• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGARUH PERLAKUAN BENIH DENGAN CENDAWAN MIKORIZA ARBUSKULA DAN DOSIS PUPUK FOSFAT TERHADAP PERTUMBUHAN TANAMAN DAN HASIL KEDELAI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "PENGARUH PERLAKUAN BENIH DENGAN CENDAWAN MIKORIZA ARBUSKULA DAN DOSIS PUPUK FOSFAT TERHADAP PERTUMBUHAN TANAMAN DAN HASIL KEDELAI"

Copied!
76
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH PERLAKUAN BENIH DENGAN CENDAWAN MIKORIZA ARBUSKULA DAN DOSIS PUPUK FOSFAT

TERHADAP PERTUMBUHAN TANAMAN DAN HASIL KEDELAI

ARIE YUANITASARI RAHAYU A24060167

DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2010

(2)

RINGKASAN

ARIE YUANITASARI RAHAYU

.

Pengaruh Perlakuan Benih dengan Cendawan Mikoriza Arbuskula dan Dosis Pupuk Fosfat terhadap Pertumbuhan Tanaman dan Hasil Kedelai. (Dibimbing oleh SATRIYAS ILYAS dan YENNI BAKHTIAR).

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh dosis pupuk fosfat (P) yang diintegrasikan dengan aplikasi inokulan CMA terhadap efisiensi penggunaan pupuk P terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman kedelai. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April hingga Juli 2010 di Laboratorium Agromikrobiologi, Bioteknologi, BPPT PUSPIPTEK Serpong; dan Lapangan percobaan Leuwikopo, Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, IPB.

Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Petak Terbagi dengan dua faktor yaitu dosis pupuk P sebagai petak utama dan teknik aplikasi inokulan sebagai anak petak. Faktor dosis pupuk P terdiri atas 0 kg SP-18/ha, 100 kg SP-18/ha, 200 kg SP-18/ha, 300 kg SP-18/ha, dan 400 kg SP-18/ha. Faktor teknik aplikasi inokulan terdiri atas tanpa aplikasi inokulan (I0), aplikasi inokulan CMA tanpa bahan pelapis dan perekat (I1), serta aplikasi inokulan CMA yang diberi bahan pelapis dan perekat (I2). Bahan pelapis yang digunakan pada I2 berupa gambut dan gipsum dengan perbandingan 50:50, sedangkan bahan perekat yang digunakan berupa tapioka 5 % (b/v). Proses pelapisan dilakukan dengan menggunakan drum granulator. Benih yang telah dilapisi kemudian dikering-anginkan selama satu minggu, untuk kemudian ditanam di lahan. Aplikasi inokulan CMA pada I1 dilakukan dengan mencampurkannya langsung pada benih sebelum tanam.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa aplikasi inokulan CMA berlapis gipsum-gambut (50:50) dan berperekat tapioka 5 % (I2) merupakan perlakuan terbaik. Perlakuan tersebut mampu meningkatkan pertumbuhan tinggi tanaman pada 6 MST, jumlah daun pada 7, 8, dan 9 MST, bobot basah dan bobot kering tajuk pada 7 MST, bobot basah akar pada 7 MST, jumlah dan bobot kering bintil akar pada 7 MST, persentase akar terinfeksi, jumlah spora, serta bobot basah dan bobot kering polong isi. Kombinasi dosis pupuk 100 kg SP-18/ha dengan aplikasi

(3)

inokulan CMA berlapis gipsum-gambut (50:50) dan berperekat tapioka 5 % menghasilkan nilai tertinggi pada beberapa parameter yang diamati. Kombinasi tersebut dapat meningkatkan jumlah daun pada 8 dan 9 MST, bobot basah dan bobot kering tajuk pada 7 MST, bobot basah akar pada 7 MST, jumlah bintil akar pada 7 MST, bobot basah dan bobot kering polong isi, dan bobot biji per tanaman.

Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa perlakuan aplikasi inokulan CMA berlapis gipsum-gambut (50:50) dan berperekat tapioka 5 % mampu meningkatkan efisiensi pemupukan P sebesar 75 % atau menghemat pemupukan P sebesar 300 kg SP-18/ha. Perlakuan tersebut mampu meningkatkan efektivitas pemberian inokulan CMA dibandingkan dengan aplikasi inokulan CMA tanpa bahan pelapis dan perekat. Hal ini diduga karena lebih banyak CMA yang menempel pada benih pada perlakuan CMA berlapis gipsum-gambut (50:50) dan berperekat tapioka 5 %. Jumlah spora yang lebih banyak memungkinkan peningkatan infeksi CMA terhadap akar tanaman sehingga mampu meningkatkan penyerapan unsur hara P pada tanaman.

Aplikasi CMA pada penelitian ini efektif pada dosis pupuk P rendah yaitu 100 kg SP-18/ha. Hal ini terbukti pada beberapa parameter pengamatan yang diamati, kombinasi tersebut menunjukkan nilai yang setara dengan perlakuan dosis pupuk 400 kg SP-18/ha. Efektivitas aplikasi CMA meningkat bila

dikombinasikan dengan pemupukan P pada dosis pupuk rendah (100 kg SP-18/ha). Kombinasi aplikasi inokulan CMA berlapis gipsum-gambut

(50:50) dan berperekat tapioka 5 % dengan dosis pemupukan P 100 kg SP 18/ha mampu meningkatkan pertumbuhan tanaman dan hasil kedelai yang setara dengan pemberian pupuk dosis 400 kg SP 18/ha tanpa aplikasi inokulan. Kombinasi tersebut menghasilkan produktivitas kedelai varietas Wilis sampai dengan 3.97 ton/ha yang lebih tinggi dibandingkan kombinasi pemberian pupuk dosis 400 kg SP 18/ha tanpa aplikasi inokulan yang hanya mencapai 3.76 ton/ ha.

(4)

ARBUSKULA DAN DOSIS PUPUK FOSFAT TERHADAP PERTUMBUHAN TANAMAN DAN HASIL KEDELAI

(The Effect of Seed Treatment with Arbuscular Mycorrhizal Fungi and Fertilizer Fosfat to Gowth Plant and Yield Soybean)

Arie Yuanitasari Rahayu1, Satriyas Ilyas 2, Yenni Bakhtiar3

1Mahasiswa Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, IPB

2Staf Pengajar Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, IPB

3Staf Peneliti Balai Pengkajian Bioteknologi BPPT, PUSPIPTEK, Serpong, Tangerang

Abstract

The objective of this research was to axamine the influence of application Arbuscular Mycorrhizal Fungi (AMF) and Fertilizer Fosfat to efficiency fertilizer P, gowth plant, and yield of soybean. This research was conducted from April to July 2010 at Agomikrobiologi Laboratory, Bioteknologi, BPPT PUSPIPTEK Serpong and Leuwikopo experimental field of Bogor Agicultural University. The experiment was arranged split plot design with two factors, dose fertilizer P and application FMA. The results of research showed that application FMA with coat and glue (I2) is a best treatment. This treatment increased gowth of plant, total of leaf, wet weight and dry weight of crown, wet weight of root, total and wet weight of root nodule, percentage of root infection, total of spore, and wet weight and dry weight of pod. The treatment of application FMA with coat and glue increased efficiency Fertilizer Fosfat as big as 75 % or be economized fertilizer P as big as 300 kg SP-18/ha. Application FMA in this research efectif in low dose fertilizer P, that is 100 kg SP-18/ha.

Key Words : Soybean, Arbuscular Mycorrhizal Fungi, Seed Treatment

(5)

PENGARUH PERLAKUAN BENIH DENGAN CENDAWAN MIKORIZA ARBUSKULA DAN DOSIS PUPUK FOSFAT TERHADAP

PERTUMBUHAN TANAMAN DAN HASIL KEDELAI

Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor

ARIE YUANITASARI RAHAYU A24060167

DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2010

(6)

Judul : PENGARUH PERLAKUAN BENIH DENGAN CENDAWAN MIKORIZA ARBUSKULA DAN DOSIS PUPUK FOSFAT TERHADAP PERTUMBUHAN TANAMAN DAN HASIL KEDELAI

Nama : Arie Yuanitasari Rahayu NRP : A24060167

Menyetujui, Dosen Pembimbing Pembimbing I,

Prof. Dr. Ir. Satriyas Ilyas, MS 19590225 198203 2 001

Pembimbing II,

Dra. Yenni Bakhtiar, M.Ag.Sc.

19660826 199203 2 001

Mengetahui,

Ketua Departemen Agronomi dan Hortikultura,

Dr. Ir. Agus Purwito, M.Sc.Ag 19611101 198703 1 003

Tanggal Lulus :

(7)

RIWAYAT HIDUP

Penulis adalah anak pertama dari dua bersaudara pasangan Bapak H. Kumiyun dan Ibu Hj. Eny Nuryani yang dilahirkan di Kabupaten Cianjur, Jawa

Barat pada tanggal 30 Agustus 1989. Penulis menempuh jenjang pendidikan dasar di SD Negeri Sukasarana, Kabupaten Cianjur pada tahun 1999. Pada tahun 2003 penulis berhasil menyelesaikan pendidikan lanjutan tingkat pertama di SLTP negeri 1 Pacet Kabupaten Cianjur, Jawa Barat. Penulis menamatkan pendidikan menengah umumnya di SMA Negeri 1 Sukaresmi Kabupaten Cianjur, Jawa barat pada tahun 2006. Pada tahun yang sama, penulis diterima sebagai mahasiswa Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI dan pada tahun 2007 tercatat sebagai mahasiswa Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, IPB.

Selama masa perkuliahan di Institut Pertanian Bogor penulis adalah penerima Beasiswa Bantuan Mahasiswa (BBM). Penulis aktif sebagai anggota di organisasi Gentra Kaheman, IPB pada tahun 2008. Penulis melakukan magang pada tahun 2008 di Organization for Industrial, Spiritual, and Cultural Advancement (OISCA), Sukabumi, dan pada tahun 2009 di Balai Penelitian Tanaman Hias (BALITHI), Cipanas. Tahun 2009, penulis melaksanakan Kuliah Kerja Profesi (KKP) di Kabupaten Bumijawa, Tegal, Jawa Tengah. Pada tahun yang sama, penulis memperoleh juara II untuk Pekan Ilmiah Mahasiswa (PIMNAS) ke 23 pada kategori presentasi. Penulis juga pernah menjadi Asisten Praktikum Mata Kuliah Dasar-dasar Ilmu dan Teknologi Benih pada tahun 2010.

