Status gizi
Status gizi adalah kondisi pada tubuh yang dihasilkan dari pemanfaatan zat gizi pada makanan dan minuman yang dikonsumsi. Salah satu indikator untuk menentukan status gizi adalah IMT dengan membandingkan BB dengan TB. Status gizi berdasarkan IMT dan usia mulai merokok subjek ditampilkan pada Tabel 8. Terlihat pada Tabel 7 sebagian besar subjek (44.44%) memiliki status gizi overweight, masing-masing 11.11% subjek memiliki status gizi underweight dan obese, serta 33.33% subjek dengan status gizi normal.
Tabel 7 Sebaran status gizi subjek
Status gizi n % Sangat kurus 0 0 Underweight 1 11.11 Normal 3 33.33 Overweight 4 44.44 Obese 1 11.11 Total 9 100
Merokok diketahui berhubungan dengan status gizi. Khasanah (2013) membuktikan bahwa terdapat hubungan signifikan antara frekuensi merokok dengan status gizi. Dara et al. (2014) juga menyatakan bahwa jenis rokok, lama merokok, dan jumlah rokok yang dihisap berhubungan dengan status gizi. Subjek pada penelitian ini sebagian besar memiliki status gizi overweight. Hanya 1 orang subjek yang memiliki status gizi pada kategori underweight. Hal ini bertentangan dengan hasil penelitian Dara et al. (2014) dan Aginta (2012). Penelitian Aginta (2012) menemukan bahwa terdapat hubungan negatif antara merokok dengan status gizi, di mana artinya bahwa bila kebiasaan merokok semakin tinggi intensitasnya maka akan menurunkan status gizi atau membuat terjadinya
underweight bahkan gizi kurang. Diperkuat melalui hasil penelitian Dara et al.
(2014) yang menyebutkan bahwa sebanyak 50.5% subjek perokok yang menghisap rokok jenis filter memiliki status gizi pada kategori underweight. Hal
22
ini disebabkan nikotin pada rokok. Nikotin akan meningkatkan pengeluaran energi dan dapat menurunkan nafsu makan (Chiolero et al. 2008). Ini yang menyebabkan perokok biasanya memiliki berat badan yang lebih rendah dari orang yang tidak merokok.
Perbedaan hasil penelitian terdahulu dengan penelitian ini diduga disebabkan karena perbedaan umur subjek dan kategori perokok. Dara et al.
(2014) menggunakan subjek lansia usia 55-64 tahun dan Aginta (2012) menggunakan subjek remaja laki-laki usia 17-18 tahun. Remaja merupakan masa pertumbuhan dengan aktivitas tinggi (aktif) yang cenderung membutuhkan kalori yang tinggi. Menurunnya nafsu makan akibat rokok ditambah dengan aktivitas remaja yang tinggi diduga menjadi penyebab menurunnya status gizi perokok remaja. Dara et al. (2014) menyatakan bahwa pada lansia juga terjadi penurunan asupan gizi baik makro maupun mikro yang mempengaruhi status gizi lansia. Hal ini yang menyebabkan status gizi subjek lansia pada penelitian Dara et al. (2014) sebagian besar berada pada status gizi kurang. Kategori perokok pada penelitian ini juga berbeda dengan penelitian Dara et al. (2014) dan Aginta (2012). Subjek penelitian ini adalah perokok sedang, sedangkan pada penelitian Dara et al. (2014) dan Aginta (2012) masing-masing adalah perokok berat dan perokok ringan.
Usia mulai merokok
Diketahui bahwa usia mulai merokok dapat mempengaruhi status oksidatif dan profil lipid. Kebiasaan merokok yang dimulai saat usia remaja cenderung akan semakin meningkat dengan semakin bertambahnya usia (Gee 2005). Sebaran usia mulai merokok subjek disajikan pada Tabel 9.
Tabel 8 Sebaran usia mulai merokok subjek
Usia mulai merokok n %
16 tahun 2 22.22
17 tahun 4 44.44
18 tahun 3 33.33
Total 9 100
Tabel 9 menunjukkan bahwa terdapat subjek yang mulai merokok pada usia 16 tahun, 17 tahun, dan 18 tahun. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Adhayanti (2007) yang menyatakan bahwa 70% perokok di Indonesia mulai merokok sebelum usia 19 tahun. Kebiasaan merokok cenderung sulit dihentikan, terutama bila kebiasaan tersebut sudah berlangsung sejak remaja. Intensitas merokok dalam jangka waktu yang lama dapat meningkatkan kerusakan oksidatif, profil lipid dan berbagai risiko penyakit degeneratif (Kusano & Bucalen 2007).
