• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kondisi Umum

Lahan yang digunakan pada penelitian ini memiliki pH tanah 4.6, sedangkan pH optimum untuk pertumbuhan kedelai adalah 5.6-6.9 dan pH 6.2 untuk CMA (Marwoto et al., 2005; Morton et al., 2004). Permasalahan tersebut diatasi dengan pemberian kapur dolomit dengan dosis 3 ton/ha sebelum penanaman yang diharapkan dapat meningkatkan pH tanah sehingga sesuai untuk pertumbuhan kedelai dan CMA. Daya tumbuh benih untuk masing-masing perlakuan masih tergolong tinggi, yaitu lebih dari 80 %. Hal ini disebabkan karena benih yang digunakan merupakan benih hasil panen bulan Februari dengan viabilitas benih awal tinggi yang berkisar antara 85-95 %.

Pertumbuhan tanaman pada awal penanaman secara visual baik, namun pada 4 MST beberapa tanaman kedelai mulai menunjukkan adanya kekurangan unsur hara nitrogen. Hal ini terlihat dari banyaknya daun muda yang menguning dan rontok pada beberapa tanaman (Gambar 4). Pemupukan N pada awal penanaman dengan dosis 25 kg urea/ha belum mencukupi kebutuhan hara tanaman kedelai. Kedelai membutuhkan nitrogen dalam jumlah yang besar.

Gardner et al. (1991) menyatakan bahwa N merupakan hara esensial untuk pembelahan dan pembesaran sel serta pertumbuhan tanaman.

Gambar 4. Tanaman Kedelai yang Mengalami Kekurangan Nitrogen

Permasalahan kekurangan unsur hara N pada 4 MST diatasi dengan dilakukannya pemupukan melalui daun menggunakan N-Fert pada 5 MST. N-Fert merupakan inokulum dengan bahan aktif bakteri fiksasi nitrogen, yang mampu menambat nitrogen dari udara, menghasilkan hormon tumbuh seperti IAA dan GA, serta zat-zat lain yang diperlukan oleh tanaman, sehingga produktivitas tanaman meningkat (Balai Pengkajian Bioteknologi-BPPT, 2010). Hal ini dimaksudkan untuk meningkatkan mikroba penambat N yang berperan dalam membantu peningkatan penyerapan unsur hara, terutama unsur N. Keragaan tanaman per perlakuan dapat dilihat pada Lampiran 1.

Pengendalian hama dan penyakit selama pertumbuhan tanaman hanya dilakukan secara manual. Hama yang menyerang pertanaman kedelai yang teramati diantaranya adalah hama perusak daun seperti belalang (Oxya spp), ulat jengkal (Chrysodesixis chalcites), ulat penggulung daun (Lamprosema indica), ulat helicoverpa (Helicoverpa (Heliothis) armigera Huebner), dan ulat api (Setora nitens) (Gambar 5A-B) yang didentifikasi berdasarkan buku Hama dan Penyakit Tanaman (Pracaya, 2003). Hama perusak polong diantaranya kepik polong (Riptortus linearis Fabricus) dan kepik hijau (Nezara viridula Linnaeus) (Gambar 5C-D). Hama perusak daun menyerang tanaman kedelai sejak tanaman berumur 2 MST, sedangkan hama perusak polong menyerang tanaman kedelai sejak tanaman berumur 7 MST. Hama perusak daun merupakan hama yang menyerang tanaman dengan intensitas yang cukup tinggi.

Gambar 5. (A) Ulat Helicoverpa (Helicoverpa (Heliothis) armigera Huebner) (B) Ulat Api (Setora nitens), (C) Kepik Polong (Riptortus linearis Fabricus), dan (D)

Kepik Hijau (Nezara viridula Linnaeus)

A B

D C

Penyakit yang banyak menyerang yaitu busuk akar dan penyakit sapu, namun keberadaannya masih dalam jumlah sedikit. Gulma yang teramati tumbuh di sekitar pertanaman kedelai yaitu Borreria latifolia, Borreria alata, Mimosa pudica, Oxalis barilieri, dan Eleusine indica (Gambar 6) yang diidentifikasi berdasarkan buku Weeds (Kleiber, 1968). Penyiangan gulma yang dilaksanakan setiap minggunya mampu mengendalikan pertumbuhan gulma.

