• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Teh Putih Dibandingkan dengan Teh Hijau terhadap Status Oksidatif dan Profil Lipid Perokok

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengaruh Teh Putih Dibandingkan dengan Teh Hijau terhadap Status Oksidatif dan Profil Lipid Perokok"

Copied!
78
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH TEH PUTIH DIBANDINGKAN DENGAN TEH

HIJAU TERHADAP STATUS OKSIDATIF DAN PROFIL

LIPID PEROKOK

ROSYANNE KUSHARGINA

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Pengaruh Teh Putih Dibandingkan dengan Teh Hijau terhadap Status Oksidatif dan Profil Lipid Perokok adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Agustus 2015

Rosyanne Kushargina

(4)

RINGKASAN

ROSYANNE KUSHARGINA. Pengaruh Teh Putih Dibandingkan dengan Teh Hijau terhadap Status Oksidatif dan Profil Lipid Perokok. Dibimbing oleh RIMBAWAN dan BUDI SETIAWAN.

Telah diketahui bahwa merokok baik jangka panjang maupun jangka pendek signifikan meningkatkan kerusakan oksidatif. Merokok mempercepat pembekuan darah yang merupakan salah satu faktor penyebab aterosklerosis yang memicu penyakit jantung. Dilaporkan bahwa trigliserida (TG), total kolesterol (TC), dan Low Density Lipoprotein- Cholesterol (LDL-C) perokok lebih tinggi dari bukan perokok. Efek negatif tersebut belum mampu meredam aktivitas merokok. Data Riskesdas menunjukkan bahwa jumlah perokok dan jumlah rokok yang dihisap dari tahun ke tahun cenderung semakin meningkat. Salah satu upaya mengatasi radikal bebas dari asap rokok dan penyakit degeneratif yang dapat timbul akibat merokok adalah dengan fitoterapi menggunakan teh. Jenis teh yang umumnya dikenal masyarakat adalah teh hitam, teh hijau, dan teh oolong. Saat ini teh putih juga sudah mulai diperkenalkan pada masyarakat meskipun belum sepopuler jenis teh lainnya. Penelitian mengenai teh putih masih terbatas, khususnya mengenai pengaruh teh putih terhadap profil lipid dan stres oksidatif pada perokok.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh teh putih dibandingkan dengan teh hijau terhadap status oksidatif dan profil lipid perokok. Tujuan khusus antara lain, mengetahui status gizi, usia mulai merokok, dan jenis rokok; mengetahui asupan zat gizi, tingkat kecukupan gizi, serta aktivitas fisik perokok sebelum dan selama intervensi; menganalisis pengaruh pemberian teh putih dibandingkan dengan teh hijau terhadap status oksidatif perokok dan; menganalisis pengaruh pemberian teh putih dibandingkan dengan teh hijau terhadap profil lipid perokok. Desain penelitian yang digunakan adalah paired sample clinical trials dengan 9 orang subjek dengan kriteria inklusi antara lain: laki-laki, usia 30-45 tahun, perokok kategori sedang (11-21 batang/hari), sudah merokok minimal 6 bulan, dan mengalami dislipidemia ringan. Kriteria eksklusi antara lain: tidak bersedia menjadi subjek, tidak suka teh, mengonsumsi obat-obatan yang dapat mempengaruhi profil lipid, minum minuman beralkohol, dan mengonsumsi suplemen (cairan/padatan). Penelitian berlangsung pada dua periode, pada periode pertama semua subjek mendapatkan intervensi teh putih 3x 200 ml/hari dan pada periode kedua semua subjek mendapatkan intervensi teh hijau 3x200 ml/hari. Masing-masing periode berlangsung selama 28 hari dengan periode wash out 14 hari. Profil lipid dan Total Antioxidant Capacity (TAC) dianalisis menggunakan serum darah subjek sebelum dan setelah intervensi pada masing-masing periode teh putih dan teh hijau di laboratorium terakreditasi.

Sebagian besar subjek memiliki status gizi overweight (44.44%), mulai merokok pada usia 17 tahun (44.44%) dan semua merokok dengan rokok kretek berfilter. Tidak ada perubahan asupan zat gizi, jumlah rokok yang dihisap dan aktivitas fisik subjek sebelum dan selama intervensi dilakukan (p>0.05). Terjadi peningkatan rata-rata TAC subjek yang signifikan (p<0.05) yaitu 0.25 m mol/L

(5)

Pengaruh teh putih pada perubahan TAC signifikan lebih besar (p<0.05) dibandingkan teh hijau (∆=0.09 m mol/L). Sama dengan TAC terjadi perubahan positif pada profil lipid subjek setelah diberi intervensi teh putih dan teh hijau. Terjadi penurunan yang signifikan (p<0.05) pada TG dan LDL-C, yaitu masing-masing 35 mg/dl (∆) dan 41 mg/dl (∆) setelah intervensi teh putih. Berbeda dengan teh putih, pada teh hijau terjadi penurunan yang signifikan hanya untuk LDL-C yaitu sebesar 34 mg/dl (∆). Pengaruh teh putih pada perubahan (∆) TG dan LDL-C signifikan (p<0.05) lebih besar dibandingkan teh hijau (∆ TG = 29

mg/dl; ∆ LDL-C=9 mg/dl).

Melalui penelitian ini terlihat bahwa teh putih dan teh hijau berdampak positif pada status oksidatif dan profil lipid perokok. Terlihat juga bahwa efek tersebut hanya bersifat sementara, bila konsumsi teh dihentikan maka status oksidatif dan profil lipid akan kembali ke kondisi semula. Perokok disarankan untuk mengonsumsi teh putih atau teh hijau secara terus menerus bila ingin tetap mendapatkan efek positif pada status oksidatif dan profil lipid.

(6)

SUMMARY

ROSYANNE KUSHARGINA. The Effects of White Tea Compared with Green Tea on Smoker’s Oxidative Status and Lipids Profile. Supervised by RIMBAWAN dan BUDI SETIAWAN.

Smoking long-term and short-term has been known significantly increase oxidative damage. Smoking accelerates blood clotting which is one of the factors causing atherosclerosis which leads to heart disease. Triglyceride (TG), total cholesterol (TC), and Low Density Lipoprotein- Cholesterol (LDL-C) of smokers were higher than non-smokers. These negative effects has not able to reduced smoking activity. The datas of National Basic Health Research from Ministry of Health showed that the number of smokers and the number of cigarettes rised continually. Phytoteraphy with tea can be used to minimalized these negative effects. There are many types of tea that generally known in public is black tea, green tea and oolong tea. Nowdays white tea have been introduced to the public despite not popular as other types of tea. Research on the white tea was still limited, especially about the effect of white tea on oxidative stress and lipids profile in smokers.

The main objective of this study was to determine the effect of white tea compared with green tea on smoker’s oxidative status and lipids profile. There were four specific aims: to determine nutritional status, the age started smoking, and cigarrette type of the subjects; to determine consumption, level of nutritional adequacy, and physical activity of subjects before and during the intervention; to analyze the effect of white tea compared with green tea on oxidative status of subject and; to analyze the effect of white tea compared with green tea on lipids profile of subjects. This study used paired sample clinical trials design with 9 subjects with inclusion criteri: male, age 30-45 year, medium smokers (11-21 cigarettes/day), had smoked at least for 6 months, and mild dyslipidemia. The Exclusion criteria were not taking tea, taking drugs that may affect lipids profile, drinking alcoholic beverages and supplements. Subjects were asked to drink tea in 2 period of times. Firstly, all subjects were asked to drink 3x200 ml white tea/day for 28 days. Secondly, treatment started after 14 days washout period, and they were asked to drink 3x200 ml of green tea/day for 28 days. Lipids profile and Total Antioxidant Capacity (TAC) were analyzed using blood serum subjects before and after the intervention in each period of white tea and green tea in an accredited clinical laboratory.

Most subjects had overweight nutritional status (44.44 %), started smoking at 17 year-old (44.44 %) and all subjects smoked clove filtered cigarettes. There was no significant difference (p> 0.05) in nutrients intake, number of cigarettes smoked and the physical activity of subjects before and

during the intervention. TAC subjects significantly increase 0.25 m mol/L (∆) after intervention of white tea and 0.16 m mol/L (∆) after intervention of green tea (p <0.05). The effect of white tea on increasing TAC significantly higher (p

<0.05) than green tea (∆=0.09 m mol/L). White tea and green tea have been observed to have positive impact on subject’s lipids profile. White tea intervention

(7)

tea on TG and LDL-C significantly (p> 0.05) greater than green tea (∆ TG = 29

mg/dl; ∆ LDL-C=9 mg/dl).

The white tea and green tea had a temporarily positive impact on oxidative status and lipids profile of smokers, when tea consumption stopped the oxidative status and lipids profile returned to the previous conditions. There for smokers are advised to consume white tea or green tea continuously to sustain these positive impact.

(8)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(9)

PENGARUH TEH PUTIH DIBANDINGKAN DENGAN TEH

HIJAU TERHADAP STATUS OKSIDATIF DAN PROFIL

LIPID PEROKOK

ROSYANNE KUSHARGINA

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Ilmu Gizi Masyarakat

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(10)
(11)
(12)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini. Berkenaan dengan tersusunnya tesis ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Dr Drs Rimbawan selaku ketua komisi pembimbing.

2. Dr Ir Budi Setiawan, MS selaku anggota komisi pembimbing.

3. Prof Dr Ir Dodik Briawan, MCN selaku dosen penguji sekaligus Ketua Program Studi Pascasarjana Ilmu Gizi Masyarakat

4. Direktur Pusat Penelitian Karet Bogor, yang telah mengizinkan menggunakan sebagian pegawai untuk menjadi subjek dan memperbolehkan pelaksanaan intervensi di kantor tersebut.