Jenis rokok yang dihisap
Semua subjek menghisap jenis rokok yang sama yaitu rokok kretek dengan filter. Rokok berdasarkan bahan baku dibagi menjadi dua jenis, yaitu rokok putih dan rokok kretek. Rokok putih adalah rokok yang bahan baku atau isinya hanya daun tembakau yang diberi saus untuk mendapatkan efek rasa dan aroma tertentu. Rokok kretek adalah rokok yang bahan baku atau isinya berupa daun tembakau dan cengkeh yang diberi saus untuk mendapatkan efek rasa dan aroma tertentu (Sitepoe 2000a). Berdasarkan penggunaan filter rokok dibagi
23 menjadi dua yaitu rokok filter yang di bagian pangkalnya terdapat gabus, dan rokok non filter yang tidak memiliki gabus pada pangkalnya.
Konsumsi rokok di Indonesia (84.31%) didominasi oleh rokok kretek, baik berfilter maupun tanpa filter (Sitepoe 2000a). Rokok kretek mengandung sekitar 60%-70% tembakau dan 30% - 40% cengkeh. Tar, nikotin, dan karbon monoksida yang dikeluarkan dari rokok kretek dua kali lebih tinggi dibandingkan rokok putih (Sitepoe 2000b). Menurut hasil Survei Nielsen Retail Audit tahun 2013, 92% pasar rokok di Indonesia dikuasai oleh rokok kretek (Anonim 2014). Hasil ini sejalan dengan hasil penelitian Andi (2006) yang menyatakan bahwa 45% perokok di Bogor menyukai rokok kretek dengan filter. Hal ini diduga disebabkan karena citarasa, harga, dan lingkungan sosial tempat mereka tinggal maupun kerja mayoritas merokok dengan rokok jenis ini, sehingga mereka lebih memilih rokok ini daripada rokok jenis lain.
Asupan zat gizi dan tingkat kecukupan gizi
Asupan zat gizi yang diamati adalah lemak yang dapat mempengaruhi profil lipid, serta vitamin dan mineral yang dapat mempengaruhi TAC, yaitu vitamin A, vitamin B 12, folat, vitamin C, vitamin E, zat besi (Fe), dan seng (Zn). Rata-rata asupan zat gizi subjek sebelum dan selama intervensi teh putih dapat dilihat pada Tabel 9.
Tabel 9 Asupan zat gizi subjek sebelum dan selama intervensi teh putih Zat gizi
Rata-rata asupan zat gizi
Sebelum intervensi Selama intervensi
pa Rata-rata SD Rata-rata SD Lemak (g) 67.20 6.02 67.26 4.57 0.917 Vitamin A (µg) 288.28 99.28 288.65 97.65 0.776 folat (µg) 232.14 20.95 232.51 22.69 0.776 Vitamin B12 (µg) 2.55 0.32 2.56 0.31 0.155 Vitamin C (mg) 64.59 8.36 64.96 6.84 0.776 Vitamin E(mg) 10.70 1.18 10.95 3.95 0.838 Fe (mg) 7.92 0.43 7.93 0.40 0.468 Zn (mg) 8.30 0.56 8.33 0.58 0.130
Keterangan: SD=Standar Deviasi a
paired sample t-test antara sebelum dan selama intervensi
Tabel 9 menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang nyata (p>0.05) pada rata-rata asupan zat gizi subjek sebelum dan selama intervensi teh putih. Hal ini menunjukkan bahwa subjek mematuhi protokol penelitian yang ditetapkan, yaitu dengan tidak merubah konsumsi antara sebelum dan selama penelitian. Asupan zat gizi juga diamati sebelum dan selama intervensi teh hijau. Rata-rata asupan zat gizi sebelum dan selama intervensi teh hijau ditampilkan pada Tabel 10. Sama halnya dengan asupan sebelum dan selama intervensi teh putih, subjek juga tidak merubah konsumsinya saat intervensi teh hijau. Tabel 10 menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang nyata pada rata-rata asupan subjek sebelum dan selama intervensi teh hijau. Perubahan asupan subjek dapat mempengaruhi TAC dan profil lipid yang diukur.