Gambar 6. (A) Borreria latifolia, (B) Mimosa pudica, (C) Eleusine indica, (D) Borreria alata

Rekapitulasi hasil uji F menggunakan progam olah data SAS 6.12 menunjukkan bahwa perlakuan dosis pupuk P berpengaruh nyata terhadap bobot basah akar, serta bobot basah dan bobot kering polong isi. Perlakuan aplikasi inokulan CMA berpengaruh nyata terhadap tinggi tanaman 6 MST, jumlah daun 7, 8, dan 9 MST, bobot basah dan bobot kering tajuk, bobot basah akar, bobot kering bintil akar, jumlah bintil akar, persen infeksi akar, jumlah spora, serta bobot basah dan bobot kering polong isi. Interaksi dosis pupuk P dan aplikasi inokulan CMA berpengaruh nyata terhadap tinggi tanaman 2 MST, jumlah daun pada 8 dan 9 MST, bobot basah akar, bobot basah dan bobot kering tajuk, jumlah bintil akar, jumlah spora, jumlah polong isi, bobot basah polong isi, bobot biji per tanaman dan bobot biji per petak. Secara rinci rekapitulasi sidik ragam ditunjukkan pada Tabel 1.

A B

C D

Tabel 1. Rekapitulasi Sidik Ragam Pengaruh Dosis Pupuk P dan Teknik Aplikasi Inokulan serta Interaksinya terhadap Beberapa Parameter Pengamatan Tanaman Kedelai

Keterangan : * = berpengaruh nyata, ** = berpengaruh sangat nyata, tn = tidak berpengaruh nyata

Daya Tumbuh

Pengaruh perlakuan dosis pupuk P dan teknik aplikasi inokulan serta interaksinya terhadap daya tumbuh benih tidak nyata (Lampiran 1). Benih yang digunakan adalah benih yang masih memiliki persentase viabilitas awal yang tinggi (85-95%). Perlakuan dosis pupuk P yang berbeda-beda masih memiliki nilai daya tumbuh yang tinggi (89.0-92.5 %) (Tabel 2). Walaupun aplikasi inokulan CMA pada benih tidak berpengaruh nyata tetapi nilai daya tumbuh tertinggi terdapat pada perlakuan I1 (aplikasi inokulan tanpa bahan pelapis dan perekat) (Tabel 3).

Tabel 2. Pengaruh Dosis Pupuk P terhadap Daya Tumbuh Benih Kedelai pada 1 MST

Tabel 3. Pengaruh Aplikasi Inokulan CMA terhadap Daya Tumbuh Benih Kedelai pada 1 MST

Aplikasi Inokulan CMA Daya Tumbuh

(%)

Tanpa aplikasi inokulan CMA (I0) 90.5

Aplikasi inokulan CMA tanpa bahan pelapis dan perekat (I1) 92.3 Aplikasi inokulan CMA berpelapis dan berperekat (I2) 90.7

Tinggi Tanaman

Peubah tinggi tanaman pada awal penanaman hanya dipengaruhi oleh interaksi antara perlakuan dosis pupuk P dengan perlakuan aplikasi inokulan CMA (Tabel 4). Perlakuan dosis pupuk P 300 kg SP-18/ha (P3) yang dikombinasikan dengan perlakuan tanpa aplikasi inokulan CMA (I0) menghasilkan nilai tertinggi yang secara nyata berbeda dengan perlakuan P0I0 dan P2I0. Teknik aplikasi inokulan CMA baru berpengaruh nyata terhadap tinggi tanaman pada 6 MST (Tabel 5). Perlakuan inokulasi CMA berpelapis dan