5. Pegawai Pusat Penelitian Karet Bogor yang telah bersedia menjadi subjek pada penelitian ini.

6. Kedua orang tua, Dr Kuswanhadi, MS DEA (Ayah) dan Ir Mudji Lasminingsih, MS (Ibu) yang memberikan doa dan dukungan baik secara moral maupun material.

7. Rosanna Kushargita, Rosenni Kushargena, dan Rosika Kusharfinna (saudara dan adik) yang telah bersedia mendampingi, memberikan doa, dan dukungan selama penyelesaian tesis ini.

8. Teman-teman Pascasarjana Gizi Masyarakat IPB angkatan 2013 atas doa, dukungan, semangatnya.

9. Pihak-pihak lain yang telah banyak memberi dorongan dan masukan dalam penulisan tesis ini.

Diharapkan tesis ini dapat bermanfaat bagi seluruh pihak yang berkepentingan khususnya bagi perkembangan ilmu pengetahuan.

(13)

i

DAFTAR ISI

DAFTAR GAMBAR ii

DAFTAR TABEL ii

DAFTAR LAMPIRAN ii

1 PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 2

Tujuan Penelitian 3

Tujuan Umum 3

Tujuan Khusus 3

Manfaat Penelitian 3

Hipotesis 4

2 KERANGKA PEMIKIRAN 4

3 TINJAUAN PUSTAKA 5

Teh putih dan teh hijau 5

Rokok 10

Antioksidan 11

Kapasitas antioksidan total 12

4 METODE PENELITIAN 12

Desain, waktu, dan tempat 12

Bahan dan alat 12

Jumlah dan cara pengambilan subjek 15

Jenis dan teknik pengumpulan data 17

Status gizi, usia mulai merokok, dan jenis rokok 17 Asupan makanan sebelum dan selama intervensi 17

Aktivitas fisik 17

Pengambilan darah pre dan post-intervensi 17

Pengukuran status oksidatif dengan TAC 17

Profil lipid plasma 17

Pengolahan dan analisis data 18

Status gizi 18

Asupan 18

Aktifitas fisik 19

TAC dan profil lipid 20

Analisis data 20

4 DEFINISI OPERASIONAL 20

5 HASIL DAN PEMBAHASAN 21

Status gizi 21

Usia mulai merokok 22

Jenis rokok yang dihisap 22

Asupan zat gizi dan tingkat kecukupan gizi 23

Aktivitas fisik 27

Konsumsi rokok 28

Kepatuhan minum teh 29

Pengaruh intervensi teh putih dan teh hijau terhadap status oksidatif 30 Pengaruh intervensi teh putih dan teh hijau terhadap profil lipid 34

(14)

ii

Simpulan 39

Saran 40

DAFTAR PUSTAKA 40

LAMPIRAN 47

RIWAYAT HIDUP 62

DAFTAR GAMBAR

1 Kerangka pemikiran 5

2 Proses pengolahan berbagai jenis teh 6

3 Bagian-bagian daun yang digunakan untuk pembuatan teh 6 4 Peko segar (A), peko yang telah dikeringkan/teh putih (B), dan teh hijau

(C) 7

5 Hasil analisis polifenol teh putih, teh hijau, dan teh hitam dengan HPLC 9

6 Bahan-bahan berbahaya pada rokok 11

7 Prosedur persiapan minuman teh putih dan teh hijau 13 8 Warna air seduhan teh hijau (A) dan teh putih (B) 14

9 Tahapan penelitian 16

10 Perubahan TAC 31

11 Rata-rata profil lipid subjek sebelum dan setelah intervensi teh putih 34 12 Profil lipid subjek sebelum dan setelah diberikan intervensi teh hijau 37 13 Selisih perubahan profil lipid subjek setelah intervensi 38

DAFTAR TABEL

1 Berbagai manfaat teh putih (Dias et al. 2013) 8 2 Kandungan katekin pada bagian-bagian tanaman teh 9

3 Kategori status gizi berdasarkan IMT 18

4 Kategori tingkat kecukupan lemak, vitamin, mineral, dan serat 19 5 Kategori tingkat aktivitas fisik berdasarkan nilai PAL 20

6 Kategori profil lipid 20

7 Sebaran status gizi subjek 21

8 Sebaran usia mulai merokok subjek 22

9 Asupan zat gizi subjek sebelum dan selama intervensi teh putih 23 10 Asupan zat gizi subjek sebelum dan selama intervensi teh hijau 24 11 Selisih perubahan asupan zat gizi subjek saat intervensi teh putih dan

teh hijau 24

12 Tingkat kecukupan gizi subjek sebelum dan selama intervensi teh putih 25 13 Tingkat kecukupan gizi subjek sebelum dan selama intervensi teh hijau 25 14 Selisih perubahan tingkat kecukupan gizi subjek saat intervensi teh

putih dan teh hijau 26

15 Rata-rata asupan serat subjek sebelum dan selama intervensi 26

16 Nilai PAL sebelum dan selama intervensi 27

17 Rata-rata konsumsi rokok subjek (batang) sebelum dan selama

intervensi 29

18 Persentase (%) kepatuhan minum teh subjek 30

19 Sebaran nilai TAC subjek berdasarkan IMT 34

(15)

iii

DAFTAR LAMPIRAN

1 Studi sebelumnya terkait status oksidatif dan profil lipid yang pernah

dilakukan menggunakan teh hijau 47

2 Ethical clearence 49

3 Prosedur Analisis TAC (Miller et al. 1993/Randox Ltd) 50

4 Prosedur analisis profil lipid plasma 52

5 Nilai PAR (Physical Activity Rate) untuk berbagai aktivitas pada

laki-laki (WHO 2003) 53

6 Asupan zat gizi subjek sebelum intervensi teh putih 54 7 Asupan zat gizi subjek sebelum intervensi teh hijau 54 8 Asupan zat gizi subjek selama intervensi teh putih 55 9 Asupan zat gizi subjek selama intervensi teh hijau 55 10 Tingkat kecukupan gizi subjek sebelum intervensi teh putih 56 11 Tingkat kecukupan gizi subjek selama intervensi teh putih 56 12 Tingkat kecukupan gizi subjek sebelum intervensi teh hijau 57 13 Tingkat kecukupan gizi subjek selama intervensi teh hijau 57 14 Hasil analisis TAC subjek sebelum dan setelah intervensi teh putih dan

teh hijau 58

15 Hasil analisis profil lipid subjek sebelum dan setelah intervensi teh

putih 58

16 Hasil analisis profil lipid subjek sebelum dan setelah intervensi teh

hijau 59

17 Hasil analisis paired sample t-test 59

(16)
(17)

1

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang

Tidak hanya konsumsi, gaya hidup juga dapat mempengaruhi status gizi secara tidak langsung (Aryani et al. 2010). Perilaku makan termasuk kebiasaan hidup tidak sehat akan berdampak pada status gizi (Brown 2011). Salah satu kebiasaan yang tidak sehat adalah kebiasaan merokok. Merokok jangka panjang maupun jangka pendek signifikan meningkatkan kerusakan oksidatif (Diken et al.

2000). Setiap hembusan rokok mengandung 1014 radikal bebas, 8-20 mg nikotin, dan 800 ppm nitrogen oksida yang dapat bereaksi dengan peroksida sel radang membentuk radikal bebas (Marangon et al. 1998). Hal inilah yang menyebabkan kerusakan oksidatif. Akibatnya sistem imun bekerja lebih keras (Dietrich et al.

2002).

Kerusakan oksidatif pada pembuluh darah dan jaringan jantung berkaitan dengan peningkatan risiko penyakit jantung (Dias et al. 2013). Sitepoe (2000b) menyatakan bahwa perokok memiliki risiko 2-3 kali lebih tinggi terkena penyakit jantung dibandingkan non perokok. Merokok mempercepat pembekuan darah yang merupakan salah satu faktor penyebab aterosklerosis yang memicu penyakit jantung. Gupta et al. (2006) menyatakan bahwa trigliserida (TG), total kolesterol (TC), dan Low Density Lipoprotein-Cholesterol (LDL-C) perokok lebih tinggi dari non perokok. Peningkatan tersebut disebabkan karena efek dari nikotin. Nikotin pada rokok menyebabkan oksidasi pada LDL-C. Chattopadhyay dan Chattopadhyay (2007) membuktikan bahwa terjadi peningkatan TG, TC, dan LDL-C pada tikus yang diberi intervensi nikotin 3.5 mg/kg/bb selama 15 hari. Nikotin bersifat toksik pada jaringan syaraf. Peningkatan TG, TC, dan LDL-C dapat memicu aterosklerosis dan meningkatkan risiko penyakit jantung. Merokok juga dapat memicu penyakit Diabetes Melitus (DM). Nikotin pada asap rokok akan menurunkan sensitivitas insulin (Ebersbach et al. 2013).

Efek-efek negatif tersebut ternyata belum mampu meredam aktivitas merokok. Jumlah perokok dari tahun ke tahun cenderung semakin meningkat. Prevalensi penduduk laki-laki usia lebih dari 10 tahun yang merokok setiap hari adalah 23.7% (Depkes 2008). Tahun 2010 prevalensi penduduk laki-laki usia lebih dari 15 tahun yang merokok setiap hari adalah 28.2% (Depkes 2010). Jumlah ini meningkat lagi pada tahun 2013. Prevalensi penduduk laki-laki usia lebih dari 10 tahun yang merokok setiap hari adalah 29.8% (Depkes 2013). Peningkatan jumlah perokok juga diikuti dengan meningkatnya rata-rata rokok yang dihisap. Tahun 2010, rata-rata konsumsi rokok adalah 10 batang/hari (Depkes 2010). Jumlah ini meningkat pada tahun 2013 menjadi 12.3 batang/hari (Depkes 2013). Terkait penyakit jantung, Data Riskesdas 2013 juga menyatakan bahwa terjadi peningkatan prevalensi penyakit tersebut. Prevalensi penyakit jantung meningkat dari 0.9% pada tahun 2007 menjadi 1.5% di tahun 2013 (Depkes 2013). Meningkatnya jumlah perokok diikuti dengan meningkatnya prevalensi penyakit jantung dapat memicu meningkatnya risiko penyakit degeneratif yang lain hingga terjadinya sindrom metabolik.