24
Tabel 10 Asupan zat gizi subjek sebelum dan selama intervensi teh hijau Zat gizi
Rata-rata asupan zat gizi
Sebelum intervensi Selama intervensi
pa Rata-rata SD Rata-rata SD Lemak (g) 67.09 3.67 67.42 4.91 0.760 Vitamin A (µg) 285.40 79.76 286.79 77.52 0.349 folat (µg) 232.52 59.63 241.73 3.30 0.647 Vitamin B12 (µg) 2.56 0.33 2.63 0.30 0.266 Vitamin C (mg) 65.18 8.06 65.60 7.95 0.205 Vitamin E(mg) 10.54 1.03 10.63 0.97 0.149 Fe (mg) 7.92 0.31 7.95 0.33 0.158 Zn (mg) 8.28 0.63 8.29 0.64 0.543
Keterangan: SD=Standar Deviasi a
paired sample t-test antara sebelum dan selama intervensi
Tidak hanya memastikan subjek tidak merubah konsumsinya sebelum dan selama intervensi namun subjek juga tidak diperbolehkan merubah konsumsinya ketika intervensi teh putih dan intervensi teh hijau. Hal tersebut dianalisis melalui selisih perubahan (∆) konsumsi subjek antara sebelum dan selama intervensi pada masing-masing periode intervensi teh putih dan teh hijau. Selisih perubahan (∆)
tersebut dapat dilihat pada Tabel 11.
Tabel 11 Selisih perubahan asupan zat gizi subjek saat intervensi teh putih dan teh hijau
Zat gizi ∆ Rata-rata asupan zat gizi
pb
Intervensi teh putih Intervensi teh hijau
Lemak (g) 0.06 0.33 0.964 Vitamin A (µg) 0.37 1.39 0.947 folat (µg) 0.37 9.21 0.986 Vitamin B12 (µg) 0.01 0.07 0.944 Vitamin C (mg) 0.37 0.42 0.881 Vitamin E(mg) 0.25 0.09 0.760 Fe (mg) 0.01 0.03 1.000 Zn (mg) 0.03 0.01 0.938 Keterangan: b
independent sample t-test
Tabel 11 menunjukkan bahwa tidak banyak perubahan (∆ rata-rata) asupan zat gizi subjek pada periode intervensi teh putih dan teh hijau. Hal ini dibuktikan dengan hasil uji beda menggunakan independent sample t-test yang tidak berbeda nyata (p>0.05). Perbedaan asupan zat gizi subjek sebelum dan selama intervensi akan mempengaruhi validitas TAC dan profil lipid yang diukur. Asupan lemak dapat mempengaruhi profil lipid. Vitamin A dalam bentuk beta karoten dapat berperan sebagai antioksidan pada subjek perokok (Chopra et.al. 2000; Kelly 2002; Bashar & Mitra 2004). Vitamin C juga dapat berperan sebagai antioksidan dan dapat meminimalisir stres oksidatif akibat asap rokok (Kelly 2002; Dwifitri
1999). Vitamin E dalam bentuk α-tokoferol dapat berperan sebagai antioksidan untuk meminimalisir stres oksidatif pada perokok (Bashar & Mitra 2004). TAC juga dapat dipengaruhi dari konsumsi Zn dan Fe. Seng (Zn) merupakan kofaktor dari Superoxide Dismutase (SOD) yang merupakan salah satu biomarker status
25 oksidatif (Anbarasi et al. 2006). Perubahan yang terjadi pada profil lipid dan TAC subjek dapat dipastikan karena intervensi yang diberikan yaitu teh putih dan teh hijau dengan tidak adanya perubahan asupan zat gizi subjek.
Tingkat kecukupan zat gizi (lemak, vitamin A, vitamin B 12, folat, vitamin C, vitamin E, Fe, dan Zn) subjek sebelum dan selama intervensi teh putih dapat dilihat pada Tabel 12. Tingkat kecukupan lemak subjek sebelum dan selama intervensi teh putih termasuk pada kategori kategori cukup (<30% kecukupan energi). Tingkat kecukupan untuk zat gizi mikro juga termasuk pada kategori cukup (>77% AKG) kecuali untuk vitamin A, folat, dan fe.