berperekat (I2) mampu meningkatkan tinggi tanaman sebesar 7 % dibandingkan dengan tanpa perlakuan inokulasi CMA (I0) pada 6 MST. Perlakuan inokulasi CMA tanpa bahan pelapis dan perekat (I1) mampu meningkatkan tinggi tanaman dibandingkan dengan kontrol walaupun tidak berbeda nyata. Dosis pemupukan P sampai dengan 400 kg SP-18/ha tidak berpengaruh terhadap peubah tinggi tanaman.

Tabel 4. Pengaruh Interaksi Dosis Pupuk P dan Aplikasi Benih dengan Inokulan CMA terhadap Tinggi Tanaman (cm) pada 2 MST

Dosis Pupuk P

Tabel 5. Pengaruh Aplikasi Inokulan CMA terhadap Tinggi Tanaman pada 6 MST

Aplikasi inokulan CMA pada benih kedelai mampu meningkatkan pertumbuhan tanaman terbaik tanpa pemupukan P. Aplikasi inokulan CMA terbaik diperoleh dari aplikasi inokulan CMA berpelapis dan berperekat.

Penambahan bahan pelapis dan perekat diduga mampu meningkatkan jumlah spora yang menempel pada benih kedelai pada saat penanaman dibandingkan tanpa penambahan bahan pelapis dan perekat, sehingga kecepatan CMA untuk menginfeksi akar menjadi lebih besar. Hal tersebut mengakibatkan peningkatan infeksi CMA terhadap akar tanaman yang juga berkorelasi positif terhadap pertumbuhan tanaman.

Keberadaan CMA dapat membantu tanaman dalam meningkatkan kemampuan penyerapan unsur hara terutama fosfat yang sangat dibutuhkan selama pertumbuhan vegetatif. Menurut Aiguo et al. (2007) hal tersebut disebabkan diameter hifa eksternal pada CMA yang lebih kecil dibandingkan akar dapat masuk ke dalam pori-pori tanah yang lebih kecil, sehingga unsur hara yang dapat diserap juga meningkat. Hasil penelitian ini sejalan dengan yang dilaporkan oleh Purwaningsih et al (2000), bahwa pemberian inokulan Rhizobium, CMA, maupun kombinasi keduanya mampu memperbaiki pertumbuhan tanaman kedelai diantaranya tinggi tanaman yang lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol.

Jumlah Daun

Peubah jumlah daun dipengaruhi oleh aplikasi inokulan CMA dan interaksi antara perlakuan inokulan CMA dengan dosis pupuk P, tetapi tidak dipengaruhi oleh perlakuan dosis pupuk P. Jumlah daun terbanyak pada 7 dan 8 MST terdapat pada aplikasi inokulan CMA berpelapis dan berperekat (I2). Aplikasi inokulan CMA berpelapis dan berperekat juga mampu mengurangi jumlah daun yang gugur pada 9 MST yang berbeda sangat nyata dengan perlakuan lainnya (Tabel 6).

Tabel 6. Pengaruh Perlakuan Benih dengan Inokulan terhadap Jumlah Daun pada 7, 8, dan 9 MST

Keterangan: angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT 5 %

Aplikasi CMA berpelapis dan berperekat pada penelitian ini terbukti mampu meningkatkan jumlah daun. Hifa eksternal CMA yang bersimbiosis dengan akar tanaman secara tidak langsung akan memperluas serapan akar dibandingkan tanaman tanpa CMA, sehingga dapat menyerap unsur hara dan air dari tanah lebih banyak. Menurut Sylvia (2005) selain menyerap unsur P, CMA juga berfungsi

mikro tersebut diduga mampu meningkatkan jumlah daun walaupun dibutuhkan tanaman dalam jumlah yang sedikit. Zn merupakan unsur hara yang berperan penting dalam aktivitas enzimatis dan sintesa triptofan, sedangkan Cu berperan penting dalam pembentukan klorofil daun dan sebagai katalisator berbagai proses fisiologis tanaman (Mangoensoekarjo, 2007). Adanya peningkatan serapan Zn dan Cu diduga mengakibatkan aktivitas enzimatis dan proses fisiologis, termasuk fotosintesis berjalan dengan lancar sehingga mampu meningkatkan pertumbuhan tanaman yang ditandai dengan peningkatan jumlah daun.

