• Tidak ada hasil yang ditemukan

Keadaan Umum Peternakan Kambing Perah di Sumedang

Heriyadi (2004) menyebutkan bahwa Kabupaten Sumedang memiliki topografi yang berbukit-bukit dengan kemiringan berkisar antara 15%-30%, dengan perbedaan ketinggian antara 50-200 meter. Wilayah Kabupaten Sumedang memiliki ketinggian tempat antara 700-750 meter dari permukaan laut dengan temperatur harian antara 20-29oC, serta kelembaban relatif antara 68%-80%. Curah hujan berkisar antara 1.500-2.200 mm/tahun pada tahun 2002. Kabupaten Sumedang secara geografis terletak antara 107o44’ sampai 08o2 ’ BT dan 6o40’ sampai 7o83’ LS dengan luas wilayah 152.219,95 hektar (Rani, 2004). Lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 8.

Gambar 8. Letak Penelitian (Sumber: Google maps)

Lokasi penelitian berada 15 km dari Ibu Kota Kabupaten Sumedang. Kecamatan Cimalaka-Sumedang memiliki akses yang baik karena dekat dengan jalan utama Sumedang-Tomo. Wilayah Cimalaka dapat dilihat di peta berbatasan dengan wilayah Paseh, Legok Kidul, Mandalaherang dan Legok Kaler.

Kecamatan Cimalaka merupakan daerah terpadat untuk populasi kambing Peranakan Etawah (PE) di seluruh Kabupaten Sumedang. Kecamatan Cimalaka oleh Kabupaten Sumedang dijadikan daerah yang dapat dibuka sebagai daerah

28 penambangan pasir. Oleh karena itu keberadaan kambing PE di daerah ini diawali dengan upaya untuk memanfaatkan lahan kritis yakni lahan bekas galian pasir yang sudah tidak dipakai lagi. Daerah penelitian khususnya yang terdapat lokasi galian pasir adalah di Desa Cibeureum Wetan, Kabupaten Sumedang.

Desa Cibeureum Wetan terletak pada 107o60’45” BT di sebelah utara berbatasan dengan Gunung Tampomas, di sebelah selatan dengan Desa Ciuyah Kecamatan Cisarua, di sebelah barat dengan Desa Cibeureum Kulon dan di sebelah timur dengan Desa Legok Kecamatan Paseh. Luas Desa Cibeureum Wetan 394 Ha. Desa Cibeureum Wetan berada pada ketinggian 500-600 m di atas permukaan laut karena berada di kaki Gunung Tampomas, curah hujan rata-rata 2000-2500 mm/tahun dan keadaan suhu rata-rata berkisar antara 23 -31oC.

Lingkungan sangat berpengaruh terhadap kondisi ternak selain faktor genetik. Interaksi antara genetik dan lingkungan juga memiliki peranan yang penting. Oleh karena itu pengetahuan mengenai kondisi lingkungan sangat diperlukan. Berikut ini merupakan data suhu dan kelembaban yang diamati selama penelitian.

Tabel 6. Rataan Suhu dan Kelembaban Selama Pengamatan di Dalam Kandang

Waktu Suhu (oC) Kelembaban %

Pagi 23,04 68,46

Siang 30,11 37,07

Sore 28,60 43,16

Keterangan : Pagi (08.00 WIB), siang (14.00 WIB), sore (16.00 WIB)

Berdasarkan hasil yang diperoleh terhadap suhu dan kelembaban selama penelitian berlangsung yakni suhu pada siang hari (30,11oC) lebih tinggi dibandingkan pada pagi dan sore hari dengan kelembaban yang juga sangat rendah yakni 37,07%. Perbedaan kisaran suhu dan kelembaban dengan data Heriyadi (2004) yang menyebutkan bahwa suhu harian berkisar antara 20-29oC, serta kelembaban relatif antara 68%-80%. Hal ini memperlihatkan bahwa kondisi di tempat penelitian lebih besar nilai suhunya dibandingkan dengan kondisi Sumedang secara keseluruhan. Sebaliknya, kelembaban memperlihatkan nilai yang lebih kecil. Hal ini terjadi karena pada saat penelitian dilaksanakan pada musim kemarau. Kondisi demikian menyebabkan lingkungan sekitar menjadi lebih panas dan ketersediaan air juga sangat terbatas.

