghurt Simbiotik dengan Variasi Bahan Kemasan dan Suhu Penyimpanan adalah hasil karya saya sendiri dengan arahan Dosen Pembimbing Akademik, dan belum diajukan dalam bentuk apapun pada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Mei 2012

Yang membuat pernyataan

Risa Asriyani F34070019

(6)

©Hak cipta milik Risa Asriyani, tahun 2012 Hak cipta dilindungi

Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari

Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak, fotokopi, mikrofilm, dan sebagainya.

(7)

BIODATA PENULIS

Risa Asriyani dilahirkan di Tasikmalaya pada 13 Mei 1989 sebagai anak pertama dari tiga bersaudara, dari pasangan Tata Zenal Mutakin dan Nina Nurhayati. Penulis menamatkan sekolah dasar di SD Negeri Salawu II (1995-2001), dan melanjutkan ke SMP Negeri I Singaparna (2001-2004). Pada Tahun 2007 penulis lulus dari SMA Negeri 1 Singaparna Tasikmalaya dan melanjutkan studi di Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dengan mengambil pilihan mayor Teknologi Industri Pertanian. Penulis pernah menjadi asisten Pendidikan Agama Islam (PAI). Selain menjalani aktivitas akademik, penulis juga aktif menjadi pengurus di Lembaga Dakwah Kampus Al Hurriyyah IPB (2008-2011) dan Forum Bina Islami FATETA (2009). Penulis juga aktif mengikuti kegiatan kepanitiaan dan kompetisi. Pada tahun 2010, penulis beserta tim GREENTECH EMC berhasil lolos dan didanai dalam Program Mahasiswa Wirausaha Bidang Perdagangan dan Jasa yang diadakan oleh Direktorat Pengembangan Karir dan Hubungan Alumni (DPKHA) IPB. Pada tahun 2011 penulis beserta tim mengikuti Program Kreativitas Mahasiswa Bidang Kewirausahaan yang berhasil lolos dan didanai oleh Direktorat Jenderal Perguruan Tinggi (DIKTI). Selain itu, penulis melaksanakan program praktik lapangan di PT. Amanah Prima Indonesia dengan judul “Mempelajari Aspek Teknologi Proses Produksi, Penyimpanan, dan Penggudangan Produk TOZA Juice di PT Amanah Prima Indonesia“. Pada masa akhir perkuliahan, penulis menyelesaikan skripsi yang berjudul “Umur Simpan Yoghurt Simbiotik dengan Variasi Bahan Kemasan dan Suhu Penyimpanan”.

(8)

i

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Umur Simpan Yoghurt Simbiotik dengan Variasi Bahan Kemasan dan Suhu Penyimpanan”. Penyelesaian skripsi ini dilakukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Teknologi Pertanian pada Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor. Penulisan skripsi ini tidak lepas dari bimbingan, dukungan, dan doa dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan terimakasih kepada :

1. Dr. Ir. Liesbetini Hartoto, MS. selaku dosen pembimbing pertama dan Prof. Dr. Erliza Hambali selaku pembimbing kedua yang telah memberikan arahan dan bimbingan kepada penulis. 2. Dr. Endang Warsiki, S.TP, M. Si. selaku penguji yang telah memberikan kritik dan saran untuk

perbaikan skripsi.

3. SBRC (Surfactant and Bioenergy Research Center) yang telah mendukung penelitian penulis. 4. Bapak Encep dan Mbak Hani serta ERIF FARM Cisarua atas bantuan penyediaan alat dan

bahan penelitian penulis.

5. Para laboran di laboratorim TIN yaitu Pak Edi, Pak Sugi, Ibu Ega, Pak Gun, Ibu Sri, Ibu Rini dan Pak Diky atas bantuannya selama penulis melakukan penelitian.

6. Orang tua tercinta, De Iman, De Nurul, Mang Edi dan keluarga besar yang selalu memberikan motivasi, do’a terbaik dan dukungan moril maupun materil kepada penulis.

7. Sahabatku Zulhadiati Agustina yang selalu setia membantu, menemani, dan menyemangati penulis saat penelitian hingga lulus sidang, juga untuk Ria, Lili, Nunung, Ghilda, Dayu, Wardah, dan teman-teman TIN 44 semuanya, yang selalu saling menyemangati, membantu, dan mendoakan penulis hingga selesainya skripsi ini.

8. Sahabat Lolly Pop atas kebersamaan, do’a, dan ukhuwah yang begitu indah selama 4,5 tahun ini, SDM LDK AH 2011 dan Sahabat GREENTECH atas kebesamaannya dalam melatih jiwa wirausaha dan motivasi yang diberikan selama penyelesaian skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini tidak luput dari kesalahan dan kekurangan. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan untuk penulisan selanjutnya. Penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak.

Bogor, Mei 2012

(9)

ii

DAFTAR ISI

Halaman KATA PENGANTAR ... DAFTAR TABEL ... DAFTAR GAMBAR ... .. DAFTAR LAMPIRAN ... I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... ... 1.2 Tujuan ... ... 1.3 Ruang Lingkup ... II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Susu Segar ... 2.2 Kedelai ... ... 2.3 Bakteri Asam Laktat (BAL) ... 2.4 Yoghurt Simbiotik ... ... 2.5 Suhu Penyimpanan Yoghurt ... 2.6 Viabilitas BAL dalam Yoghurt Simbiotik ... 2.7 Pengemasan ... 2.7 Umur Simpan ... III. METODE PENELITIAN

3.1 Bahan dan Alat ... 3.2 Waktu dan Tempat Penelitian ... 3.3 Metode ... IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Pembuatan Yoghurt Simbiotik ... 4.2 Perubahan Mutu Yoghurt Simbiotik Selama Penyimpanan

4.2.1 Total Asam Tertitrasi ... 4.2.2 Koliform ... 4.2.3 Perubahan Mutu Organoleptik Selama Penyimpanan ... 4.3 Penentuan Umur Simpan Yoghurt Simbiotik ... 4.4 Viabilitas Yoghurt Simbiotik ... V. SIMPULAN DAN SARAN

5.1 Simpulan ... 5.2 Saran ... ... DAFTAR PUSTAKA ... LAMPIRAN ... i iii iv v 1 2 2 3 5 6 9 12 12 13 17 17 17 20 24 27 29 33 36 37 38 38 39 44

(10)

iii

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel 1. Komposisi Susu Sapi ... Tabel 2. Syarat Mutu Susu Segar ... Tabel 3 Kandungan Gizi dalam Setiap 100 gram Biji Kedelai Kering ... Tabel 4. SNI Yoghurt ... Tabel 5. Viabilitas BAL selama 15 hari Penyimpanan Suhu Refrigerasi ... Tabel 6. Daya Tembus Plastik terhadap N2, O2, CO2, dan H2O ...

Tabel 7. Densitas Bahan Kemasan Yoghurt Simbiotik ... Tabel 8. Hasil Analisis Awal Yoghurt Simbiotik ... Tabel 9. Hasil Pengamatan Mutu Organoleptik selama Penyimpanan Suhu Ruang ... Tabel 10. Hasil Pengamatan Mutu Organoleptik selama Penyimpanan Suhu 2-4°C ... Tabel 11. Hasil Pengamatan Mutu Organoleptik selama Penyimpanan Suhu 7-9°C ... Tabel 12. Penentuan Umur Simpan Yoghurt Simbiotik ... Tabel 13. APM/g Sampel apabila Menggunakan 3 Tabung untuk setiap Tingkat

Pengenceran 10-1 (0,1), 10-2 (0,01), dan 10-3 (0,001) g/ml Sampel ... 3 4 5 11 12 15 15 26 33 34 35 36 46

(11)

iv

DAFTAR GAMBAR

Halaman Gambar 1. Lactobacillus bulgaricus... Gambar 2. Streptococcus thermophilus... Gambar 3. Bifidobacterium longum ... Gambar 4. Lactobacillus acidophilus ... Gambar 5. Diagram Alir Pembuatan Yoghurt Simbiotik ... Gambar 6. Diagram Alir Penelitian ... Gambar 7. Histogram Perubahan TAT Yoghurt Simbiotik pada Penyimpanan Suhu Ruang... Gambar 8. Histogram Perubahan TAT Yoghurt Simbiotik pada Penyimpanan Suhu 2-4°C ... Gambar 9. Histogram Perubahan TAT Yoghurt Simbiotik pada Penyimpanan Suhu 7-9°C ... Gambar 10. Histogram Perubahan Total Koliform selama Penyimpanan Suhu Ruang ... Gambar 11. Histogram Perubahan Total Koliform selama Penyimpanan Suhu 2-4°C ... Gambar 12. Histogram Perubahan Total Koliform selama Penyimpanan Suhu 7-9°C ...

7 8 8 9 22 23 27 28 28 30 31 32

(12)

v

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman Lampiran 1. Prosedur Analisa ... Lampiran 2. Hasil Analisis TAT Yoghurt Simbiotik selama Penyimpanan ... Lampiran 3. Hasil Analisis Total Koliform Yoghurt Simbiotik selama Penyimpanan ... Lampiran 4. Dokumentasi Penelitian ...

44 46 47 48

(13)

1

I.