Jumlah daun yang lebih banyak pada aplikasi CMA berpelapis dan berperekat (Gambar 7) juga diduga akibat kepadatan spora yang lebih tinggi pada saat penanaman. Kepadatan spora yang tinggi akan berkembang dengan cepat dan sangat membantu peningkatan unsur hara dalam tanah. Menurut Mayerni dan Hervani (2008) kepadatan spora yang tinggi sangat mendukung tanaman untuk tumbuh dan berkembang dengan baik, yang diduga karena proses kolonisasi CMA terhadap akar berkembang dengan baik. Hal ini membuktikan bahwa aplikasi CMA berpelapis dan berperekat lebih efektif meningkatkan jumlah spora yang menempel pada benih dibandingkan aplikasi CMA tanpa bahan pelapis dan perekat.

Gambar 7. Pengaruh Aplikasi Inokulan CMA terhadap Jumlah Daun Interaksi antara perlakuan dosis pupuk P dengan aplikasi inokulan CMA berpengaruh nyata pada 8 dan 9 MST (Tabel 7 dan 8). Perlakuan terbaik ditunjukkan oleh perlakuan dosis pupuk P 100 kg SP 18/ha (P1) yang

I0 : Kontrol

I1 : Aplikasi CMA tanpa perekat dan pelapis

I2 : Apliaksi CMA berperekat dan berpelapis

dikombinasikan dengan aplikasi inokulan CMA berlapis dan berperekat (I2). Hal ini disebabkan hifa CMA masih mampu menyerap air pada pori-pori tanah pada saat akar tanaman sudah tidak mampu lagi (Santoso et al., 2007). Selain itu penyebaran hifa di dalam tanah sangat luas, sehingga dapat memanen air relatif lebih banyak (Santoso et al., 2007). Peningkatan serapan air pada tanaman kedelai yang diinokulasi CMA ini diduga akan lebih memacu pertumbuhan tanaman kedelai melalui pembelahan, pembesaran, dan pemanjangan sel yang ditunjukkan oleh jumlah daun yang lebih banyak. sejalan dengan yang dilaporkan Sereno (2001), bahwa inokulum CMA spesies Glomus manihotis dapat mengurangi jumlah daun yang gugur serta dapat

meningkatkan ketahanan tanaman bangkuang terhadap kekeringan. Menurut Paul and Clark (1996), tanaman yang diinokulasi CMA akan memiliki kemampuan bertahan pada kekeringan dan kelembapan ekstrim karena perubahan potensial air pada tanaman. Ketersediaan air yang mencukupi pada tanaman kedelai yang diinokulasi CMA sampai dengan tanaman berumur 9 MST membantu mengurangi jumlah daun yang gugur.

Bobot Basah dan Kering Tajuk dan Akar

Aplikasi inokulan CMA berpelapis dan berperekat mampu meningkatkan bobot basah tajuk dibandingkan kontrol dan aplikasi inokulan CMA tanpa bahan pelapis dan perekat, masing-masing sebesar 25 % (Tabel 9). Begitu juga dengan bobot kering tajuk, aplikasi inokulan CMA berpelapis dan berperekat menghasilkan bobot kering tajuk yang nyata lebih tinggi dibandingkan perlakuan lainnya. Penambahan bahan perekat dan pelapis mengakibatkan jumlah spora CMA yang menempel pada benih lebih banyak. Menurut Widiastuti et al. (2005), jumlah spora mikroba yang diinokulasi juga mempengaruhi respon CMA terhadap pertumbuhan tanaman kelapa sawit. Jumlah spora Acaulospora tuberculata dan Gigaspora margarita yang efektif untuk meningkatkan pertumbuhan adalah sebanyak 500 spora.