Penulis melakukan penelitian dan menyusun skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana Pertanian pada Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor dengan judul “Pengaruh Perlakuan Benih dengan Cendawan Mikoriza Arbuskula dan Dosis Pupuk Fosfat terhadap Pertumbuhan Tanaman dan Hasil Kedelai”, di bawah bimbingan Prof. Dr. Ir Satriyas Ilyas, MS dan Dra. Yenni Bakhtiar, M.Ag.Sc.

(8)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul

“Pengaruh Perlakuan Benih dengan Cendawan Mikoriza Arbuskula dan Dosis Pupuk Fosfat terhadap Pertumbuhan Tanaman dan Hasil Kedelai”. Skripsi ini dibuat untuk memenuhi syarat dalam memperoleh gelar sarjana Pertanian, di Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Dalam kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terimakasih kepada:

1. Prof. Dr. Ir. Satriyas Ilyas, MS. sebagai Dosen Pembimbing I yang telah memberikan bimbingan dan pengarahan kepada penulis dengan penuh kesabaran dan kearifan selama masa pelaksanaan penelitian dan penyusunan skripsi ini.

2. Dra. Yenni Bakhtiar, M.Ag.Sc sebagai Dosen Pembimbing II yang telah memberikan bimbingan dan pengarahan kepada penulis dengan penuh kesabaran dan kearifan selama masa pelaksanaan penelitian dan penyusunan skripsi ini.

3. Prof. Dr. Ir. Nurhayati A. Matjik, MS sebagai pembimbing akademik yang telah membimbing penulis selama studi di IPB.

4. Para personil Laboratorium Agromikrobiologi Balai pengkajian Bioteknologi BPPT, pak Wahid, pak Firman, pak Asep, dan pak Mahmud, terima kasih atas fasilitas dan bantuan yang diberikan selama pelaksanaan penelitian.

5. Orang tua, adik, dan seluruh keluarga besar yang telah memberikan segala doa, dukungan, semangat dan kasih sayang yang tiada henti- hentinya.

6. Teman-teman (Dina, Ita, Imel, Noni, Tamy, Heni, Deri) yang telah membantu penulis dalam penelitian dan penyusunan skripsi ini.

7. Teman-teman AGH 43 atas segala semangat, doa, dan dukungan dan kebersamaannya.

8. Rekan-rekan kosan Arsida (Mba Rina, Chika, dan Ine) terima kasih atas semangat, nasehat, dan keceriaannya selama ini.

(9)

9. Erna Anggraeni, atas persahabatan, dukungan, dan kebersamaannnya selama ini.

10. Rudi Setiawan, atas segala doa, dukungan, motivasi, pengertian, dan kesabarannya selama ini.

11. Semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan laporan praktek lapang ini yang tidak dapat penulis sebutkan nama satu persatu.

Penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkan.

(10)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL... iv

DAFTAR GAMBAR... vi

DAFTAR LAMPIRAN... vii

PENDAHULUAN... 1

Latar Belakang... 1

Tujuan... 3

Hipotesis... 3

TINJAUAN PUSTAKA... 4

Cendawan Mikoriza Arbuskula... 4

Peranan Hara Fosfat pada Kedelai... 6

Peranan Inokulasi Cendawan Mikoriza Arbuskula ... 7

Metode Aplikasi Mikroba pada Kedelai... 8

Pelapisan Benih (Seed Coating)... 10

METODOLOGI... 12

Tempat dan Waktu... 12

Bahan dan Alat... 12

Metode Penelitian………... 13

Pelaksanaan Penelitian……... 15

Pengamatan... 17

HASIL DAN PEMBAHASAN……….. 21

Hasil... 21

Pembahasan... 21

KESIMPULAN DAN SARAN………..…. 45

Kesimpulan... 45

Saran... 45

DAFTAR PUSTAKA... 46

LAMPIRAN... 51

(11)

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1. Rekapitulasi Sidik Ragam Pengaruh Dosis Pupuk P dan Teknik Aplikasi Inokulan CMA serta Interaksinya terhadap beberapa Parameter Pengamatan Tanaman Kedelai …... 24 2. Pengaruh Dosis Pupuk P terhadap Daya Tumbuh Benih Kedelai

pada 1 MST... 25 3. Pengaruh Aplikasi Inokulan CMA terhadap Daya Tumbuh Benih

Kedelai pada 1 MST... 25 4. Pengaruh Interaksi Dosis Pupuk P dan Teknik Aplikasi Inokulan

CMA terhadap Tinggi Tanaman pada 2 MST... 26 5. Pengaruh Aplikasi Inokulan CMA terhadap Tinggi Tanaman pada

6 MST... 26 6. Pengaruh Aplikasi Inokulan CMA terhadap Jumlah Daun pada 7, 8,

dan 9 MST... 27 7. Pengaruh Interaksi Dosis Pupuk P dan Teknik Aplikasi Inokulan

CMA terhadap Jumlah Daun pada 8 MST... 29 8. Pengaruh Interaksi Dosis Pupuk P dan Teknik Aplikasi Inokulan

CMA terhadap Jumlah Daun pada 9 MST... 29 9. Pengaruh Aplikasi Inokulan CMA terhadap Bobot Basah dan

Bobot Kering Tajuk pada 7 MST... 30 10. Pengaruh Interaksi Dosis Pupuk P dan Teknik Aplikasi Inokulan

CMA terhadap Bobot Basah Tajuk pada 7 MST... 31 11. Pengaruh Interaksi Dosis Pupuk P dan Teknik Aplikasi Inokulan

CMA terhadap Bobot Kering Tajuk pada 7 MST... 32 12. Pengaruh Dosis Pupuk P terhadap Bobot Basah Akar pada 7 MST 32 13. Pengaruh Aplikasi Inokulan CMA terhadap Bobot Basah Akar

pada 7 MST... 33 14. Pengaruh Interaksi Dosis Pupuk P dan Teknik Aplikasi Inokulan

CMA terhadap Bobot Basah Akar pada 7 MST... 33

(12)

15. Pengaruh Aplikasi Inokulan CMA terhadap Jumlah Bintil Akar Efektif pada 7 MST... 34 16. Pengaruh Interaksi Dosis Pupuk P dan Teknik Aplikasi Inokulan

CMA terhadap Jumlah Bintil Akar Efektif pada 7 MST... 35 17. Pengaruh Aplikasi Inokulan CMA terhadap Bobot Kering Bintil

Akar Efektif pada 7 MST... 35 18. Pengaruh Aplikasi Inokulan CMA terhadap Persentase Akar

Terinfeksi pada 12 MST... 37 19. Pengaruh Aplikasi Inokulan CMA terhadap Jumlah Spora pada

12 MST... 38 20. Pengaruh Interaksi Dosis Pupuk P dan Teknik Aplikasi Inokulan

CMA terhadap Jumlah Spora pada 12 MST... 39 21. Pengaruh Dosis Pupuk P terhadap Bobot Basah dan Bobot Kering

Polong Isi …………... 40 22. Pengaruh Aplikasi Inokulan CMA terhadap Bobot Basah dan

Bobot Kering polong Isi……... 41 23. Pengaruh Interaksi Dosis Pupuk P dan Teknik Aplikasi Inokulan

CMA terhadap Jumlah Polong Isi... 41 24. Pengaruh Interaksi Dosis Pupuk P dan Teknik Aplikasi Inokulan

CMA terhadap Bobot Basah Polong Isi... 42 25. Pengaruh Interaksi Dosis Pupuk P dan Teknik Aplikasi Inokulan

CMA terhadap Bobot Basah Biji Tanaman (g)... 42 26. Pengaruh Interaksi Dosis Pupuk P dan Teknik Aplikasi Inokulan

CMA terhadap Bobot Basah Biji Tanaman (ton/ha)... 43 27. Pengaruh Interaksi Dosis Pupuk P dan Teknik Aplikasi Inokulan

CMA terhadap Bobot Basah Biji per Satuan Luas (g/9 m2)... 44 28. Pengaruh Aplikasi Inokulan CMA terhadap Bobot 100 Biji (g)…... 44

(13)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1. Penampang Membujur Akar Terinfeksi CMA... 5 2. Drum Ganulator Mini……... 12 3. Aplikasi CMA pada Benih Kedelai (A) Tanpa Bahan Pelapis dan

Perekat (B) Diberi Bahan Pelapis dan Perekat... 16 4. Tanaman Kedelai yang Mengalami Kekurangan Unsur Hara

Nitrogen…... 21 5. (A) Kepik Hijau (Nezara viridula Linnaeus), (B) Ulat helicoverpa

(Helicoverpa (heliothis) armigera Huebner, (C) Ulat Api (Setora nitens), dan (D) Kepik Polong (Riptortus linearis Fabricus)... 22 6. (A) Borreria latifolia, (B) Borreria alata, (C) Mimosa pudica, (D)

Eleusine indica……... 23 7. Pengaruh Aplikasi Inokulan CMA terhadap Jumlah Daun …... 28 8. Infeksi CMA pada Kedelai 12 MST... 36

(14)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman 1. Tanaman Kedelai per Perlakuan pada 7 MST... 52 2. Sidik Ragam Pengaruh Dosis Pupuk P dan Aplikasi Inokulan CMA

terhadap Daya Tumbuh Benih Kedelai pada 1 MST... 55 3. Sidik Ragam Pengaruh Dosis Pupuk P dan Aplikasi Inokulan CMA

terhadap Tinggi Tanaman kedelai... 55 4. Sidik Ragam Pengaruh Dosis Pupuk P dan Aplikasi Inokulan CMA

terhadap Jumlah Daun Tanaman Kedelai... 57 5. Sidik Ragam Pengaruh Dosis Pupuk P dan Aplikasi Inokulan CMA

terhadap Bobot Basah Tajuk, Akar, dan Bintil Akar Tanaman Kedelai... 59 6. Sidik Ragam Pengaruh Dosis Pupuk P dan Aplikasi Inokulan CMA

terhadap kering Basah Tajuk, Akar, dan Bintil Akar Tanaman Kedelai... 60 7. Sidik Ragam Pengaruh Dosis Pupuk P dan Aplikasi Inokulan CMA

terhadap Jumlah Bintil Akar Efektif... 60 8. Sidik Ragam Pengaruh Dosis Pupuk P dan Aplikasi Inokulan CMA

terhadap Persentase Akar Terinfeksi ... 61 9. Sidik Ragam Pengaruh Dosis Pupuk P dan Aplikasi Inokulan CMA

terhadap Jumlah Spora... 61 10.Sidik Ragam Pengaruh Dosis Pupuk P dan Aplikasi Inokulan CMA

terhadap Komponen Hasil... 61

(15)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kedelai (Glycine max (L.) Merr) merupakan salah satu komoditas palawija yang banyak digunakan sebagai bahan pangan maupun industri dengan tingkat permintaan yang cukup tinggi. Kedelai sebagai bahan pangan merupakan sumber protein nabati yang rendah kolesterol. Meningkatnya kesadaran masyarakat akan pemenuhan gizi yang baik menjadikan kedelai merupakan pilihan yang tepat.