Tabel 12 Tingkat kecukupan gizi subjek sebelum dan selama intervensi teh putih Zat gizi
Tingkat kecukupan gizi (%)
Sebelum Selama Kategori pa Rata-rata SD Rata-rata SD Lemak 26.03 3.97 26.05 3.68 cukup 0.913 Vitamin A 57.71 18.58 57.77 18.15 kurang 0.833 Folat 71.18 11.93 71.26 12.05 kurang 0.825 Vitamin B12 130.23 24.72 130.85 23.97 cukup 0.150 Vitamin C 88.26 17.90 88.64 16.27 cukup 0.830 Vitamin E 87.23 14.49 88.51 31.83 cukup 0.897 Fe 74.61 10.59 74.71 10.47 kurang 0.445 Zn 78.10 11.27 78.36 11.34 cukup 0.108
Keterangan: SD=Standar Deviasi
a
paired sample t-test antara sebelum dan selama intervensi
Tingkat kecukupan gizi subjek sebelum dan selama intervensi teh hijau juga dikumpulkan. Tingkat kecukupan gizi subjek sebelum dan selama intervensi teh hijau ditampilkan pada Tabel 13. Sama halnya dengan teh putih, tidak terdapat perbedaan yang nyata (p>0.05) pada tingkat kecukupan gizi subjek sebelum dan selama intervensi teh hijau dilakukan. Tingkat kecukupan lemak berada pada kategori cukup. Tingkat kecukupan zat gizi mikro subjek juga sama dengan tingkat kecukupan zat gizi mikro saat intervensi teh putih. Vitamin A, folat, dan Fe berada pada kategori kurang, dan vitamin B 12, vitamin C, vitamin E, dan Zn berada pada kategori cukup.
Tabel 13 Tingkat kecukupan gizi subjek sebelum dan selama intervensi teh hijau Zat gizi
Tingkat kecukupan gizi (%)
Sebelum Selama Kategori pa Rata-rata SD Rata-rata SD Lemak 25.93 3.05 26.11 3.70 cukup 0.894 Vitamin A 57.22 14.45 57.55 14.10 kurang 0.325 Folat 71.44 21.98 73.78 8.20 kurang 0.709 Vitamin B12 130.83 25.36 133.73 21.49 cukup 0.256 Vitamin C 89.00 17.41 89.54 17.18 cukup 0.244 Vitamin E 86.03 14.36 86.68 13.74 cukup 0.124 Fe 74.51 9.60 74.75 9.80 kurang 0.120 Zn 77.96 12.03 78.08 12.17 cukup 0.431
Keterangan: SD=Standar Deviasi
a
paired sample t-test antara sebelum dan selama intervensi
Selisih perubahan (∆) tingkat kecukupan gizi subjek pada intervensi teh putih dan teh hijau ditampilkan pada Tabel 14.
26
Tabel 14 Selisih perubahan tingkat kecukupan gizi subjek saat intervensi teh putih dan teh hijau
Zat gizi ∆ % kecukupan gizi
Kategori pb
Intervensi teh putih Intervensi teh hijau
Lemak 26.03 3.97 cukup 0.910 Vitamin A 57.71 18.58 kurang 0.507 Folat 71.18 11.93 kurang 0.715 Vitamin B12 130.23 24.72 cukup 0.357 Vitamin C 88.26 17.90 cukup 0.924 Vitamin E 87.23 14.49 cukup 0.949 Fe 74.61 10.59 kurang 0.451 Zn 78.10 11.27 cukup 0.502 Keterangan: b
independent sample t-test
Terlihat pada Tabel 14 bahwa tidak terdapat perbedaan yang nyata (p>0.05) pada tingkat kecukupan gizi subjek saat intervensi teh putih dan teh hijau dilakukan. Tingkat kecukupan vitamin A, folat, dan Fe masih berada pada kategori kurang. Tingkat kecukupan vitamin A, folat, dan fe yang termasuk pada kategori kurang diduga disebabkan karena kurangnya konsumsi sayuran dan buah-buahan, meskipun tingkat kecukupan zat gizi mikro yang lain termasuk dalam kategori cukup. Perokok cenderung memiliki konsumsi, terutama sayur dan buah yang lebih rendah dibandingkan non perokok (Dwifitri 1999), padahal perokok membutuhkan sayuran dan buah-buahan sumber antioksidan yang lebih banyak. Kecukupan sayuran dan buah-buahan subjek dapat terlihat dari asupan serat. Asupan serat subjek pada penelitian ini ditampilkan pada Tabel 15.