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Yoghurt adalah produk yang diperoleh dari fermentasi susu dan atau susu rekonstitusi dengan menggunakan bakteri Lactobacillus bulgaricus dan Streptococcus thermophilus dan atau bakteri asam laktat lain yang sesuai, dengan atau tanpa penambahan bahan pangan lain dan bahan tambahan pangan yang diizinkan (SNI 2981, 2009). Menurut Wahyudi (2006), yoghurt mempunyai nilai gizi yang lebih tinggi daripada susu segar sebagai bahan dasar dalam pembuatan yoghurt, terutama karena meningkatnya total padatan, sehingga kandungan zat-zat gizi lainnya juga meningkat. Umur simpan yoghurt juga lebih lama dibandingkan susu segar.

Yoghurt biasanya dibuat dengan menggunakan dua jenis bakteri asam laktat (BAL) yaitu

Lactobacillus bulgaricus dan Streptococcus thermophilus sebagai starter. Namun, kedua bakteri ini

tidak bisa hidup dalam saluran pencernaan yang keasamannya sangat tinggi. Jika bakteri tersebut mati saat mencapai usus kecil, maka keuntungan bakteri bagi kesehatan saluran pencernaan akan berkurang (Helferich dan Westhoff, 1980). Untuk itu, dikembangkan yoghurt probiotik yang ditambahkan dengan BAL yang bersifat probiotik, misalnya Lactobacillus acidophilus, Lactobacillus casei, dan

Bifidobacterium yang dapat hidup dan melakukan metabolisme di dalam usus. Hull et al. (1992)

mendefinisikan probiotik sebagai suplemen makanan yang mengandung kultur murni atau campuran dari mikroba hidup yang menguntungkan bagi manusia atau hewan dengan cara menjaga keseimbangan mikroba indigenous (mikroba asli yang hidup dalam saluran pencernaan). Keseimbangan yang baik dalam ekosistem mikroflora usus bisa menguntungkan kesehatan tubuh dan dapat dipengaruhi oleh konsumsi probiotik setiap hari (Lisal, 2005). Untuk menstimulasi pertumbuhannya, bakteri probiotik dapat dipadukan dengan sumber prebiotik.

Prebiotik dinyatakan sebagai bahan pangan yang tidak dapat dicerna (nondigestible) yang menguntungkan bagi inang dengan menstimulasi secara selektif pertumbuhan dan atau aktivitas bakteri tertentu dalam kolon inang (Gibson dan Robertfroid, 1995). Bahan pangan sumber prebiotik misalnya kacang kedelai, talas, umbi garut, ubi jalar, dan sukun. Prebiotik harus berada dalam makanan yang dikonsumsi dan banyak mengandung oligosakarida. Menurut Muchtadi (2005), oligosakarida adalah karbohidrat berbobot molekul rendah yang terdiri dari tiga sampai sepuluh gugus gula sederhana (monosakarida). Contohnya adalah rafinosa, stakiosa, dan verbaskosa yang terdapat dalam bahan pangan nabati seperti kacang-kacangan (misalnya kedelai) dan beberapa jenis umbi-umbian (misalnya ubi jalar). Oligosakarida tidak dapat dicerna dalam usus karena manusia tidak mempunyai enzim yang sesuai untuk mencernanya sehingga tidak dapat diserap usus. Selanjutnya oligosakarida akan difermentasi (digunakan sebagai sumber energi) oleh bakteri yang terdapat dalam saluran pencernaan, sehingga dapat menstimulir pertumbuhan bakteri probiotik dan menekan bakteri patogen dalam pencernaan.

Kacang kedelai merupakan salah satu sumber prebiotik. Kacang kedelai mengandung rafinosa dan stakiosa sebagai oligosakarida utama. Berdasarkan percobaan terhadap manusia, secara umum rafinosa dan oligosakarida kedelai lainnya menunjukkan aktivitas prebiotik meskipun terdapat hasil yang bervariasi (Gibson, 2004).

Dewasa ini dikembangkan produk pangan dengan konsep simbiotik yang memadukan sumber prebiotik dan bakteri probiotik. Keuntungan produk simbiotik adalah meningkatkan daya tahan hidup bakteri probiotik karena substrat yang spesifik telah tersedia untuk fermentasi, sehingga bisa didapatkan manfaat yang lebih sempurna dengan mengkonsumsinya. Hasil penelitian Maduningsih

(14)

2

(2008) menunjukkan bahwa berdasarkan jumlah L. acidophilus dan B. longum di dalam kolon dan kemampuan menghambat pertumbuhan E. coli, mengkonsumsi yogurt simbiotik secara nyata mempengaruhi populasi bakteri probiotik L. acidophilus dan B. longum di dalam saluran pencernaan. Salah satu produk pangan dengan konsep simbiotik yaitu yoghurt simbiotik. Dalam penelitian ini, yoghurt simbiotik dibuat dengan menggabungkan bakteri probiotik (Bifidobacterium longum dan

Lactobacillus acidophilus) dan bakteri non probiotik (Lactobacillus bulgaricus dan Streptococcus thermophilus) dengan sumber prebiotik dari kacang kedelai yang telah diolah menjadi kedelai bubuk

instan.

Pada saat baru diproduksi, mutu yoghurt simbiotik dianggap dalam keadaan 100%, namun akan menurun sejalan dengan lamanya penyimpanan atau distribusi hingga mencapai batas umur simpannya. Menurut Institute of Food Science and Technology (1974), umur simpan produk pangan adalah selang waktu antara saat produksi hingga konsumsi, di mana produk berada dalam kondisi yang memuaskan berdasarkan karakteristik penampakan, rasa, aroma, tekstur, dan nilai gizi. Umur simpan suatu produk pangan merupakan parameter untuk mengetahui ketahanan produk selama penyimpanan. Pemilihan kemasan yang tepat terkait dengan kemampuan kemasan dalam melindungi produk dan kondisi (suhu) saat penyimpanan dan distribusi akan mempengaruhi kualitas yoghurt simbiotik. Oleh karena itu, dalam penelitian ini dilakukan penentuan umur simpan yoghurt simbiotik dengan variasi bahan kemasan dan suhu penyimpanan. Yoghurt simbiotik yang telah diproduksi dikemas dalam tiga jenis kemasan botol yaitu HDPE (High Density Polyethylene), PET (Polyethylene

Terephtalate), dan kemasan botol gelas, kemudian disimpan pada tiga suhu penyimpanan yaitu suhu

ruang (±28°C), 2-4°C, dan suhu 7-9°C.

1.2 Tujuan

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengkaji perubahan mutu yoghurt simbiotik selama penyimpanan serta melakukan penentuan umur simpan yoghurt simbiotik dengan variasi bahan kemasan dan suhu penyimpanan.

1.3 Ruang Lingkup

Ruang lingkup penelitian ini difokuskan pada :

1. Pembuatan yoghurt simbiotik dengan menggunakan 4 jenis bakteri yaitu Streptococcus

thermophilus, Lactobacillus bulgaricus, Bifidobacterium longum dan Lactobacillus acidophilus dengan sumber prebiotik dari kedelai bubuk instan.

2. Penentuan umur simpan yoghurt simbiotik dengan metode ESS (Extended Storage Studies) atau metode konvensional selama 28 hari penyimpanan.

3. Suhu penyimpanan yang digunakan adalah suhu ruang (±28°C) serta chiller bersuhu 2-4°C dan 7-9°C.

4. Kemasan yang diujikan dalam penentuan umur simpan yoghurt simbiotik adalah botol plastik HDPE (High Density Polyethylene), PET (Polyethylene Terephtalate), dan botol gelas.

5. Parameter kritis yang digunakan untuk menduga umur simpan yoghurt simbiotik yaitu total asam tertitrasi (TAT), total koliform, dan penurunan mutu organoleptik.

(15)

3

II.

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Susu Segar

Susu segar merupakan cairan yang berasal dari ambing sapi sehat dan bersih, yang diperoleh dengan cara pemerahan yang benar, yang kandungan alaminya tidak dikurangi atau ditambah sesuatu apapun dan belum mendapat perlakuan apapun kecuali pendinginan (SNI 3141.1, 2011). Susu segar mempunyai sifat amfoter, artinya dapat bersifat asam dan basa sekaligus. Potensial ion hidrogen (pH) susu segar terletak antara 6,5-6,7. Jika dititrasi dengan alkali dan katalisator fenoftalein (PP), total asam dalam susu diketahui hanya 0,10-0,26 %. Sebagian besar asam yang ada dalam susu adalah asam laktat. Meskipun demikian, keasaman susu dapat disebabkan oleh berbagai senyawa yang bersifat asam seperti senyawa-senyawa fosfat kompleks, asam sitrat, asam-asam amino dan karbondioksida yang larut dalam susu. Bila nilai pH air susu lebih tinggi dari 6,7 biasanya diartikan terkena mastitis dan bila pH dibawah 6,5 menunjukkan adanya kolostrum ataupun pembusukan oleh bakteri (Saleh, 2004).