Produksi kedelai dalam negeri tidak seimbang dengan permintaan konsumen terhadap kedelai, sehingga Indonesia melakukan impor dari negara lain.

Kebutuhan kedelai dalam negeri setiap tahun ± 2 juta ton (Hemon, 2007), sedangkan produksi dalam negeri pada tahun 2008 baru mencapai 775 710 ton (± 40%) dengan luas panen 590 956 ha (BPS, 2008). Terjadinya penyusutan lahan yang subur untuk kepentingan non-pertanian, menambah permasalahan dalam pengadaan kebutuhan kedelai. Faktor agroklimat yang kurang mendukung dan belum berkembangnya agroindustri untuk pengolahannya menghambat motivasi petani untuk meningkatkan produksi kedelai.

Kedelai termasuk tanaman yang mudah untuk dibudidayakan, namun ketersediaan lahan pertanian yang subur guna menunjang pertumbuhan dan hasil optimal semakin terbatas. Lahan di Indonesia didominasi oleh lahan kering yang sebagian besar bereaksi masam (pH 4.5-5.5) dan miskin unsur hara, yang umumnya terbentuk dari tanah mineral (Mulyani et al., 2010). Kondisi tersebut

membutuhkan pengapuran dan penambahan unsur hara yang tinggi (Makarim, 2000), termasuk unsur P. Ketersediaan pupuk bagi petani saat ini

menjadi masalah karena harganya yang semakin mahal serta ketersediaannya yang terbatas, sementara menurut Balai Penelitian Tanah Bogor (2005) kedelai membutuhkan 100-250 kg SP-36/ha. Permasalahan tersebut dapat diatasi dengan alternatif lain yang lebih ekonomis dan ramah terhadap lingkungan, seperti penggunaan pupuk hayati, pengembangan varietas-varietas unggul, penyediaan benih bermutu, dan penggunaan inokulan mikroba.

(16)

Penyediaan benih bermutu dapat dilakukan melalui seed treatment diantaranya melalui teknik invigorasi. Invigorasi benih bertujuan untuk memperbaiki vigor benih yang sedang dan rendah dalam suatu lot benih (Doijode, 2001). Pelapisan benih (seed coating) merupakan salah satu teknik invigorasi yang telah banyak diterapkan di negara-negara maju (Ilyas et al., 2003). Bruggink (2005) menyatakan bahwa teknik seed coating merupakan perlakuan benih yang secara fisiologi hanya memberikan pengaruh yang kecil terhadap benih, namun sebagian besar berhubungan dengan peningkatan perkecambahan dan melindungi benih dari hama. Komponen yang biasanya digunakan dalam seed coating diantaranya yaitu bakteri rhizobium untuk memfiksasi nitrogen, fungisida untuk melindungi benih dari Pythium dan Phytophthora serta tanah kapur yang halus untuk memperbaiki penyediaan lingkungan mikro untuk perkecambahan benih dan perlindungan secara fisik (Walsh et al., 1998).

Seed treatment melalui teknik invigorasi dapat dikombinasikan dengan inokulasi mikroba. Hasil penelitian Faisal (2005) menunjukkan bahwa aplikasi teknik invigorasi berupa matriconditioning yang dikombinasikan dengan inokulasi mikroba mampu meningkatkan efisiensi pemupukan nitrogen sebesar 121.2 % atau menghemat pemupukan N sebesar 30.5 kg urea/ha. Menurut Ndakidemi et al. (2006) aplikasi cendawan mikoriza arbuskula (CMA) yang dikombinasikan dengan pemupukan P menghasilkan biomassa dan hasil panen yang lebih tinggi dibandingkan aplikasi tunggal pupuk N, pupuk P atau inokulasi mikoriza saja. Aplikasi CMA pada penelitian tersebut secara ekonomi tiga kali lebih menguntungkan karena dapat mengurangi penggunaan pupuk kimia.

Penelitian ini merupakan lanjutan dari penelitian sebelumnya yang mengkaji efektivitas bahan perekat dan pelapis untuk pelapisan kedelai dengan CMA (Khodijah, 2009). Penelitian tersebut dilatarbelakangi cara aplikasi CMA dengan memberikan inokulum spora CMA pada daerah akar tanaman yang sedang aktif tumbuh atau menambahkan inokulum CMA secara langsung dinilai kurang efisien. Cendawan mikoriza arbuskula hanya dapat diaplikasikan pada tanaman yang sudah aktif sehingga dibutuhkan bahan pembawa inokulum pada benih sebelum ditanam. Bahan pembawa inokulum tersebut dapat berupa zat pelapis dan perekat. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian untuk membandingkan antara

(17)

efektivitas CMA pada benih yang telah diberi bahan pelapis dan perekat dengan aplikasi CMA yang biasanya dilakukan sehingga diperoleh metode aplikasi CMA yang paling efektif dan efisien.

Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan metode aplikasi mikoriza yang efektif dan mencari dosis pupuk P yang sesuai untuk pertumbuhan serta produksi tanaman kedelai.

Hipotesis

Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Terdapat dosis pemupukan P yang memberikan pengaruh terbaik terhadap pertumbuhan tanaman dan hasil kedelai.

2. Terdapat teknik aplikasi inokulan yang memberikan pengaruh terbaik terhadap pertumbuhan tanaman dan hasil kedelai.

3. Terdapat kombinasi terbaik antara pemupukan P dan teknik aplikasi inokulan terhadap pertumbuhan tanaman dan hasil kedelai.

(18)

TINJAUAN PUSTAKA

Cendawan Mikoriza Arbuskula

Berdasarkan struktur tubuh dan fungsinya, mikoriza dikelompokkan ke dalam lima tipe, yaitu Ektomikoriza, Arbuskula, Ericaceous, Orchidaceous, dan Ektendomikoriza (Sylvia, 2005). Mikoriza yang digunakan pada penelitian ini termasuk tipe cendawan mikoriza Arbuskula (CMA). Menurut Sylvia (2005), CMA termasuk ke dalam filum Glomeromycota yang diklasifikasikan menjadi dua sub ordo yaitu Glomineae dan Gigasporineae. Sub ordo Glomineae merupakan CMA yang menghasilkan vesikula pada akar tanaman dan membentuk chlamydospores (dinding tebal, spora aseksual) sedangkan sub ordo Gigasporineae merupakan CMA yang tidak menghasilkan vesikula dan membentuk sel-sel auxiliary dan azygospores. Ferjani et al. (1999) menyatakan bahwa CMA merupakan organisme dalam tanah yang membentuk hubungan mutualisme dengan akar dari 90 % tanaman di bumi.

Cendawan mikoriza arbuskula merupakan hubungan simbiosis antara tanaman dengan cendawan yang mengkolonisasi jaringan korteks tanaman selama masa aktif pertumbuhan tanaman. Karakteristik hubungan tersebut yaitu adanya perpindahan produksi karbon dari tanaman ke CMA sedangkan tanaman memperoleh unsur hara dari CMA (Sylvia, 2005). Salisbury dan Ross (1992) menyatakan bahwa pada umumnya hanya akar-akar muda yang terinfeksi CMA.

Pembentukan rambut akar berjalan lambat atau menjadi terhenti saat infeksi. Hal ini menurunkan permukaan serapan kecuali bila hifa cendawan yang pipih dan meruak dari CMA meningkatkan terobosan ke volume tanah. Hifa tersebut bisa mengganti fungsi serapan dari rambut akar. Jaringan internal hifa antara sel korteks yang berasal dari dalam tanah berfungsi menyerap garam mineral dan air.

Struktur dari CMA dapat berupa hifa, arbuskula, dan vesikula. Hifa berfungsi sebagai penyerap unsur hara (Aiguo et al., 2007). Arbuskula berfungsi dalam proses transfer nutrisi antara sitoplasma CMA dengan tanaman. Vesikula adalah dinding tipis, berisi lipid yang berfungsi sebagai tempat penyimpan cadangan makanan, meskipun demikian vesikula juga dapat berfungsi sebagai propagul reproduksi bagi cendawan (Sylvia, 2005). Berdasarkan morfologinya,

(19)

CMA memiliki struktur miselium yang berkembang di dalam maupun di luar akar. Miselium eksternal ada di dalam tanah dan di permukaan akar serta terdapat spora yang dibentuk di sekitar akar dan beberapa spora berkumpul dalam sebuah sporokarp (Paul dan Clark, 1996).

Proses simbiosis CMA sangat kompleks dan membutuhkan pengenalan, infeksi, dan selanjutnya membentuk kolonisasi internal pada akar. Prosesnya berbeda-beda tergantung dari jenis mikorizanya. Cendawan mikoriza arbuskula mampu berkoloni dengan tanaman melalui jaringan miselia yang utuh, fragmen hifa, atau spora. Eksudat akar dirangsang oleh percabangan hifa dan langsung berkembang. Hifa terhubung dengan akar, melalui appresorium yang dihasilkannya pada saat infeksi. Apabila berhasil, hifa akan memasuki sel epidermis, masuk ke dalam kortek, dan berkembang secara interselular atau intraselular. Pada akhirnya, hifa akan memasuki sel kortikal dan membentuk arbuskula, dimana terjadinya pertukaran unsur hara (Paul, 2007). Penampang akar yang terinfeksi oleh CMA dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Penampang Membujur Akar Terinfeksi CMA (Brundrett et al., 1994) sel korteks

hifa intraseluler

arbuskula

vesikula

endodermis rambut akar

appressorium

hifa eksternal eksodermis

epidermis hifa internal

(20)

Peranan Hara Fosfat pada Kedelai

Produksi kedelai yang tinggi dapat diperoleh apabila hara mineral tersedia dalam jumlah yang cukup dan seimbang. Salah satu unsur hara yang penting bagi pertumbuhan kedelai adalah unsur hara P. Menurut Hardjowigeno (1992), keberadaan P di dalam tanah pada umuumnya dalam bentuk tidak larut sehingga hanya sebagian kecil yang dapat diserap oleh tanaman. Fosfat yang ada dalam tanah sama banyaknya antara yang organik dan anorganik. Tanah yang kering akan mengurangi pengambilan P dan menyebabkan kekurangan P.