(18)

2

fitoterapi. Fitoterapi atau terapi menggunakan tumbuhan sudah lama dikenal, terutama di Indonesia yang memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi. Salah satu yang dapat digunakan untuk fitoterapi adalah teh. Teh merupakan minuman yang berasal dari ekstrak daun teh (Camellia sinensis) yang mampu menstimulus saraf dan memberikan efek menyegarkan. Jenis teh yang umumnya dikenal masyarakat adalah teh hitam, teh hijau, dan teh oolong. Sekitar tahun 2000-an teh putih sudah mulai diperkenalkan meskipun belum sepopuler jenis teh lainnya. Almajano et al.(2008) menyatakan bahwa rasa teh putih lebih diterima di Eropa dibandingkan teh hijau ketika pertama kali diperkenalkan, karena rasa nya yang cenderung ringan dan tidak terlalu pahit.

Manfaat teh yang berdampak positif pada kesehatan terkait dengan kandungan polifenol yaitu katekin dan turunannya (Firenzuoli et al. 2004). Polifenol utama dalam teh antara lain epicatechin (EC), epigallocatechin (EGC),

epicatechin 3-gallate (ECG), dan epigallocatechin 3-gallate (EGCG) (De Mejia et al. 2009). Beberapa penelitian terkait dengan teh hijau pada perokok telah dilakukan. Lee et al. (1997) membuktikan bahwa terjadi penurunan kerusakan oksidatif yang dilihat dari penurunan nilai Sister-Chromatid Exchange (SCE) sebesar 1.52 pada perokok asia yang mengkonsumsi teh hijau 3 gelas/hari. Intervensi teh hijau sebanyak 900 ml/hari dilaporkan menurunkan TC, TG, dan LDL perokok masing-masing 3%, 7%, dan 3% setelah pemberian selama 2 minggu (Princen et al. 1998). Penelitian mengenai teh putih masih terbatas, khususnya mengenai pengaruh teh putih terhadap profil lipid dan stres oksidatif pada perokok. Penelitian terdahulu lebih banyak menggunakan teh hijau, maka peneliti tertarik untuk meneliti mengenai pengaruh teh putih dibandingkan dengan teh hijau terhadap status oksidatif dan profil lipid perokok.

Perumusan Masalah

Teh adalah minuman yang populer di dunia. Teh memiliki aroma kuat, rasa yang enak, dan memiliki manfaat untuk meningkatkan kesehatan. Hal ini lah yang membuat teh menjadi minuman populer di dunia. Terdapat beberapa jenis teh. Jenis teh menurut Dias et al. (2013) dapat diklasifikasikan berdasarkan proses pembuatan serta karakteristik kualitasnya menjadi empat jenis antara lain teh putih, teh hijau, teh oolong, dan teh hitam. Teh yang diberikan kepada subjek pada penelitian ini adalah teh putih dan teh hijau. Teh putih memiliki kandungan katekin yang paling tinggi dibandingkan jenis teh yang lain termasuk teh hijau. Selama fermentasi dan oksidasi, katekin berubah atau hilang sehingga jumlahnya menjadi semakin rendah pada teh hitam. Penurunan katekin selama fermentasi disebabkan karena terjadinya proses oksidasi yang merubah senyawa tersebut menjadi senyawa teaflavin dan tearubigin (Fulder 2004).

(19)

3 Peoni adalah teh putih yang dibuat dari campuran peko dengan pucuk daun pertama, sedangkan silver needle benar-benar dibuat hanya dari peko saja (PPTK 2006).

Saat ini teh putih belum sepopuler teh hijau. Terkait teh hijau Dias et al.

(2013) dalam reviewnya menyatakan bahwa beberapa studi telah memperlihatkan manfaat teh hijau pada penyakit kardiovaskular, obesitas dan DM tipe 2. Katekin pada teh hijau dapat menurunkan penyerapan kolesterol di usus dan meningkatkan ekskresi kolesterol dan total lipid melalui feses. Katekin terutama EGCG pada teh hijau dapat berperan sebagai antioksidan yang dapat menurunkan stres oksidatif. Memang belum ada bukti mengenai efek dari teh putih, namun diduga dengan tingginya katekin dan polifenol lain pada teh putih dibandingkan teh hijau (Hilal & Engelhardt 2007), teh putih dapat berdampak positif pada stres oksidatif, serta TC, TG dan LDL-C. Masih sedikit penelitian di Indonesia yang membahas mengenai manfaat teh, terutama teh putih terhadap profil lipid dan stres oksidatif. Jumlah perokok terus meningkat. Jenis dan intensitas merokok diketahui berpengaruh terhadap status oksidatif dan profil lipid. Status gizi, konsumsi pangan, dan aktivitas fisik juga dapat mempengaruhi status oksidatif dan profil lipid. Oleh karena itu, penelitian ini ingin mengetahui mengenai,

1. Status gizi perokok, usia mulai merokok, dan jenis rokok.

2. Bagaimana asupan zat gizi, tingkat kecukupan gizi, dan aktivitas fisik perokok sebelum dan selama intervensi?

3. Bagaimana pengaruh pemberian teh putih dibandingkan dengan teh hijau terhadap status oksidatif perokok?

4. Bagaimana pengaruh pemberian teh putih dibandingkan dengan teh hijau terhadap profil lipid perokok?

Tujuan Penelitian

Tujuan Umum

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh teh putih dibandingkan dengan teh hijau terhadap status oksidatif dan profil lipid perokok

Tujuan Khusus

1. Mengetahui status gizi perokok, usia mulai merokok, dan jenis rokok 2. Mengetahui asupan zat gizi, tingkat kecukupan gizi, dan aktivitas fisik

perokok sebelum dan selama intervensi.

3. Menganalisis pengaruh pemberian teh putih dibandingkan dengan teh hijau terhadap status oksidatif perokok.

4. Menganalisis pengaruh pemberian teh putih dibandingkan dengan teh hijau terhadap profil lipid perokok.

Manfaat Penelitian

(20)

4

pada kesehatan. Tidak hanya untuk perokok, konsumsi teh putih dan teh hijau juga dapat bermanfaat untuk menjaga dan meningkatkan kesehatan.

Hipotesis

1. Peningkatan status oksidatif subjek yang mendapatkan intervensi teh putih lebih besar daripada subjek yang mendapatkan intervensi teh hijau.

2. Penurunan TG, TC, dan LDL-C, serta peningkatan HDL-C subjek yang mendapatkan intervensi teh putih lebih besar daripada subjek yang mendapatkan intervensi teh hijau.

2 KERANGKA PEMIKIRAN

Kerangka pemikiran pada Gambar 1 menunjukkan beberapa faktor yang dapat mempengaruhi status oksidatif. Status oksidatif pada penelitian ini menggunakan biomarker Total Antioxidant Capacity (TAC). Merokok jangka panjang maupun jangka pendek signifikan meningkatkan kerusakan oksidatif. Kerusakan oksidatif ditandai dengan nilai TAC yang rendah. Nilai normal TAC adalah 1.23-2.00 m mol/L. Block et al. (2002) menunjukkan bahwa terdapat hubungan signifikan antara merokok dengan penurunan TAC. Merokok juga dapat mempengaruhi profil lipid dan sebaliknya. Profil lipid perokok diketahui lebih tinggi dari non perokok dan terdapat hubungan positif antara intensitas merokok dengan profil lipid. Penurunan TAC yang terjadi pada perokok juga dapat berdampak pada peningkatan profil lipid.

Efek-efek negatif tersebut berkaitan dengan risiko berbagai penyakit. Risiko penyakit degeneratif dan sindrom metabolik akan semakin meningkat akibat merokok (Kusano & Bucalen 2008). Banyak faktor yang dapat mempengaruhi status oksidatif selain kebiasaan merokok. Cooper (2000) menyatakan bahwa aktivitas fisik yang maksimal dan melelahkan dapat meningkatkan leukosit dan memicu kerusakan oksidatif. Konsumsi sehari-hari termasuk konsumsi makanan atau minuman sumber antioksidan signifikan mempengaruhi TAC dan profil lipid. Faktor selanjutnya yang dapat mempengaruhi TAC adalah status gizi. Status gizi pada kategori overweight dan

obese akan menurunkan nilai TAC (Block et al. 2002).

(21)

5

Ket:

: Variabel utama yang diteliti

: Variabel yang tidak diteliti

Gambar 1 Kerangka pemikiran

3 TINJAUAN PUSTAKA

Teh putih dan teh hijau

Teh diambil dari tanaman Camellia Sinesis Linnaeus O. Kuntze. tanaman ini memiliki dua varietas, yaitu var. sinensis (China tea) and var. assamica

(Assam tea). Tanaman teh saat ini sudah ditanam di berbagai negara selain Cina, yaitu India, Jepang, Taiwan, Sri lanka, Indonesia dan beberapa negara di Afrika. Jenis dari teh dapat ditentukan berdasarkan proses pembuatannya setelah daun teh dipetik. Daun teh yang baru dipetik harus segera dikeringkan dengan cepat, hal ini disebabkan karena daun teh akan cepat mengalami reaksi oksidasi, sehingga daun teh secara progresif menjadi lebih gelap yang disebabkan oleh pemecahan klorofil dan dikeluarkannya komponen tanin. Jenis teh menurut Dias et al. (2013) dapat diklasifikasikan berdasarkan proses pembuatan serta karakteristik kualitasnya menjadi empat jenis antara lain: (1) Teh putih; (2) Teh hijau; (3) Teh oolong; (4) Teh hitam. Perbedaan jenis teh dan cara pengolahannya dapat dilihat pada Gambar 2.

