• Tidak ada hasil yang ditemukan

DI LAHAN PASCA GALIAN PASIR

TINJAUAN PUSTAKA

Reklamasi Lahan Tambang

Lahan merupakan sumberdaya yang sangat penting karena merupakan komponen dasar dari lingkungan alam. Pemanfaatan lahan yang tidak mengindahkan aspek lingkungan dapat menjadi pendorong terjadinya bencana yang akan mengakibatkan kerusakan lingkungan. Lahan termasuk sumberdaya alam yang akan habis (exhaustible/stock resources) yang bersifat dapat pulih kembali atau tidak dapat pulih kembali (non renewable resources). Bahan tambang merupakan salah satu sumberdaya alam yang tidak dapat diperbaharui karena berjumlah tetap atau diolah kembali serta untuk pembentukannya memerlukan waktu yang lama (Rani, 2004). Usaha-usaha untuk mengurangi dampak negatif yang ditimbulkan akibat pertambangan pasir harus dilakukan dalam rangka melestarikan lingkungan. Usaha rehabilitasi lahan bekas tambang adalah usaha memperbaiki, memulihkan kembali dan meningkatkan kondisi lahan yang rusak agar dapat berfungsi kembali secara optimal, baik sebagai unsur produksi, media pengatur tata air maupun sebagai unsur perlindungan alam lingkungan (Zulfahmi, 1996).

Menteri Energi dan Sumberdaya Mineral (2008) menyebutkan bahwa reklamasi dan penutupan tambang merupakan suatu kegiatan yang harus dilaksanakan dan wajib memenuhi prinsip-prinsip lingkungan hidup, keselamatan dan kesehatan kerja serta konservasi bahan galian. Menurut Soelarno (2007) tujuan utama dari penutupan tambang adalah sebagai berikut: pemulihan fungsi lahan menjadi lahan yang produktif dan dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan, meminimumkan kerusakan lingkungan, melakukan konservasi terhadap beberapa obyek yang dilindungi serta melakukan pengentasan terhadap kemiskinan akibat dampak sosial ekonomi.

Yusuf (2008) menyatakan bahwa arahan strategi kebijakan reklamasi lahan pasca penambangan harus berbasis lingkungan dan berkelanjutan serta kebijakan melakukan reklamasi dengan tanaman yang bernilai ekonomi bagi masyarakat setempat. Hal ini dilakukan karena sifat sumberdaya alam penambangan termasuk kedalam sumberdaya yang tidak dapat diperbaharui sehingga stakeholders harus memperhatikan reklamasi dengan tanaman sebagai perhatian yang paling utama.

4 Masyarakat setempat yang peduli akan lingkungan sekitarnya melakukan reklamasi lahan dengan cara membeli lahan yang sudah tidak dilakukan penambangan kemudian mereka melakukan penanaman leguminosa, rerumputan dan kayu-kayuan. Legum dan rerumputan yang telah tumbuh tersebut digunakan oleh masyarakat sebagai pakan ternak kambing. Keberadaan kambing di lahan pasca tambang ini digunakan oleh peternak sebagai sumber pupuk kandang yang dapat digunakan sebagai pupuk organik untuk menyuburkan lahan sekitar. Pemberian bahan organik mempunyai manfaat antara lain: memperbaiki sifat fisik tanah, hasil pelapukan bahan organik juga merupakan unsur hara yang cukup potensial dan terhadap sifat kimia tanah ialah menambah nilai kapasitas tukar kation serta sebagai gudang hara (Rani, 2004). Pupuk kandang mengandung unsur hara dengan konsentrasi yang bervariasi diantara ternak satu dengan yang lainnya tergantung dari jenis ternak, umur, gizi dan kesehatan ternak. Ternak merupakan salah satu komponen pertanian sehingga sangat diperlukan oleh kalangan petani sebagai sumber pupuk yang ekonomis dan bersifat organik (Abdurachman et al., 1999). Sabihan et al. (1989) menyatakan bahwa dosis pupuk kandang yang diperlukan dalam pemupukan tergantung dari jenis tanah, jenis tanaman yang diusahakan, bentuk usaha tani dan jumlah pupuk kandang yang tersedia.