Menurut Acquaah (2001) unsur hara P berperan dalam pembelahan sel, merangsang pertumbuhan akar, mempercepat kematangan tanaman, dan sebagai tempat penyimpan energi dan transfer ATP dan ADP. Kekurangan unsur hara tersebut ditunjukkan dengan adanya bagian tanaman yang berwarna keunguan.

Ma’shum et al, (2003) menyatakan bahwa tanaman umumnya mengandung 0.5 % fosfat dalam jaringannnya. Fosfat diperlukan tanaman sebagai bahan penyusun asam nukleat, posfolipid, fitin (garam Ca-Mg insitol hexaposfat), ATP dan posfopiridin nukleotida. Tanaman menyerap fosfat dalam bentuk ion ortoP terutama dalam bentuk H2PO4-

dan HPO42-. Keberadaan P-organik di dalam tanah tidak selalu memberikan kontribusi terhadap ketersediaan P bagi tanaman. Hal ini disebabkan mineralisasi dan imobilisasi berlangsung secara bersamaan di dalam tanah. Bahan organik akan memberikan kontribusi pada ketersediaan P jika mineralisasi P-organik tidak diikuti dengan imobilisasi, yang berarti dalam proses tersebut mineralisasi lebih dominan daripada imobilisasi.

Pelarutan P oleh perakaran tanaman dan mikroorganisme tergantung pada pH tanah. Tanah yang netral atau basa yang memiliki kandungan kalsium yang tinggi, terjadi pengendapan kalsium P. Mikroorganisme dan perakaran tanaman mampu melarutkan P dan mengubahnya sehingga dengan mudah menjadi tersedia bagi tanaman. Tanah yang masam umumnya miskin akan ion kalsium, sehingga fosfat diendapkan dalam bentuk senyawa besi atau alumunium yang tidak dengan mudah dapat dilarutkan oleh perakaran tanaman atau mikroorganisme tanah.

Salah satu cara untuk memperbaiki defisiensi P pada tanaman ialah dengan menginokulasi biji atau tanah dengan mikroorganisme pelarut P bersama-sama dengan pupuk berfosfat (Subba Rao, 1994).

(21)

Peranan Inokulasi Cendawan Mikoriza Arbuskula

Kebutuhan tanaman kacang-kacangan terhadap serapan hara sangat tinggi sehingga adanya sumber hara yang murah dapat membantu mengurangi biaya produksi. Penyerapan hara bagi tanaman termasuk kedelai tidak harus selalu berasal dari pemupukan saja, melainkan dapat dilakukan dengan menginokulasi tanaman tersebut dengan cendawan seperti CMA. Ma’shum et al. (2003) menyatakan bahwa asosiasi CMA dengan tanaman inang diduga kuat dapat meningkatkan mineralisasi P. Hal ini ditunjukkan dengan meningkatnya serapan P oleh tanaman yang berasosiasi dengan CMA. Peningkatan serapan P terjadi, sebagai akibat dari meningkatnya kegiatan enzim fosfatase dan meningkatnya luas permukaan akar yang berarti meningkatnya volume jelajah akar untuk mengabsorbsi P. Aiguo et al. (2007) menambahkan bahwa CMA mampu menyerap nutrisi dalam tanah dan mengefisienkan penggunaan air, sehingga meningkatkan produktivitas yang dihasilkan dari lahan dengan pemupukan yang terbatas.

Banyak penelitian yang melaporkan berbagai keuntungan dari CMA, diantaranya meningkatkan serapan unsur hara yang penting bagi tanaman terutama unsur hara P. Hasil penelitian Trisilawati dan Firman (2004) menunjukkan bahwa inokulasi CMA memberikan pengaruh yang positif terhadap pertumbuhan bibit dua tipe panili, yang ditunjukkan dengan peningkatan tinggi bibit, jumlah daun, diameter batang, indeks luas daun, dan bobot kering biomas.

Inokulasi CMA mampu meningkatkan pertumbuhan, serapan P, dan hasil padi gogo varietas IR-64 (Kabirun, 2002). Penggunaan CMA dan bakteri Azospirilum juga terbukti dapat menurunkan dosis pemupukan yang tinggi pada turfgass (Guntoro, 2003).

Inokulasi Gigaspora margarita efektif mengurangi pengaruh buruk akibat cekaman Al melalui peningkatan panjang akar, tinggi tanaman, bobot kering tajuk, jumlah buah panen, panjang buah, bobot per buah dan bobot buah panen pada tanaman cabai (Purnomo et al., 2008). Interaksi antara perlakuan inokulasi CMA dan pupuk P berpengaruh terhadap kadar hara P pada daun dan rendemen rami (Kartika, 2004). Dosis pupuk P rendah (0 dan 5 kg P2O5/ha) yang dikombinasikan dengan inokulasi cendawan mikoriza dapat meningkatkan kadar

(22)

hara P pada daun rami dibandingkan terhadap perlakuan tanpa inokulasi.

Cendawan mikoriza arbuskula mampu menyerap P walaupun konsentrasi P di tanah rendah dan CMA aktif pada kondisi hara P rendah. Hal ini dikarenakan eksudat akar lebih banyak diproduksi pada hara P rendah, namun semakin banyaknya hara P dalam tanah akibat perlakuan pupuk P dapat menurunkan aktivitas CMA.

Salisbury dan Ross (1992) menyatakan bahwa manfaat utama CMA adalah kemungkinan meningkatnya serapan ion yang secara normal berdifusi lambat ke akar atau dibutuhkan dalam jumlah besar khususnya P, NH4-

, K+, dan NO3-

. Menurut Sylvia (2005), CMA juga berfungsi dalam menyerap unsur hara mikro seperti Zn dan Cu. Paul (2007) menambahkan bahwa simbiosis CMA tidak hanya terbatas pada peningkatan status nutrisi tanaman saja, tetapi juga berpengaruh terhadap pembentukan makroagegat tanah, yang membantu memelihara stabilitas tanah selama musim kemarau dan hujan.

Efisiensi dari hifa eksternal dalam memperoleh P dari dalam larutan tanah dengan konsentrasi P yang rendah berhubungan dengan diameter hifa yang lebih kecil (≤ 10 µm) dibandingkan akar atau rambut akar, dimana mengurangi jarak difusi P dan formasi zona penipisan P. Pengurangan zona penipisan P menyediakan penyerapan secara terus menerus selama periode pertumbuhan.

Selain itu, penyebaran hifa yang tipis lebih panjang dan masuk ke dalam pori yang lebih kecil dalam tanah dibandingkan akar, meningkatkan serapan unsur hara yang lebih besar dibandingkan dengan tanaman tanpa mikoriza (Aiguo et al., 2007).

Metode Aplikasi Mikroba pada Kedelai

Fakuara (1988) menyatakan bahwa pemilihan teknik inokulasi mikroba

pada tanaman dipengaruhi oleh beberapa faktor. Faktor-faktor tersebut yaitu jenis tanaman yang akan ditanam, produksi anakan yang dihasilkan, kondisi lahan yang

akan ditanami, ketersediaan jenis mikroba yang diperlukan, tingkat teknologi yang dikuasai, ketersediaan fasilitas untuk inokulasi, serta ketersediaan tenaga dan biaya. Berdasarkan faktor tersebut, mikoriza dapat diaplikasikan dengan menggunakan satu atau beberapa teknik sekaligus. Inokulasi mikroba pada tanaman bertujuan untuk pembentukan nodul akar atau pembentukan mikoriza.

(23)

Inokulasi mikroba yang bertujuan untuk pembentukan nodul akar dapat dilakukan melalui metode inokulasi benih dan metode inokulasi tanah. Inokulasi benih terdiri atas dusting inoculation, slurry inoculation, dan seed pelleting.

Dusting inoculation, inokulum dicampurkan dengan benih yang akan ditanam.

Teknik ini kurang efektif karena banyak inokulum yang hilang dari benih saat penanaman. Slurry inoculation, inokulum dicampurkan dengan air sebelum ditanam dan sebagai perekat biasanya ditambahkan arabic gum atau methyl cellulose. Seed pelleting, biasanya diaplikasikan pada kondisi tanah yang marginal (tanah masam atau kandungan Ca yang rendah) sehingga akan mempengaruhi proses pembentukan nodul (Fakuara, 1988).

Inokulasi mikroba yang bertujuan untuk pembentukan mikoriza, teknik yang

digunakan tergantung dari jenis mikorizanya. Mikoriza yang termasuk endomikoriza dapat diinokulasi melaui teknik pencampuran spora dengan tanah

dan dengan pembentukan pellet (Fakuara, 1988). Tanah bekas tanaman kedelai yang telah diinokulasi Rhizobium japonicum satu musim yang lalu dapat digunakan sebagai sumber inokulan dan menghasilkan jumlah dan bobot bintil akar terbaik (Suharjo, 2001). Aplikasi CMA selama ini dilakukan dengan memasukkan CMA ke dalam lubang tanam pembibitan (Santoso et al., 2007).

Menurut Copeland dan McDonald (2001), inokulasi mikoriza juga dapat dilakukan melalui perlakuan benih secara hayati (biological seed treatment), yaitu penggunaan cendawan atau bakteri untuk mengendalikan penyakit pada tanah dan benih. Perlakuan benih secara hayati lebih berpotensi untuk melindungi seluruh bagian tanaman selama pertumbuhannya dibandingkan yang hanya selama pada tahapan benih. Perlakuan benih secara hayati pada bakteri seperti rhizobium diaplikasikan dalam seed coating untuk meningkatkan perakaran untuk nodulasi dan fiksasi nitrogen. Aplikasi agen pengendali hayati pada benih berpengaruh terhadap keberhasilan pengendalian, peningkatan jumlah propagul pada benih, aplikasi pengendalian hayati, dan mengontrol mikroba lain dalam proses aplikasi.