Merokok Profil Lipid

Konsumsi

Konsumsi teh (Thielecke & Boshmann 2009)

Konsumsi Alkohol

Konsumsi suplemen Risiko Penyakit

(Kusano dan Bucalen 2007)

-Hipertensi

-Aterosklerosis

-Kanker

-Asma

-Kardiovaskular

-DM

-Sindrom Metabolik

Status Oksidatif (TAC)

(Block et al.

2002)

Stress (Kusano & Bucalen

2007) Aktivitas fisik (Cooper 2000) Tekanan darah (Sitepoe 2000b)

(22)

6

Gambar 2 Proses pengolahan berbagai jenis teh (Sumber : Dias et al. 2013) Perbedaan proses pada teh setelah dipetik akan menyebabkan perbedaan kandungan fenol pada teh. Semakin mengalami fermentasi maka kandungan katekin akan semakin rendah dan meningkatkan kandungan teaflavin dan tearubigin. Teh putih saat ini mulai menjadi trend baru. Rasa teh putih di Eropa lebih disukai dibandingkan teh hijau (Almajano et al. 2008), meskipun teh hijau masih lebih populer. Proses pengolahan teh putih seperti dilihat pada Gambar 2, paling sederhana yaitu hanya dikeringkan saja. Hal ini yang menyebabkan kandungan katekin terutama pada teh putih paling tinggi dibandingkan jenis teh lainnya. Selama fermentasi dan oksidasi, katekin berubah atau hilang sehingga jumlahnya semakin rendah pada saat proses produksi teh hitam. Selama fermentasi terjadi penurunan katekin yang disebabkan karena terjadinya proses oksidasi yang merubah senyawa tersebut menjadi senyawa teaflavin dan tearubigin (Fulder 2004). Teh putih didefinisikan sebagai teh yang terbuat dari peko. Peko adalah daun teh muda yang masih menggulung. Teh hijau, teh oolong, dan teh hitam tidak menggunakan peko sebagai bahan bakunya, melainkan menggunakan tiga pucuk teh teratas (Gambar 3). Teh hijau, teh oolong dan teh hitam berbeda karena proses fermentasi pucuk teh tersebut.

(23)

7 Peko segar berwarna hijau dengan bulu-bulu halus berwarna putih dan dipanen pada pagi hari sebelum peko terbuka menjadi daun muda. Bulu daun yang semakin banyak akan menghasilkan teh putih yang warna putihnya maksimal dan mengilap (Rayati & Wahyu 2009). Warna silver pada peko akan semakin terlihat setelah daun dikeringkan. Perbedaan warna peko segar dan peko yang telah dikeringkan dibandingkan dengan teh hijau dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar 4 Peko segar (A), peko yang telah dikeringkan/teh putih (B), dan teh hijau (C)

Setelah dipanen teh putih mengalami proses minimal (Hilal dan Engelhardt 2007). Teh putih akan melalui proses penyortiran, penjemuran, dan pengeringan. Suhu pengeringan tidak boleh lebih dari 400C. Teh akan dikeringkan hingga mencapai kadar air 3-4% (Rayati & Wahyu 2009). Terdapat dua jenis teh putih yang beredar di pasaran, yaitu peoni dan silver needle. Jenis Peoni adalah teh putih yang dibuat dari campuran peko dengan pucuk daun pertama, sedangkan jenis silver needle benar-benar dibuat hanya dari peko saja (PPTK 2006). Dilihat dari segi harga silver needle lebih mahal dibandingkan jenis peoni.

Air seduhan teh putih berwarna jernih keemasan tidak pekat seperti air seduhan teh hitam. Pada umumnya, karakteristik dari teh termasuk rasa, warna, dan aroma secara langsung maupun tidak langsung berhubungan dengan modifikasi komponen katekin. Katekin merupakan komponen kimia yang larut dalam air, tidak berwarna, serta memberikan rasa bitterness. Teh putih tinggi akan katekin dengan pengolahan yang minimal sehingga cenderung berwarna jernih keemasan. Teh hijau diolah tanpa mengalami oksidasi, tidak memberi kesempatan terjadinya fermentasi. Daun teh langsung digulung setelah layu, dikeringkan, dan siap untuk dikemas. Pucuk teh diproses langsung dengan uap panas (steam) atau digoreng (pan frying) untuk menghentikan aktivitas enzim. Hal ini membuat warna hijau tetap bertahan dan kandungan taninnya relatif tinggi.

Hal tersebut berbeda dengan kandungan polifenol utama teh hitam yang terdiri dari teaflavin dan tearubigin. Tearubigin yang banyak terkandung pada teh hitam berperan membentuk warna coklat kemerahan pada air seduhan, sedangkan teaflavin memberikan warna kuning kemerahan (Rohdiana 2011). Teaflavin dan tearubigin merupakan hasil dari proses fermentasi yang melibatkan reaksi oksidasi enzimatis dari katekin sehingga terbentuk produk dengan pigmen yang berwarna coklat. Fermentasi pada teh bukan fermentasi oleh ragi tetapi proses oksidasi oleh enzim polifenoloksidase yang terdapat pada daun teh itu sendiri. Enzim tersebut akan keluar bila daun teh diremas, dan membentuk polifenol yang teroksidasi setelah berikatan dengan polifenol dan oksigen. Kandungan teaflavin yang terdapat pada berat kering teh hitam berkisar antara 0.3% hingga 2%, sedangkan kandungan thearubigin berkisar antara 10% hingga 20% (Chen et al. 2002; Wang

(24)

8

et al. 2000). Teaflavin selain berperan pada warna juga berperan memberi kesegaran sama halnya dengan katekin (Sujayanto 2008).

Proses pembuatan teh hijau berbeda dengan teh putih. Daun teh segar yang sudah dipetik harus segera diproses dengan perlakuan uap dan panas. Metode yang dapat digunakan yaitu metode firing (perlakuan dengan panas) dan steaming

(pelayuan dengan uap panas). Hal tersebut bertujuan untuk menghindari proses oksidasi enzimatis dari catechins yang terjadi secara alami. Daun akan menjadi lebih lentur dan lembek sehingga mudah tergulung. Daun teh yang sudah tergulung kemudian dilonggarkan oleh roll breaker / ball breaker disertai dengan proses pendinginan dan pengeringan hingga kadar air produk akhirnya kurang dari 6% (Wan et al. 2009). Proses pembuatan teh hijau yang diterapkan oleh PPTK (Pusat Penelitian Teh dan Kina) Gambung sedikit berbeda dengan proses tersebut. PPTK Gambung menerapkan proses pembuatan teh hijau untuk menghasilkan kandungan catechins yang optimal dengan menggunakan proses steaming yang terdiri dari tiga tahap, yaitu pelayuan selama kurang lebih lima menit pada suhu 80-100oC, penggulungan selama kurang lebih 15-17 menit, dan pengeringan dua tahap dengan suhu masuk 130-135oC dan suhu keluar 50-55oC selama 25 menit (PPTK 2006).

Manfaat teh hijau telah banyak dikaji pada penelitian-penelitian terdahulu yang telah dirangkum pada Lampiran 1. Konsumsi teh hijau terbukti dapat menurunkan profil lipid, menurunkan kerusakan oksidatif, menurunkan kadar glukosa darah dan tekanan darah sehingga dapat menurunkan risiko DM dan hipertensi. Beberapa keunggulan teh putih dilaporkan sebelumnya. Berbagai manfaat teh putih dari beberapa hasil penelitian dirangkum pada Tabel 1.

Tabel 1 Berbagai manfaat teh putih (Dias et al. 2013)

(25)

9 (Thring et al. 2011). Penelitian dibidang kesehatan mulut dan gigi menyatakan bahwa ekstrak daun teh putih (Camellia sinensis) terbukti memiliki aktivitassebagai antibakteri terhadap bakteri penyebab karies gigi yaitu

Streptococcus mutans (Noorhamdani 2013). Koutelidakis et al. (2009) melaporkan bahwa suplementasi ekstrak teh putih selama lima hari tidak hanya meningkatkan kapasitas antioksidan plasma, tapi juga pada organ lain mencit yaitu jantung dan paru-paru. Hal ini berarti bahwa teh putih memiliki

cardioprotective effect.

Hasil analisis Flavonoid untuk teh putih, teh hijau, dan teh hitam dapat dilihat pada Gambar 5. Teh putih diketahui memiliki kandungan antioksidan yang lebih besar dari teh hijau (Hilal & Engelhardt 2007). Hasil analisis menggunakan HPLC dapat membedakan jenis flavonoidnya mulai dari theogallin, gallic acis, theobromine, epigallocatechin, catecin, epigallocatechin gallate, epicathechin gallate, hingga kafein. Terlihat pada gambar 5 bahwa teh putih memiliki kandungan flavonoid yang secara umum lebih tinggi dibandingkan teh hijau dan teh hitam.

Ket:

1: Teogallin; 2:Gallic acid; 3:Teobromin; 4:Epigallocatechin;5:Katekin; 6:Kafein; 7:Epicatechin; 8:EGCG; 9:Epicatechingallate

Gambar 5 Hasil analisis polifenol teh putih, teh hijau, dan teh hitam dengan HPLC (Sumber : Hilal dan Engelhardt 2007)

Hal ini disebabkan karena teh putih terbuat dari peko. Peko memiliki kandungan katekin yang paling tinggi dibandingkan bagian tanaman teh yang lain. Kandungan katekin pada bagian-bagian tanaman teh ditampilkan pada Tabel 2.