Tabel 15 Rata-rata asupan serat subjek sebelum dan selama intervensi
Rata-rata asupan serat (gram) Kategori
Teh putih
Sebelum intervensi 20.78 kurang
Selama intervensi 19.89 kurang
pa= 0.127 Teh hijau
Sebelum intervensi 21.05 kurang
Selama intervensi 20.88 kurang
pa=0.296 pb = 0.761
Keterangan: a
paired sample t-test antara sebelum dan selama intervensi b
independent sample t-test antara teh putih dan teh hijau
Terlihat pada Tabel 15 bahwa subjek rata-rata memiliki asupan serat yang termasuk pada kategori kurang baik sebelum maupun selama intervensi yaitu kurang dari 25 gram. Hasil analisis paired sample t-test menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang nyata (p>0.05) antara asupan serat subjek sebelum dan selama intervensi baik saat intervensi teh putih maupun teh hijau. Asupan serat juga tidak berubah bila dibandingkan antara intervensi teh putih dan teh hijau yang dibuktikan dari hasil analisis independent sample t-test yang tidak berbeda nyata (P>0.05)
27 Beberapa penelitian membuktikan konsumsi dan tingkat kecukupan zat gizi mikro perokok berada pada kategori kurang. Penelitian Rosiana (2012) menyatakan bahwa tingkat kecukupan vitamin C perokok termasuk pada kategori kurang. Kebutuhan vitamin C biasanya dipenuhi dari konsumsi suplemen (Dwifitri 1999). Sama dengan vitamin C kebutuhan vitamin E pada perokok meningkat. Perokok membutuhkan tambahan 110-125 mg vitamin E/ hari (Brown 2011), namun Bashar dan Mitra (2004) menyatakan bahwa konsumsi vitamin E perokok lebih sedikit dibandingkan non perokok dan berada pada kategori kurang. Tingkat kecukupan vitamin C dan vitamin E pada penelitian ini berbeda dengan hasil penelitian-penelitian tersebut. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tingkat kecukupan vitamin C dan vitamin E subjek berada pada kategori cukup. Perbedaan hasil penelitian ini dengan penelitian Dwifitri (1999) diduga disebabkan karena perbedaan jenis kelamin subjek. Penelitian Dwifitri (1999) menggunakan subjek perokok wanita sedangkan pada penelitian ini semua subjek adalah laki-laki. Konsumsi wanita cenderung lebih rendah dari laki-laki. Perbedaan hasil penelitian ini dengan penelitian Bashar dan Mitra (2004) diduga disebabkan karena perbedaan karakteristik subjek. Berbeda dengan penelitian ini, penelitian Bashar dan Mitra (2004) menggunakan subjek pasien rumah sakit dengan panyakit kardiovaskular yang mempunyai kebiasaan merokok.
Aktivitas fisik
Aktivitas fisik subjek sebelum dan selama intervensi dapat dilihat pada Tabel 16. Pengukuran aktivitas fisik dilakukan terhadap jenis aktivitas yang dilakukan subjek dan lama waktu melakukan aktivitas dalam sehari. Subjek diberikan kuisioner PAL dan mengisi sendiri dengan petunjuk dari peneliti.
Tabel 16 Nilai PAL sebelum dan selama intervensi No Subjek
Rata-rata nilai PAL Teh putih Rata-rata nilai PAL Teh hijau
Sebelum Intervensi Selama Intervensi Sebelum Intervensi Selama Intervensi 1 1.43 1.45 1.42 1.40 2 1.56 1.51 1.53 1.59 3 1.58 1.57 1.55 1.54 4 1.60 1.62 1.61 1.59 5 1.65 1.65 1.63 1.63 6 1.57 1.59 1.56 1.55 7 1.53 1.55 1.53 1.51 8 1.61 1.59 1.60 1.58 9 1.52 1.54 1.53 1.50 Rata-rata 1.56 1.56 1.55 1.54 SD 0.06 0.06 0.06 0.07 pa = 0.796 pa = 0.410 pb = 0.424
Keterangan: SD=Standar Deviasi a
paired sample t-test antara sebelum dan selama intervensi b
28
Aktivitas fisik subjek sebelum intervensi teh putih berada antara 1.43-1.65 dengan rata-rata 1.56. Hal ini berarti bahwa rata-rata aktivitas fisik subjek sebelum intervensi teh putih termasuk pada kategori ringan. Tidak terdapat perbedaan yang nyata (p>0.05) antara aktivitas subjek sebelum dan selama intervensi teh putih dilakukan, ditunjukkan dengan hasil analisis paired sample t-test. Sebelum intervensi teh hijau aktivitas fisik subjek juga berada pada kategori ringan dengan rata-rata 1.55. Aktivitas fisik subjek selama intervensi teh hijau berada antara 1.40-1.63 dengan rata-rata 1.54 yang juga masih termasuk pada kategori ringan. Hasil analisis paired sample t-test untuk PAL subjek sebelum dan selama intervensi teh hijau menunjukkan perbedaan yang tidak nyata dengan nilai p>0.05. Diketahui subjek tidak merubah aktivitas fisik nya saat intervensi teh putih dan teh hijau, hal ini ditunjukkan dari nilai p hasil analisis independent t-test
yang tidak berbeda nyata (p>0.05).