Komposisi air susu dipengaruhi oleh beberapa faktor misalnya jenis ternak dan keturunannya (hereditas), tingkat laktasi, umur ternak, infeksi/peradangan pada ambing, nutrisi/pakan ternak, lingkungan dan prosedur pemerahan susu. Keseluruhan faktor-faktor ini dapat dibagi menjadi tiga bagian yaitu faktor-faktor yang ditimbulkan oleh lingkungan, genetik dan manajemen. Komponen-komponen susu yang terpenting adalah protein dan lemak. Kandungan protein susu berkisar antara 3-5%, sedangkan kandungan lemak berkisar antara 3-8 %. Kandungan energi susu adalah 65 kkal (Saleh, 2004). Secara umum, komposisi susu sapi dapat dilihat pada Tabel 1 dan syarat mutu susu segar dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 1. Komposisi Susu Sapi

Sumber : Buckle, et al. (1985)

Komponen-komponen air susu secara lebih rinci adalah sebagai berikut (Wahyudi, 2006). 1. Kadar Air

Air susu mengandung air 87,90%, yang berfungsi sebagai bahan pelarut bahan kering. Air di dalam susu sebagian besar dihasilkan dari air yang diminum ternak sapi.

2. Kadar Lemak

Air susu merupakan suspensi alam antara air dan bahan terlarut di dalamnya. Salah satu diantaranya adalah lemak. Kadar lemak di dalam air susu adalah 3,45%. Kadar lemak sangat berarti dalam penentuan nilai gizi air susu. Bahan makanan hasil olahan dari bahan baku air susu seperti mentega, keju, krim, susu kental dan susu bubuk banyak mengandung lemak.

Komponen Komposisi (%) Air 87,4 Protein 3,5 Lemak 3,5 Laktosa 4,8 Abu 0,7 Kalsium 0,1 Fosfor 0,09

(16)

4

Tabel 2. Syarat Mutu Susu Segar

No. Karakteristik Satuan Syarat

a. Berat jenis (pada suhu 27,5°C) minimum g/ml 1,0270

b. Kadar lemak minimum % 3,0

c. Kadar bahan kering tanpa lemak minimum % 7,8

d. Kadar protein minimum % 2,8

e. Warna, bau, rasa, kekentalan - Tidak ada perubahan

f. Derajat asam °SH 6,0-7,5

g. pH - 6,3-6,8

h. Uji alkohol (70%) v/v - Negatif

i. Cemaran mikroba maksimum : 1. Total Plate Count 2. Staphylococcus aureus 3. Enterobacteriaceae CFU/ml CFU/ml CFU/ml 1x106 1x102 1x103 j. Jumlah sel somatis maksimum Sel/ml 4x105 k. Residu antibiotika (Golongan Penisilin,

Tetrasiklin, Aminoglikosida, Makrolida)

-

Negatif

l. Uji Pemalsuan - Negatif

m. Titik beku °C -0,520 s.d -0,560

n. Uji peroksidase - Positif

o. Cemaran logam berat maksimum : 1. Timbal (Pb) 2. Merkuri (Hg) 3. Arsen (As) µg/ml µg/ml µg/ml 0,02 0,03 0,1

(SNI 3141.1 : 2011 Susu Segar-Bagian 1: Sapi)

3. Kadar Protein

Kadar protein di dalam air susu rata-rata 3,20% yang terdiri dari 2,70% kasein (bahan keju) dan 0,50% albumin, berarti 26,50% dari bahan kering air susu adalah protein. Di dalam air susu juga terdapat globulin dalam jumlah sedikit. Protein di dalam air susu juga merupakan penentu kualitas air susu sebagai bahan konsumsi.

4. Kadar Laktosa

Laktosa adalah bentuk karbohidrat yang terdapat di dalam air susu. Laktosa tidak terdapat dalam bahan-bahan makanan yang lain. Kadar laktosa di dalam air susu sebesar 4,60% dan ditemukan dalam keadaan terlarut. Laktosa terbentuk dari dua komponen gula yaitu glukosa dan galaktosa. Sifat air susu yang sedikit manis ditentukan oleh laktosa. Kadar laktosa dalam air susu dapat dirusak oleh beberapa jenis mikroba pembentuk asam laktat.

5. Kandungan Vitamin

Kadar vitamin di dalam air susu tergantung dari jenis makanan yang diperoleh ternak sapi dan waktu laktasinya. Vitamin diukur dengan satuan International Units (IU) dan mg. Vitamin yang terdapat dalam lemak adalah vitamin A, vitamin D, vitamin E, dan vitamin K. Sedangkan Vitamin yang larut di dalam air susu, tergolong vitamin B komplek, vitamin C, vitamin A, provitamin A, dan vitamin D. Vitamin yang larut di dalam air susu yang terpenting adalah B1, B2, asam nikotinat dan asam pantotenat. Bila air susu dipanaskan, dipasteurisasi atau disterilisasi maka 10 – 30% vitamin B1 akan hilang, dan vitamin C akan hilang 20 – 60%.

(17)

5

6. Enzim

Enzim berfungsi sebagai katalis biologis yang mempercepat perubahan suatu bahan menjadi bahan lain dengan jalan hidrolisis. Enzim yang terkenal adalah peroksidase, reduktase, katalase dan fosfatase. Dengan adanya pemanasan, enzim tidak akan berfungsi lagi.

2.2 Kedelai

Kedelai (Glycine max, (Linn.) Merrill) merupakan salah satu hasil pertanian yang menjadi andalan sebagai sumber utama protein masyarakat di Indonesia. Selain itu banyak negara yang mengandalkan kedelai sebagai bahan makanan yang kaya akan protein, seperti Cina bagian utara, Korea, Jepang, dan Thailand (Suprapti, 2003). Setiap 100 gram kedelai mengandung 34,9 gram protein, 18,1 gram lemak, 34,8 gram karbohidrat, serat 4,9 gram dan kalsium, fosfor, vitamin A, vitamin B (Departemen Kesehatan RI,1994). Kandungan gizi dalam setiap 100 gram biji kedelai kering dapat dilihat pada Tabel 3.

Protein kedelai sebagian besar terdiri dari globulin (85-95%) dan sisanya yaitu albumin, protease, prolamin, dan glutelin. Titik isoelektris protein kacang kedelai yaitu pada pH 4,1-4,6 (Koswara, 1995). Sebagian protein tidak dapat dikonsumsi secara langsung melainkan seringkali digunakan sebagai bahan baku untuk pengembangan produk-produk kedelai yang bernilai gizi tinggi seperti susu kedelai, minyak kedelai, tepung kedelai, tempe, tahu, kecap, dan berbagai jenis produk olahan lainnya. Pengolahannya pun dapat dilakukan dengan cara tradisional atau modern dan dengan cara fermentasi atau non fermentasi (Surahman, 2005).

Tabel 3. Kandungan Gizi dalam Setiap 100 gram Biji Kedelai Kering Kandungan Gizi Proporsi Nutrisi dalam Biji

Kalori (kal) 268,00 Protein (g) 30,90 Lemak (g) 15,10 Karbohidrat (g) 30,10 Kalsium (mg) 196,00 Fosfor (mg) 506,00 Zat besi (mg) 6,90 Vitamin A (SI) 95,00 Vitamin B1 (mg) 0,93 Vitamin C (mg) 0,00 Air (g) 20,00

Bagian yang dapat dimakan (%) 100,00

Sumber: Rukmana (1997)

Kacang kedelai merupakan salah satu sumber prebiotik. Kacang kedelai mengandung rafinosa dan stakiosa sebagai oligosakarida utama. Kandungan oligosakarida pada kedelai berupa rafinosa sebesar 8.27 ± 0.21 mg/g dan stakiosa sebesar 24.29 ± 0.37 mg/g (basis kering) (Saifatah, 2011). Berdasarkan percobaan terhadap manusia, secara umum rafinosa dan oligosakarida kedelai lainnya menunjukkan aktivitas prebiotik meskipun terdapat hasil yang bervariasi (Gibson, 2004).

Oligosakarida adalah karbohidrat berbobot molekul rendah, terdiri dari tiga sampai 10 gugus gula sederhana (monosakarida). Awalnya senyawa ini digolongkan sebagai antinutrisi karena dapat menyebabkan timbulnya gas dalam perut (flatulensi). Contoh oligosakarida adalah rafinosa, stakiosa,

(18)

6

dan verbaskosa yang terdapat dalam bahan pangan nabati seperti kacang-kacangan (misalnya kedelai) dan beberapa jenis umbi-umbian (misalnya ubi jalar). Oligosakarida berguna karena dapat mencegah tumbuhnya bakteri yang merugikan dalam usus (Muchtadi, 2005).

Oligosakarida, termasuk yang disebut diatas (rafinosa, stakiosa, dan verbaskosa) serta yang lainnya (laktulosa, galaktosil-sukrosa, galaktosil-laktosa, dan xylo-oligosakarida), tidak dapat dicerna dalam usus karena manusia tidak mempunyai enzim yang dibutuhkan untuk mencernanya. Akibatnya, oligosakarida tersebut tidak dapat diserap usus. Selanjutnya, oligosakarida akan difermentasi (digunakan sebagai sumber energi) oleh bakteri-bakteri yang terdapat dalam saluran pencernaan. Penelitian-penelitian mutakhir menunjukkan oligosakarida yang tidak dicerna dan diserap dalam usus kecil, akan difermentasi oleh bakteri-bakteri yang terdapat dalam usus besar, dan selanjutnya akan mengubah komposisi bakteri usus dimana bakteri yang menguntungkan yaitu Bifidobacterium (bakteri bifidus) dan Lactobacillus bertambah jumlahnya, sedangkan bakteri yang merugikan seperti

Clostridium, Coliform, dan Enterococci menurun jumlahnya (Muchtadi, 2005).

