• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hasil Gejala

Gejala merupakan ekspresi dari tanaman akibat adanya gangguan fungsi fisiologis baik disebabkan oleh patogen maupun kekurangan unsur hara. Tanaman yang diberi perlakuan kitosan memiliki gejala kerusakan ringan yang meliputi beberapa daun menggulung, agak mengeriting, dan dapat juga dikatakan bahwa gejala dari tanaman yang diberi perlakuan kitosan adalah gejala yang tidak jelas atau tidak khas karena pengaruh dari kitosan itu sendiri. Sedangkan gejala tanaman kontrol positif menunjukkan gejala yang lebih parah berupa kerusakan sedang sampai berat yang meliputi sebagian besar helaian daun menunjukkan gejala kasar atau menggulung, pembengkakan tulang daun, jumlah anakan sedikit, dan kerdil.

Gambar 1 Gejala serangan RRSV pada sumber inokulum meliputi (a) kerdil, (b) daun bendera membentuk spiral, dan pada hasil perlakuan meliputi (c) daun menggulung, (d) daun mengeriting, (e) daun kasar, (f) seperti gerigitan

Pengaruh Perlakuan Kitosan terhadap Kejadian Penyakit dan Keparahan Penyakit

Kejadian penyakit. Pada tanaman perlakuan yang menunjukkan kejadian penyakit terendah adalah pada konsentrasi 1% sebelum inokulasi (ch sb 1), sedangkan perlakuan lain menunjukkan kejadian penyakit yang tidak berbeda nyata dengan kontrol positif tanpa perlakuan kitosan yaitu 100% (Tabel 1).

Keparahan penyakit. Secara umum perlakuan kitosan menurunkan keparahan penyakit. Perlakuan penyemprotan kitosan 1% sebelum inokulasi mempunyai keparahan penyakit yang lebih rendah dan berbeda nyata tetapi perlakuan lain tidak berbeda nyata dengan kontrol positif (Tabel 2). Dengan demikian perlakuan penyemprotan kitosan 1% sebelum inokulasi mampu menghambat keparahan penyakit kerdil hampa sebesar 40.74%.

Pengaruh Perlakuan Kitosan terhadap Pertumbuhan Tanaman

Tinggi tanaman. Tinggi tanaman merupakan salah satu aspek dalam perkembangan vegetatif. Tinggi merupakan pertumbuhan dari tanaman secara vertikal dan setiap harinya mengalami perubahan. Secara umum, perlakuan kitosan berpengaruh nyata terhadap tinggi tanaman dibandingkan dengan kontrol positif tanpa perlakuan. Perlakuan kitosan menunjukkan pengaruh terhadap tinggi tanaman mulai terlihat pada 7 HSI. Walaupun tanaman terinfeksi RRSV, namun pertumbuhannya hampir sama baiknya dengan tanaman sehat (Gambar 2 dan 3, Lampiran 1) dan pertumbuhan yang paling mendekati tanaman sehat yaitu tanaman perlakuan ch sb 1 dengan konsentrsi kitosan 1% yang disemprotkan sebelum inokulasi (Gambar 4, Lampiran 1).

Jumlah anakan. Jumlah anakan yang dihasilkan oleh tanaman perlakuan lebih banyak dibandingkan dengan tanaman kontrol negatif yang dapat dilihat mulai dari 7 HSI (Gambar 5, Lampiran 2). Hal ini menunjukkan konsentrasi kitosan dapat mempengaruhi pertumbuhan jumlah anakan tanaman. Perlakuan yang jumlah anakannya paling banyak dan melampaui jumlah anakan kontrol negatif adalah ch sb 1 atau perlakuan kitosan 0.1% sebelum inokulasi (Gambar 6, Lampiran 2).

25 Tabel 1 Pengaruh perlakuan kitosan terhadap kejadian dan keparahan penyakit

kerdil hampa pada 35 HSI

Perlakuan Kejadian Penyakit Keparahan Penyakit

K (-) 0% (0/9) 0.00 ± 0.00 a K (+) 100% (9/9) 72.83 ± 8.55 c Ch st 1 100% (9/9) 67.9 ± 4.28 c Ch sb 1 44.44% (4/9) 32.1 ± 28.04 b Ch st 0.1 100% (9/9) 62.96 ± 7.41 c Ch sb 0.1 100% (9/9) 70.37 ± 0 c 1

K (-): Kontrol negatif (tanpa inokulasi tanpa kitosan), K (+): Kontrol positif (inokulasi tanpa kitosan), ch st 1: Perlakuan setelah inokulasi dengan kitosan 1%, ch sb 1: Perlakuan sebelum inokulasi dengan kitosan 1%, ch st 0.1: Perlakuan setelah inokulasi dengan kitosan 0.1%, ch sb 0.1: Perlakuan sebelum inokulasi dengan kitosan 0.1%.