Invigorasi benih melalui teknik matriconditioning dengan menggunakan arang sekam yang dikombinasikan dengan inokulan Bradyrhizobium japonicum dan Azospirilium lipoferum dapat meningkatkan viabilitas dan vigor benih kedelai yang lebih baik dibandingkan dengan serbuk gergaji (Ilyas et al., 2003). Hasil

(24)

penelitian Faisal (2005) menunjukkan bahwa kombinasi tersebut juga meningkatkan efisiensi pemupukan nitrogen sebesar 121.2 % atau menghemat pemupukan N sebesar 30.5 kg urea/ha. Inokulasi CMA dengan perlakuan bahan perekat tapioka 5 % (b/v) yang dikombinasikan dengan bahan pelapis gambut:gipsum 50:50 menghasilkan tinggi tanaman 3 MST, jumlah dan bobot kering bintil akar tertinggi pada kedelai (Khodijah, 2009).

Teknik aplikasi CMA pada kedelai yang selama ini biasa dilakukan yaitu melalui inokulasi tanah. Teknik inokulasi tanah dilakukan dengan menaburkan propagul CMA pada lubang tanam sebelum tanam (Hartadi et al., 2000;

Purwaningsih et al., 2000; Hutami et al., 2000). Menurut Khodijah (2009), teknik inokulasi tanah tersebut dinilai kurang efisien karena inokulum CMA hanya dapat diaplikasikan pada tanaman yang sudah tumbuh aktif. Teknik aplikasi tersebut juga membutuhkan lebih banyak waktu, tenaga, dan biaya yang lebih tinggi sehingga dibutuhkan alternatif teknik aplikasi CMA lain seperti penggunaan bahan pelapis dan perekat sebagai agens pembawa inokulum spora CMA. Agens pembawa inokulum spora CMA yang biasa digunakan berupa zeolit, jerami dan arang sekam (Nurbaity et al., 2009).

Pelapisan Benih (Seed Coating)

Terdapat dua jenis pelapisan benih yang digunakan secara komersial yaitu

seed coating dan seed pelleting (Copeland dan McDonald, 2001).

Desai et al. (1997) menyatakan bahwa seed pelleting diaplikasikan pada benih untuk memperbaiki kemampuan tumbuh dan penampilannya dengan menambah berat dan merubah bentuk dari benih itu sendiri, sedangkan seed coating bertujuan untuk memperbaiki penampilan benih tanpa mengubah bentuk benihnya. Seed coating biasanya digunakan untuk mengatasi cekaman lingkungan, seperti kekeringan atau tergenang. Menurut Copeland dan McDonald (2001) seed coating biasanya bertujuan untuk mengaplikasikan berbagai bahan seperti fungisida, insektisida, hara mikro, dan komponen lain langsung pada benih.

Seed coating pada awalnya menggunakan fungisida untuk melindungi benih dari cendawan soil borne seperti Pythium, Phytophtora, dan Rhizoctonia yang diaplikasikan pertama kali pada benih serealia dan kemudian diadopsi untuk

(25)

sayuran (Callan, 1975 dalam Bruggink, 2005). Bruggink menyatakan bahwa saat ini, seed coating pada umumnya diaplikasikan dengan penyebaran cairan yang merupakan campuran dari formulasi bahan aktif, bahan pewarna, polimer, dan filler. Bahan serbuk seperti tepung juga mungkin untuk diaplikasikan. Bahan pewarna digunakan untuk memperbaiki penampilan benih. Banyaknya bahan aktif yang diaplikasikan pada umumnya pada kisaran gram per kilogram benih.

Benih dapat dilapisi dengan polimer yang dapat mencegah terjadinya imbibisi pada benih yang dibutuhkan pada saat perkecambahan. Bahan polimer tersebut menjadi permeabel terhadap air (Walsh et al., 1998). Menurut Rushing (1988) dalam Copeland dan McDonald (2001), sifat yang ideal dari polimer untuk seed coating adalah sebagai berikut: (1) water-based polymer, 2) memiliki nilai viskositas yang rendah, 3) memiliki konsentrasi yang tinggi pada saat padat, 4) memiliki perbandingan hidrofilik dan hidrofobik yang seimbang, 5) menjadi lapisan yang keras pada saat pengeringan. Sifat ini penting untuk menghasilkan pertumbuhan yang sempurna, membersihkan kotoran pada bahan tambahan, dan menghasilkan perkecambahan yang sempurna pada berbagai kondisi lingkungan.

(26)

BAHAN DAN METODE

Tempat dan Waktu

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April sampai Juli 2010 di kebun percobaan Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Leuwikopo, Bogor pada tanah Latosol (pH 4.2) dan Laboratorium Agromikrobiologi Balai Pengkajian Bioteknologi, BPPT PUSPIPTEK Serpong, Tangerang.

Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan diantaranya benih kedelai kultivar Wilis yang diperoleh dari Balai Penelitian Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik Pertanian, Bogor. Bahan lain yang digunakan adalah gipsum, gambut, tapioka, spora CMA produksi Balai Pengkajian Bioteknologi BPPT, 10 % KOH, HCl, asam laktat, larutan trypan blue, larutan laktogliserol, urea (45 % N), SP-18 (18 % P2O5), KCl (60 % K2O), kapur dolomit, dan fungisida butiran.

Alat yang digunakan antara lain cawan petri, gelas beker, erlenmeyer, stirer, gelas ukur, timbangan analitik, oven alat pengering sampel tanaman, alat penyaring, alat pengaduk, mikroskop stereo, drum granulator mini hasil modifikasi (kapasitas maksimum 1 kg benih kedelai) (Gambar 2), alat sentrifugase, alat pengukur, dan alat budidaya kedelai pada umumnya.

Gambar 2. Drum Granulator Mini

(27)

Metode Penelitian

Penelitian bertujuan untuk mengetahui efektivitas teknik aplikasi inokulasi mikroba (CMA) serta mencari dosis penggunaan pupuk P yang tepat terhadap peningkatan produksi kacang kedelai. Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah rancangan petak terbagi (split plot design) dengan dua faktor yaitu dosis pupuk P sebagai petak utama dan teknik aplikasi inokulan

sebagai anak petak. Faktor dosis pupuk P terdiri atas lima taraf yaitu 0 kg SP-18/ha (P0), 100 kg SP-18/ha (P1), 200 kg SP-18/ha (P2), 300 kg SP-18/ha (P3) dan 400 kg SP-18/ha (P4). Faktor teknik aplikasi inokulan

terdiri atas tiga taraf yaitu tanpa aplikasi inokulan (I0), aplikasi inokulan CMA tanpa bahan pelapis dan perekat (I1), serta aplikasi inokulan CMA berpelapis dan berperekat (I2). Masing-masing perlakuan diulang sebanyak tiga kali sehingga terdapat 45 satuan percobaan. Percobaan ini terdiri atas lima belas taraf yaitu:

(P0I0) Dosis pupuk P, 0 kg SP-18/ha dengan tanpa aplikasi inokulan CMA;

(P0I1) Dosis pupuk P, 0 kg SP-18/ha dengan aplikasi inokulan CMA tanpa bahan pelapis dan perekat;

(P0I2) Dosis pupuk P, 0 kg SP-18/ha dengan aplikasi inokulan CMA berpelapis dan berperekat;

(P1I0) Dosis pupuk P, 100 kg SP-18/ha dengan tanpa aplikasi inokulan CMA;

(P1I1) Dosis pupuk P, 100 kg SP-18/ha dengan aplikasi inokulan CMA tanpa bahan pelapis dan perekat;

(P1I2) Dosis pupuk P, 100 kg SP-18/ha dengan aplikasi inokulan CMA berpelapis dan berperekat;

(P2I0) Dosis pupuk P, 200 kg SP-18/ha dengan tanpa aplikasi inokulan CMA;

(P2I1) Dosis pupuk P, 200 kg SP-18/ha dengan aplikasi inokulan CMA tanpa bahan pelapis dan perekat;

(P2I2) Dosis pupuk P, 200 kg SP-18/ha dengan aplikasi inokulan CMA berpelapis dan berperekat;

(P3I0) Dosis pupuk P, 300 kg SP-18/ha dengan tanpa aplikasi inokulan CMA;

(P3I1) Dosis pupuk P, 300 kg SP-18/ha dengan aplikasi inokulan CMA tanpa bahan pelapis dan perekat;

(28)

(P3I2) Dosis pupuk P, 300 kg SP-18/ha dengan aplikasi inokulan CMA berpelapis dan berperekat;

(P4I0) Dosis pupuk P, 400 kg SP-18/ha dengan tanpa aplikasi inokulan CMA;

(P4I1) Dosis pupuk P, 400 kg SP-18/ha dengan aplikasi inokulan CMA tanpa bahan pelapis dan perekat;

(P4I2) Dosis pupuk P, 400 kg SP-18/ha dengan aplikasi inokulan CMA berpelapis dan berperekat;

Model matematis yang digunakan sebagai berikut:

Yijk = µ + ρi + αj +(ρα)j + βk + (αβ)ik + εijk, dimana:

Yijk = Hasil pengamatan pengaruh dosis pupuk ke-j, perlakuan teknik aplikasi mikroba ke-k pada ulangan ke-i

µ = Rataan umum

ρi = Pengaruh ulangan ke-i

αj = Pengaruh perlakuan dosis pupuk P ke-j

(ρα)j = Pengaruh galat petak utama dosis pupuk P ke-j pada ulangan ke-i βk = Pengaruh perlakuan teknik aplikasi mikroba ke-k

(αβ)ik = Interaksi antara dosis pupuk dan teknik aplikasi mikroba, pada pupuk ke- j dan teknik aplikasi mikroba ke-k

εijk = Pengaruh galat anak petak, dosis pupuk P ke-j dan perlakuan teknik aplikasi mikroba ke-k pada ulangan ke-i

Data yang dihasilkan dalam percobaan ini diolah dengan menggunakan analisis ragam (uji F) dan yang menunjukkan pengaruh nyata diuji lanjut dengan metode Uji Jarak Berganda Duncan pada taraf nyata 5 %.