Tabel 9. Pengaruh Aplikasi Inokulan CMA terhadap Bobot Basah dan Kering Tajuk pada 7 MST

Aplikasi Inokulan CMA Bobot Basah (g) Bobot Kering (g) Tanpa aplikasi inokulan CMA (I0) 32.02 b 10.43 b Aplikasi inokulan CMA tanpa bahan

Cendawan mikoriza arbuskula secara alami terkandung pada lahan penelitian yang digunakan. Hal ini terbukti dengan adanya spora CMA pada pengamatan jumlah spora CMA walaupun dalam jumlah yang sedikit. Jumlah spora CMA yang sedikit dalam tanah mengakibatkan efektivitas CMA tidak maksimal. Keberadaan spora alami dalam tanah tersebut menghasilkan bobot

kering tajuk yang tidak berbeda nyata dengan adanya penambahan CMA tanpa bahan pelapis dan perekat (I1). Aplikasi CMA tanpa bahan pelapis dan perekat diduga menghasilkan spora yang menempel pada benih lebih sedikit akibat hilang pada saat proses pelapisan dan penanaman.

Aplikasi CMA berpelapis dan berperekat (I2) terbukti membantu meningkatkan CMA yang menempel pada benih saat proses pelapisan dan penanaman yang ditunjukkan dengan bobot kering tajuk yang lebih tinggi. Jumlah spora yang menempel lebih banyak pada perlakuan I2 mengakibatkan CMA di sekitar tanaman menjadi dominan dan menghasilkan efektivitas CMA yang maksimal. Aplikasi CMA tersebut membantu penyerapan unsur hara makro dan mikro dalam tanah yang berperan dalam pertumbuhan tanaman yang ditunjukkan dengan penambahan jumlah daun sehingga mengakibatkan bobot kering tajuk pun meningkat karena proses fotosintesis berjalan dengan sempurna.

Interaksi dosis pupuk P dan perlakuan aplikasi inokulan CMA berpengaruh sangat nyata terhadap bobot basah dan kering tajuk. Kombinasi pemupukan P dosis 100 kg SP-18/ha dengan aplikasi inokulan CMA berpelapis dan berperekat (I2) menghasilkan bobot basah dan kering tertinggi pada 7 MST (Tabel 10 dan Tabel 11). Tingginya tingkat pertumbuhan tanaman akibat kombinasi perlakuan tersebut tidak terlepas dari pengaruh penambahan bahan pelapis dan perekat yang mampu meningkatkan keberadaan CMA di sekitar tanaman sehingga mendorong pertumbuhan akar yang optimal.

Tabel 10. Pengaruh Interaksi Dosis Pupuk P dan Aplikasi Inokulan CMA terhadap Bobot Basah Tajuk (g) pada 7 MST

Dosis Pupuk P

Tabel 11. Pengaruh Interaksi Dosis Pupuk P dan Aplikasi Inokulan CMA terhadap Bobot Kering Tajuk (g) pada 7 MST

Dosis Pupuk P

Pertumbuhan akar yang optimal meningkatkan kemampuan inokulan CMA untuk menginfeksi akar, sehingga serapan unsur hara P juga meningkat.

Peningkatan serapan unsur hara P tersebut berpengaruh terhadap bobot basah dan kering tajuk. Pemupukan P yang diberikan pada awal penanaman juga mampu menyediakan unsur hara P bagi pertumbuhan tanaman kedelai. Pemupukan P dalam jumlah sedikit yang dikombinasikan dengan aplikasi inokulan masih diperlukan untuk pertumbuhan tanaman, namun apabila dosis pemupukan P ditingkatkan cenderung menurunkan tingkat pertumbuhan tanaman.