2

Angka yang diikuti huruf mutu berbeda menunjukkan hasil berbeda nyata (uji selang berganda

Duncan α=0.05)

3

HSI : Hari setelah inokulasi

Gambar 2 Tinggi tanaman akibat perlakuan kitosan pada 0-7 HSI, 4-14 HSI, 14-21 HSI, 14-21-28 HSI, dan 28-35 HSI

K (-): kontrol negatif/tanaman sehat K (+): kotrol positif/diinokulasi virus non kitosan Ch st 1: kitosan 1% setelah inokulasi Ch sb 1: kitosan 1% sebelum inokulasi Ch st 0.1: kitosan 0.1% setelah inokulasi Ch sb 0.1: kitosan 0.1% sebelum inokulasi

Gambar 3 Pengaruh kitosan terhadap tinggi tanaman. Dari kiri: K (-) atau tanaman sehat, K (+) atau tanaman diinokulasi virus non kitosan, ch st 1 atau kitosan 1% setelah inokulasi, ch sb 1 atau kitosan 1% sebelum inokulasi, ch st 0.1 atau kitosan 0.1% setelah inokulasi, dan ch sb 0.1 atau kitosan 0.1% sebelum inokulasi

Gambar 4 Perlakuan kitosan 1% sebelum inokulasi (kanan) menunjukkan tinggi yang hampir sama dengan K (+) atau tanaman sehat (kiri)

27

Gambar 5 Jumlah anakan akibat perlakuan kitosan pada 35 HSI

Gambar 6 Pengaruh kitosan terhadap jumlah anakan. Tanaman padi yang diberi perlakuan kitosan 0.1% sebelum inokulasi (kanan) mempunyai jumlah anakan lebih banyak dibandingkan tanaman yang tidak diberi kitosan (kiri) K (-): kontrol negatif/tanaman sehat K (+): kotrol positif/diinokulasi virus non kitosan Ch st 1: kitosan 1% setelah inokulasi Ch sb 1: kitosan 1% sebelum inokulasi Ch st 0.1: kitosan 0.1% setelah inokulasi Ch sb 0.1: kitosan 0.1% sebelum inokulasi

Deteksi RRSV dengan RT-PCR

Setelah akhir perlakuan, tanaman dideteksi dengan menggunakan metode RT-PCR. Pita DNA tanaman yang diinokulasi menunjukkan positif mengandung RRSV. Ukuran pita DNA tanaman hasil inokulasi sama dengan ukuran pita DNA sumber inokulum yaitu 610 bp (Hoang 2010). Pita DNA tanaman hasil inokulasi lebih redup dibandingkan pita DNA sumber inokulum. Hal ini diduga disebabkan oleh pengaruh kitosan (Gambar 7).

Gambar 7 Hasil amplifikasi DNA genom virus dengan metode RT-PCR menggunakan pasangan primer spesifik untuk RRSV. Lajur M: marker 1kb DNA ladder (Promega, USA); lajur 1: tanaman padi sumber inokulum; lajur 2: tanaman hasil perlakuan kitosan; lajur 3: tanaman padi kontrol negatif; lajur 4-8: tanaman padi bergejala RRSV asal Subang (4, 7, dan 8 yang positif); lajur 9: tanaman padi bergejala RRSV asal Sawah Baru

Pembahasan Umum

Perlakuan penyemprotan pada penelitian ini diawali dengan proses inokulasi. Keberhasilan inokulasi merupakan kunci utama untuk melaksanakan tahap selanjutnya pada proses perlakuan. RRSV tidak dapat ditularkan secara mekanik, melalui biji atau melalui organisme dalam tanah tetapi hanya dapat ditularkan oleh wereng batang coklat (Nilparvata lugens Stal) (Hibino et al. 1977). Oleh sebab itu, proses inokulasi pada penelitian ini menggunakan wereng batang coklat (WBC) yang penggunaannya dikhususkan nimfa instar ketiga

M 1 2 3 4 5 6 7 8 9

500 bp 250 bp

29 karena menurut Ghosh dan John (1980), nimfa lebih efisien daripada imago dalam menularkan RRSV. Persentase penularan nimfa instar pertama 19.3%, instar kedua 25.8%, instar ketiga 29%, instar keempat 27.6% dan instar kelima 21.4%. Selain ketepatan dari vektor, inokulasi juga didukung dari sumber inokulum. Maka sebelum penularan, sumber inokulum dideteksi terlebih dahulu dengan metode RT-PCR. Setelah hasil deteksi menunjukkan positif RRSV maka tahap penularan dapat dilaksanakan. Gejala hasil inokulasi dapat terlihat jelas setelah pengamatan selama 35 HSI.