2.3 Bakteri Asam Laktat (BAL)

Bakteri asam laktat adalah kelompok bakteri yang mampu mengubah karbohidrat (glukosa) menjadi asam laktat. Secara morfologis, bakteri asam laktat dibagi menjadi kelompok coccus (sel berbentuk bulat) dan bacillus (sel berbentuk batang). Berdasarkan kebutuhannya terhadap oksigen, bakteri asam laktat dibagi menjadi bakteri anaerob fakultatif yang tumbuh dengan atau tanpa adanya oksigen (Lactobacillus, Streptococcus) dan bakteri anaerob obligat yang tumbuh tanpa adanya oksigen (Bifidobacterium).

Bakteri asam laktat juga dikelompokkan menurut tipe fermentasi asam laktat, yaitu bakteri tipe homofermentatif dan heterofermentatif (Moulder, 1968). Bakteri homofermentatif menghasilkan asam laktat (hampir 90%) dan sedikit asam asetat dari metabolisme pentosa (Schlegel dan Schmidt, 1994), sedangkan bakteri heterofermentatif memproduksi asam laktat, asam sitrat, CO2, polisakarida dan

etanol dari metabolisme heksosa, serta komponen lain seperti diasetil dan asetaldehid sebagai pembentuk flavor (Jay, 1978).

Bakteri asam laktat, pada umumnya menghasilkan sejumlah besar asam laktat dari fermentasi substrat energi karbohidrat. Asam laktat yang dihasilkan dari metabolisme karbohidrat akan dapat menurunkan nilai pH lingkungan pertumbuhannya dan menimbulkan rasa asam (Winarno dan Fernandez, 2007). Bakteri asam laktat (BAL) memiliki peranan penting bagi kehidupan manusia, baik melalui keterlibatannya pada fermentasi makanan maupun kemampuan tumbuh pada saluran intestin. Pada fermentasi makanan, selain memberikan rasa khas, bakteri ini juga memberikan daya awet karena kemampuannya menghasilkan produk metabolit yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri pembusuk dan bakteri patogen (Harmayani et al., 2001).

Bakteri yang termasuk kelompok BAL adalah Aerococcus, Allococcus, Carnobacterium,

Enterococcus, Lactobacillus, Lactococcus, Leuconostoc, Streptococcus, Tetragenococcus, dan Vagococcus (Ali dan Radu, 1998). BAL yang umum digunakan dalam produk probiotik adalah Lactobacillus dan Bifidobacterium. Golongan BAL tersebut di antaranya adalah L. acidophilus, L. casei, L. johnsonii, L. reuteri, L. rhamnosus, L. gasseri, L. bulgaricus, B. longum, B. lactis,dan B. bifidum (Surono, 2004). Pada penelitian ini digunakan empat jenis bakteri asam laktat, yaitu :

(19)

7

Lactobacillus bulgaricus

L. bulgaricus adalah salah satu bakteri yang digunakan sebagai kultur starter dalam pembuatan

yoghurt. Bakteri ini tidak dapat hidup dalam usus namun hanya bertahan selama sekitar tiga jam setelah masuk ke dalam usus bersama dengan yoghurt yang diminum (Yoguchi et al,. 1992). Bakteri ini memiliki sifat reduksi litmus yang kuat, tidak tahan garam (6,5%) dan bersifat termodurik (Rahman et al,. 1992). Bakteri termodurik tumbuh baik pada suhu 20-37°C dengan suhu pertumbuhan minimum pada suhu 5-10°C seperti Steptococcus dan Lactobacillus (Buckle et al., 1985). Berdasarkan kebutuhannya terhadap oksigen, bakteri ini tergolong anaerob fakultatif, yang dapat tumbuh dengan adanya oksigen dan tetap dapat tumbuh secara anaerob apabila oksigen tidak tersedia.

L. bulgaricus termasuk bakteri Gram positif berbentuk batang, bersifat homofermentatif

(menghasilkan asam laktat sebagai produk utama dalam fermentasi), membutuhkan nutrisi yang lengkap untuk pertumbuhannya, suhu pertumbuhan optimal sekitar 45°C dan tidak dapat tumbuh pada suhu 10°C (Tamime dan Robinson, 1991). Mikroba ini tumbuh sangat baik pada pH optimum 5,5 dan pertumbuhannya dapat terhenti pada pH 3,5-3,8 (Jay, 2000).

L. bulgaricus berperan dalam menghasilkan rasa khas dan tajam. Lactobacillus juga

menghasilkan metabolit-metabolit yang menjadi sumber dan citarasa yang spesifik dan substansi-substansi yang bersifat menghambat terhadap pertumbuhan mikroba yang tidak sesuai. L. bulgaricus menghasilkan hidrogen peroksida (H2O2) dan senyawa penghambat yang disebut bulgarikan.

Keberadaannya dapat mengawetkan produk dengan menghambat pertumbuhan bakteri yang tidak diinginkan serta meningkatkan keamanan produk pangan.

Streptococcus thermophilus

S. thermophilus merupakan pasangan dari L. bulgaricus dalam pembuatan yoghurt. Seperti

halnya L. bulgaricus, bakteri S. thermophilus ini tidak tahan hidup dalam usus manusia (Yoguchi et

al., 1992). Menurut Tamime dan Robinson (1989), bakteri ini dapat mereduksi litmus milk dan katalis

negatif. S. thermophilus dibedakan dari genus Streptococcus lainnya berdasarkan pertumbuhan pada suhu 45°C dan tidak dapat tumbuh pada suhu 10°C.

S. thermophilus merupakan bakteri asam laktat yang berbentuk bulat atau lonjong, Gram

positif, anaerob fakultatif sehingga masih toleran terhadap lingkungan dengan kandungan oksigen dalam jumlah terbatas, homofermentatif, membutuhkan nutrisi yang lengkap untuk pertumbuhannya dengan suhu optimal sekitar 45°C. Bakteri ini tidak toleran terhadap konsentrasi garam lebih dari 6,5% dengan pH optimum untuk pertumbuhannya sekitar 6,5. Pertumbuhan S. thermophilus akan terhenti pada pH 4,2-4,4. Ciri khas adanya bakteri ini adalah dalam suatu media menghasilkan asam yang segar karena produk utama bakteri ini adalah asam laktat (Helferich dan Westhoff, 1980).

(20)

8

Bifidobacterium longum

Bifidobacterium tumbuh dominan pada dinding usus sehingga mencegah dinding usus dari

kolonisasi bakteri yang tidak diinginkan (E. coli) atau khamir (Candida) (Tamime dan Robinson, 1999). Bifidobacterium sangat efektif untuk melawan bakteri yang merugikan atau patogen yang masuk dari luar maupun bakteri yang merugikan dalam saluran pencernaan seperti Shigella

dysenteria, Salmonella typhosa, Staphylococcus aureus, E. coli, dan bakteri lainnya. Bakteri ini

memproduksi zat-zat yang merupakan asam organik rantai pendek terutama asam laktat dan asam asetat, dan bisa juga menghasilkan zat bersifat antibiotik (Winarno et al., 2003).

Yaeshima dalam Pramoedito (1997), melaporkan bahwa B. longum merupakan pilihan terbaik diantara galur bakteri bifido. Di Indonesia, bakteri ini telah dicoba sebagai starter dalam pembuatan yoghurt (Suryono, 1996) dan pembuatan kefir (Pramoedito, 1997) dengan hasil produk yang memuaskan. Bifidobacterium longum bersifat homofermentatif dengan memfermentasi susu secara anaerob menghasilkan produk metabolit utama berupa asam laktat dan sedikit asam asetat (Tamime, 2005). Sebagai salah satu galur bakteri bifido, B. longum dilaporkan tumbuh dengan baik pada suhu 37- 41°C, pH 1,0 - 3,0, dan aktif memfermentasi laktosa, sukrosa, galaktosa dan menghasilkan asam laktat dan asam asetat (Holt et al., 1994). Bakteri ini membentuk koagulan dengan cepat dan tingkat pertumbuhan yang stabil.

Lactobacillus acidophilus

L. acidophilus merupakan bakteri berbentuk batang dari famili Lactobacillaceae yang

termasuk golongan Gram positif, bersifat mesofilik dan tidak dapat membentuk spora. L. acidophilus bersifat homofermentatif dengan asam laktat sebagai produk utama fermentasi karbohidrat (Rahman

et al., 1992). L. acidophilus banyak ditemukan pada bagian akhir usus kecil dan bagian awal usus

besar. Bakteri ini memproduksi asam organik, hidrogen peroksida dan antibiotik untuk menghambat pertumbuhan bakteri patogen atau bakteri pembusuk, hal ini menunjukkan sifat antimikroba bakteri

Gambar 3. Bifidobacterium longum (www. sciencephoto.com) Gambar 2. Streptococcus thermophilus (www. buyprobiotics.com)

(21)

9

Gram positif lebih kuat daripada bakteri gram negatif. Hal itu juga yang menunjukkan bahwa aktivitas antimikroba L. acidophilus paling kuat dalam menghambat bakteri patogen. L. acidophilus dalam saluran pencernaan dapat juga menghambat pertumbuhan bakteri patogen atau pembusuk yang menyebabkan gangguan pada usus, diare dan gangguan pencernaan serta berperan dalam menjaga kesehatan (Kanbe, 1992).