Perlakuan dosis pupuk P, aplikasi inokulan CMA, dan interaksi antara kedua perlakuan berpengaruh terhadap peubah bobot basah akar, tetapi tidak berpengaruh terhadap bobot kering akar. Pemberian pupuk P dengan dosis 100 kg SP 18/ha (P1) secara nyata mampu meningkatkan bobot basah akar dibandingkan perlakuan lainnya (Tabel 12). Perlakuan dosis pupuk P 100 kg SP-18/ha mampu meningkatkan bobot basah akar sebesar 25 % dibandingkan dengan dosis pupuk P 400 kg SP-18/ha. Hal ini menunjukkan bahwa pada dosis pupuk P rendah (P1),

Pemupukan P pada dosis rendah (100 kg SP 18/ha) yang dikombinasikan dengan aplikasi inokulan CMA pada penelitian ini merupakan dosis pupuk optimum untuk pertumbuhan kedelai. Hal ini ditunjukkan dengan bobot basah akar paling tinggi. Menurut Kartika (2004), CMA aktif pada kondisi hara P rendah. Hal ini dikarenakan eksudat akar lebih banyak diproduksi pada hara P rendah, namun semakin banyaknya hara P dalam tanah akibat perlakuan pupuk P dapat menyebabkan aktivitas CMA semakin menurun.

Peubah bobot basah akar juga nyata dipengaruhi oleh aplikasi inokulan CMA dengan nilai tertinggi ditunjukkan oleh perlakuan I2 dan interaksi antara perlakuan dosis pupuk P dengan aplikasi inokulan CMA yang ditunjukkan oleh perlakuan P1I2. Aplikasi inokulan CMA berpelapis dan berperekat (I2) menghasilkan bobot basah akar yang berbeda nyata dengan kontrol, namun tidak berbeda nyata dengan aplikasi inokulan CMA tanpa bahan pelapis dan perekat (Tabel 13). Perlakuan P1I2 menghasilkan bobot basah akar yang berbeda nyata dengan perlakuan P0I0, P0I1, dan P3I2, namun tidak berbeda nyata dengan perlakuan lainnya (Tabel 14).

Tabel 13. Pengaruh Aplikasi Inokulan CMA terhadap Bobot Basah Akar (g) pada 7 MST

Aplikasi Inokulan CMA Bobot Basah Akar

(g)

Tabel 14. Pengaruh Interaksi Dosis Pupuk P dan Aplikasi Inokulan CMA terhadap Bobot Basah Akar (g) pada 7 MST

Dosis Pupuk P

Jumlah dan Bobot Kering Bintil Akar 7 MST

Data pada Tabel 15 menunjukkan bahwa aplikasi CMA baik tanpa maupun dengan penambahan bahan pelapis dan perekat mampu meningkatkan jumlah bintil akar efektif pada tanaman kedelai yang berbeda nyata dengan kontrol. Hal ini dimungkinkan karena penambahan CMA pada benih telah mampu menginfeksi tanaman sejak awal pertumbuhan tanaman dan perkembangan akar tanaman pun menjadi lebih baik, sehingga proses infeksi dan pembentukan bintil akar dapat berlangsung dengan baik. Kemampuan CMA dalam menyerap unsur hara P juga berpengaruh terhadap pembentukan bintil akar.

Tabel 15. Pengaruh Aplikasi Inokulan CMA terhadap Jumlah Bintil Akar Efektif pada 7 MST

Aplikasi Inokulan CMA Jumlah Bintil

Akar

Tanpa inolukan CMA (I0) 15.4 b

Aplikasi inokulan CMA tanpa bahan pelapis dan perekat (I1) 20.7 a Aplikasi inokulan CMA berpelapis dan berperekat (I2) 21.9 a

Keterangan: angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT 5 %

Menurut Subba Rao (1994), P mampu meningkatkan jumlah bintil akar pada perakaran tanaman yang dapat merangsang penambatan N udara sehingga meningkatkan serapan N pada tanaman. Adanya peningkatan serapan P berpengaruh terhadap jumlah bintil akar yang dihasilkan tanaman kedelai.