29 Menurut Ensminger (2002), suhu yang ideal untuk kambing perah berkisar 12,7oC sampai 21,11oC, sementara Smith dan Mangkoewidjojo (1988) melaporkan suhu nyaman bagi kambing berkisar antara 18oC sampai 30oC. Sumedang memiliki temperatur yang berkisar antara 23-30oC, masih berada pada kisaran suhu yang nyaman bagi ternak kambing. Tomaszewska et al. (1993) menyatakan bahwa kisaran suhu yang nyaman bagi ternak kambing cukup besar yakni diantara suhu 20oC sampai 33,5oC.

Daerah tropika basah seperti Indonesia memiliki kelembaban rata-rata harian atau bulanan relatif tetap sepanjang tahun dan umumnya kelembaban lebih dari 60%. Kelembaban udara merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kenyamanan ternak. Udara yang terlalu kering ataupun terlalu basah dapat mempengaruhi keadaan fisiologis ternak dan ternak membutuhkan kelembaban yang ideal yakni berkisar 60%-70%. Data yang diperoleh menunjukkan bahwa pada pagi hari memiliki kelembaban 68,46%, siang hari 37,07% dan sore hari 43,16%. Oleh karena itu pada siang dan sore hari kondisi ternak tidak nyaman. Kelembaban yang rendah ini karena tempat penelitian berada di lahan kritis bekas galian tambang yang kondisinya gersang dan jarang pohon yang tinggi karena kebanyakan adalah hamparan batu- batuan yang sudah ditelantarkan oleh pengusaha galian pasir.

Sejarah Pengembangan Kambing di Cimalaka

Desa Cibeureum Wetan menjadi daerah penambangan galian pasir telah berlangsung sejak awal tahun 1980. Kegiatan penambangan pasir setelah habis dikuras, lahan galian tersebut dibiarkan begitu saja oleh pengguna. Oleh karena itu, kerusakan lingkungan tidak terelakkan lagi. Lahan bekas galian pasir menjadi tidak produktif dan kondisi tanahnya rusak. Produktivitas lahan di sekitar lahan pasca penambangan menurun akibat adanya penurunan kesuburan tanah. Terlihat adanya perubahan bentang lahan, terdapat banyak gundukan batu-batuan dan cekungan, hilangnya vegetasi serta terjadinya perubahan iklim mikro yakni suhu yang terasa lebih panas dari sebelumnya.

Usaha-usaha untuk mengurangi dampak negatif yang ditimbulkan akibat penambangan pasir harus dilakukan dalam rangka melestarikan lingkungan. Usaha rehabilitasi lahan bekas tambang adalah usaha memperbaiki, memulihkan kembali dan meningkatkan kondisi lahan yang rusak agar dapat berfungsi kembali secara

30 optimal seperti sebelum adanya penambangan baik sebagai unsur produksi, media pengatur tata air maupun sebagai unsur perlindungan alam lingkungan (Zulfahmi, 1996). Kegiatan pemanfaatan lahan kritis ini dipelopori oleh seorang petani pelestari lingkungan yaitu Uha Juhari dari Desa Cibeureum Wetan, Kecamatan Cimalaka.

Tahun 1983, sang perintis atas nama Uha Juhari memulai pemanfaatan lahan kritisnya dengan membeli lahan bekas galian pasir (Tipe C) seluas 100 Bata. Bahan galian Tipe C yaitu bahan galian yang dianggap tidak langsung mempengaruhi hajat hidup orang banyak karena kecilnya jumlah letakan (deposit) bahan galian itu. Upaya untuk mereklamasi lahan tersebut pun sangat lama dilakukan oleh Uha Juhari beserta Keluarga karena lahan yang dibeli dipenuhi dengan batuan tanpa lapisan top soil. Oleh karena itu upaya perataan lahan dan penanaman pohon yang mampu hidup pada lahan seperti itu mulai dilakukan pada tahun 1985. Lahan bekas galian pasir dapat dilihat pada Gambar 9 sedangkan Gambar 10 menunjukkan beberapa penanaman tanaman yang dilakukan untuk mereklamasi lahan bekas tambang.