Karakteristik bakteri L. acidophilus diantaranya: (1) tidak tumbuh pada suhu 15oC dan tidak dapat memfermentasi ribosa, (2) suhu optimum untuk pertumbuhannya berkisar antara 35 - 38oC dan pH optimum 5,5 - 6,0, (3) di dalam susu sapi, bakteri ini memproduksi 0,3 - 1,9% DL asam laktat; asam yang dihasilkan mempunyai kemampuan yang berbeda antar galur, (4) umumnya membutuhkan nutrisi berupa asetat, riboflavin, asam pantotenat, kalsium, niasin dan asam folat, (5) resisten terhadap asam empedu dan, (6) memproduksi threonine aldolase dan alcohol dehydrogenase yang mempengaruhi aroma (Kanbe, 1992).

Gambar 4. Lactobacillus acidophilus (www.sciencephoto.com)

2.4 Yoghurt Simbiotik

Yoghurt adalah produk yang diperoleh dari fermentasi susu dan atau susu rekonstitusi dengan menggunakan bakteri Lactobacillus bulgaricus dan Streptococcus thermophilus dan atau bakteri asam laktat lain yang sesuai, dengan atau tanpa penambahan bahan pangan lain dan bahan tambahan pangan yang diizinkan (SNI 2981, 2009). SNI yoghurt disajikan pada Tabel 4.

Yoghurt sebagai salah satu produk fermentasi susu dikenal sebagai pangan probiotik. Menurut Nakazawa dan Hosono (1992), yoghurt adalah produk koagulasi susu yang dihasilkan melalui proses fermentasi bakteri asam laktat (BAL), yaitu Lactobacillus bulgaricus dan Streptococcus thermophilus, dengan atau tanpa penambahan bahan lain yang diizinkan. Namun, berdasarkan beberapa penelitian, kedua bakteri asam laktat ini, atau yang dikenal sebagai “kultur tradisional yoghurt” ternyata diketahui tidak dapat bertahan melalui lambung dan usus kecil. Bakteri yoghurt akan mati di dalam lambung karena keasaman yang sangat tinggi. Jika BAL mati pada saat mencapai usus kecil, keuntungan bakteri bagi kesehatan saluran pencernaan akan berkurang (Ballongue, 1993 dalam Salminen dan Von Wright, 1993). Oleh karena itu, pada saat ini di negara-negara maju mulai dikembangkan penelitian-penelitian terhadap bakteri asam laktat lain yang dapat dimanfaatkan sebagai kultur probiotik, terutama dari kelompok Lactobacillus dan Bifidobacteria, seperti Bifidobacterium longum,

Bidobacterium bifidum, Bifidobacterium breve, Lactobacillus acidophilus, dan Lactobacillus plantarum.

Modifikasi komposisi bakteri saluran pencernaan agar didominasi oleh bakteri menguntungkan seperti Lactobacilli dan Bifidobacteria dapat dilakukan melalui konsumsi bakteri hidup yang disebut probiotik (Collins dan Gibson, 1999) dan konsumsi bahan pangan khusus (prebiotik) (Gibson dan Roberfroid, 1995; Roberfroid, 2000). Probiotik didefinisikan sebagai bakteri hidup dalam suplemen

(22)

10

bahan makanan yang memberikan efek menguntungkan bagi manusia dengan menjaga keseimbangan bakteri yang menguntungkan di dalam saluran pencernaan (Fuller, 1989).

Bakteri probiotik dimasukkan ke dalam tubuh secara oral dan dapat bertahan hidup sampai usus manusia. Oleh karena itu, yang sangat penting dari suatu produk pangan probiotik adalah mengandung sejumlah mikroba yang dapat masuk ke dalam tubuh manusia dan dapat bertahan hidup pada saluran pencernaan manusia sehingga dapat menjalankan fungsinya dalam meningkatkan kesehatan saluran pencernaan dan merangsang fungsi kekebalan tubuh (Yuguchi, et al. dalam Nakazawa dan Hosono, 1992).

Konsep probiotik dapat juga dikombinasikan dengan prebiotik, yaitu bahan makanan dalam bentuk dietary fiber atau oligosakarida yang tidak dapat dicerna oleh usus manusia, tetapi bersifat menguntungkan bagi pertumbuhan bakteri penghuni kolon, seperti Bifidobacteria. Contoh produk prebiotik adalah selulosa, FOS (frukto oligosakarida), oligosakarida kedelai, dan laktulosa.

Prebiotik adalah senyawa oligosakarida atau peptida yang tidak dapat dicerna dengan segera, sehingga dalam saluran usus mendukung pertumbuhan probiotik. Prebiotik berupa serat tidak larut yang menjadi makanan bagi probiotik. Serat ini dapat diperoleh melalui makanan seperti sayuran dan buah-buahan. Berbagai jenis umbi seperti ubi jalar, talas, singkong, kedelai, pisang, dan bawang putih mengandung prebiotik (Winarno dan Fernandez, 2007).

Susu kedelai mengandung serat makanan atau dietary fiber (erabinogalaktan, selulosa) dan

soybean oligosakarida (stakiosa dan rafinosa) yang diketahui tidak dapat dicerna oleh usus manusia

karena mukosa usus tidak mempunyai enzim pencernanya, yaitu a-galaktosidase. Namun, bahan-bahan tersebut dapat dimanfaatkan oleh bakteri-bakteri baik dalarn saluran pencernaan untuk meningkatkan pertumbuhan dan keaktifannya (Winarno et al., 2003).

Penggabungan probiotik dan prebiotik menghasilkan bentuk manajemen mikroflora baru, yaitu simbiotik. Istilah simbiotik meskipun masih terdengar asing, namun temyata sudah merupakan trend dalam pengembangan pangan fungsional. Contoh produk simbiotik adalah Bifidobacteria dengan FOS (fruktooligosakarida) pada produk susu bayi (Winarno et al., 2003) dan yoghurt simbiotik. Keuntungan produk simbiotik adalah meningkatkan daya tahan hidup bakteri probiotik karena substrat yang spesifik telah tersedia untuk fermentasi sehingga bisa didapatkan manfaat yang lebih sempurna dengan mengkonsumsinya.

(23)

11

Tabel 4. SNI Yoghurt

No. Kriteria Uji Satuan

Yoghurt tanpa perlakuan panas setelah fermentasi

Yoghurt dengan perlakuan panas setelah fermentasi Yoghurt Yoghurt rendah lemak Yoghurt tanpa lemak Yoghurt Yoghurt rendah lemak Yoghurt tanpa lemak 1 Keadaan

1.1 Penampakan - cairan kental-padat cairan kental-padat

1.2 Bau - normal/khas normal/khas

1.3 Rasa - asam/khas asam/khas

1.4 Konsistensi - homogen homogen

2 Kadar lemak (b/b) % min 3,0 0,6-2,9 maks 0,5 min 3,0 0,6-2,9 maks 0,5 3 Total padatan susu

bukan lemak (b/b)

%

min 8,2 min 8,2

4 Protein (Nx6,38) (b/b) % min 2,7 min 2,7

5 Kadar abu (b/b) % maks 1,0 maks 1,0

6 Keasaman (dihitung sebagai asam laktat) (b/b)

%

0,5-2,0 0,5-2,0

7 Cemaran logam

7.1 Timbal (Pb) mg/kg maks. 0,3 maks. 0,3

7.2 Tembaga (Cu) mg/kg maks. 20,0 maks. 20,0

7.3 Timah (Sn) mg/kg maks. 40,0 maks. 40,0

7.4 Raksa (Hg) mg/kg maks. 0,03 maks. 0,03

8 Arsen mg/kg maks. 0,1 maks 0,1

9 Cemaran mikroba

9.1 Bakteri koliform APM/g atau koloni/g

maks. 10 maks. 10

9.2 Salmonella - negatif/25g negatif/25g 9.3 Listeria

monocytogenes

- negatif/25g negatif/25g

10 Jumlah bakteri starter* koloni/g Min 107 -

 Sesuai dengan pasal 2 (istilah dan definisi)

(24)

12

2.5 Suhu Penyimpanan Yoghurt

Suhu penyimpanan yang baik untuk yoghurt biasanya dilakukan di dalam refrigerator yang bersuhu ± 4°C. Yoghurt akan menjadi kental atau memadat jika disimpan dalam refrigerator. Selain itu, yoghurt akan stabil atau tahan sampai satu minggu atau lebih (Winarno dan Fernandez, 2007). Menurut Jay (2000), yoghurt yang disimpan pada suhu 5°C masih memiliki sifat-sifat yang baik selama 1 - 2 minggu. Suhu yang ideal untuk penyimpanan yogurt adalah 7°C atau lebih rendah (Rahman et al., 1992).