Prayitno dan Gunawan (2000) menyatakan bahwa adanya aplikasi inokulan CMA mampu meningkatkan jumlah bintil akar dibandingkan tanpa aplikasi inokulan.

Jumlah bintil akar efektif yang dihasilkan dengan adanya aplikasi inokulan CMA pada penelitian ini untuk I2 dan I1 secara berturut-turut sebanyak 21.9 dan 20.7.

Interaksi antara perlakuan dosis pupuk P dengan perlakuan benih dengan inokulan juga berpengaruh terhadap jumlah bintil akar efektif pada 7 MST (Tabel 16). Jumlah bintil akar tertinggi ditunjukkan oleh kombinasi pupuk 100 kg SP 18/ha dengan aplikasi inokulan CMA berperekat dan berpelapis (P1I2), sedangkan jumlah bintil akar terendah ditunjukkan oleh kombinasi pupuk 200 kg SP 18/ha tanpa aplikasi inokulan CMA (P2I0) dan kombinasi pupuk 400 kg SP

18/ha tanpa aplikasi inokulan CMA (P4I0). Penambahan dosis pupuk P ternyata menurunkan jumlah bintil akar tanaman kedelai. Menurunnya jumlah bintil akar efektif tanaman kedelai pada dosis yang tinggi disebabkan karena pengaruh negatif dari pemupukan P terhadap pembentukkan bintil akar.

Tabel 16. Pengaruh Interaksi Dosis Pupuk P dan Apliksi Inokulan CMA terhadap Jumlah Bintil Akar Efektif pada 7 MST

Keterangan: angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT 5 %

Peubah bobot kering bintil akar hanya dipengaruhi oleh aplikasi inokulan CMA (Tabel 17). Aplikasi inokulan CMA berpelapis dan berperekat (I2) menghasilkan bobot kering bintil akar tertinggi yang berbeda nyata dengan perlakuan lainnya. Aplikasi inokulan CMA tanpa bahan pelapis dan perekat (I1) menghasilkan bobot kering bintil akar yang tidak berbeda nyata dengan perlakuan tanpa CMA walaupun dari peubah jumlah bintil akar berbeda nyata. Ukuran bintil akar pada perlakuan I1 lebih kecil dibandingkan pada perlakuan I2 menyebabkan bobot kering bintil akar pada perlakuan I1 lebih kecil. Hal ini diduga disebabkan karena aplikasi CMA pada perlakuan I1 kurang efektif sehingga hanya sedikit CMA yang menempel pada benih dan menyebabkan efektivitas CMA dalam menyerap unsur hara pun berkurang.

Tabel 17. Pengaruh Aplikasi Inokulan CMA terhadap Bobot Kering Bintil Akar Efektif pada 7 MST

Aplikasi Inokulan CMA Bobot Kering

Bintil Akar (g)

Tanpa inolukan CMA (I0) 0.13 b

Aplikasi inokulan CMA tanpa bahan pelapis dan perekat (I1) 0.16 ab Aplikasi inokulan CMA dengan berpelapis dan berperekat (I2) 0.18 a

Keterangan: angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata

Infeksi CMA pada Akar Kedelai

Persentase infeksi akar adalah persen akar yang terinfeksi dibandingkan seluruh akar yang ada. Akar dikatakan terinfeksi oleh CMA jika terdapat minimal salah satu dari struktur CMA seperti hifa, vesikula, dan arbuskula. Hifa berfungsi sebagai penyerap unsur hara (Augio et al., 2007). Arbuskula berfungsi dalam proses transfer nutrisi antara sitoplasma CMA dengan tanaman. Vesikula adalah dinding tipis, yang berisi lipid, berfungsi sebagai tempat penyimpanan cadangan makanan, meskipun demikian vesikula juga dapat berfungsi sebagai propagul reproduksi bagi cendawan (Sylvia, 2005). Infeksi akar kedelai oleh CMA pada penelitian ini terlihat dengan adanya struktur CMA berupa hifa internal dan vesikula (Gambar 8).