31 Gambar 10. Reklamasi dengan Tanaman Gamal dan Reklamasi dengan Buah Naga

Cara yang dilakukan untuk melakukan kegiatan rehabilitasi tersebut yakni dengan penanaman tanaman yang mampu hidup pada lahan tersebut. Pertumbuhan tanaman tersebut bisa dibantu dengan adanya pemberian bahan amelioran. Bahan amelioran adalah bahan untuk mengkondisikan tanah agar baik untuk tanaman tertentu. Bahan amelioran yang banyak diberikan pada kegiatan rehabilitasi lahan pasca galian tambang adalah pupuk kandang.

Pupuk kandang mempunyai kelebihan diantaranya adalah mudah didapat, harganya murah dan mudah dalam penanganannya. Menurut Abdurahman dan Agus (2001) pupuk kandang mengandung unsur hara dengan konsentrasi yang bervariasi diantara ternak satu dengan yang lainnya tergantung dari jenis ternak, umur, gizi dan kesehatan ternak tersebut. Sabihan et al. (1989) menyatakan bahwa dosis pupuk kandang yang diperlukan dalam pemupukan tergantung dari jenis tanah, jenis tanaman yang diusahakan, bentuk usaha tani dan jumlah pupuk kandang yang tersedia.

Keberadaan kambing di lahan pasca galian pasir ini digunakan oleh peternak sebagai sumber pupuk kandang yang dapat digunakan sebagai pupuk organik untuk menyuburkan lahan sekitar. Pemberian bahan organik mempunyai manfaat antara lain: memperbaiki sifat fisik tanah, hasil pelapukan bahan organik juga merupakan unsur hara yang cukup potensial dan terhadap sifat kimia tanah ialah menambah nilai kapasitas tukar kation dan gudang hara (Abdurachman et al., 1999).

Pohon yang ditanam adalah pohon leguminosa seperti tanaman gamal (Gliricidia sepium) dengan tujuan awal untuk mereklamasi kembali lahan yang telah rusak. Namun setelah tanaman gamal tumbuh dengan normal pada lahan tersebut kurang lebih dua tahun setelah penanaman. Tahun 1990-an Uha Juhari mulai

32 memanfaatkan tanaman gamal tersebut dengan memelihara kambing pada lokasi tersebut dimana kambing yang dipelihara adalah PE.

Pemeliharaan ternak kambing dimulai dengan empat ekor tenak kambing PE gaduhan. Setelah usaha dirasakan bermanfaat dan mendapatkan keuntungan yang cukup baik dari hasil kambing dan susu kambing serta pupuk kandang yang mampu digunakan sebagai penyubur lahan, akhirnya usaha ini dijadikan sebagai mata pencaharian yang tetap. Keberhasilannya tersebut menyebabkan peternak yang lain pun ikut bergabung dengan Uha Juhari membentuk satu Kelompok Ternak Simpay Tampomas pada tahun 1994 dengan jumlah anggota 24 peternak dimana setiap peternak memiliki kambing antara 5-30 ekor.

Sistem Pemeliharaan Terintegrasi

Pemberian pakan di Kecamatan Cimalaka yakni Kelompok Ternak Simpay Tampomas dilakukan secara cut and serve (cut and carry) dimana jenis pakan yang diberikan adalah hijauan tanpa diberikan konsentrat. Hijauan yang diberikan antara lain leguminosa (Gliricidia sepium dan Calliandra sp.) dan rumput lapangan yang tumbuh disekitar kandang–kandang kelompok. Jumlah pakan yang diberikan antara 4-6 kg yang disesuaikan dengan ukuran bobot badan dan jumlah kambing yang terdapat pada kandang kelompok.

