• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penyusutan Bobot Badan Pasca Transportasi

Ternak yang mengalami pengangkutan umumnya akan mengalami penyusutan bobot badan ketika sampai di tempat tujuan, hal ini disebabkan ternak mengalami stres selama dalam perjalanan akibat perubahan lingkungan, pembatasan pakan dan keterbatasan gerak tubuh. Penyusutan bobot badan digunakan sebagai data pendukung dari penelitian ini dikarenakan domba belum mengalami perlakuan pakan yang berbeda selama transportasi. Rataan penyusutan bobot badan domba penelitian pasca transportasi adalah 0,57±0,36 kg (3,39±2,25%). Nilai standar deviasi yang dihasilkan relatif tinggi, hal tersebut wajar karena domba belum mengalami perlakuan pakan yang berbeda selama transportasi, sehingga tinggi rendahnya penyusutan bobot badan tidak tergantung dari perlakuan pakan yang diberikan, namun kemampuan individu domba itu sendiri dalam mengatasi stres selama pengangkutan.

Domba umumnya mengalami penyusutan bobot badan setelah transportasi, hal ini disebabkan terutama oleh lingkungan yang kurang memadai, hilangnya isi pencernaan, berkurangnya cairan tubuh dan turunnya kondisi tubuh karena interval pemberian pakan dan minum kurang teratur atau sama sekali kurang diperhatikan selama pengangkutan (Puspianah, 2008). Rataan penyusutan bobot badan domba pada penelitian ini masih dalam batas wajar karena sesuai atau bahkan lebih kecil dari hasil penelitian Knowles et al. (1996) yang menyatakan bahwa domba mengalami penyusutan 6,7% pada pengangkutan selama 14 jam dan Dinas Peternakan Provinsi Daerah Tingkat I Jawa Timur (1981) yang melaporkan bahwa penyusutan bobot badan domba dapat mencapai 4-9% apabila jarak transportasi hanya sekitar 80 km. Gambar 5 memperlihatkan diagram rataan bobot badan domba sebelum dan sesudah transportasi. Rataan bobot badan domba sebelum transportasi adalah 16,94±0,67 dan setelah transportasi adalah 16,38±0,92. Diagram tersebut memperlihatkan bahwa perbedaan rataan bobot badan domba sebelum dan setelah transportasi sangat kecil dan bahkan hampir tidak terlihat. Ini dikarenakan skala yang digunakan masih relatif kecil yaitu per ekor domba. Namun pada kenyataan di lapangan dimana pengangkutan umumnya menggunakan domba dalam jumlah yang

20 besar yaitu 40-50 ekor, maka nilai penyusutan tersebut berdampak sangat besar dan menyebabkan kerugian bagi peternak.

Gambar 5. Diagram Rataan Bobot Badan Domba Sebelum dan Sesudah Transportasi

Selama perjalanan, domba diangkut dengan menggunakan mobil pick up

dengan luas per ekor ±0,135 m2. Luasan ini sedikit lebih kecil dari kepadatan yang dianjurkan oleh Direktorat Jendral Peternakan (1997), yaitu sebesar 0,16 m2/ekor untuk domba dengan bobot badan 20 kg. Namun hal tersebut tidak menjadi masalah karena rataan bobot badan domba yang diangkut kurang dari 20 kg, yaitu sebesar 16,94±0,67 kg.

Menurut Knowles et al. (1995) dalam penelitiannya menyatakan bahwa domba yang diangkut selama 14 jam dan 15 jam akan mengalami penurunan bobot badan masing-masing sebesar 6,7% dan 8% per ekor. Penurunan bobot badan yang dihasilkan dalam penelitian ini sebesar 3,39±2,25%, jauh lebih kecil daripada penelitian yang dilakukan Knowles et al. (1995), hal tersebut wajar karena lama pengangkutan domba pada penelitian ini hanya ±6,5 jam.