Tabel 2 Kandungan katekin pada bagian-bagian tanaman teh

Bagian teh Kandungan Katekin (%)

Peko 26.5

Daun pertama 25.9

Daun kedua 20.7

Daun ketiga 17.1

Tangkai atas 11.7

(26)

10

Rokok

Pengertian rokok menurut PP No 19 tahun 2003 adalah hasil olahan tembakau yang terbungkus termasuk cerutu atau bentuk lainnya yang dihasilkan dari tanaman Nicotiana Tabacum, Nicotiana Rustica dan spesies lainnya atau sintetisnya yang mengandung nikotin dan tar dengan atau tanpa bahan tambahan. Nikotin adalah zat, atau bahan senyawa pirrolidin yang terdapat dalam Nikotiana Tabacum, Nicotiana Rustica dan spesies lainnya atau sintetisnya yang bersifat adiktif dapat mengakibatkan ketergantungan.

Rokok berdasarkan bahan baku dibagi menjadi dua jenis, yaitu rokok putih dan rokok kretek. Rokok putih adalah rokok yang bahan baku atau isinya hanya daun tembakau yang diberi saus untuk mendapatkan efek rasa dan aroma tertentu. Rokok kretek adalah rokok yang bahan baku atau isinya berupa daun tembakau dan cengkeh yang diberi saus untuk mendapatkan efek rasa dan aroma tertentu (Sitepoe 2000a). Rokok ini mengandung sekitar 60% - 70% tembakau dan 30% - 40% cengkeh. Tar, nikotin, dan karbon monoksida yang dikeluarkan dari rokok kretek dua kali lebih tinggi dibandingkan rokok putih. Berdasarkan penggunaan filter rokok dibagi menjadi dua yaitu rokok filter yang dibagian pangkalnya terdapat gabus, dan rokok non filter yang tidak memiliki gabus pada pangkalnya.

Merokok secara umum adalah membakar tembakau yang kemudian dihisap asapnya, baik menggunakan rokok maupun menggunakan pipa. Temperatur pada sebatang rokok yang dibakar adalah 9000C pada bagian ujung rokok yang dibakar dan 300C untuk pangkal rokok yang dekat dengan bibir perokok. Asap rokok yang dihisap melalui mulut disebut mainstream smoke,

sedangkan asap rokok yang terbentuk pada ujung rokok yang terbakar serta asap rokok yang dihembuskan ke udara oleh perokok disebut sidestream

mengakibatkan seseorang menjadi perokok pasif. Seseorang disebut perokok pasif bila tidak merokok, namun terhirup asap rokok dari seseorang disekitarnya yang merokok. Menurut Sitepoe (2000a) perokok aktif adalah seseorang yang menghisap asap rokok yang berasal dari isapan dirinya sendiri. Asap rokok lebih berbahaya terhadap perokok pasif daripada perokok aktif. Asap rokok sigaret kemungkinan besar berbahaya terhadap mereka yang bukan perokok, terutama di tempat tertutup. Asap rokok yang dihembusan oleh perokok aktif dan terhirup oleh perokok pasif, lima kali lebih banyak mengandung karbon monoksida, empat kali lebih banyak mengandung tar dan nikotin (Wardoyo 1996).

Mu’tadin (2002) membagi perokok menjadi 3 antara lain perokok ringan,

(27)

11

Gambar 6 Bahan-bahan berbahaya pada rokok (Sumber : Sitepoe 2000a) Nikotin merupakan unsur kimia beracun pada rokok. Nikotin dapat merusak jantung dan sirkulasi darah. Konsentrasi Nikotin biasanya sekitar 5% per 100 gram berat tembakau. Sebatang rokok biasanya mengandung 8-20 mg nikotin tergantung jenis dan merek rokok tersebut. Setiap satu batang rokok yang dihisap, tubuh menyerap 1 mg nikotin. Kadar nikotin 4-6 mg yang dihisap oleh orang dewasa setiap hari sudah bisa membuat seseorang ketagihan. Semakin banyak nikotin yang dikonsumsi, semakin tinggi juga risiko untuk terkena penyakit-penyakit berisiko tinggi akibat rokok. Hal ini dikarenakan nikotin dapat terakumulasi di dalam hati, ginjal, lemak dan paru-paru. Nikotin bersifat toksis terhadap jaringan syaraf, juga menyebabkan tekanan darah sistolik dan diastolik mengalami peningkatan. Denyut jantung bertambah, kontraksi otot jantung meningkat, pemakaian oksigen bertambah, aliran darah pada pembuluh koroner bertambah, dan vasokonstriksi pembuluh darah perifer. Nikotin meningkatkan kolesterol LDL, dan meningkatkan agregasi sel pembekuan darah (Sitepoe 2000b). Merokok jangka panjang maupun jangka pendek signifikan menurunkan status oksidatif darah (Diken et al. 2000). Merokok akan meningkatkan oksigen reaktif yang terakumulasi sehingga stres oksidatif meningkat. Hal ini membuat perokok cenderung membutuhkan antioksidan yang tinggi. Banyak studi membuktikan bahwa suplementasi makanan atau minuman tinggi antioksidan merupakan upaya preventif dan protektif pada perokok.

Antioksidan

Antioksidan dikatakan sebagai senyawa yang dapat menghambat proses oksidasi (Rohdiana 2011). Antioksidan merupakan senyawa yang terdapat secara alami dalam hampir semua bahan pangan. Wildman (2001) menyatakan bahwa antioksidan merupakan agen yang dapat membatasi efek dari reaksi oksidasi dalam tubuh. Efek yang diberikan oleh antioksidan terhadap tubuh dapat secara langsung, yaitu dengan mereduksi radikal bebas dalam tubuh, dan secara tidak langsung, yaitu dengan mencegah terjadinya pembentukan efek radikal Berdasarkan fungsinya bagi tubuh, antioksidan dibagi menjadi tiga, yaitu antioksidan primer, sekunder dan tersier. Antioksidan primer adalah antioksidan yang berperan mencegah pembentukan senyawa radikal baru, contoh nya adalah

(28)

12

sekunder digunakan untuk mengikat logam yang bertindak sebagai pro-oksidan dan menangkap radikal bebas. Contoh antioksidan sekunder adalah vitamin E,

vitamin C, β-caroten dan polifenol pada teh. Antioksidan tersier untuk memperbaiki kerusakan biomolekul yang disebabkan radikal bebas seperti enzim-enzim yang memperbaiki DNA dan metionin sulfida reduktase.

Kapasitas antioksidan total

Awal tahun 1990-an Miller et al. (1993) telah menciptakan tes baru untuk mengukur status antioksidan total, yang dinamakan kapasitas antioksidan total (Total Antioksidan Capasity/TAC). Keuntungan utama dari tes ini adalah untuk mengukur kapasitas antioksidan dari semua antioksidan pada satu sampel dan bukan hanya kapasitas antioksidan dari senyawa tunggal. TAC dapat digunakan sebagai biomarker untuk diagnosis, prognosis, dan preventif dari suatu penyakit (Kusano dan Bucalen 2008). TAC merupakan jumlah dari beberapa antioksidan berbeda baik dari pangan yang dikonsumsi (eksogen), maupun antioksidan endogen (Collins 2005). Collins (2005) juga menyebutkan terdapat beberapa metode pengukuran TAC pada plasma, antara lain, Total Radical Trapping Potensial (TRAP), Trolox Equivalent Antioksidant Capasity (TEAC), Oxygen Radical Absorbance Capacity (ORAC), dan Ferric Reducing Ability of Plasma

(FRAP). Tes TAC ini sekarang banyak digunakan dalam analisis serum, bahan makanan dan jaringan biologi.

Metode FRAP berdasarkan pengurangan ion besi pada plasma atau sampel yang diukur secara spektrofotometri pada panjang gelombang 593 nm. Metode TAC menggunakan ORAC telah lama dikembangkan oleh Cao et al. pada tahun 1998. Metode ORAC didasarkan pada kemampuan plasma untuk menangkap radikal peroksil dari dekomposisi termal (ABAP- 2,2'-azobis [propana 2-amidino]) dan kemudian diukur pada panjang gelombang 540 nm – 565 nm. Miller et al (1993) menggambarkan metode TEAC yang dengan menggunakan kit komersial dari Randox Laboratories Ltd (Inggris).

4 METODE PENELITIAN

Desain, waktu, dan tempat

Desain penelitian adalah paired samples clinical trials design. Penelitian dilaksanakan pada bulan Januari-April 2015 di Bogor. Ethical clearance pada penelitian ini didapat dari komisi etik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia No: 174/UN2.F1/ETIK/2015.

Bahan dan alat

Bahan utama yang digunakan pada penelitian ini adalah teh putih (silver njedle) dan teh hijau dari klon Gambung 7. Teh putih dan teh hijau diperoleh dari Pusat Penelitian Teh dan Kina (PPTK) Gambung. Alat-alat yang digunakan terdiri dari peralatan untuk penyeduhan teh antara lain, kompor, panci, teko, gelas ukur, termometer suhu, gelas, saringan teh. Pengambilan darah subjek menggunakan jarum suntik, spuit 5 ml, sensi gloves, vacutainer dengan

(29)

13 metode Trolox Equivalent Antioxidant Capacity (TEAC) menggunakan kalorimetri (Randox. Ltd).

Teh putih dan teh hijau pada penelitian ini disiapkan dengan cara diseduh. Terdapat perbedaan kandungan antioksidan pada teh secara umum yang disebabkan karena faktor persiapan pada teh itu sendiri, salah satunya dipengaruhi oleh aspek pemanasan. Suhu yang baik untuk penyeduhan teh adalah 80o – 95oC (Mckey dan Blumberg 2002). Teh putih pada penelitian ini diseduh pada suhu 95 o

C mengacu pada Rohdiana et al. (2013), di mana pada suhu dan waktu penyeduhan tersebut kapasitas antioksidan pada teh putih maksimal. Berbeda dengan teh putih, teh hijau diseduh pada suhu 90 oC (Komes et al. 2010; Venditti

et al. 2010). Pembuatan teh dilakukan secara komposit. Prosedur persiapan minuman teh putih dan teh hijau dapat dilihat pada Gambar 7.