Rumput gamal diberikan kepada ternak hanya pada musim penghujan dimana keberadaan tanaman gamal sangat banyak sedangkan pada musim kering tanaman gamal tidak banyak diberikan karena terbatas. Kaliandra merupakan hijauan yang banyak diberikan kepada ternak kambing karena keberadaan kaliandra cukup banyak di kaki gunung Tampomas. Banyaknya kaliandra juga didukung dari berbagai bantuan yang datang untuk Peternakan Simpay Tampomas dalam memenuhi kebutuhan pakan kambing oleh Dinas terkait.

Wina dan Budi (2000) menyatakan bahwa domba dan kambing akan tumbuh lebih baik bila disuplementasi dengan kaliandra dibandingkan bila hanya diberi rumput. Tingkat suplementasi yang baik adalah 30% dari total ransum karena pemberian yang lebih tinggi tidak mempunyai pengaruh lagi. Kadar tanin yang tinggi dalam daun kaliandra akan mengikat protein lebih kuat bila kaliandra dikeringkan daripada dalam bentuk segar. Peternak memberikan pakan kaliandra umumnya diberikan dalam bentuk segar.

33 Usaha peternakan kambing pada hakikatnya akan menghasilkan limbah ternak yakni kotoran. Limbah tersebut dijadikan pupuk. Pupuk tersebut lebih banyak digunakan untuk tanaman buah naga. Peternakan Simpay Tampomas memiliki sekitar 5 hektar lahan bekas galian pasir yang khusus untuk budidaya buah naga. Produktivitas buah naga yang dihasilkannya pun sangat tinggi karena dari 3 hektar lahan akan menghasilkan buah naga konsumsi sebanyak 36 ton per tahun.

Gambar 11. Budidaya Buah Naga

Pemeliharaan kambing PE di Kabupaten Sumedang dilakukan secara intensif dimana kambing-kambing ditempatkan sepanjang hari pada kandang tertutup dan dikeluarkan pada hari-hari tertentu, seperti pada waktu menjelang beranak, perawatan rutin, sakit dan bila akan dijual. Pemeliharaan secara intensif ini dilakukan untuk melaksanakan proteksi maksimal dari faktor lingkungan yang tidak terkontrol dan memberikan kontrol yang lengkap terhadap kebiasaan kambing yang merusak. Devendra (1993) menambahkan bahwa kambing perah di daerah tropis dikelola dengan produksi intensif (tanpa pengembalaan).

Kondisi iklim sekitar kandang yang kering selama penelitian menyebabkan adanya beberapa masalah terhadap kesehatan kambing. Gangguan kesehatan yang terjadi selama penelitian tahap pertama berlangsung adalah penyakit mata, kembung dan mencret. Penyakit mata hanya terjadi pada awal penelitian yang diakibatkan adanya perpindahan kandang. Tomaszewska et al. (1993) menyatakan bahwa penyakit mata bisa menyerang kambing Etawah pada saat cuaca kurang baik serta adanya penurunan daya tahan tubuh kambing Etawah, biasanya mudah sekali terserang penyakit mata. Namun pada penelitian ini penyakit tersebut tidak diobati hanya dibiarkan, karena akan sembuh setelah ternak beradaptasi dengan baik pada kandang yang baru. Hal ini terlihat setelah waktu adaptasi selesai dan dimulainya waktu perlakuan, ternak yang terdeteksi penyakit tersebut telah sembuh.

34 Penyakit yang menyerang ternak pada waktu penelitian yaitu penyakit kembung dan mencret, tindakan yang dilakukan yakni penyembuhan dengan pemberian obat. Tomaszewska et al. (1993) menyatakan bahwa perut kembung (bloat) terjadi karena ternak memakan pakan yang cepat terfermentasi, tetapi pengeluaran gas tidak mampu diimbangi. Makanan yang bisa menyebabkan hal ini adalah golongan leguminosa dan hijauan basah. Pakan yang banyak diberikan selama penelitian ini adalah kaliandra. Kaliandra tersebut tidak dibedakan antara yang muda dan yang tua, semuanya dicampur oleh peternak atau tergantung dari ketersediaan di lapangan. Kaliandra dan Piper aduncum yang diberikan pada penelitian ini diberikan dalam keadaan segar sehingga bisa jadi ternak yang terkena penyakit ini memakan pakannya dengan lahap dan cepat. Pencegahan yang bisa dilakukan adalah dengan memberikan pakan yang sudah kering dari embun pagi, pemberian leguminosa jangan terlalu banyak dan pemberian daun muda harus dihindari. Tindakan lainnya yang bisa dilakukan jika terjadi bloat adalah dengan mencekokkan minyak kelapa kepada ternak tersebut. Penyakit kembung pada penelitian ini diberi pengobatan per oral (melalui air minum) yakni dengan pemberian air minum Lasegar. Hal ini dilakukan karena ketersediaan obat tradisional pada lahan seperti bekas galian pasir sulit ditemukan dan lebih praktis dilakukan oleh peternak.