Pengangkutan domba dilakukan pada siang hari, ketika matahari cukup terik dan suhu lingkungan tinggi. Hal tersebut mengakibatkan tingkat stres pada domba menjadi semakin tinggi, karena domba merupakan hewan homeotermal sehingga peningkatan suhu rektal sebesar 0,740C sudah mengakibatkan domba tersebut stres

0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 Sebelum Sesudah B o b o t B ad an (k g ) Transportasi

21 (Knowles et al., 1995). Thermoneutral Zone (TNZ) atau suhu lingkungan yang nyaman bagi domba adalah 22-31 °C (Darmanto, 2009). Semakin tinggi tingkat stres yang dialami domba selama pengangkutan, maka semakin tinggi pula penyusutan bobot badannya. Namun, tidak hanya faktor lingkungan saja yang mempengaruhi penyusutan bobot badan domba selama pengangkutan. Menurut Puspianah (2008), penyusutan bobot badan sangat dipengaruhi oleh kondisi domba dan metode dalam pengangkutan. Domba dalam kondisi baik, akan mengalami penyusutan bobot badan yang lebih kecil dibandingkan dengan domba dalam kondisi kurang baik, walaupun jarak pengangkutan yang ditempuh sama. Metode pengangkutan domba pada penelitian ini menggunakan mobil pick up dengan bak tertutup dan pagar pelindung di bagian sisinya. Selama pengangkutan domba berada dalam posisi duduk dan tidak terlalu banyak bergerak. Hasil penelitian Broom et al. (1996), menyatakan bahwa domba yang mengalami pengangkutan selama 15 jam dalam keadaan terus bergerak mengalami penyusutan bobot badan sebesar 5,5%, sedangkan domba yang mengalami pengangkutan selama 15 jam dalam keadaan diam atau tidak terlalu banyak bergerak mengalami penyusutan bobot badan sebesar 3,6%. Nilai penyusutan yang didapat Broom et al. (1996), mendekati hasil yang didapat pada penelitian ini yaitu 3,39%.

Lama Rekondisi

Lama rekondisi merupakan waktu yang dibutuhkan ternak untuk mengembalikan bobot badan yang hilang selama perjalanan. Lama rekondisi dicapai apabila domba sudah mencapai bobot badan awal (sebelum pengangkutan). Rataan lama rekondisi berdasarkan pengaruh pemberian konsentrasi pakan yang berbeda dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Rataan Lama Rekondisi Domba Pasca Transportasi Perlakuan Rataan Lama Rekondisi (hari)

P0 6,67 ± 9,81

P1 2,67 ± 1,53

P2 4,00 ± 3,00

22 Tabel 3 menunjukan bahwa pemberian pakan dengan konsentrasi kulit singkong dan rumput Brachiaria humidicola yang berbeda tidak berpengaruh nyata terhadap lama rekondisi domba pasca transportasi (P>0,05). Rataan waktu rekondisi tercepat dihasilkan oleh P1 selama 2,67 hari sedangkan waktu rekondisi terlama diperoleh oleh P3 selama 12 hari. Rataan lama rekondisi domba selama penelitian mengalami keragaman yang cukup tinggi terutama pada P0 dan P3, hal ini terlihat dari tingginya nilai standar deviasi yang diperoleh. Hal ini disebabkan oleh adanya perbedaan kemampuan tiap individu domba dalam beradaptasi dengan perubahan lingkungan (Lynch et al., 1992). Selain itu, domba penelitian diperoleh dari pasar hewan yang merupakan tempat berkumpulnya domba yang berasal dari berbagai peternakan, sehingga menejemen pemeliharaan sebelumnya tidak sama.

Kualitas pakan yang diberikan pada domba dapat mempengaruhi lama rekondisi. Menurut Puspianah (2008), apabila kandungan protein kasar pada pakan semakin mendekati kebutuhan protein kasar domba maka lama rekondisinya akan semakin cepat. Pernyataan yang hampir sama juga diungkapkan oleh Akhirany (1998) bahwa peningkatan kadar protein pakan akan meningkatkan konsumsi pakan. Konsumsi pakan yang tinggi akan mempengaruhi pertambahan bobot badan yang dihasilkan. Semakin besar pertambahan bobot badan harian domba maka semakin cepat waktu rekondisi yang dibutuhkan. Namun pernyataan Puspianah (2008) dan Akhirany (1998) tersebut tidak sesuai dengan data hasil penelitian. Domba P3 yang diberikan pakan dengan persentase protein kasar yang paling tinggi justru menghasilkan tingkat konsumsi yang paling rendah dan membutuhkan waktu rekondisi paling lama. Hal ini dikarenakan domba P3 mengkonsumsi kulit singkong paling banyak diantara domba lain. Kulit singkong selain mengandung protein kasar yang cukup tinggi (10,05 %) juga mengandung zat antinutrisi HCN yang apabila dikonsumsi terlalu banyak sangat berbahaya bagi kesehatan. Sehingga walaupun persentase protein kasar yang berasal dari kulit singkong cukup tinggi, namun tetap tidak bisa memulihkan bobot badan awalnya dengan cepat karena tingkat konsumsinya yang rendah akibat zat pembatas HCN. Selain itu, HCN juga dapat menghambat pertumbuhan (Sudaryanto, 1987) dan menyebabkan sesak napas pada domba (Purwantisari, 2007). Domba P1 menghasilkan data rataan waktu rekondisi tercepat walaupun persentase protein kasar ransumnya lebih rendah dari P2 dan P3.