Berat teh putih dan teh hijau yang digunakan pada penelitian ini untuk masing-masing subjek adalah 2 gram per 200 ml air (Coimbra et al. 2006; Rohdiana et al. 2013). Waktu penyeduhan adalah 9 menit untuk teh putih (Rohdiana et al. 2013) dan 2.5 menit untuk teh hijau (Coimbra et al. 2006). Waktu penyeduhan teh yang lebih lama dari 10 menit akan membuat kandungan teh yang bermanfaat memberikan efek menenangkan akan berkurang (Fulder 2004). Suhu yang terlalu panas dan penyeduhan yang terlalu lama akan menyebabkan daun teh mengeluarkan lendir sehingga rasa teh menjadi lebih pahit dan warna lebih pekat (Sujayanto 2008). Teh putih dan teh hijau disajikan tanpa penambahan gula.

Gambar 7 Prosedur persiapan minuman teh putih dan teh hijau Teh diaduk dan didiamkan selama 9 menit

untuk teh putih dan 2.5 menit untuk teh hijau

Teh disaring dan dituangkan ke dalam 27 gelas masing-masing 200 ml

Air dituangkan ke dalam teko berisi 54 gram teh (2 gram x 3 kali pemberian x 9 subjek) Dipanaskan air sebanyak 5.4 liter (200 ml x 3 kali pemberian x 9 subjek) hingga suhu 95oC untuk teh

putih dan 90oC untuk teh hjau

(30)

14

Pembuatan teh selama intervensi dilakukan sendiri oleh peneliti. Setiap hari peneliti menyiapkan 27 gelas teh (3 kali pemberian x 9 subjek), masing-masing subjek mendapatkan 2 gram teh/200 ml, sehingga total minuman teh yang harus disiapkan untuk teh putih maupun teh hijau adalah 5.4 liter. Teh hanya disiapkan satu kali sehari yaitu setiap pagi hari, sehingga teh disajikan kepada subjek dalam keadaan tidak hangat lagi. Kandungan antioksidan pada teh dipengaruhi oleh suhu air ketika teh diseduh (Diaz et al. 2013). Suhu penyajian teh tidak mempengaruhi kandungan antioksidan pada teh tersebut, sehingga hal ini tidak mengganggu validasi hasil penelitian.

Terdapat perbedaan warna air seduhan teh putih dengan teh hijau. Air seduhan teh putih berwarna jernih keemasan, sedangkan air seduhan teh hijau berwarna kehijauan dan lebih pekat (Gambar 8). Teaflavin dan tearubigin merupakan senyawa pembentuk warna pada teh. Tearubigin berperan membentuk warna coklat kemerahan pada air seduhan, sedangkan teaflavin memberikan warna kuning kemerahan (Rohdiana 2011). Teaflavin dan tearubigin merupakan hasil dari proses fermentasi yang melibatkan reaksi oksidasi enzimatis dari katekin sehingga terbentuk produk dengan pigmen yang berwarna coklat. Teaflavin selain berperan pada warna juga berperan memberi kesegaran sama halnya dengan katekin (Sujayanto 2008). Teh putih memiliki kandungan teaflavin dan tearubigin yang rendah, hal ini lah yang menyebabkan warna teh putih cenderung jernih keemasan.

Gambar 8 Warna air seduhan teh hijau (A) dan teh putih (B)

Intervensi dilakukan selama 28 hari (Khosravi et al. 2014) pada hari kerja Senin-Jumat (5 hari) ditambah periode wash out 14 hari. Subjek yang digunakan merupakan pegawai Pusat Penelitian Karet di Bogor dengan jam kerja mulai pukul 7.30-16.15 WIB. Teh diberikan tiga kali sehari, pagi hari pukul 08.00 WIB (saat masuk kantor), siang hari pukul 12.00 WIB (waktu istirahat), dan sore hari (sebelum pulang kantor) pukul 16.00 WIB.

Subjek yang memenuhi kriteria diminta untuk mengisi informed consent, mau berpartisipasi dan berkomitmen penuh untuk mematuhi protokol intervensi yang diberikan. Subjek selama penelitian diminta untuk: tidak mengonsumsi teh selain teh yang diberikan (Khosravi et al. 2014), menghindari konsumsi makanan yang mengandung polifenol seperti coklat (Khosravi et al. 2014), konsumsi kopi

(31)

15 dibatasi 1 kali sehari (200 ml/hari), meminum hingga habis teh yang diberikan (3 x 200 ml /hari), tidak merubah konsumsi dan aktivitas fisik termasuk aktivitas merokok (tetap merokok seperti biasa).

Jumlah dan cara pengambilan subjek

Penelitian ini menggunakan subjek yang merupakan pegawai Pusat Penelitian Karet di Bogor. Intervensi juga dilakukan di kantor tersebut. Pemilihan tempat intervensi dan subjek dalam penelitian ini dilakukan secara purposive. Pemilihan tempat penelitian secara purposive karena terkait kemudahan akses. Subjek yang terpusat pada satu tempat juga dapat memudahkan teknis pelaksanaan intervensi. Hal ini juga untuk untuk memastikan keseragaman (homogen) aktivitas sampel dan perlakuan serta mengontrol kepatuhan. Pemilihan subjek dilakukan setelah screening awal pada semua pegawai di kantor tersebut yang merokok dan bersedia untuk mengikuti proses screening. Saat screening

dilakukan pengukuran TB, penimbangan BB, pengambilan darah untuk analisis profil lipid pada calon subjek, serta pengisian kuisioner.

Terdapat beberapa kriteria yang harus dipenuhi untuk menjadi subjek dalam penelitian ini. Kriteria inklusi antara lain: laki-laki, usia 30-45 tahun, perokok kategori sedang (11-21 batang/hari) (Sitepoe 2000a), sudah merokok minimal 6 bulan (Gupta et al. 2006), memiliki kolesterol LDL-C >130 mg/dl dan trigliserida >150 mg/dl (dislipidemia ringan). Kriteria eksklusi antara lain: tidak suka teh, menggunakan obat-obatan yang dapat mempengaruhi profil lipid, sedang menjalani pengobatan, minum minuman beralkohol, dan mengonsumsi suplemen (cairan/padatan).

Perhitungan jumlah subjek pada penelitian ini menggunakan data jumlah subjek dan standar deviasi pengukuran TAC pada penelitian sebelumnya yang telah dilakukan oleh Coimbra et al. (2006) mengenai pengaruh teh hijau pada stres oksidatif. Penelitian tersebut menggunakan 34 orang (n) subjek masing-masing terbagi dalam dua kelompok yaitu kelompok air putih sebagai kontrol dan kelompok perlakuan teh hijau. Hasil pengukuran TAC menunjukkan hasil bahwa TAC pada kelompok teh hijau lebih tinggi yaitu 1.07±0.13 mmol/l (µ±SD) dibandingkan kontrol yaitu 1.04±0.12 mmol/l (µ±SD). Selisih rata-rata TAC adalah 0.03 mmol/l (d). Menggunakan hasil dari penelitian tersebut, maka perhitungan subjek pada penelitian ini adalah sebagai berikut,

�= �1−1 �1 2

+ �2−1 �22

�1−1 + �2−1

� = 34−1 0.12

2+ 341 0.132

34−1 + 34−1 = 0.016

maka jumlah subjek dengan α=5%, power test = 95% dan d=0.03 mmol/l adalah,

� = �∝+�� 2

� 2�2

�2

� = 1.96 + 1.64

2 2(0.016)2

(32)

16

Antisipasi dropout adalah 10%, sehingga jumlah subjek yang digunakan adalah 9 orang/kelompok perlakuan. Penelitian ini menggunakan desain paired samples clinical trials sehingga hanya dibutuhkan 9 orang subjek, di mana kesembilan subjek tersebut mendapatkan seluruh perlakuan intervensi (teh putih dan teh hijau) (Tsuneki et al. 2004; Zanzer 2011) dengan periode washout antar perlakuan selama 14 hari (Grassi et al. 2012). Periode pertama, 9 orang subjek mendapatkan intervensi teh putih selama 28 hari. Periode berikutnya semua subjek mendapatkan teh hijau selama 28 hari setelah periode washout 14 hari. Tahapan penelitian secara lengkap ditampilkan pada Gambar 9.

Gambar 9 Tahapan penelitian

*

Pengambilan darah melalui vena sebanyak 5 ml oleh tenaga medis

Intervensi teh hijau selama 28 hari

Periode washout 2 minggu Intervensi teh putih selama 28 hari

Populasi

Kriteria Inklusi dan Eksklusi

Pengukuran status oksidatif (TAC)dan profil lipid* untukdata baseline teh putih

9 orang subjek Screening Awal

1. Pengukuran Tinggi Badan

2. Pengukuran Berat Badan

3. Pengisian Kuisioner

4. Pengukuran Profil Lipid*

Pengukuran status oksidatif (TAC)dan profil lipid* untukdata endline teh putih

Pengukuran status oksidatif (TAC)dan profil lipid* untukdata endline teh hijau

Pengukuran status oksidatif (TAC)dan profil lipid* untukdata baseline teh hijau

(33)

17

Jenis dan teknik pengumpulan data

Status gizi, usia mulai merokok, dan jenis rokok

Status gizi subjek diamati menggunakan indikator Indeks Massa Tubuh (IMT). Data berat badan (BB) dan tinggi badan (TB) untuk perhitungan IMT diperoleh melalui pengukuran langsung. Data mengenai usia mulai merokok dan jenis rokok yang dihisap diperoleh melalui wawancara menggunakan kuesioner.