Mencret pada kambing diobati dengan pemberian obat dalam yakni pemberian obat Diapet satu kapsul dan air gula merah untuk menstabilkan kembali kondisinya akibat konsumsi pakan yang sedikit. Penyakit diare dialami oleh ternak kambing pada awal perlakuan pemberian konsentrat. Hal ini terjadi karena ternak belum beradaptasi dengan pakan baru yang diberikan. Diare menyerang kambing Etawah yang disebabkan makanan sejenis yang berlebihan atau karena kambing memakan hijauan makanan ternak yang berupa daun yang masih terlalu muda yang berlebihan (Tomaszewska et al., 1993).

Penelitian selanjutnya mengenai produktivitas induk laktasi memperlihatkan kondisi ternak yang lebih baik dibandingkan dengan ternak muda. Hal ini dikarenakan pada ternak kambing betina laktasi selalu dilakukan pembersihan kandang sebelum dilakukan pemerahan. Walaupun ada keterbatasan air di wilayah Kelompok Ternak Simpay Tampomas, diusahakan tindakan pembersihan pada daerah ambing dengan menggunakan air yang bersih dan hangat dan setelah

35 pemerahan diberikan antibiotik. Hal lainnya yang menyebabkan kesehatan ternak induk laktasi terjaga adalah selektifnya peternak dalam menjaga kesehatan ternak induk laktasi. Tindakan kebersihan yang terjaga tersebut dikarenakan peternak memahami akan adanya penyakit yang dapat menyerang pada ternak perah seperti penyakit mastitis jika kebersihan tidak terjaga.

Keterbatasan air yang dialami Kelompok Ternak Simpay Tampomas disebabkan penambangan pasir yang semakin banyak dilakukan pada lahan yang bersebelahan dengan peternakan. Wardoyo et al. (1999) menyatakan bahwa dampak fisik akibat penambangan pasir adalah terganggunya jalur aquifer air tanah akibat dari adanya kegiatan pemotongan bukit yang akan diambil pasirnya. Aquifer air tanah merupakan sumber air tanah bagi masyarakat. Posisi Kelompok Ternak Simpay Tampomas lebih tinggi dari lahan yang sekarang masih aktif dilakukan penggalian sehingga jalur aquifer semakin rendah dan bisa juga berubah. Oleh karena itu pasokan air sangat terbatas.

Keterbatasan air menyebabkan ternak kambing di Kelompok Ternak Simpay Tampomas tidak diberikan air minum. Kebutuhan air didapatkan oleh ternak hanya dari pakan yang diberikan. Air yang ada hanya cukup untuk digunakan sebagai air cucian untuk ternak kambing perah induk laktasi sebelum dilakukan pemerahan. Padahal air bagi ternak berfungsi sebagai komponen utama dalam metabolisme tubuh dan sebagai faktor utama dalam kontrol temperatur tubuh. Oleh karena itu, peternak mengupayakan pembuatan kolam-kolam penampungan air hujan sehingga diharapkan mampu memenuhi kebutuhan air untuk musim kemarau.