23 Hal ini dikarenakan kulit singkong yang diberikan pada domba P1 tidak terlalu banyak, sehingga kandungan HCN yang dikonsumsi dalam tubuh masih aman dan bisa dinetralkan oleh tubuh menjadi tiosinat (Rochmy, 2009). Tidak adanya kendala HCN menyebabkan protein kasar dalam kulit singkong bisa langsung dicerna dan diserap oleh tubuh tanpa khawatir akan terjadi gangguan kesehatan.

Konsumsi Pakan Selama Masa Pemulihan

Konsumsi pada umumnya diperhitungkan sebagai jumlah makanan yang dimakan oleh ternak, dimana kandungan zat makanan di dalamnya digunakan untuk mencukupi kebutuhan hidup pokok dan untuk keperluan produksi ternak tersebut. Tabel 4 memperlihatkan rataan konsumsi BK harian domba berdasarkan pengaruh pakan selama penelitian. Hasil sidik ragam menunjukan bahwa perlakuan tidak berpengaruh nyata (P>0.05) terhadap rataan konsumsi pakan domba selama rekondisi.

Tabel 4. Rataan Konsumsi Pakan Selama Masa Pemulihan

Perlakuan Konsumsi Bahan Kering (BK)

B. humidicola Kulit Singkong Total

--- g/ekor/hari ---

P0 411,42 ± 67,66 0,00 411,42 ± 67,66

P1 292,56 ± 81,15 78,29 ± 47,24 370,86 ± 90,37 P2 219,30 ± 76,19 189,25 ± 75,30 408,54 ± 126,54 P3 132,16 ± 38,13 232,64 ± 118,16 364,80 ± 128,74 Rataan konsumsi BK tertinggi diperoleh oleh P0, yaitu sebesar 411,42±67,66 g/ekor/hari. Sedangkan rataan konsumsi BK terendah diperoleh P3, yaitu sebesar 364,80±128,74. Tabel 4 memperlihatkan setiap perlakuan menghasilkan nilai standar deviasi yang cukup tinggi terkecuali pada P0, hal ini disebabkan domba P1, P2 dan P3 diberi perlakuan pemberian kulit singkong sedangkan domba P0 hanya diberi pakan rumput saja. Domba yang diberi perlakuan kulit singkong menghasilkan nilai standar deviasi yang tinggi dikarenakan kulit singkong merupakan pakan yang kurang familiar bagi domba. Domba penelitian merupakan domba yang berasal dari peternakan rakyat yang umumnya menggunakan rumput sebagai pakan ternaknya, sehingga ketika diberikan pakan kulit singkong domba merasa asing dan kurang

24 menyukainya. Setelah diberikan selama beberapa hari, beberapa domba sudah mulai terbiasa dan mulai menyukai kulit singkong namun sebagian lagi masih tidak menyukainya. Hal ini disebabkan oleh adanya perbedaan kemampuan tiap individu domba dalam beradaptasi dengan perubahan lingkungan (Lynch et al., 1992). Domba P0 menghasilkan nilai standar deviasi yang relatif kecil dan nilai konsumsi yang cukup tinggi dikarenakan domba sudah terbiasa mengkonsumsi rumput ketika dipelihara di peternakan rakyat, sehingga tidak kaget ketika diberikan pakan rumput

Brachiaria humidicola selama penelitian.