Asupan makanan sebelum dan selama intervensi

Data asupan makanan subjek sebelum intervensi diperoleh melalui kuisoner

food recall 2 x 24 jam (1 hari biasa dan 1 hari libur) sebelum intervensi dilakukan. Asupan makanan subjek selama intervensi didapat melalui kuisioner Food Record

2 x 24 Jam (1 hari biasa dan 1 hari libur). Food recall dilakukan dua kali yaitu 2 x 24 jam sebelum intervensi teh putih dan 2 x 24 jam sebelum intervensi teh hijau. Sama halnya dengan food recall, food record juga dilakukan dua kali, yaitu 2 x 24 jam saat subjek mendapatkan teh putih dan saat subjek mendapatkan teh hijau.

Aktivitas fisik

Aktivitas fisik dicatat menggunakan kuisioner 2x 24 jam sebelum intervensi (1 hari biasa dan 1 hari libur) dan 2x 24 jam selama intervensi (1 hari biasa dan 1 hari libur). Pengukuran aktivitas fisik dilakukan terhadap jenis aktivitas yang dilakukan subjek dan lama waktu melakukan aktivitas dalam sehari. Sama dengan konsumsi, pencatatan aktivitas fisik juga dilakukan dua kali, masing-masing saat subjek mendapatkan intervensi teh putih dan teh hijau.

Pengambilan darah pre dan post-intervensi

Pengambilan darah subjek dilakukan pre dan post-intervensi pada masing-masing periode intervensi teh putih dan teh hijau. Sebelum pengambilan darah dilakukan, subjek diharuskan berpuasa selama 12 jam, subjek hanya boleh mengonsumsi air putih selama waktu tersebut. Darah subjek diambil melalui vena cubiti sebanyak 5 ml oleh tenaga medis.

Pengukuran status oksidatif dengan TAC

Pengukuran TAC dilakukan dengan metode TEAC menggunakan kalorimetri. Serum darah plasma yang digunakan untuk pengukuran ini sebanyak 20 µl. TAC diukur menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang (λ) 600 nm. Metode yang digunakan mengacu pada metode pengukuran TAC oleh Miller et al. (1993) (Randox Ltd). Analisis TAC dilakukan di laboratorium klinis terakreditasi (Prodia®). Prosedur analisis dapat dilihat pada Lampiran 3.

Profil lipid plasma

(34)

18

Pengolahan dan analisis data

Status gizi

Status gizi subjek dilihat menggunakan indikator IMT. Perhitungan IMT dilakukan menggunakan data BB dan TB subjek, dengan rumus sebagai berikut,

IMT = BB/TB (cm)2 Keterangan

IMT : Indeks Massa Tubuh (kg/m2) BB : Berat badan (kg)

TB : Tinggi Badan (cm) (Sumber : Almatsier 2004)

Hasil perhitungan IMT tersebut selanjutnya dikategorikan untuk mengetahui status gizi subjek. Kategori status gizi berdasarkan IMT disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3 Kategori status gizi berdasarkan IMT

Kategori status gizi IMT

Sangat kurus <17 kg/m2

Underweight 17 -18.4 kg/m2

Normal 18.5-25 kg/m2

Overweight 25.1-27 kg/m2

Obese >27 kg/m2

Sumber: Kemenkes 2014

Asupan

Asupan makanan dan minuman subjek dalam satuan Ukuran Rumah Tangga (URT) dikonversikan ke dalam satuan gram dan diolah menggunakan softwere nutrisurvey. Kecukupan energi dan zat gizi subjek dihitung menggunakan Angka Kecukupan Gizi (AKG) menurut Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (WNPG) 2013 dengan koreksi BB aktual subjek. Subjek dengan status gizi kurang dan lebih menggunakan berat badan ideal. Tingkat kecukupan energi dan zat gizi diperoleh dengan membandingkan konsumsi energi dan zat gizi dengan kecukupan energi dan zat gizi subjek.

Perhitungan-perhitungan tersebut menggunakan rumus sebagai berikut: BBi= (TB-100)-(10% x (TB-100))

Keterangan:

BBi : Berat badan ideal TB : Tinggi badan (Sumber : Almatsier 2004)

AKGi = (Ba/Bs) x AKGI Keterangan:

Ba : Berat badan aktual (kg)

Bs : Berat badan rata-rata yang tercantum pada tabel AKG

AKGI : Angka kecukupan lemak, vitamin A, B12, C, E, folat, Fe, dan Zn yang tercantum pada tabel AKG

AKGi : Kecukupan lemak, vitamin A, B12, C, E, folat, Fe, dan Zn dengan koreksi berat badan aktual

(Sumber : Hardinsyah & Briawan 1994)

(35)

19 Keterangan:

AKGi : Kecukupan lemak, vitamin A, B12, C, E, folat, Fe, dan Zn dengan koreksi berat badan aktual

TKGi : Tingkat kecukupan lemak, vitamin A, B12, C, E, folat, Fe, dan Zn Ki : konsumsi zat gizi i

(Sumber : Hardinsyah & Briawan 1994)

Tingkat kecukupan didapatkan dengan membandingkan konsumsi zat gizi dengan kecukupan zat gizi masing-masing subjek. Kecukupan zat gizi subjek dihitung mengunakan tabel AKG zat gizi tahun 2013 untuk laki-laki usia 30-49 tahun dengan penyesuaian menggunakan BB aktual subjek. Subjek dengan status gizi normal menggunakan BB aktual sedangkan untuk subjek dengan status gizi lebih dan kurus menggunakan berat badan ideal. Berdasarkan WKNPG (2013), AKG zat gizi laki-laki usia 30-49 tahun yaitu 73 g untuk lemak, 600 µg untuk vitamin A, 13 µg untuk Fe dan Zn, 90 mg untuk vitamin C, 15 mg untuk vitamin E, 400 µg untuk folat, dan 2.4 µg untuk vitamin B 12. Selanjutnya akan dilihat tingkat kecukupan lemak, vitamin (vitamin A, B12, C, E, folat), mineral (Fe dan Zn), dan serat dengan kategori yang ditampilkan pada Tabel 4.

Tabel 4 Kategori tingkat kecukupan lemak, vitamin, mineral, dan serat

Kategori Nilai

Lemak (Hardinsyah dan Tambunan 2004)

Cukup 20-30% kecukupan energi

Lebih >30% kecukupan energi

Vitamin dan mineral (Gibson 2005)

Kurang <77% AKG

Cukup = 77% AKG

Serat (Perkeni 2011)

Cukup ≥ 25 gram

Kurang < 25 gram

Aktifitas fisik

Aktivitas fisik subjek dihitung menggunakan PAL (Physical Activity Level). Aktivitas fisik adalah variabel utama setelah angka metabolisme basal dalam penghitungan pengeluaran energi (WHO 2004). PAL merupakan besarnya energi yang dikeluarkan (kkal) per kilogram berat badan dalam 24 jam. Nilai PAR (Physical Activity Rate) untuk berbagai jenis aktivitas dan tingkat aktivitas fisik menurut WHO (2003) tercantum dalam Lampiran 5. PAL ditentukan dengan rumus sebagai berikut :

PAL = (PARi x Wi)

24 jam

Keterangan

PAL : Physical activity level (tingkat aktivitas fisik)

PARi : Physical activity rate dari masing-masing aktivitas (jumlah energi yang dikeluarkan untuk

tiap jenis aktivitas per jam) Wi : Alokasi waktu tiap aktivitas (Sumber : WHO 2003)

(36)

20

Tabel 5 Kategori tingkat aktivitas fisik berdasarkan nilai PAL

Kategori Nilai PAL

Ringan (sedentary lifestyle) 1.40-1.69

Sedang (active or moderately active lifestyle) 1.70-1.99

Berat (vigorous or vigorously active lifestyle) 2.00-2.40

TAC dan profil lipid

Hasil analisis serum TAC dan profil lipid selanjutnya ditentukan kategorinya. Pengkategorian TAC dilakukan menggunakan acuan dari Miller et al.

(1993), di mana kategori normal TAC berkisar antara 1.23-2.00 mmol/L. Kategori untuk profil lipid ditampilkan pada Tabel 6.

Tabel 6 Kategori profil lipid

Kategori Nilai

TC (Watson et al. 1995)

Normal ≤ 200 mg/dl

Tinggi >200 mg/dl

TG (Watson et al. 1995)

Normal <150 mg/dl

Tinggi ≥150 mg/dl

HDL

Normal ≥35 mg/dl

Rendah < 35 mg/dl

LDL ( Rifai et al. 1992)

Normal < 130 mg/dl

Tinggi ≥130 mg/dl

Analisis data

Analisis statistik secara deskriptif dilakukan pada data IMT, usia mulai merokok, dan jenis rokok yang dihisap. Dilakukan uji beda paired sample t-test

untuk data konsumsi termasuk jumlah rokok subjek, tingkat kecukupan gizi subjek, serta PAL subjek sebelum dan selama intervensi. Perbedaan selisih TAC

(∆TAC) danprofil lipid (∆ TC, ∆ TG, ∆ LDL-C, ∆ HDL-C) subjek saat intervensi teh putih dan teh hijau dianalisis menggunakan independent sampel t-test. Pengolahan dan analisis data dilakukan menggunakan software Microsoft Excel

2007 dan SPSS 22.0 for Windows.

4 DEFINISI OPERASIONAL

Perokok adalah laki-laki yang menghisap rokok 11-20 batang/hari (perokok kategori sedang).

Asupan sebelum intervensi adalah jumlah makanan dan minuman subjek 2 x 24 jam sebelum intervensi (1 hari kerja dan 1 hari libur) yang dicatat menggunakan metode food recall.

(37)

21

Aktivitas fisik sebelum intervensi adalah kegiatan yang dilakukan subjek 2 x 24 jam sebelum intervensi (1 hari kerja dan 1 hari libur) yang diukur menggunakan PAL.