Performa Kambing PE Muda

Penelitian pertama mengenai performa kambing PE muda menggunakan kambing PE jantan sebanyak 12 ekor. Bobot tubuh awal kambing PE sebelum mendapatkan perlakuan yaitu berkisar antara 10,5-14,5 kg dengan rataan 12,6 kg. Devendra (1993) menyatakan bahwa berat badan mempunyai pengaruh yang nyata terhadap produksi daging. Salah satu faktor yang mempengaruhi berat badan adalah pakan yang diberikan kepada ternak, sehingga respon yang baik akan diperoleh ketika ternak diberikan pakan yang memiliki kualitas dan kuantitas yang baik.

Bobot tubuh akhir kambing setelah digemukkan selama dua bulan berkisar antara 13,2-18,1 kg dengan rataan 15,4 kg. Menurut Badan Standarisasi Nasional

36 (2008) untuk kambing jantan pada usia 0,5 tahun sampai 1 tahun bobot badannya mecapai 29±5 kg sedangkan menurut Sutama dan Budiarsana (1997) berat badan sapih pada kambing PE berkisar antara 8,6-12,7 kg dan pada umur 12 bulan akan meningkat sampai berat badan 15,4-20,5 kg.

Zurriyati (2005) menambahkan bahwa adanya Pertambahan Bobot Badan Harian (PBBH) pada umur yang relatif sama diantara ternak kambing disebabkan oleh keragaman individu (variasi genetik), tatalaksana pemeliharaan dan kondisi lingkungan yang berbeda. Ternak mempunyai kemampuan yang berbeda dalam beradaptasi dengan perubahan lingkungan sekitarnya yakni dengan adanya perubahan pakan sehingga dapat menyebabkan adanya pertambahan bobot badan ternak kambing yang berbeda pula.

Performa ternak dapat dilihat dari nilai PBBH. PBBH erat hubungannya dengan pertumbuhan karena dengan adanya PBBH menggambarkan kondisi ternak untuk tumbuh. Hasil yang diperoleh dari 56 hari terhadap kambing PE jantan, didapatkan rataan PBBH dari masing-masing ternak tersebut yang disajikan pada Tabel 7.

Tabel 7. Rataan PBBH Berdasarkan Pakan dan Waktu Pemberian yang Berbeda

Waktu Pemberian Jenis Pakan Rata-rata

P1 P2

W1 74,41a±11,89 44,64b±2,73 59,52±18,10

W2 43,45b±3,57 38,69b±5,16 41,07±4,52

Rata-rata 58,93±18,63 41,66±5,13

Keterangan: P1 = Hijauan & Konsentrat, P2 = Hijauan, W1 = P & So, dan W2 = Si & So. P = pagi

(08.00 WIB), Si = Siang (14.00 WIB), So = Sore (16.00 WIB). Superscript yang berbeda

(a,b) pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05).

PBBH ternak sangat dipengaruhi oleh kondisi fisik ternak dan lingkungannya. Pertambahan bobot badan dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu jenis ternak, umur, keadaan genetik, lingkungan, kondisi ternak, manajemen tata laksana dan total protein yang diperoleh ternak dari pakan yang dikonsumsi.

Hasil dari rataan yang diperoleh menunjukkan bahwa pemberian konsentrat sebanyak 100 gram/ekor/hari mampu memberikan pertambahan bobot badan yang sangat nyata lebih tinggi (P<0,01) dibandingkan dengan ternak yang tidak

37 mendapatkan tambahan pakan konsentrat. Ternak yang diberikan pakan pada waktu pemberian W1 nilai PBBHnya sangat nyata lebih tinggi (P<0,01) bila dibandingkan dengan ternak yang diberikan pakan pada waktu pemberian W2. Interaksi antara pengaruh pemberian pakan (P) dan waktu yang berbeda (W) pada ternak kambing PE menunjukkan hasil yang significant (P<0,05) berdasarkan analisis rancangan acak lengkap pola dua arah. Hal ini dapat dilihat dari tingginya PBBH ternak kambing jantan muda yang diberikan perlakuan pakan P1 pada waktu pemberian W1 dibandingkan dengan ternak yang diberikan perlakuan pakan P2 pada waktu pemberian pakan W2. Selanjutnya, rataan PBBH kambing PE berkisar antara 38,69- 74,41 gram/ekor/hari (lihat Tabel 7) dan grafik rataan pertambahan bobot badan kambing selama perlakuan dapat dilihat pada Gambar 12.