Gambar 6. Grafik Rataan Konsumsi BK (Bahan Kering) Harian

Gambar 6 menunjukan grafik rataan tingkat konsumsi BK harian domba yang sangat fluktuatif. Ternak yang mengalami stres akibat pengangkutan akan mengalami fluktuasi konsumsi pakan di awal pemeliharaan karena kondisi tubuh ternak yang belum sepenuhnya pulih dan masih dalam tahap adaptasi dengan lingkungan baru. Selain itu, ada dua faktor lain yang mempengaruhi fluktuasi ini, yaitu pengaruh ternak yang mengalami sakit dan kualitas pakan yang tidak seragam.

Ternak yang mengalami gangguan kesehatan atau sakit akan mengalami penurunan nafsu makan sehingga mengurangi tingkat konsumsi. Selama penelitian berlangsung beberapa domba mengalami sakit mata dan orf. Kartasudjana (2001) dan Mininggu (2010) menyatakan penyakt orf dan pink eye dapat menyebabkan penurunan nafsu makan pada ternak. Penyakit mata terjadi pada domba P0 pada hari ke-3 dan ke-14 kemudian domba P2 pada hari ke-17, sehingga menyebabkan

0 100 200 300 400 500 600 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 K on su m si B K (g) Hari P0 P1 P2 P3

25 beberapa domba lain disekitarnya terkena penyakit ini pula. Penyakit mata atau pink eye biasa terjadi pada domba yang yang mengalami perjalanan jauh atau terkena debu. Penyakit ini tidak sampai menimbulkan kematian, akan tetapi dapat menyebabkan kerugian yang cukup besar bagi peternak, karena akan menyebabkan kebutaan, penurunan berat badan dan biaya pengobatan yang mahal (Mininggu, 2010). Penyakit ini menyebabkan mata menjadi perih terutama jika terkena cahaya sinar matahari. Tingkat konsumsi pakan menjadi menurun akibat domba harus menahan sakit pada matanya sepanjang waktu. Selain penyakit pink eye, penyakit orf juga kerap terjadi pada domba selama penelitian. Penyakit ini menyerang domba P0 pada hari ke-6 dan berlangsung selama kurang lebih satu minggu, tapi beruntung penyakit ini tidak sampai menyerang domba lain dan hanya menyerang domba P0 saja. Penyakit orf merupakan penyakit yang disebabkan oleh virus dari genus parapoxvirus yang dapat hidup lama di luar induk semang dan umumnya akan menyerang ternak selama 1-4 minggu. Walaupun penyakit ini relatif kurang berbahaya namun adanya gangguan nafsu makan menyebabkan laju pertambahan bobot badan ternak menjadi rendah, resistensi terhadap penyakit lain menurun dan akibatnya penyakit sekunder masuk, menyebabkan hewan tersebut sakit (Kartasudjana, 2001). Penurunan nafsu makan terjadi karena pada saat mengunyah makanan ternak mengalami sakit pada bagian mulut yang terkena orf sehingga peoses makan menjadi terganggu.

Selain faktor diatas, fluktuasi tingkat konsumsi pada ternak juga terjadi karena kualitas pakan yang tidak seragam. Rumput untuk konsumsi domba yang diambil dari padang pastura tidak selalu dalam kondisi seragam, terkadang kondisinya segar, masih basah, umurnya terlalu tua atau masih terlalu muda. Hal tersebut mengakibatkan tingkat konsumsinya menjadi berbeda-beda, tergantung dari kondisi rumput yang dikonsumsinya. Selain itu kulit singkong yang didapat juga tidak selalu dalam kualitas yang seragam, terkadang kulitnya keras dan permukaannya kasar, terkadang kulitnya lembut dan permukaannya halus. Hal ini disebabkan pabrik keripik tempat kami biasa mengambil kulit singkong, bahan baku singkongnya tidak hanya disuplai dari satu daerah saja, tetapi dari beberapa daerah yang berbeda. Chruch dan Pond (1988) menyatakan bahwa konsumsi sangat

26 dipengaruhi oleh palatabilitas yang tergantung pada beberapa hal yaitu penampilan dan bentuk makanan, bau, rasa, tekstur, dan suhu lingkungan.