Subjek penelitian ini terpusat di satu lokasi selama intervensi yaitu di Puslit Karet Bogor, di mana semua subjek merupakan pegawai di kantor tersebut. Pemilihan lokasi secara purposive dilakukan bukan hanya karena alasan kemudahan akses, namun juga untuk memastikan homogenitas aktivitas subjek. Semua subjek punya jam kerja dan hari kerja yang sama yaitu mulai pukul 07.30-16.15 WIB setiap Senin-Jumat. Intervensi untuk penelitian ini dilakukan pada hari kerja (Senin-Jumat) pukul 08.00, 12.00, dan 16.00 WIB. Hal ini yang menyebabkan aktivitas subjek berada pada kategori yang sama yaitu kategori ringan dan memang subjek dilarang merubah aktivitas fisiknya sebelum dan selama intevensi berlangsung.
Data aktivitas fisik juga dikumpulkan pada penelitian ini karena aktivitas fisik dapat mempengaruhi status oksidatif. Menurut Cooper (2000) radikal bebas dapat terbentuk dari konsumsi oksigen. Sebanyak 5 % dari konsumsi oksigen akan membentuk radikal bebas yang akan dinetralisir oleh antioksidan di dalam tubuh. Aktivitas fisik yang berat dan melelahkan akan membuat konsumsi oksigen meningkat melebihi 5 %, sehingga jumlah radikal bebas juga meningkat. Jumlah radikal bebas akan meningkat melebihi kapasitas sistem pertahanan antioksidan dalam tubuh. Ketidakseimbangan ini dapat menyebabkan terjadinya stres oksidatif. Aktivitas fisik yang berat ditambah dengan radikal bebas dari asap rokok dapat semakin menurunkan status oksidatif pada subjek.
Konsumsi rokok
Rata-rata konsumsi rokok subjek sebelum dan selama intervensi dapat dilihat pada Tabel 17. Jumlah konsumsi rokok pada penelitian ini dikumpulkan bersamaan dengan data konsumsi baik sebelum maupun selama intervensi. Rata-rata jumlah rokok yang dihisap subjek baik sebelum maupun selama intervensi teh putih dan teh hijau adalah 14 batang/hari. Perokok yang menjadi subjek penelitian ini merupakan perokok aktif dan termasuk kategori perokok sedang (merokok 11-21 batang/hari). Menurut Sitepoe (2000b) perokok aktif adalah seseorang yang menghisap asap rokok yang berasal dari isapan dirinya sendiri. Intensitas merokok signifikan meningkatkan kerusakan oksidatif (Block et al. 2002). Semakin banyak jumlah rokok yang dihisap maka semakin tinggi kerusakan oksidatif. Hasil analisis dengan menggunakan paired sample t-test
menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang nyata (p>0.05) pada rata-rata jumlah rokok yang dikonsumsi subjek antara sebelum dengan selama intervensi
29 baik teh putih maupun teh hijau. Diketahui juga bahwa subjek tidak merubah konsumsi rokoknya saat intervensi teh putih maupun teh hijau ditunjukkan dari hasil analisis independent sample t-test yang tidak berbeda nyata (p>0.05). Hasil pada Tabel 17 menunjukkan bahwa subjek tidak merubah aktivitas merokoknya. Perubahan konsumsi rokok subjek sebelum dan selama intervensi dapat mempengaruhi validitas dari nilai TAC dan profil lipid yang diukur.