(29)

Pelaksanaan Penelitian

Percobaan Pendahuluan

Kegiatan awal yang dilakukan sebelum penanaman benih adalah melakukan proses pelapisan benih mengunakan gipsum dan gambut (50:50) sebagai bahan pelapis dan tapioka 5 % (b/v) sebagai bahan perekat. Perbandingan benih : perekat : pelapis adalah 10 : 1 : 1 (Khodijah, 2009).

a. Persiapan bahan perekat dan bahan pelapis

Bahan perekat yang digunakan adalah tapioka dengan konsentrasi 5 % (b/v) dimasukkan ke dalam gelas beker yang berisi air, kemudian dididihkan, dan didinginkan sebelum digunakan. Gambut yang akan digunakan adalah gambut dari Rawapening yang mengandung hemiselulosa, selulosa, lignin, kutin, bitumens, dan asam humik. Gambut ini termasuk jenis gambut berserat yang subur dan kaya akan hara mineral dengan kisaran pH 6-7. Gambut tersebut terlebih dahulu digiling halus sehingga lolos saringan 100 mesh dan gipsum yang akan digunakan juga yang berukuran halus. Kedua bahan tersebut terlebih dahulu disterilisasi dalam autoklaf pada suhu 1210C selama 2 jam.

Gambut dan gipsum kemudian dicampur (Khodijah, 2009).

b. Pelapisan benih

Benih kedelai dicuci dengan air bersih, ditiriskan dan dikeringanginkan.

Benih kemudian dilapisi dengan bahan perekat yang dicampur dengan inokulum CMA berupa spora dan dilakukan dalam drum granulator. Kerapatan jumlah spora CMA ditentukan sebanyak 50 spora per benih, Penghitungan dilakukan dengan menggunakan mikroskop. Benih yang telah dilapisi bahan perekat dengan baik kemudian dimasukkan ke dalam bahan pelapis gambut dan gipsum yang juga dilakukan dalam drum granulator.

Benih dilapisi kembali dengan gipsum yang berfungsi sebagai bahan pelindung selama beberapa menit sehingga terbentuk lapisan pelindung. Proses dihentikan setelah permukaan butiran granul benih berwarna putih. Butiran granular kemudian dikering-anginkan selama satu minggu. Benih yang telah terlapisi tersebut kemudian ditanam di lahan untuk melihat perkembangannya.

(30)

Penampilan kedelai yang telah diinokulasi CMA baik tanpa maupun dengan bahan pelapis dan perekat dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3. Aplikasi CMA pada Benih Kedelai (A) Tanpa Bahan Pelapis dan Perekat (B) Diberi Bahan Pelapis dan Perekat

c. Penghitungan Spora pada Benih

Kerapatan jumlah spora yang menempel pada benih ditentukan sebanyak 50 spora per benih. Sebelum diaplikasikan, kerapatan spora dihitung dengan mengambil sampel zeolit berisi spora CMA sebanyak 0.1 gram. Sampel tersebut dimasukkan ke dalam gelas beker 500 ml dan direndam dalam air selama 1 jam, kemudian diaduk, dan larutannya dituang ke dalam saringan (50 – 110 µm). Spora hasil saringan kemudian dicuci dengan air dan dituangkan ke dalam cawan petri dan dihitung jumlah spora di bawah mikroskop. Hasil perhitungan kerapatan jumlah spora kemudian diaplikasikan sebanyak 50 spora per benih.

Penghitungan jumlah spora yang menempel pada benih dilakukan dengan mengambil sampel benih sebanyak 20 butir masing-masing 2 butir setiap penghitungan. Sampel benih dimasukkan ke dalam gelas beker 500 ml dan direndam dengan air selama 1 jam, kemudian diaduk, dan larutannya dituang ke dalam saringan (50 – 110 µm). spora hasil saringan kemudian dicuci dengan air dan dituangkan ke dalam cawan petri dan dihitung jumlah spora di bawah mikroskop.

Pelaksanaan di lapangan

Dua minggu sebelum benih ditanam lahan diberi kapur dolomit dan fungisida butiran (Furadan) dengan dosis 20 kg/ha ke dalam alur tanam benih.

Aplikasi inokulan tanpa bahan pelapis dan perekat (I1) diberikan dengan

A B

(31)

mencampurkan benih yang telah dibasahi dengan inokulan, lalu diaduk sampai merata dan kemudian benih ditanam. Benih ditanam pada lahan dengan jarak tanam 40 cm x 20 cm dengan luas per petak 3 m x 3 m. Benih ditanam dengan cara ditugal dengan menanam dua butir benih kedelai per lubang yang setelah 2 minggu setelah tanam dijarangkan dengan meninggalkan satu tanaman yang paling baik pertumbuhannya.

Alur pupuk dibuat pada jarak sekitar 7 cm dari alur tanam. Semua pupuk dicampurkan dengan dosis pupuk P berbeda-beda untuk masing-masing perlakuan dan dosis pupuk urea 25 kg/ha dan dosis pupuk KCl 50 kg/ha. Pupuk ditabur pada alur pupuk secara merata dan disiram dengan air secukupnya. Pemeliharaan dilakukan selama pertumbuhan tanaman yang meliputi penyiangan gulma serta pengendalian hama dan penyakit dengan penyemprotan insektisida dan fungisida apabila diperlukan. Penyiraman dilakukan kembali bila tanah terlalu kering bagi tanaman. Pemanenan dilakukan pada umur 7 MST untuk pengamatan bobot basah dan bobot kering tajuk, akar, dan bintil akar. Panen kedua dilakukan pada umur 12 MST untuk pengamatan komponen hasil, infeksi akar dan jumlah spora.

Pengamatan

Pengamatan yang dilakukan pada penelitian ini yaitu terhadap daya tumbuh benih, pertumbuhan tanaman, morfologi akar, bobot basah dan bobot kering tajuk, bobot basah dan bobot kering akar, bobot basah dan bobot kering bintil akar, jumlah spora dan komponen hasil. Pengamatan daya tumbuh benih dilakukan pada 1 minggu setelah tanam (MST). Pengamatan terhadap pertumbuhan tanaman dilakukan setiap satu minggu sekali setelah berumur 2 MST yang meliputi tinggi tanaman (cm) dan jumlah daun. Pengamatan morfologi akar meliputi jumlah bintil akar efektif yang dilakukan pada saat pertumbuhan maksimum yaitu kira- kira umur 45 - 60 hari setelah tanam (HST), serta pengukuran persentase akar yang terinfeksi CMA pada 12 MST. Penghitungan jumlah spora CMA dilakukan pada akhir penelitian dengan berdasarkan metode wet sieving, decanting dan teknik sentrifugase (Sylvia, 1998 dalam Khodijah 2009). Pengamatan komponen hasil dilakukan pada saat akhir penelitian meliputi hasil dan komponen hasil biji per tanaman.

(32)

Tolak ukur yang diamati diuraikan sebagai berikut:

a. Daya tumbuh benih

Daya tumbuh benih diukur dengan menghitung jumlah benih yang tumbuh dari seluruh lubang tanam pada 1 MST serta populasi tanaman per hektar dan per petak. Daya tumbuh benih dihitung dengan rumus:

DT (%) = b. Tinggi tanaman

Pengukuran tinggi tanaman dilakukan pada sepuluh tanaman contoh yang diambil secara acak dari setiap petak. Tinggi tanaman diukur dengan menggunakan penggaris dengan skala sentimeter, dimulai dari permukaan tanah sampai titik tumbuh tanaman tertinggi. Pengamatan dilakukan mulai 2 MST sampai 10 MST.

c. Jumlah daun

Jumlah daun dihitung dari daun yang telah membuka sampai daun terbawah, mulai 2 MST sampai 10 MST.

d. Bobot basah dan bobot kering tajuk, akar dan bintil akar

Bobot basah dan bobot kering tajuk, akar dan bintil akar ditetapkan dengan memisahkan bagian tajuk, akar, dan bintil akar. Kemudian tajuk, akar, dan bintil akar dioven pada suhu 105oC selama ± 24 jam (Khodijah, 2009) untuk menghitung bobot kering tajuk, akar, dan bintil akar. Bobot kering tajuk, akar dan bintil akar tersebut ditimbang secara terpisah. Bobot kering tajuk, akar dan bintil akar dihitung setelah tanaman berumur 7 MST.

e. Persentase akar yang terinfeksi CMA

Perhitungan persentase infeksi CMA dilakukan dengan cara sebagai berikut: sebanyak 0.1 g akar dari hasil panen dipotong kira-kira 1 cm dan dimasukkan ke dalam botol vial yang telah isi larutan 10 % KOH untuk membersihkan inti akar yang mengandung lignin sehingga penetrasi zat warna lebih mudah. Kemudian dibiarkan selama 3 hari, dan larutan KOH dibuang. Setelah itu dibilas dengan air dan direndam dalam larutan 0.1 N HCl untul menetralkan KOH selama 10 menit. Larutan HCl dibuang,

(33)

ditambahkan larutan trypan blue yang digunakan untuk mewarnai bagian- bagian CMA (0.01 % dalam lactogliserol). Larutan trypan blue dibuang, kemudian akar dicuci dengan air dan direndam di dalam larutan lactogliserol (berfungsi untuk mengikat larutan trypan blue) untuk perhitungan infeksi di bawah mikroskop. Infeksi dihitung dengan metode Gridline intersect method (Giovannetti dan Mouse, 1980 dalam Khodijah, 2009).

Pada metode ini, setiap potongan akar yang mengenai gridline dihitung sebagai infeksi jika salah satu hifa atau gabungan dari struktur arbuskula dan vesikel ditemukan. Persen kolonisasi dan panjang akar

dihitung sebagai berikut (Giovannetti dan Mouse, 1980 dalam Khodijah, 2009):

% Kolonisasi =

Kolonisasi (cm) = ∑ infeksi x Line Grid x 11/14.

Panjang akar (cm) = ∑ total interseksi x Line Grid x 11/14, Line Grid adalah panjang satu sisi dari kotak grid.