Aktivitas fisik selama intervensi adalah kegiatan yang dilakukan subjek 2 x 24 jam selama intervensi (1 hari kerja dan 1 hari libur) yang diukur menggunakan PAL.

Status oksidatif adalah keadaan antioksidan dalam plasma darah yang diukur menggunakan biomarker TAC dengan nilai normal berada antara 1.23- 2.00 m mol/L.

Profil lipid adalah kadar lipid dalam plasma yang terdiri dari TG,TC, LDL-C, dan HDL-C dengan nilai normal masing-masing <200 mg/dl, <150 mg/dl, < 130 mg/dl , dan ≥35 mg/dl.

5 HASIL DAN PEMBAHASAN

Status gizi

Status gizi adalah kondisi pada tubuh yang dihasilkan dari pemanfaatan zat gizi pada makanan dan minuman yang dikonsumsi. Salah satu indikator untuk menentukan status gizi adalah IMT dengan membandingkan BB dengan TB. Status gizi berdasarkan IMT dan usia mulai merokok subjek ditampilkan pada Tabel 8. Terlihat pada Tabel 7 sebagian besar subjek (44.44%) memiliki status gizi overweight, masing-masing 11.11% subjek memiliki status gizi underweight dan obese, serta 33.33% subjek dengan status gizi normal.

Tabel 7 Sebaran status gizi subjek

Status gizi n %

Sangat kurus 0 0

Underweight 1 11.11

Normal 3 33.33

Overweight 4 44.44

Obese 1 11.11

Total 9 100

Merokok diketahui berhubungan dengan status gizi. Khasanah (2013) membuktikan bahwa terdapat hubungan signifikan antara frekuensi merokok dengan status gizi. Dara et al. (2014) juga menyatakan bahwa jenis rokok, lama merokok, dan jumlah rokok yang dihisap berhubungan dengan status gizi. Subjek pada penelitian ini sebagian besar memiliki status gizi overweight. Hanya 1 orang subjek yang memiliki status gizi pada kategori underweight. Hal ini bertentangan dengan hasil penelitian Dara et al. (2014) dan Aginta (2012). Penelitian Aginta (2012) menemukan bahwa terdapat hubungan negatif antara merokok dengan status gizi, di mana artinya bahwa bila kebiasaan merokok semakin tinggi intensitasnya maka akan menurunkan status gizi atau membuat terjadinya

underweight bahkan gizi kurang. Diperkuat melalui hasil penelitian Dara et al.

(38)

22

ini disebabkan nikotin pada rokok. Nikotin akan meningkatkan pengeluaran energi dan dapat menurunkan nafsu makan (Chiolero et al. 2008). Ini yang menyebabkan perokok biasanya memiliki berat badan yang lebih rendah dari orang yang tidak merokok.

Perbedaan hasil penelitian terdahulu dengan penelitian ini diduga disebabkan karena perbedaan umur subjek dan kategori perokok. Dara et al.

(2014) menggunakan subjek lansia usia 55-64 tahun dan Aginta (2012) menggunakan subjek remaja laki-laki usia 17-18 tahun. Remaja merupakan masa pertumbuhan dengan aktivitas tinggi (aktif) yang cenderung membutuhkan kalori yang tinggi. Menurunnya nafsu makan akibat rokok ditambah dengan aktivitas remaja yang tinggi diduga menjadi penyebab menurunnya status gizi perokok remaja. Dara et al. (2014) menyatakan bahwa pada lansia juga terjadi penurunan asupan gizi baik makro maupun mikro yang mempengaruhi status gizi lansia. Hal ini yang menyebabkan status gizi subjek lansia pada penelitian Dara et al. (2014) sebagian besar berada pada status gizi kurang. Kategori perokok pada penelitian ini juga berbeda dengan penelitian Dara et al. (2014) dan Aginta (2012). Subjek penelitian ini adalah perokok sedang, sedangkan pada penelitian Dara et al. (2014) dan Aginta (2012) masing-masing adalah perokok berat dan perokok ringan.

Usia mulai merokok

Diketahui bahwa usia mulai merokok dapat mempengaruhi status oksidatif dan profil lipid. Kebiasaan merokok yang dimulai saat usia remaja cenderung akan semakin meningkat dengan semakin bertambahnya usia (Gee 2005). Sebaran usia mulai merokok subjek disajikan pada Tabel 9.

Tabel 8 Sebaran usia mulai merokok subjek

Usia mulai merokok n %

16 tahun 2 22.22

17 tahun 4 44.44

18 tahun 3 33.33

Total 9 100

Tabel 9 menunjukkan bahwa terdapat subjek yang mulai merokok pada usia 16 tahun, 17 tahun, dan 18 tahun. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Adhayanti (2007) yang menyatakan bahwa 70% perokok di Indonesia mulai merokok sebelum usia 19 tahun. Kebiasaan merokok cenderung sulit dihentikan, terutama bila kebiasaan tersebut sudah berlangsung sejak remaja. Intensitas merokok dalam jangka waktu yang lama dapat meningkatkan kerusakan oksidatif, profil lipid dan berbagai risiko penyakit degeneratif (Kusano & Bucalen 2007).

Jenis rokok yang dihisap

(39)

23 menjadi dua yaitu rokok filter yang di bagian pangkalnya terdapat gabus, dan rokok non filter yang tidak memiliki gabus pada pangkalnya.

Konsumsi rokok di Indonesia (84.31%) didominasi oleh rokok kretek, baik berfilter maupun tanpa filter (Sitepoe 2000a). Rokok kretek mengandung sekitar 60%-70% tembakau dan 30% - 40% cengkeh. Tar, nikotin, dan karbon monoksida yang dikeluarkan dari rokok kretek dua kali lebih tinggi dibandingkan rokok putih (Sitepoe 2000b). Menurut hasil Survei Nielsen Retail Audit tahun 2013, 92% pasar rokok di Indonesia dikuasai oleh rokok kretek (Anonim 2014). Hasil ini sejalan dengan hasil penelitian Andi (2006) yang menyatakan bahwa 45% perokok di Bogor menyukai rokok kretek dengan filter. Hal ini diduga disebabkan karena citarasa, harga, dan lingkungan sosial tempat mereka tinggal maupun kerja mayoritas merokok dengan rokok jenis ini, sehingga mereka lebih memilih rokok ini daripada rokok jenis lain.

Asupan zat gizi dan tingkat kecukupan gizi

Asupan zat gizi yang diamati adalah lemak yang dapat mempengaruhi profil lipid, serta vitamin dan mineral yang dapat mempengaruhi TAC, yaitu vitamin A, vitamin B 12, folat, vitamin C, vitamin E, zat besi (Fe), dan seng (Zn). Rata-rata asupan zat gizi subjek sebelum dan selama intervensi teh putih dapat dilihat pada Tabel 9.

Tabel 9 Asupan zat gizi subjek sebelum dan selama intervensi teh putih Zat gizi

Rata-rata asupan zat gizi

Sebelum intervensi Selama intervensi

pa

Rata-rata SD Rata-rata SD

Lemak (g) 67.20 6.02 67.26 4.57 0.917

Vitamin A (µg) 288.28 99.28 288.65 97.65 0.776

folat (µg) 232.14 20.95 232.51 22.69 0.776

Vitamin B12 (µg) 2.55 0.32 2.56 0.31 0.155

Vitamin C (mg) 64.59 8.36 64.96 6.84 0.776

Vitamin E(mg) 10.70 1.18 10.95 3.95 0.838

Fe (mg) 7.92 0.43 7.93 0.40 0.468

Zn (mg) 8.30 0.56 8.33 0.58 0.130

Keterangan: SD=Standar Deviasi a

paired sample t-test antara sebelum dan selama intervensi

Gambar

Gambar 1 Kerangka pemikiran  3 TINJAUAN PUSTAKA
Gambar 2 Proses pengolahan berbagai jenis teh (Sumber : Dias et al.  2013)  Perbedaan  proses  pada  teh  setelah  dipetik  akan  menyebabkan  perbedaan  kandungan  fenol  pada  teh
Tabel 1 Berbagai manfaat teh putih (Dias et al. 2013)  Protective effects of White Tea
Gambar 5 Hasil analisis polifenol teh putih, teh hijau, dan teh hitam dengan  HPLC (Sumber : Hilal dan Engelhardt 2007)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Salah satu teknik yang dapat digunakan sebagai solusi untuk menerima kembali citra relevan dalam temu balik citra adalah algoritma Speeded-Up Robust Features (SURF). SURF

Hal tersebut sejalan dengan pernyataan bahwa langkah-langkah dari model Discovery Learning dapat mengembangkan sikap ilmiah, rasa ingin tahu, pemahaman konsep, dan

Berdasarkan analisa kemampuan dan kemauan pelanggan terhadap tarif resmi air bersih yang berlaku, kemampuan masyarakat dalam membayar tarif dengan pendekatan pendapatan rumah

Diskusi kelas adalah sebuah rangkaian kegiatan pembelajaran kelompok di mana setiap kelompok mendapat tanggung jawab untuk mendiskusikan sesuai dengan tema/masalah/judul

Dijumpai hubungan bermakna antara ekspresi kuat VEGF dengan kejadian tumor ovarium ganas (P=0.000), dimana 60% tumor ovarium ganas menunjukkan ekspresi kuat VEGF, sedangkan hanya

Pada penelitian ini penggunaan metode swim up dan tanpa swim up secara statistik tidak menunjukkan perbedaan yang nyata (P&gt;0,05), dimana metode swim up memberikan pengaruh

1) Pemahaman siswa terhadap teknik dasar lompat jauh melalui media kardus membuat siswa bersemangat untuk melakukan pembelajaran dan semakin aktif untuk mencoba

Distributor Alat Penetas Telor Ayam Untuk Pemesanan Silakan SMS : 081 945