Pertambahan Bobot Badan Harian Selama Masa Pemulihan

Pertambahan bobot badan harian merupakan salah satu faktor yang biasa digunakan untuk menentukan tingkat pertumbuhan ternak. Rataan pertambahan bobot badan harian domba selama masa pemulihan berdasarkan pengaruh pemberian konsentrasi pakan yang berbeda selama penelitian dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Rataan Pertambahan Bobot Badan Domba Selama Masa Pemulihan Perlakuan Rataan Pertambahan Bobot Badan (g/ekor/hari)

P0 141,67 ± 57,95

P1 113,33 ± 49,33

P2 95,00 ± 37,75

P3 78,33 ± 122,71

Hasil analisis sidik ragam menunjukan bahwa pemberian pakan dengan konsentrasi kulit singkong dan rumput Brachiaria humidicola yang berbeda tidak berpengaruh terhadap pertambahan bobot badan harian domba (P>0.05). Pertambahan bobot badan terendah diperoleh oleh P3, yaitu sebesar 78,33±122,71 g/ekor/hari. Sedangkan pertambahan bobot badan tertinggi diperoleh oleh P0, yaitu sebesar 141,67±57,95 g/ekor/hari. Cheeke (1999) menyatakan bahwa kualitas dan kuantitas pakan mempengaruhi pertambahan bobot badan. Kuantitas pakan yang dimaksud adalah seberapa banyak jumlah pakan yang dikonsumsi, sedangkan kualitas pakan berhubungan dengan tingkat nutrisi pakannya. Ini berarti pertambahan bobot badan harian domba dipengaruhi oleh tingkat konsumsi dan nutrisi pakan. Semakin tinggi tingkat konsumsi dan nutrisi pakannya, semakin tinggi pula pertambahan bobot badan hariannya. Hal yang hampir serupa juga diungkapkan Rianto et al. (2006), yang menyatakan konsumsi energi dan protein yang tinggi menghasilkan laju pertumbuhan yang cepat sehingga meningkatkan PBBH.

Hermawan (2009) menyatakan bahwa ransum yang memiliki nilai nutrien tinggi dan tingkat palatabilitas yang baik dapat dengan cepat meningkatkan pertambahan bobot badan ternak selama penggemukan. Kulit singkong memiliki

27 kualitas pakan yang lebih baik daripada rumput Brachiaria humidicola, ini terlihat dari perbandingan kandungan PK dan TDN yang lebih tinggi pada kulit singkong. Namun kulit singkong memiliki zat antinutrisi HCN yang cukup berbahaya bagi kesehatan bila dikonsumsi terlalu banyak, sehingga perlu dibatasi dalam penggunaannya sebagai pakan ternak. Zat HCN inilah yang menyebabkan tingkat palatabilitas kulit singkong menjadi rendah, sehingga tingkat konsumsinya menjadi berkurang. Sebaliknya, rumput Brachiaria humidicola memang memiliki kualitas pakan yang lebih rendah dibanding kulit singkong, namun juga memiliki tingkat palatabilitas yang cukup tinggi karena merupakan makanan pokok bagi ternak ruminansia dan tidak ada pembatasan dalam penggunaannya.

Pertambahan bobot badan domba yang tidak seragam juga dapat terjadi karena pengaruh HCN dalam kulit singkong yang dikonsumsi domba. Kulit singkong yang digunakan dalam penelitian ini mengandung HCN sebesar 440 mg/ kg kulit singkong. Bila dihitung maka rataan tingkat konsumsi HCN per ekor domba berdasarkan perlakuan adalah sebesar 8,41 mg/ kg bobot badan/ hari (P1), 20,33 mg/ kg bobot badan/ hari (P2) dan 25,00 mg/ kg bobot badan/ hari (P3). Rataan konsumsi HCN tersebut relatif tinggi, terutama pada domba P2 dan P3. Menurut Sudaryanto (1987), dosis aman dalam mengkonsumsi HCN adalah sebesar 2,5-4,5 mg/ kg bobot badan/ hari, tetapi apabila domba mengkonsumsi rumput dapat tahan hingga 15-20 mg/ kg bobot badan/ hari. Selama penelitian berlangsung domba diberi pakan rumput

Brachiaria humidicola sehingga konsumsi HCN sebesar 8,41 mg/ kg bobot badan/

hari pada domba P1 masih dalam kategori aman karena masih di bawah ambang batas konsumsi HCN domba yang mengkonsumsi rumput, yaitu sebesar 20 mg/ kg bobot badan/ hari. Rochmy (2009) menyatakan bahwa dalam jumlah kecil, HCN dapat dinetralkan tubuh menjadi tiosianat, sedangkan dalam jumlah besar dapat mengakibatkan kematian dalam waktu singkat karena kegagalan pernafasan. Hasil yang didapat domba P2 dan P3 menunjukkan bahwa jumlah HCN yang dikonsumsi lebih besar jika dibandingkan dengan batas ambang kemampuan domba dalam menerima HCN. Keadaan tersebut dapat berpengaruh terhadap pertumbuhan domba karena sianida merupakan saingan kelenjar tiroid dalam mengambil yodium (Sudaryanto, 1987), selain itu HCN dapat mengikat oksigen dalam darah yang mengakibatkan sesak napas pada domba (Purwantisari, 2007).