Menurut Tamime dan Robinson (1989) setelah masa inkubasi, yoghurt harus didinginkan agar produksi asam laktat dapat dikontrol. Yoghurt yang telah jadi harus segera diturunkan suhunya menjadi dibawah 10°C dan dipertahankan sampai dikonsumsi. Hal ini dimaksudkan untuk mencegah terjadinya reaksi kimia dan biologi pada yoghurt, yang disebabkan oleh aktivitas metabolisme starter dan mikroba yang mengkontaminasi yoghurt. Rahman et al., (1992) menambahkan bahwa yoghurt yang telah terkoagulasi dalam proses inkubasi harus segera disimpan pada suhu dingin dengan tujuan untuk mencegah pembentukan asam yang berkelanjutan dan menghambat aktivitas kultur laktat.

Penggunaan suhu rendah bertujuan untuk memperlambat laju reaksi kimia, reaksi enzimatik, dan pertumbuhan mikroba tanpa menyebabkan kerusakan produk. Pelczar dan Chan (1988) menyatakan bahwa penyimpanan pada suhu rendah dapat menghambat kerusakan pada bahan pangan antara lain kerusakan fisiologi, kerusakan enzimatik, maupun kerusakan mikrobiologi. Pada pengawetan dengan suhu rendah dibedakan antara pendinginan dan pembekuan. Pendinginan dan pembekuan merupakan salah satu cara pengawetan yang tertua. Pendinginan atau refrigerasi ialah penyimpanan dengan suhu rata-rata yang digunakan masih di atas titik beku bahan. Kisaran suhu yang digunakan biasanya antara 4°C sampai 7°C. Pada kisaran suhu tersebut pertumbuhan bakteri dan proses biokimia akan terhambat. Penyimpanan suhu rendah biasanya akan mengawetkan bahan pangan selama beberapa hari atau beberapa minggu tergantung pada jenis bahan pangan.

2.6 Viabilitas Bakteri Asam Laktat (BAL) dalam Yoghurt Simbiotik

Viabilitas menunjukkan kemampuan hidup bakteri asam laktat (total BAL yang masih hidup) dalam yoghurt simbiotik selama penyimpanan. Berdasarkan hasil penelitian Elizabeth (2003), viabilitas bakteri asam laktat (BAL) dalam produk yoghurt simbiotik adalah sekitar 109 CFU/ml. Selama penyimpanan, terjadi penurunan jumlah BAL pada hari ke-3. Menurut Rahayu dan Christanti (1991), penurunan jumlah BAL tersebut mungkin disebabkan oleh penyesuaian BAL terhadap lingkungan barunya sehingga pertumbuhannya terhambat. Setelah hari ke-6, jumlah BAL kembali meningkat dan menurun kembali pada hari ke-15. Tabel 5 berikut adalah data viabilitas BAL selama 15 hari penyimpanan.

Tabel 5. Viabilitas BAL selama 15 Hari Penyimpanan Suhu Refrigerasi

Penyimpanan Suhu Refrigerasi Ulangan I (CFU/ml) Ulangan 2 (CFU/ml) Rata-rata (CFU/ml)

H-0 3,6 x 109 3,9 x 109 3,75 x 109 H-3 2,8 x 109 3,0 x 109 2,9 x 109 H-6 2,9 x 109 4,0 x 109 3,45 x 109 H-9 5,4 x 109 5,0 x 109 5,2 x 109 H-12 5,1 x 109 6,9 x 109 6 x 109 H-15 3,2 x 109 5,2 x 109 4,2 x 109 Sumber : Elizabeth (2003)

(25)

13

Dari Tabel 5 diatas terlihat bahwa selama 15 hari penyimpanan, viabilitas BAL-nya masih berada dalam kisaran 109, bahkan nilainya lebih tinggi dibandingkan viabilitas pada hari ke-0. Hal ini juga terjadi pada hasil penelitian Hartoto (2003) dimana viabilitas BAL pada hari ke-0 sampai hari ke-15 penyimpanan masih berada pada kisaran 109 CFU/ml.

Hasil penelitian Mulyani et al. (2008) menunjukkan bahwa total BAL pada es krim probiotik dengan menggunakan starter Lactobacillus casei dan Bifidobacterium bifidum dengan perbandingan 1 : 2 pada umur simpan 30 hari sebanyak 6,4 x 108 CFU/ml. Angka ini masih memenuhi standar internasional untuk minuman probiotik yaitu minimal 107 CFU/ml (Davidson et al., 2000).

Hasil penelitian Hekmat dan McMahon (1992) menunjukkan bahwa populasi Lactobacillus

acidophillus pada es krim tanpa penambahan prebiotik dari frukto oligosakarida (FOS) yang disimpan

pada suhu -29°C selama satu minggu sebanyak 1,5 x 108 CFU/ml, sedangkan populasi

Bifidobacterium bifidum sebanyak 2,5 x 108 CFU/ml. Setelah penyimpanan 17 minggu populasi L.

acidophillus sebanyak 3 x 106, sedangkan Bifidobacterium bifidum sebanyak 1 x 107 CFU/ml. Jika es krim ditambahkan dengan FOS sebagai sumber prebiotik maka viabilitas bakteri tersebut akan lebih tinggi.

Pertumbuhan L. acidophilus terbaik pada konsentrasi asam laktat 0,6-0,7% pada suhu 5-20°C (Foster et al., 1957). Semakin lama waktu penyimpanan, total asam laktat pada yoghurt akan mengalami peningkatan dan pertumbuhan bakteri asam laktat biasanya menjadi terhambat karena tingginya keasaman yoghurt. Namun berdasarkan hasil kajian Cahyanti, pada penyimpanan hari ke-12 sampai dengan hari ke-16 terjadi indikasi L. acidophilus adaptif terhadap kondisi asam ekstraseluler. Kullen dan Klaenhammer (1999, dalam Yousef dan Juneja, 2003) menyatakan asidifikasi medium pertumbuhan mengubah ekspresi gen L. acidophilus melalui peningkatan aktivitas

proton-translocating ATP-ase untuk sitoplasmanya. Diduga melalui mekanisme adaptasi tersebut, dapat

dipertahankan jumlah L. acidophilus seperti pada awal masa simpan. Bifidobacterium longum tumbuh optimal pada pH 1,0-3,0 (Holt et al., 1994) sehingga pada kondisi yoghurt yang semakin asam pertumbuhannya lebih optimal.

Berdasarkan hasil penelitian Septiawan (2011), viabilitas yoghurt setelah penyimpanan selama 15 hari masih tergolong tinggi yaitu lebih dari 109 CFU/ml. Penelitian yang dilakukan oleh Nighswonger et al. (1996) menunjukkan bahwa yoghurt dengan viabilitas berkisar pada 107 CFU/ml saat masa awal penyimpanan dapat tetap mempertahankan viabilitasnya setelah 28 hari penyimpanan pada suhu 7°C.

2.7 Pengemasan

Pengertian umum dari kemasan adalah suatu benda yang digunakan untuk wadah atau tempat dan dapat memberikan perlindungan sesuai dengan tujuannya (Syarief et al., 1989). Persyaratan kemasan untuk bahan pangan antara lain adalah permeabilitas terhadap udara kecil, tidak menyebabkan penyimpangan warna dari produk, tidak bereaksi sehingga tidak merusak bahan maupun citarasa, tidak mudah teroksidasi atau bocor, tahan panas, mudah dikerjakan secara maksimal dan harganya murah.

Fungsi paling mendasar dari kemasan adalah untuk mewadahi dan melindungi produk dari kerusakan-kerusakan, sehingga lebih mudah disimpan, diangkut dan dipasarkan. Secara umum fungsi pengemasan pada bahan pangan adalah sebagai berikut (Syarief et al., 1989).

 Mewadahi produk selama distribusi dari produsen hingga ke konsumen, agar produk tidak tercecer, terutama untuk cairan, pasta atau butiran.

(26)

14

Melindungi dan mengawetkan produk, seperti melindungi dari sinar ultraviolet, panas, kelembaban udara, oksigen, benturan, kontaminasi dari kotoran dan mikroba yang dapat merusak dan menurunkan mutu produk.

 Sebagai identitas produk, dalam hal ini kemasan dapat digunakan sebagai alat komunikasi dan informasi kepada konsumen melalui label yang terdapat pada kemasan.

Meningkatkan efisiensi, misalnya: memudahkan penghitungan (satu kemasan berisi 10, 1 lusin, 1 gross dan seterusnya), memudahkan pengiriman dan penyimpanan. Hal ini penting dalam dunia perdagangan.

Melindungi pengaruh buruk dari produk di dalamnya, misalnya jika produk yang dikemas berupa produk yang berbau tajam, atau produk berbahaya seperti air keras, gas beracun dan produk yang dapat menularkan warna, maka dengan mengemas produk dapat melindungi produk-produk lain di sekitarnya.

 Memperluas pemakaian dan pemasaran produk, misalnya penjualan kecap dan sirup yang semula dikemas dalam botol gelas, namun sekarang berkembang dengan menggunakan kemasan botol plastik.

 Menambah daya tarik calon pembeli.

 Sebagai sarana informasi dan iklan.

 Memberi kenyamanan bagi konsumen.