Interseksi = bidang pandang akar yang diamati f. Jumlah spora CMA

Penghitungan jumlah spora dilakukan dengan metode wet sieving, decanting dan teknik sentrifugase (Sylvia, 1998 dalam Khodijah 2009) yang dilakukan pada akhir penelitian. Penghitungan jumlah spora dilakukan dengan mengambil sampel media tanam sebanyak 100 gram untuk masing-masing perlakuan. Sampel media tanam dimasukkan ke dalam gelas beker 500 ml dan direndam dengan air selama 2 jam, kemudian diaduk, pasir dibiarkan mengendap dan larutan tanah dituang ke dalam saringan (50 - 110 µm). Hal tersebut dilakukan sampai air bersih.

Hasil saringan terkecil dipindahkan ke dalam tabung sentrifugase 50 ml, ditambahkan air dan ditimbang.

Hasil saringan larutan tanah terkecil kemudian disentrifugase selama 5 menit pada kecepatan 500 rpm untuk memisahkan tanah dari kotoran.

Supernatan dibuang dan ditambahkan air kembali sampai setengah, lalu

(34)

ditambahkan larutan gula 75 % sampai penuh, ditimbang dan disentrifugase kembali pada kecepatan 6000 rpm selama 20 detik. Spora dikumpulkan dengan menuangkan supernatan ke dalam saringan 50 µm.

Spora kemudian dicuci dengan air dan dituangkan ke dalam cawan petri dan dihitung jumlah spora di bawah mikroskop.

g. Komponen hasil pada 12 MST

Komponen hasil yang diamati adalah:

1. Jumlah polong isi

Jumlah polong isi per tanaman diamati dengan menghitung semua polong yang isi per tanaman.

2. Bobot basah dan bobot kering polong isi

Bobot basah polong isi dan dihitung dengan menimbang semua polong isi per tanaman. Bobot kering polong isi dihitung dengan menimbang semua polong isi setelah dijemur selama ± 3 hari.

3. Bobot biji per tanaman

Bobot biji per tanaman dihitung dengan menimbang seluruh hasil biji per tanaman setelah yaitu setelah dijemur selama ± 3 hari sampai kadar air 11-12 %.

4. Bobot biji per petak

Bobot biji per petak dihitung dengan menimbang seluruh hasil biji per petak perlakuan panen (3 m x 3 m) setelah dijemur selama

± 3 hari (kadar air 11-12 %).

5. Bobot 100 butir biji

Biji dengan kadar air 11-12 % diambil secara acak dari hasil benih per petak perlakuan, lalu ditimbang bobot 100 butir.

(35)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kondisi Umum

Lahan yang digunakan pada penelitian ini memiliki pH tanah 4.6, sedangkan pH optimum untuk pertumbuhan kedelai adalah 5.6-6.9 dan pH 6.2 untuk CMA (Marwoto et al., 2005; Morton et al., 2004). Permasalahan tersebut diatasi dengan pemberian kapur dolomit dengan dosis 3 ton/ha sebelum penanaman yang diharapkan dapat meningkatkan pH tanah sehingga sesuai untuk pertumbuhan kedelai dan CMA. Daya tumbuh benih untuk masing-masing perlakuan masih tergolong tinggi, yaitu lebih dari 80 %. Hal ini disebabkan karena benih yang digunakan merupakan benih hasil panen bulan Februari dengan viabilitas benih awal tinggi yang berkisar antara 85-95 %.

Pertumbuhan tanaman pada awal penanaman secara visual baik, namun pada 4 MST beberapa tanaman kedelai mulai menunjukkan adanya kekurangan unsur hara nitrogen. Hal ini terlihat dari banyaknya daun muda yang menguning dan rontok pada beberapa tanaman (Gambar 4). Pemupukan N pada awal penanaman dengan dosis 25 kg urea/ha belum mencukupi kebutuhan hara tanaman kedelai. Kedelai membutuhkan nitrogen dalam jumlah yang besar.

Gardner et al. (1991) menyatakan bahwa N merupakan hara esensial untuk pembelahan dan pembesaran sel serta pertumbuhan tanaman.

Gambar 4. Tanaman Kedelai yang Mengalami Kekurangan Nitrogen

(36)

Permasalahan kekurangan unsur hara N pada 4 MST diatasi dengan dilakukannya pemupukan melalui daun menggunakan N-Fert pada 5 MST. N-Fert merupakan inokulum dengan bahan aktif bakteri fiksasi nitrogen, yang mampu menambat nitrogen dari udara, menghasilkan hormon tumbuh seperti IAA dan GA, serta zat-zat lain yang diperlukan oleh tanaman, sehingga produktivitas tanaman meningkat (Balai Pengkajian Bioteknologi-BPPT, 2010). Hal ini dimaksudkan untuk meningkatkan mikroba penambat N yang berperan dalam membantu peningkatan penyerapan unsur hara, terutama unsur N. Keragaan tanaman per perlakuan dapat dilihat pada Lampiran 1.

Pengendalian hama dan penyakit selama pertumbuhan tanaman hanya dilakukan secara manual. Hama yang menyerang pertanaman kedelai yang teramati diantaranya adalah hama perusak daun seperti belalang (Oxya spp), ulat jengkal (Chrysodesixis chalcites), ulat penggulung daun (Lamprosema indica), ulat helicoverpa (Helicoverpa (Heliothis) armigera Huebner), dan ulat api (Setora nitens) (Gambar 5A-B) yang didentifikasi berdasarkan buku Hama dan Penyakit Tanaman (Pracaya, 2003). Hama perusak polong diantaranya kepik polong (Riptortus linearis Fabricus) dan kepik hijau (Nezara viridula Linnaeus) (Gambar 5C-D). Hama perusak daun menyerang tanaman kedelai sejak tanaman berumur 2 MST, sedangkan hama perusak polong menyerang tanaman kedelai sejak tanaman berumur 7 MST. Hama perusak daun merupakan hama yang menyerang tanaman dengan intensitas yang cukup tinggi.

Gambar 5. (A) Ulat Helicoverpa (Helicoverpa (Heliothis) armigera Huebner) (B) Ulat Api (Setora nitens), (C) Kepik Polong (Riptortus linearis Fabricus), dan (D)

Kepik Hijau (Nezara viridula Linnaeus)

A B

D C

(37)

Penyakit yang banyak menyerang yaitu busuk akar dan penyakit sapu, namun keberadaannya masih dalam jumlah sedikit. Gulma yang teramati tumbuh di sekitar pertanaman kedelai yaitu Borreria latifolia, Borreria alata, Mimosa pudica, Oxalis barilieri, dan Eleusine indica (Gambar 6) yang diidentifikasi berdasarkan buku Weeds (Kleiber, 1968). Penyiangan gulma yang dilaksanakan setiap minggunya mampu mengendalikan pertumbuhan gulma.

Gambar 6. (A) Borreria latifolia, (B) Mimosa pudica, (C) Eleusine indica, (D) Borreria alata

Rekapitulasi hasil uji F menggunakan progam olah data SAS 6.12 menunjukkan bahwa perlakuan dosis pupuk P berpengaruh nyata terhadap bobot basah akar, serta bobot basah dan bobot kering polong isi. Perlakuan aplikasi inokulan CMA berpengaruh nyata terhadap tinggi tanaman 6 MST, jumlah daun 7, 8, dan 9 MST, bobot basah dan bobot kering tajuk, bobot basah akar, bobot kering bintil akar, jumlah bintil akar, persen infeksi akar, jumlah spora, serta bobot basah dan bobot kering polong isi. Interaksi dosis pupuk P dan aplikasi inokulan CMA berpengaruh nyata terhadap tinggi tanaman 2 MST, jumlah daun pada 8 dan 9 MST, bobot basah akar, bobot basah dan bobot kering tajuk, jumlah bintil akar, jumlah spora, jumlah polong isi, bobot basah polong isi, bobot biji per tanaman dan bobot biji per petak. Secara rinci rekapitulasi sidik ragam ditunjukkan pada Tabel 1.

A B

C D

(38)

Tabel 1. Rekapitulasi Sidik Ragam Pengaruh Dosis Pupuk P dan Teknik Aplikasi Inokulan serta Interaksinya terhadap Beberapa Parameter Pengamatan Tanaman Kedelai

Peubah

Dosis Pupuk P(P)

Aplikasi Inokulan

CMA (I) Interaksi P x I

Daya tumbuh 0.9578 tn 0.7456 tn 0.7730 tn

Tinggi tanaman

2 MST 0.7296 tn 0.5326 tn 0.0382 *

3 MST 0.7008 tn 0.4138 tn 0.1070 tn

4 MST 0.6971 tn 0.3445 tn 0.0848 tn

5 MST 0.2793 tn 0.7324 tn 0.0608 tn

6 MST 0.5706 tn 0.0321 * 0.1137 tn

7 MST 0.6040 tn 0.1806 tn 0.0873 tn

8 MST 0.6203 tn 0.3853 tn 0.0859 tn

9 MST 0.4506 tn 0.4866 tn 0.0858 tn

10 MST 0.5295 tn 0.4688 tn 0.0694 tn

Jumlah daun

2 MST 0.8442 tn 0.3525 tn 0.8151 tn

3 MST 0.5135 tn 0.0793 tn 0.2294 tn

4 MST 0.1339 tn 0.1181 tn 0.2146 tn

5 MST 0.5721 tn 0.1669 tn 0.0605 tn

6 MST 0.6934 tn 0.2149 tn 0.1176 tn

7 MST 0.4187 tn 0.0036 ** 0.1002 tn

8 MST 0.4072 tn 0.0396 * 0.0340 *

9 MST 0.1377 tn 0.0001 ** 0.0118 *

10 MST 0.4931 tn 0.7858 tn 0.4265 tn

Bobot basah tajuk 0.3347 tn 0.0201 * 0.0062 **

Bobot basah akar 0.0125 * 0.0194 * 0.0195 *

Bobot basah bintil akar 0.3732 tn 0.0537 tn 0.1096 tn Bobot kering tajuk 0.3252 tn 0.0043 ** 0.0075 **

Bobot kering akar 0.3445 tn 0.0634 tn 0.1893 tn Bobot kering bintil akar 0.4759 tn 0.0288 * 0.0701 tn Jumlah bintil akar 0.2839 tn 0.0001 ** 0.0414 * Persen infeksi CMA 0.1435 tn 0.0001 ** 0.2186 tn

Jumlah spora CMA 0.1808 tn 0.0001 ** 0.0076 **

Komponen hasil

Jumlah polong isi 0.1265 tn 0.0817 tn 0.0369 *

Bobot basah polong isi 0.0279 * 0.0007 ** 0.0490 * Bobot kering polong isi 0.0240 * 0.0007 ** 0.1860 tn Bobot biji per tanaman 0.2671 tn 0.0645 tn 0.0151 * Bobot biji per luasan 0.2412 tn 0.2297 tn 0.0326 *

Bobot 100 biji 0.0915 tn 0.0556 tn 0.9893 tn

Keterangan : * = berpengaruh nyata, ** = berpengaruh sangat nyata, tn = tidak berpengaruh nyata

(39)

Daya Tumbuh

Pengaruh perlakuan dosis pupuk P dan teknik aplikasi inokulan serta interaksinya terhadap daya tumbuh benih tidak nyata (Lampiran 1). Benih yang digunakan adalah benih yang masih memiliki persentase viabilitas awal yang tinggi (85-95%). Perlakuan dosis pupuk P yang berbeda-beda masih memiliki nilai daya tumbuh yang tinggi (89.0-92.5 %) (Tabel 2). Walaupun aplikasi inokulan CMA pada benih tidak berpengaruh nyata tetapi nilai daya tumbuh tertinggi terdapat pada perlakuan I1 (aplikasi inokulan tanpa bahan pelapis dan perekat) (Tabel 3).