Keberhasilan inokulasi juga dapat dilihat dari hasil deteksi RT-PCR sumber inokulum dan tanaman perlakuan (Gambar 7). Terbukti bahwa ukuran pita DNA tanaman perlakuan penyemprotan kitosan sama dengan ukuran pita DNA sumber inokulum yaitu 610 bp (Hoang 2010). Namun di antara keduanya yang membedakan adalah terangnya pita DNA. Hal ini dapat dilihat bahwa pita DNA hasil perlakuan penyemprotan kitosan lebih redup dibandingkan dengan terang pita DNA sumber inokulum.

Perlakuan kitosan 1% sebelum inokulasi (ch sb 1) mempunyai nilai kejadian penyakit paling rendah (44.44%). Sedangkan perlakuan lainnya mempunyai kejadian penyakit 100% seperti kontrol positif sehingga kejadian penyakit pada perlakuan kitosan 1% sebelum inokulasi berbeda nyata dengan kejadian penyakit perlakuan lainnya. Hal sama terjadi pada keparahan penyakit dimana perlakuan kitosan 1% sebelum inokulasi memiliki keparahan penyakit terendah (32.09%) yang berbeda nyata, baik dengan perlakuan kitosan lain maupun dengan kontrol positif (Tabel 1, Lampiran 17). Gejala tanaman yang diberi perlakuan kitosan adalah kerusakan ringan yang meliputi beberapa daun menggulung, agak mengeriting, dan dapat juga dikatakan bahwa gejala dari tanaman yang diberi perlakuan kitosan adalah gejala yang tidak jelas atau tidak khas karena pengaruh dari kitosan itu sendiri. Hal ini menunjukkan bahwa perlakuan kitosan 1% sebelum inokulasi paling efektif terhadap kejadian dan keparahan penyakit kerdil hampa pada tanaman padi.

Selain berpengaruh dan berbeda nyata pada kejadian dan keparahan penyakit, kitosan 1% sebelum inokulasi juga berpengaruh terhadap tinggi tanaman. Perlakuan ini mempunyai rata-rata tinggi tanaman (86.14 cm) yang

berbeda nyata dengan kontrol positif (45.99 cm) (Gambar 3, Lampiran 1). Perlakuan ini juga memiliki rata tinggi tanaman yang paling mendekati rata-rata tinggi tanaman sehat (Gambar 4). Sedangkan untuk jumlah anakan, kitosan 0.1% sebelum inokulasi mempunyai rata-rata jumlah anakan yang paling banyak dan berbeda nyata dengan kontrol positif (Gambar 5, Lampiran 2). Kemampuan kitosan dalam merangsang pertumbuhan disebabkan oleh sifat kitosan yang mampu meningkatkan respon terhadap hormon giberelin dan auksin (Uthairatanakij et al. 2007).

Pada umumnya kitosan berpengaruh dalam menekan penyakit tanaman yang disebabkan oleh virus. Kitosan dilaporkan mampu menekan infeksi Tobacco necrosis virus, Tobacco mosaic virus, Peanut stunt virus, Cucumber mosaic virus, dan Potato virus X (Pospieszny et al. 1991; Chirkov 2002; Pospieszny 1997; Struszczyk 2002). Khusus konsentrasi kitosan 1%, Haryanto (2010) dan Ramadhan (2012) mengemukakan bahwa kitosan konsentrasi 1% memberikan hasil terbaik dalam penekanannya terhadap infeksi Bean common mosaic virus pada tanaman kacang panjang.

Penelitian ini menunjukkan bahwa perlakuan penyemprotan kitosan konsentrasi 1% sebelum inokulasi mampu menghambat kejadian dan keparahan penyakit serta meningkatkan tinggi tanaman. Waktu aplikasi penyemprotan kitosan berhubungan dengan kemampuan kitosan itu sendiri. Kitosan termasuk senyawa kimia yang mampu mengaktifkan sistem pertahanan kemudian menginduksi produksi masal konstituen pertahanan yang terdiri dari berbagai protein defensif atau yang dikenal sebagai pathogenesis-related (PR) protein yang mampu melindungi tanaman dari serangan patogen. PR protein memiliki peranan dalam pencegahan multiplikasi, penyebaran, dan lokalisasi virus pada jaringan tanaman yang diinokulasi. PR protein juga akan terakumulasi banyak pada tempat terjadinya infeksi (Naylor et al. 1998). Untuk mendukung kinerja PR protein tersebut maka waktu aplikasi penyemprotan kitosan yang terbaik adalah sebelum inokulasi agar peranan PR protein dapat bekerja maksimal. Sedangkan waktu aplikasi penyemprotan kitosan setelah inokulasi, menurut Ramadhan (2012) membuat peranan PR protein dalam kitosan kurang efektif dan dinilai terlambat

31 dalam pencegahan multiplikasi, penyebaran, dan lokalisasi virus pada jaringan tanaman yang diinokulasi.

Dokumen terkait