Pengemasan dapat memperlambat kerusakan produk, memperpanjang umur simpan, dan menjaga atau meningkatkan kualitas dan keamanan pangan. Pengemasan juga dapat melindungi produk dari tiga pengaruh luar yaitu kimia, biologis, dan fisik. Perlindungan kimia mengurangi perubahan komposisi yang cepat oleh pengaruh lingkungan, seperti terpapar gas (oksigen), uap air dan cahaya (cahaya tampak, inframerah atau ultraviolet). Perlindungan mikrobiologis mampu menahan mikroorganisme (patogen dan agen pembusuk), serangga, hewan pengerat dan hewan lainnya. Perlindungan fisik menjaga produk dari bahaya mekanik dan menghindari goncangan dan getaran selama pendistribusian (Marsh dan Bugusu, 2007). Faktor-faktor yang mempengaruhi kerusakan bahan pangan sehubungan dengan kemasan yang digunakan dapat dibagi dalam dua golongan utama yaitu :

a. Kerusakan yang disebabkan oleh sifat alamiah dari produk sehingga tidak dapat dicegah dengan pengemasan saja (perubahan-perubahan fisik, biokimia dan kimia serta mikrobiologis).

b. Kerusakan yang tergantung pada lingkungan dan hampir seluruhnya dapat dikontrol dengan kemasan yang digunakan (kerusakan mekanis, perubahan kadar air bahan pangan, absorpsi dan interaksi dengan oksigen, kehilangan dan penambah citarasa yang diinginkan).

2.7.1 Bahan Kemasan

Pertimbangan-pertimbangan yang perlu diperhatikan sebelum memilih bahan dan jenis kemasan adalah :

 Kemasan tersebut harus dapat melindungi produk dari kerusakan fisik dan mekanis.

 Mempunyai daya lindung yang baik terhadap gas dan uap air.

 Harus dapat melindungi dari sinar ultra violet.

 Tahan terhadap bahan kimia.

Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan ini maka dapat ditentukan jenis bahan kemasan yang sesuai dengan produk yang akan dikemas. Permeabilitas berbagai kemasan plastik terhadap gas dan uap air dapat dilihat pada Tabel 6 sebagai berikut.

(27)

15

Tabel 6. Daya Tembus Plastik terhadap N2, O2, CO2, dan H2O

Plastik tipis

Daya tembus plastik terhadap N2, O2, CO2, dan H2O

N2

O2

(suhu 30οC) CO2

H2O (25 οC,

RH 90%)

Polyethylene (kerapatan rendah) Polyethylene (kerapatan tinggi) Polystirene

Polyamide (nylon 6) Polypropilene

Polyvinyl chloride (rigid)

Polyester (mylar) atau Polyethylene terephtalate (PET)

Polyvinylidene chlorida

Rubber hydrochloride (pliofilm NO) Polyvinyl acetat Ethyl cellulosa Cellulose acetat 19 2,7 2,9 0,1 - 0,4 0,05 0,0094 0,08 - 84 2,8 55 10,6 11,0 0,38 23,0 1,2 0,22 0,053 0,3 0,5 265 7,8 352 35 88 1,6 92 10 1,53 0,29 1,7 - 2000 68 800 130 12000 7000 680 1560 1300 14 240 100000 130000 75000

Berdasarkan Tabel 6 tersebut, dapat diketahui bahwa plastik Polyester (PET) memiliki daya tembus (permeabilitas) terhadap N2, O2, dan CO2 yang lebih rendah dibandingkan daya tembus

polietilen kerapatan tinggi (HDPE), sedangkan sifat permeabilitas terhadap air (H2O) untuk plastik

HDPE lebih rendah daripada PET. Permeabilitas gas yang besar pada suatu plastik menunjukkan bahwa plastik tersebut bukanlah barrier yang baik terhadap gas yang dimaksud. Daya tembus gas dan uap air berbanding terbalik dengan densitas plastik. Semakin besar densitas plastik, maka daya tembus gas dan uap air terhadap plastik tersebut semakin kecil.

Tabel 7. Densitas Bahan Kemasan Yoghurt Simbiotik Jenis kemasan Densitas (g/m3)

HDPE 0,941

PET 1,4

Gelas 2,49

Berdasarkan Tabel 7. diatas, daya tembus (permeabilitas) gas dan uap air terhadap plastik tersebut mulai dari yang terendah sampai tertinggi yaitu kemasan gelas, PET, kemudian HDPE. Dengan demikian, menurut sifatnya kemasan dengan permeabilitas yang paling rendah yaitu gelas lebih baik daripada kemasan PET dan HDPE karena dapat menahan masuknya gas dan uap air lebih baik.

Bierley, et al. (1988), mengemukakan bahwa plastik dengan densitas yang rendah menandakan bahwa plastik tersebut memiliki struktur yang terbuka, artinya mudah atau dapat ditembusi fluida seperti air, oksigen atau CO2. Sebaliknya, plastik dengan densitas yang tinggi memiliki struktur yang

tertutup atau susunan rantai-rantai polimernya yang lebih rapat sehingga permeabilitasnya terhadap air

(28)

16

dan gas lebih rendah. Jadi, nilai densitas plastik sangat penting dalam menentukan sifat-sifat plastik yang berhubungan dengan pemakaiannya.

Bahan pangan yang berbentuk cair dapat dikemas dalam kemasan yang berasal dari bahan plastik, gelas, maupun logam tergantung karakteristik dari bahan yang dikemas. Yoghurt yang beredar di pasaran sebagian besar dikemas dalam kemasan plastik dan ada pula yang dikemas dalam kemasan gelas. Kemasan plastik yang biasa digunakan diantaranya HDPE (High Density Polyethylene), PET (Polyethylene Terephtalate), PP (Polypropylene), dan PS (Polystyrene). Fitriyanti (2010) melakukan penentuan umur simpan yoghurt kacang hijau dengan menggunakan 3 jenis kemasan yaitu botol HDPE, PP, dan gelas dengan kemasan terbaik yaitu botol gelas. Yoghurt disarankan untuk disimpan pada suhu rendah di bawah 4°C, sedangkan kemasan PP mudah pecah jika disimpan pada suhu tersebut. Dengan demikian, kemasan PP tidak disarankan untuk mengemas yoghurt.

Pada penelitian ini digunakan 3 jenis kemasan, yaitu kemasan botol HDPE, PET, dan gelas. Ketiga jenis kemasan ini dipilih karena mudah ditemui di pasaran.

High Density Polyethylene (HDPE)

High Density Polyethylene merupakan salah satu jenis plastik yang populer di kalangan

masyarakat. Plastik ini dihasilkan pada tekanan dan suhu rendah (50-70°C), tahan terhadap suhu 120 °C, kedap air, dan kedap udara (Syarief dan Halid, 1989). Menurut Buckle et al. (1987), plastik HDPE mampu memberikan perlindungan terbaik terhadap air (uap air), lemak, serta asam dan basa.

Pada polietilen berdensitas rendah (low density) terdapat sedikit cabang pada rantai antara molekulnya yang menyebabkan plastik ini memiliki densitas yang rendah, sedangkan polietilen yang berdensitas tinggi (high density) mempunyai jumlah rantai cabang yang lebih banyak dibanding jenis

low density. Dengan demikian, polietilen berdensitas tinggi (high density) memiliki sifat bahan yang

lebih kuat, keras, buram dan lebih tahan terhadap suhu tinggi. Ikatan hidrogen antar molekul juga berperan dalam menentukan titik leleh plastik (Harper, 1975).

HDPE memiliki sifat penahan dan kekakuan yang baik, dan sangat cocok untuk produk-produk kemasan dengan usia penyimpanan yang pendek seperti susu. Jenis bahan kemasan plastik tersebut sering digunakan pada botol susu yang berwarna putih susu, tupperware, galon air minum, kursi lipat, dan lain-lain.

Polyester atau Polyethylene Terephtalate (PET)

PET adalah hasil kondensasi polimer etilen glikol dan asam tereptalat, dan dikenal dengan nama dagang mylar (Syarief et al., 1989). Jenis plastik ini banyak digunakan untuk laminasi yang bertujuan meningkatkan daya tahan kemasan terhadap kikisan dan sobekan, sehingga banyak digunakan sebagai kantung makanan. Sifat-sifat plastik PET adalah :

 Tembus pandang (transparan), bersih dan jernih.

 Adaptasi terhadap suhu tinggi (300°C) sangat baik.

 Permeabilitasnya terhadap uap air dan gas rendah.

 Tahan terhadap pelarut organik seperti asam-asam organik dari buah-buahan, sehingga dapat digunakan untuk mengemas minuman sari buah.

 Tidak tahan terhadap asam kuat, fenol dan benzil alkohol.

 Kuat dan tidak mudah sobek.

(29)

17

Gelas

Gelas dan porselen merupakan kemasan yang paling tahan terhadap air, gas ataupun asam, atau memiliki sifat yang inert. Menurut Crosby (1981), botol gelas merupakan barrier yang baik untuk benda padat, cair, dan gas. Hal ini menyebabkan gelas menjadi bahan pelindung yang sangat baik dari kotaminasi bau dari luar sehingga citarasa produk dapat dipertahankan.