Tabel 2. Pengaruh Dosis Pupuk P terhadap Daya Tumbuh Benih Kedelai pada 1 MST

Tabel 3. Pengaruh Aplikasi Inokulan CMA terhadap Daya Tumbuh Benih Kedelai pada 1 MST

Aplikasi Inokulan CMA Daya Tumbuh

(%)

Tanpa aplikasi inokulan CMA (I0) 90.5

Aplikasi inokulan CMA tanpa bahan pelapis dan perekat (I1) 92.3 Aplikasi inokulan CMA berpelapis dan berperekat (I2) 90.7

Tinggi Tanaman

Peubah tinggi tanaman pada awal penanaman hanya dipengaruhi oleh interaksi antara perlakuan dosis pupuk P dengan perlakuan aplikasi inokulan CMA (Tabel 4). Perlakuan dosis pupuk P 300 kg SP-18/ha (P3) yang dikombinasikan dengan perlakuan tanpa aplikasi inokulan CMA (I0) menghasilkan nilai tertinggi yang secara nyata berbeda dengan perlakuan P0I0 dan P2I0. Teknik aplikasi inokulan CMA baru berpengaruh nyata terhadap tinggi tanaman pada 6 MST (Tabel 5). Perlakuan inokulasi CMA berpelapis dan

Dosis pupuk P Daya Tumbuh (%)

0 kg SP-18/ha (P0) 91.5

100 kg SP-18/ha (P1) 89.0

200 kg SP-18/ha (P2) 91.5

300 kg SP-18/ha (P3) 91.5

400 kg SP-18/ha (P4) 92.5

(40)

berperekat (I2) mampu meningkatkan tinggi tanaman sebesar 7 % dibandingkan dengan tanpa perlakuan inokulasi CMA (I0) pada 6 MST. Perlakuan inokulasi CMA tanpa bahan pelapis dan perekat (I1) mampu meningkatkan tinggi tanaman dibandingkan dengan kontrol walaupun tidak berbeda nyata. Dosis pemupukan P sampai dengan 400 kg SP-18/ha tidak berpengaruh terhadap peubah tinggi tanaman.

Tabel 4. Pengaruh Interaksi Dosis Pupuk P dan Aplikasi Benih dengan Inokulan CMA terhadap Tinggi Tanaman (cm) pada 2 MST

Dosis Pupuk P

Aplikasi Inokulan CMA

I0 I1 I2

0 kg SP-18/ha (P0) 9.51 bc 9.67 abc 9.89 abc 100 kg SP-18/ha (P1) 9.97 abc 9.91 abc 10.52 ab 200 kg SP-18/ha (P2) 9.16 c 10.04 abc 9.89 abc 300 kg SP-18/ha (P3) 10.67 a 9.81 abc 9.68 abc 400 kg SP-18/ha (P4) 9.94 abc 9.88 abc 10.06 abc

Keterangan: angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT 5 %

Tabel 5. Pengaruh Aplikasi Inokulan CMA terhadap Tinggi Tanaman pada 6 MST

Aplikasi Inokulan CMA Tinggi Tanaman

(cm)

Tanpa aplikasi inokulan CMA (I0) 48.17 b

Aplikasi inokulan CMA tanpa bahan pelapis dan perekat (I1) 49.32 ab Aplikasi inokulan CMA berpelapis dan berperekat (I2) 51.40 a

Keterangan: angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT 5 %

Aplikasi inokulan CMA pada benih kedelai mampu meningkatkan pertumbuhan tanaman terbaik tanpa pemupukan P. Aplikasi inokulan CMA terbaik diperoleh dari aplikasi inokulan CMA berpelapis dan berperekat.

Penambahan bahan pelapis dan perekat diduga mampu meningkatkan jumlah spora yang menempel pada benih kedelai pada saat penanaman dibandingkan tanpa penambahan bahan pelapis dan perekat, sehingga kecepatan CMA untuk menginfeksi akar menjadi lebih besar. Hal tersebut mengakibatkan peningkatan infeksi CMA terhadap akar tanaman yang juga berkorelasi positif terhadap pertumbuhan tanaman.

(41)

Keberadaan CMA dapat membantu tanaman dalam meningkatkan kemampuan penyerapan unsur hara terutama fosfat yang sangat dibutuhkan selama pertumbuhan vegetatif. Menurut Aiguo et al. (2007) hal tersebut disebabkan diameter hifa eksternal pada CMA yang lebih kecil dibandingkan akar dapat masuk ke dalam pori-pori tanah yang lebih kecil, sehingga unsur hara yang dapat diserap juga meningkat. Hasil penelitian ini sejalan dengan yang dilaporkan oleh Purwaningsih et al (2000), bahwa pemberian inokulan Rhizobium, CMA, maupun kombinasi keduanya mampu memperbaiki pertumbuhan tanaman kedelai diantaranya tinggi tanaman yang lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol.

Jumlah Daun

Peubah jumlah daun dipengaruhi oleh aplikasi inokulan CMA dan interaksi antara perlakuan inokulan CMA dengan dosis pupuk P, tetapi tidak dipengaruhi oleh perlakuan dosis pupuk P. Jumlah daun terbanyak pada 7 dan 8 MST terdapat pada aplikasi inokulan CMA berpelapis dan berperekat (I2). Aplikasi inokulan CMA berpelapis dan berperekat juga mampu mengurangi jumlah daun yang gugur pada 9 MST yang berbeda sangat nyata dengan perlakuan lainnya (Tabel 6).

Tabel 6. Pengaruh Perlakuan Benih dengan Inokulan terhadap Jumlah Daun pada 7, 8, dan 9 MST

Keterangan: angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT 5 %

Aplikasi CMA berpelapis dan berperekat pada penelitian ini terbukti mampu meningkatkan jumlah daun. Hifa eksternal CMA yang bersimbiosis dengan akar tanaman secara tidak langsung akan memperluas serapan akar dibandingkan tanaman tanpa CMA, sehingga dapat menyerap unsur hara dan air dari tanah lebih banyak. Menurut Sylvia (2005) selain menyerap unsur P, CMA juga berfungsi dalam menyerap unsur hara mikro seperti Zn dan Cu. Peningkatan unsur hara

Aplikasi Inokulan CMA

Jumlah Daun

7 MST 8 MST 9 MST

Tanpa aplikasi inokulan CMA (I0) 23.2 b 23.3 b 22.0 b Aplikasi inokulan CMA tanpa bahan

pelapis dan perekat (I1)

22.5 b 23.5 b 22.6 b Aplikasi inokulan CMA berpelapis

dan berperekat (I2)

24.5 a 24.5 a 23.7 a

Gambar

Gambar 1. Penampang Membujur Akar Terinfeksi CMA (Brundrett et al., 1994) sel korteks hifa intraseluler arbuskula vesikula endodermis rambut akar appressorium hifa eksternal eksodermis epidermis hifa internal
Gambar 2. Drum Granulator Mini
Gambar 3. Aplikasi CMA pada Benih Kedelai (A) Tanpa Bahan Pelapis dan  Perekat (B) Diberi Bahan Pelapis dan Perekat
Gambar 4. Tanaman Kedelai yang Mengalami Kekurangan Nitrogen
+7

Referensi

Dokumen terkait

Pemberian berbagai dosis kompos azolla berpengaruh nyata terhadap tinggi tanaman, jumlah daun, cabang produktif, bobot basah tajuk, bobot kering tajuk, bobot basah akar, bobot

Perlakuan CMA dan pupuk fosfat secara mandiri berpengaruh nyata terhadap tinggi tanaman, diameter batan, panjang tongol, diameter tongkol, bobot pipilan kering per

Hasil penelitian menunjukkan bahwa dosis dan ukuran butir pupuk Fosfatsuper tidak mempengaruhi tinggi tanaman, jumlah daun, bobot akar kering, bobot tajuk kering, P-tersedia, serapan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa dosis dan ukuran butir pupuk Fosfatsuper tidak mempengaruhi tinggi tanaman, jumlah daun, bobot akar kering, bobot tajuk kering, P-tersedia, serapan

Aplikasi CMA pada tanaman jagung di tanah Inceptisol dapat meningkatkan infeksi akar, serapan fosfat, bobot kering tanaman, dan hasil pipilan kering seiring dengan

Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa perlakuan pemberian berbagai dosis pupuk Kalium berpengaruh nyata pada Berat Kering Akar (7 MST) dan Jumlah

Pengaruh jenis FMA dan dosis pupuk NPK pada bobot basah akar bibit kakao umur 4 bulan ………... Pengaruh jenis FMA dan dosis pupuk NPK pada bobot kering akar bibit

tuberculata sebanyak 500 spora menghasilkan bobot basah tajuk, bobot basah, dan bobot kering akar serta total bobot basah dan bobot kering bibit kelapa sawit nyata lebih