Tabel 17 Rata-rata konsumsi rokok subjek (batang) sebelum dan selama intervensi No Subjek
Rata-rata konsumi rokok saat intervensi teh putih
Rata-rata konsumi rokok saat intervensi teh hijau Sebelum Intervensi Selama Intervensi Sebelum Intervensi Selama Intervensi 1 14 15 14 13 2 15 15 14 13 3 15 16 15 16 4 13 12 13 13 5 14 15 16 14 6 13 12 14 13 7 12 13 14 13 8 12 14 13 12 9 16 16 14 15 Rata-rata 13.78 14.22 14.11 13.56 SD 1.39 1.56 0.93 1.24 pa = 0.225 pa =0.139 pb =0.053
Keterangan: SD=Standar Deviasi a
paired sample t-test antara sebelum dan selama intervensi b
independent sample t-testperubahan (∆) konsumsi rokok antara teh putih dan teh hijau
Kepatuhan minum teh
Kepatuhan minum teh subjek disajikan pada Tabel teh subjek baik untuk teh putih dan teh hijau dapat dilihat pada Tabel 18. Kepatuhan subjek dilihat dari jumlah sisa teh. Sisa teh diamati setiap hari. Seperti yang telah dijelaskan di metode, bahwa intervensi dilakukan setiap hari kerja pada pukul 08.00; 12.00; dan 16.00. Masing-masing gelas teh subjek akan didistribusikan pada jam tersebut ke ruang kerja subjek. Pendistribusian dilakukan oleh peneliti dibantu oleh pegawai dapur (office boy) di kantor tersebut. Gelas teh subjek setelah intervensi dikumpulkan di pantry dan kemudian diukur serta dicatat sisanya. Terlihat pada Tabel 18 bahwa persentase kepatuhan minum teh putih lebih besar dibandingkan teh hijau.
Hasil analisis independent sample t-test menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang nyata (p>0.05) antara persentase kepatuhan minum teh putih dan teh hijau. Perbedaan kepatuhan minum teh subjek dapat mempengaruhi jumlah teh yang diminum dan dapat menjadi faktor perancu pada TAC dan profil lipid yang diukur antara teh putih dan teh hijau, namun, dengan tidak adanya perbedaan yang nyata pada sisa teh subjek diharapkan hal tersebut tidak terlalu mempegaruhi hasil pengukuran TAC dan profil lipid subjek. Kepatuhan minum teh hijau pada
30
penelitian ini adalah 97.50 %. Persentase kepatuhan ini lebih besar dibandingkan penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Khosravi et al. (2014). Persentase kepatuhan minum teh hijau pada penelitian Khosravi et al. (2014) adalah 91%.
Tabel 18 Persentase (%) kepatuhan minum teh subjek
No subjek Teh putih Teh hijau
1 99.00 98.75 2 98.00 97.50 3 98.75 97.50 4 97.50 95.00 5 95.00 97.50 6 97.50 97.75 7 98.00 97.75 8 97.50 96.75 9 97.75 99.00 Rata-rata 97.67 97.50 SD 1.14 1.16 pb = 0.918
Keterangan: SD=Standar Deviasi
b
independent sample t-test antara teh putih dan teh hijau
Kepatuhan minum teh hijau lebih rendah daripada teh putih diduga disebabkan rasa teh hijau yang lebih pahit dibandingkan teh putih. Teh hijau diolah tanpa mengalami oksidasi. Pucuk teh diproses langsung dengan uap panas (steam) atau digoreng (pan frying) untuk menghentikan aktivitas enzim, sehingga warna hijau tetap bertahan dan kandungan taninnya relatif tinggi. Tanin berperan membentuk rasa sepat dan pahit pada teh. Tanin pada teh hijau (1.44%) terbukti lebih tinggi dibandingkan teh hitam (0.99%) (Diniatik et al. 2007), namun belum ada cukup bukti mengenai kadar tanin pada teh putih.
Pengaruh intervensi teh putih dan teh hijau terhadap status oksidatif
Tidak dilaporkan adanya keluhan atau efek samping yang berbahaya pada subjek terkait intervensi. Status oksidatif menggambarkan keadaan antioksidan di dalam tubuh termasuk di dalam plasma darah. Status oksidatif pada penelitian ini diukur menggunakan biomarker TAC. TAC merupakan jumlah dari beberapa antioksidan berbeda baik dari pangan yang dikonsumsi (eksogen), maupun antioksidan endogen (Collins 2005). TAC efektif untuk mengukur antioksidan jenis fenol, seperti yang terdapat pada teh (Prior et al. 2005). Hasil analisis TAC subjek sebelum dan setelah intervensi teh putih dan teh hijau disajikan pada Gambar 10.