Julianti dan Nurminah (2006) menyatakan bahwa sebagai bahan kemasan, gelas memiliki kelebihan dan kelemahan. Kelebihan kemasan gelas adalah :

- Kedap terhadap air, gas, bau-bauan dan mikroorganisme.

- Inert dan tidak dapat bereaksi atau bereaksi ke dalam bahan pangan. - Kecepatan pengisian hampir sama dengan kemasan kaleng.

- Sesuai untuk produk yang mengalami pemanasan dan penutupan secara hermetis. - Dapat didaur ulang.

- Dapat ditutup kembai setelah dibuka.

- Transparan sehingga isinya dapat diperlihatkan dan dapat dihias. - Dapat dibentuk menjadi berbagai bentuk dan warna.

- Memberikan nilai tambah bagi produk.

- Rigid (kaku), kuat dan dapat ditumpuk tanpa mengalami kerusakan. Kemasan gelas juga mempunyai kelemahan antara lain :

- Berat sehingga biaya transportasi mahal.

- Resistensi terhadap pecah dan mempunyai thermal shock yang rendah. - Dimensinya bervariasi.

- Berpotensi menimbulkan bahaya yaitu dari pecahan kaca.

2.8 Umur Simpan

Menurut Institute of Food Science and Technology (1974), umur simpan produk pangan adalah selang waktu antara saat produksi hingga konsumsi di mana produk berada dalam kondisi yang memuaskan berdasarkan karakteristik penampakan, rasa, aroma, tekstur, dan nilai gizi. Sementara itu, Floros dan Gnanasekharan (1993) menyatakan bahwa umur simpan adalah waktu yang diperlukan oleh produk pangan dalam kondisi penyimpanan tertentu untuk dapat mencapai tingkatan degradasi mutu tertentu. Pada saat baru diproduksi, mutu produk dianggap dalam keadaan 100%, dan akan menurun sejalan dengan lamanya penyimpanan atau distribusi. Selama penyimpanan dan distribusi tersebut, produk pangan akan mengalami kehilangan bobot, nilai pangan, mutu, nilai uang, daya tumbuh, dan kepercayaan (Rahayu et al. 2003).

Floros dan Gnanasekharan (1993) menyatakan bahwa terdapat enam faktor utama yang mengakibatkan terjadinya penurunan mutu atau kerusakan pada produk pangan, yaitu massa oksigen, uap air, cahaya, mikroba, kompresi atau bantingan, dan bahan kimia toksik atau off flavor. Faktor-faktor tersebut dapat mengakibatkan terjadinya penurunan mutu lebih lanjut, seperti oksidasi lemak, kerusakan vitamin, kerusakan protein, perubahan bau, reaksi pencoklatan, perubahan unsur organoleptik, dan kemungkinan terbentuknya racun.

Salah satu kendala yang sering dihadapi industri pangan dalam penentuan masa kadaluarsa produk adalah waktu. Pada prakteknya, ada lima pendekatan yang dapat digunakan untuk menduga masa kadaluarsa, yaitu: 1) nilai pustaka (literature value), 2) distribution turn over, 3) distribution

abuse test, 4) consumer complaints, dan 5) accelerated shelf-life testing (ASLT) (Hariyadi 2004a).

(30)

18

produk pangan karena keterbatasan fasilitas yang dimiliki produsen pangan. Distribution turn over merupakan cara menentukan umur simpan produk pangan berdasarkan informasi produk sejenis yang terdapat di pasaran. Pendekatan ini dapat digunakan pada produk pangan yang proses pengolahannya, komposisi bahan yang digunakan, dan aspek lain sama dengan produk sejenis di pasaran dan telah ditentukan umur simpannya. Distribution abuse test merupakan cara penentuan umur simpan produk berdasarkan hasil analisis produk selama penyimpanan dan distribusi di lapangan, atau mempercepat proses penurunan mutu dengan penyimpanan pada kondisi ekstrim (abuse test). Pada penentuan umur simpan berdasarkan komplain konsumen (consumer complaints), produsen menghitung nilai umur simpan berdasarkan komplain atas produk yang didistribusikan. Untuk mempersingkat waktu, penentuan umur simpan dapat dilakukan dengan ASLT di laboratorium.

Umur simpan produk susu fermentasi dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu bahan baku, formulasi produk, proses, pengisian, pengemasan, penyimpanan, distribusi, dan penanganan oleh konsumen. (Man dan Jones, 1999). Syarief et al. (1989) menambahkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi umur simpan makanan yang dikemas antara lain :

1. Keadaan alamiah atau sifat makanan dan mekanisme berlangsungnya perubahan, misalnya kepekaan terhadap air dan O2 dan kemungkinan terjadinya perubahan-perubahan kimia internal

dan fisik.

2. Ukuran kemasan dalam hubungan dengan volumenya.

3. Kondisi atmosfir terutama suhu dan kelembaban dimana kemasan dapat bertahan selama transit dan sebelum digunakan.

4. Ketahanan keseluruhan dari kemasan terhadap keluar masuknya air, gas dan bau, termasuk dari perekatan, penutupan, dan bagian-bagian yang terlipat.

2.8.1 Penentuan Umur Simpan

Menurut Arpah (2001), secara umum penentuan umur simpan dari produk pangan dilakukan dengan salah satu cara diantara tiga kategori, yaitu :

1. Percobaan dirancang dengan cara menentukan umur simpan produk yang ada.

2. Percobaan dirancang dengan cara mempelajari pengaruh faktor spesifik dan kombinasi dari berbagai faktor seperti suhu penyimpanan, bahan pengemas, atau bahan tambahan makanan. 3. Percobaan dilakukan untuk menentukan umur simpan dari produk yang sedang dikembangkan.

Secara garis besar umur simpan dapat ditentukan dengan menggunakan metode konvensional (extended storage studies, ESS) dan metode akselerasi kondisi penyimpanan (ASS atau ASLT) (Syarief et al., 1989). Setelah umur simpan produk pangan dapat diduga, kemudian ditetapkan waktu kadaluarsanya dengan menggunakan dua konsep studi penyimpanan produk pangan, yaitu ESS dan ASS atau ASLT (Floros dan Gnanasekharan 1993).

Extended Storage Studies (ESS)

Penentuan umur simpan produk dengan ESS, yang juga sering disebut sebagai metode konvensional, adalah penentuan tanggal kadaluarsa dengan cara menyimpan satu seri produk pada kondisi normal sehari-hari sambil dilakukan pengamatan terhadap penurunan mutunya (usable

quality) hingga mencapai tingkat mutu kadaluarsa. Metode ini akurat dan tepat, namun pada awal

(31)

19

parameter mutu yang relatif banyak serta mahal. Metode ESS sering digunakan untuk produk yang mempunyai masa kadaluarsa kurang dari 3 bulan.

Accelerated Storage Studies (ASS atau ASLT)

Penentuan umur simpan produk dengan metode ASS atau sering disebut dengan ASLT dilakukan dengan menggunakan parameter kondisi lingkungan yang dapat mempercepat proses penurunan mutu (usable quality) produk pangan. Salah satu keuntungan metode ASS yaitu waktu pengujian relatif singkat (3-4 bulan), namun ketepatan dan akurasinya tinggi. Kesempurnaan model secara teoritis ditentukan oleh kedekatan hasil yang diperoleh (dari metode ASS) dengan nilai ESS. Hal ini diterjemahkan dengan menetapkan asumsi-asumsi yang mendukung model. Variasi hasil prediksi antara model yang satu dengan yang lain pada produk yang sama dapat terjadi akibat ketidaksempurnaan model dalam mendiskripsikan sistem, yang terdiri atas produk, bahan pengemas, dan lingkungan (Arpah 2001).

Referensi

Dokumen terkait

Pengaruh jenis kemasan dan suhu penyimpanan terhadap kualitas dan daya simpan dadih susu sapi yang dipasteurisasi.. Di bawah bimbingan Tatit

Berdasarkan hasil penelitian, untuk parameter kritis total asam tertitrasi selama penyimpanan diperoleh umur simpan yogurt kacang hijau adalah 21 hari untuk yogurt yang

PENGARUH GARAM, ASAM SITRAT DAN VCO SERTA SUHU PENYIMPANAN TERHADAP UMUR SIMPAN BROKOLI.. (Brassica

pendugaan umur simpan cookies kaya serat yang diperoleh dengan metode ASLT model pendekatan kadar air kritis untuk kemasan polietilen, metalizing, dan alumunium foil

Umur simpan tempe bacem dengan kombinasi kemasan vakum dan penyimpanan dingin (10 o C) adalah 18 hari, sedangkan tempe bacem tanpa kemasan vakum yang disimpan pada suhu ruang (26 -

Regresi linier dan persamaan garis kadar asam lemak bebas kerupuk ikan tenggiri dalam kemasan HDPE selama penyimpanan yang akan menentukan sisa umur simpan dari

Penelitian ini bertujuan untuk menentukan parameter mutu kritis keripik wortel yang dikemas dalam kemasan polipropilen selama penyimpanan dan menduga umur

Pengelola UKM dapat menentukan umur simpan bumbu rujak dalam kemasan dengan menekankan pada perubahan nilai pH bumbu sebagai parameter mutu kritis, sehingga pengelola