28 Gambar 7. Grafik Rataan Bobot Badan Harian

Gambar 7 memperlihatkan grafik rataan bobot badan harian domba, dimana terlihat semua domba mengalami peningkatan bobot badan di akhir pemeliharaan dibanding bobot badan semula. Gambar 7 juga memperlihatkan bagaimana grafik bobot badan harian domba yang cukup berfluktuatif.

Faktor utama yang menyebabkan fluktuasi bobot badan ini adalah tingkat konsumsi pakan yang juga sangat fluktuatif dan tidak menentu, seperti yang terlihat pada gambar 6. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Parakkasi (1999), yang menyatakan bahwa pertambahan bobot badan harian dipengaruhi oleh konsumsi pakan. Dengan kata lain tingkat konsumsi pakan berkolerasi positif terhadap bobot badan, semakin tinggi tingkat konsumsi pakannya maka semakin tinggi pula bobot badannya dan begitupun sebaliknya.

Selain faktor diatas, faktor lain yang berpengaruh adalah karena domba masih mengalami proses adaptasi terhadap lingkungan baru, sehingga pola hidupnya masih belum teratur dan itu berakibat pada fluktuasi bobot badan. Lynch et al. (1992) menyatakan kemampuan tiap individu domba dalam beradaptasi dengan perubahan lingkungan berbeda-beda, menyebabkan pertambahan bobot badan hariannya berbeda pula.

Konversi Pakan Selama Masa Pemulihan

Konversi pakan adalah total pakan yang dikonsumsi untuk menaikan bobot tubuh satu satuan (Anastasia, 2007). Semakin rendah nilai yang diperoleh semakin efisien pakan yang diberikan pada ternak. Nesheim et al. (1979) menyatakan bahwa

12 14 16 18 20 22 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 B ob oo t B ad an (kg) Hari P0 P1 P2 P3

29 konversi pakan dipengaruhi oleh jumlah pakan yang dikonsumsi, bobot badan, gerak atau aktifitas tubuh, potensi genetik, nutrisi pakan, kandungan energi, penyakit, musim dan suhu dalam kandang serta lingkungan.

Tabel 6. Rataan Konversi Pakan Selama Masa Pemulihan Perlakuan Rataan Konversi Pakan

P0 19,64 ± 10,20

P1 19,16 ± 5,20

P2 23,33 ± 7,55

P3 150,45 ± 133,18

Tabel 6 memperlihatkan rataan konversi pakan, dimana hasil analisis sidik ragam konversi pakan tidak berpengaruh nyata (P>0.05) terhadap perbedaan level pemberian pakan selama rekondisi. Rataan nilai konversi pakan yang dihasilkan dari penelitian ini mendekati nilai konversi pakan domba menurut NRC (1985) yaitu sebesar 4, terkecuali pada domba P3. Domba P3 menghasilkan nilai konversi pakan yang jauh lebih tinggi dibandingkan perlakuan lain, yaitu sebesar 31,77±27,83. Hal ini terutama disebabkan karena di akhir penelitian, domba P3 mengalami penurunan bobot badan secara drastis akibat tertular penyakit mata yang berasal dari domba P2. Selain itu, penurunan bobot badan domba P3 juga disebabkan karena akumulasi HCN dalam tubuh yang berasal dari konsumsi kulit singkong. Domba P3 mengkonsumsi kulit singkong lebih banyak daripada domba lainnya, sehingga jumlah akumulasi HCN yang terkandung dalam tubuhnya juga lebih banyak daripada domba lain. Akumulasi HCN ini menyebabkan domba mengalami gangguan kesehatan seperti gangguan pernapasan (Purwantisari, 2007) dan pertumbuhan (Sudaryanto, 1987). Akibatnya bobot badan domba mengalami penyusutan bobot badan di akhir penelitian.

Dokumen terkait