Hasil pada penelitian ini lebih rendah dibandingkan dengan penelitian Anastasia (2007) dengan pemberian pakan komplit yang mengandung Protein Kasar (PK) 12,05% menghasilkan PBBH pada kambing sebesar 78,70 gram/ekor/hari. Namun, PBBH yang diperoleh pada penelitian jauh lebih tinggi bila dibandingkan dengan data yang diperoleh Sutama dan Budiarsana (1997), dimana pada pemeliharaan yang berbeda pada kambing PE menghasilkan PBBH sebesar 27-65,4 gram/ekor/hari. Hasil yang diperoleh pada penelitian ini juga memiliki nilai yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan hasil yang diperoleh Hastono (2003) yakni kambing usia disapih sampai 6 bulan memiliki PBBH jantan dan betina berturut-turut yakni 39,3 gram/hari dan 39,4 gram/hari sedangkan pada usia 6 bulan sampai 9 bulan PBBH berturut-turut untuk jantan dan betina yakni 43 gram/hari dan 30 gram/hari. PBBH tertinggi didapatkan pada waktu pemberian pakan W1 dengan perlakuan P1

74,41 (a) 44,64 (b) 43,45 (b) 38,69 (b) 0 10 20 30 40 50 60 70 80

Hijauan & Konsentrat Hijauan

P erta mbaha n B obot B ada n Ha ria n (g ra m/ ekor/ha ri)

Gambar 12. Grafik Nilai Rataan PBBH

P & So Si & So

38 yaitu 74,41 gram/ekor/hari. Hal ini diduga karena adanya interaksi positif dari waktu yang panjang pada ternak untuk mengkonsumsi pakan yang diberikan dibandingkan dengan waktu pemberian pakan pada W2.

Perbedaan lama waktu makan memberikan perbedaan kecernaan komponen zat makanan pada kambing yang berbeda pula. Pemberian pakan yang lebih lama akan menyebabkan waktu yang lebih lama untuk meregurgitasi pakan lebih sempurna. Kondisi tersebut akan memberikan kesempatan yang lebih lama bagi mikroorganisme untuk mengurai zat makanan lebih sempurna. Hal ini yang menyebabkan PBBH ternak kambing jauh lebih tinggi daripada perlakuan pemberian pakan P2 dengan waktu pemberian pakan W2 yang biasa dilakukan oleh peternak. Semakin banyak pakan yang terkonsumsi maka semakin tinggi PBBH.

Pertambahan bobot badan yang tinggi akan menghasilkan bobot akhir yang tinggi pula. Selain adanya perbedaan waktu pemberian pakan Cheke (1999) mengemukakan bahwa jenis pakan dapat mempengaruhi PBBH ternak. Penambahan konsentrat sebanyak 100 gram/ekor/hari baik pada waktu pemberian pakan W1 maupun W2 memberikan peningkatan bobot badan yang jauh lebih tinggi dibandingkan tanpa adanya penambahan konsentrat. Menurut Ensminger (2002), untuk memacu pertumbuhan dapat dilakukan dengan pemberian pakan tambahan yang terdapat pada pakan, dalam pengkajian ini berupa konsentrat sebesar 100 g/ekor/ hari. Pakan tambahan akan berpengaruh terhadap asupan bahan kering ternak dan komponen nutrisi lainnya.

Penelitian lain pada ternak kambing muda yang berada pada peternakan Barokah di daerah Bogor memiliki nilai PBBH sebesar 87,5 g/hari (Atabany, 2001). Sehingga, PBBH yang terbaik di lahan kritis pasca galian tambang pasir nilainya lebih kecil dibandingkan dengan daerah yang tidak kritis. Perbedaan PBBH yang dihasilkan diantara kedua penelitian menunjukkan bahwa kondisi lingkungan yang berbeda dengan manajemen pemberian pakan yang berbeda menghasilkan peningkatan PBBH walaupun peningkatan pertambahan bobot badan yang dihasilkan

Dokumen terkait