Gambar 8. Akar Kedelai 12 MST yang Terinfeksi CMA

Data pada Tabel 18 menunjukkan bahwa aplikasi inokulan CMA berpengaruh terhadap persentese akar terinfeksi. Aplikasi inokulan CMA yang berpelapis dan berperekat (I2) menghasilkan persentase akar terinfeksi tertinggi yang berbeda sangat nyata dengan perlakuan lainnya. Aplikasi inokulan CMA berpelapis dan berperekat mampu meningkatkan persentase akar yang terinfeksi sampai 114 %, sedangkan untuk aplikasi inokulan CMA tanpa bahan pelapis dan perekat hanya mampu meningkatkan persentase akar terinfeksi sampai dengan 85 %. Hal ini sejalan dengan penelitian Umam (2008) yang menunjukkan bahwa

Vesikula

Hifa internal

aplikasi CMA pada stek pucuk jati muna mampu meningkatkan persentase akar terinfeksi dibandingkan kontrol sampai dengan 98.6 %. Menurut Asriyal (2001) Infeksi yang tinggi tidak menjamin pertumbuhan tanaman yang lebih tinggi, tetapi biasanya derajat infeksi yang tinggi memberikan respon positif terhadap tanaman.

Tabel 18. Pengaruh Aplikasi Inokulan CMA terhadap Persentase Akar Terinfeksi

Aplikasi Inokulan CMA Akar Terinfeksi

(%)

Tanpa inolukan CMA (I0) 21.4 c

Aplikasi inokulan CMA tanpa bahan pelapis dan perekat (I1) 39.5 b Aplikasi inokulan CMA berpelapis dan berperekat (I2) 45.7 a

Keterangan: angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT 5 %

Adanya akar terinfeksi pada perlakuan tanpa inokulan (Tabel 18) menunjukkan bahwa terdapat CMA alami pada lahan yang digunakan.

Keberadaan CMA alami ini menghasilkan persentase akar terinfeksi terendah. Hal ini disebabkan keberadaannya dalam jumlah yang sedikit serta jauh dari perakaran tanaman. Perlakuan I1 dan I2 menyebabkan CMA yang diinokulasikan lebih mudah untuk menginfeksi akar dibandingkan dengan CMA asli yang berada dalam tanah walaupun persentase akar terinfeksi tidak terlalu besar. Adanya perlakuan inokulan CMA sebelum tanam mengakibatkan perkembangan jumlah spora lebih cepat. Penambahan bahan pelapis dan perekat pada perlakuan I2 memungkinkan CMA untuk memperoleh bahan organik sebagai makanan yang berasal dari gambut yang digunakan. Adanya bahan makanan selama CMA berada

Keberadaan CMA alami ini menghasilkan persentase akar terinfeksi terendah. Hal ini disebabkan keberadaannya dalam jumlah yang sedikit serta jauh dari perakaran tanaman. Perlakuan I1 dan I2 menyebabkan CMA yang diinokulasikan lebih mudah untuk menginfeksi akar dibandingkan dengan CMA asli yang berada dalam tanah walaupun persentase akar terinfeksi tidak terlalu besar. Adanya perlakuan inokulan CMA sebelum tanam mengakibatkan perkembangan jumlah spora lebih cepat. Penambahan bahan pelapis dan perekat pada perlakuan I2 memungkinkan CMA untuk memperoleh bahan organik sebagai makanan yang berasal dari gambut yang digunakan. Adanya bahan makanan selama CMA berada

Dokumen terkait