Menurut Dewan Perwakilan Rakyat (1967) dalam Undang-Undang ketentuan Pokok Pertambangan, pasir termasuk kedalam bahan galian C yaitu bahan galian yang dianggap tidak langsung mempengaruhi hajat hidup orang banyak, karena kecilnya jumlah letakan (deposit) bahan galian itu. Bahan galian A adalah bahan galian strategis untuk pertahanan atau keamanan negara dan menjamin perekonomian negara (minyak bumi). Bahan galian B adalah bahan galian vital dalam arti dapat menjamin hajat hidup orang banyak (timah, tembaga dan emas). Pertambangan pasir termasuk kedalam sistem pertambangan terbuka (open cut-mining) karena bahan galian bisa berada di permukaan tanah atau dalam keadaan yang tidak terlalu dalam (Shenyakov, 1970). Cara yang dilakukan untuk melakukan penambangan pasir bisa dilakukan dengan dua cara yakni dengan cara konvensional dan cara mekanis. Cara konvensional umumnya menggunakan alat-alat sederhana seperti linggis, cangkul dan sekop dengan jumlah pekerja dilakukan secara berkelompok (4-5 orang) sedangkan cara mekanis menggunakan peralatan Back Hoe, Excavator, Loader dan

5 Bulldozer (Handoyo et al., 1999). Menurut Fauzan (2002), Kegiatan penambangan pasir dimulai dengan pembersihan lahan dari semak-semak, pohon dan tumbuhan lainnya. Pembersihan lahan bisa dilakukan secara manual maupun menggunakan Bulldozer. Selanjutnya dilakukan pengupasan tanah penutup. Tahap pertama pembuangan yaitu berupa top soil kemudian lapisan tufa. Setelah itu dilakukan penggalian dan pemuatan galian pasir.

Kambing Peranakan Etawa (PE)

Pengembangan ternak kambing terutama di daerah marjinal dalam rangka menciptakan kesempatan kerja yang lebih luas dan sekaligus membantu memecahkan masalah kemiskinan di pedesaan. Kambing PE adalah hasil persilangan antara kambing Etawah dengan kambing Kacang dengan bentuk fisiknya lebih mirip kambing Etawah (Sutama dan Budiarsana, 1997). Menurut Badan Standarisasi Nasional (2008), kambing PE memiliki ciri khusus, antara lain telinga yang panjang, menggantung dan terkulai serta bulu rewos yang panjang pada ke dua kaki belakang. Kambing PE dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Kambing PE Muda

Menurut Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementrian Pertanian RI (2011), populasi kambing di Indonesia relatif besar yakni 17.482.722 ekor, dibandingkan dengan hewan ruminansia lain yakni ternak sapi potong (14.824.373 ekor) dan domba (11.371.630 ekor) namun untuk ternak kambing PE populasinya masih relatif kecil dan belum tercatat secara statistik. Kambing PE termasuk tipe dwiguna (dual purpose). Kambing ini mempunyai kompormasi tubuh

6 yang cukup besar sehingga sering digunakan untuk mendukung program perbaikan mutu bibit kambing di Indonesia (Atabany, 2001).

Produktivitas Kambing PE

Menurut Heriyadi (2004), kambing memiliki adaptasi yang sangat tinggi terhadap berbagai jenis hijauan, mulai dari rumput-rumputan, leguminosa, rambanan, daun-daunan, bahkan semak belukar yang biasanya tidak dapat dikonsumsi oleh ternak ruminansia lain, seperti: sapi perah, sapi potong, kerbau dan domba. Kambing mempunyai kebiasaan makan yang khusus dimana dengan lidah yang cekatan, kambing dapat mengkonsumsi rumput-rumputan yang sangat pendek dan makan daun pohon-pohonan atau semak-semak yang biasa dimakan oleh ternak ruminansia lainnya. Ternak ini mampu mengkonsumsi makanan yang mengandung serat yang tinggi pada keadaan tertentu sehingga mampu mempergunakan zat makanan jauh lebih baik daripada kebanyakan ternak ruminansia lainnya. Selain itu kambing juga mempunyai sifat yang serba ingin tahu sehingga makanan yang diberikan kepada kambing bisa beraneka ragam dan tidak hanya terfokus pada satu macam pakan saja. Penyusunan ransum sendiri harus realistis dan didasarkan pada bahan makanan yang murah seperti daun tanaman semak, padang rumput dan makanan hasil limbah pertanian serta industri (Devendra dan Burns, 1994).

Produktivitas kambing cukup baik apabila dipelihara dengan baik. Berat lahir kambing PE berkisar 2-4 kg dimana berat lahir anak jantan lebih tinggi dari betina. Pencapaian bobot badan kambing PE betina lebih tinggi pada awal dewasa tubuh dan lebih cepat dibandingkan kambing jantan. Kambing PE jantan mampu mencapai 90 kg dan betina 60 kg. Selanjutnya, kambing PE memiliki ukuran tubuh yang sangat tinggi (65-86 cm), ramping dan relatif lebih besar jika dibandingkan dengan kambing kacang (Heriyadi, 2004).

Rataan bobot lahir kambing PE kelahiran tunggal adalah 3,2 kg untuk betina sedangkan untuk jantan adalah 3,7 kg (Heriyadi, 2004). Menurut Atabany (2001), berat lahir rata-rata anak jantan adalah 3,97 kg/ekor sedangkan betina lebih rendah yakni 3,73 kg/ekor. Berat lahir ternak kambing PE baik jantan maupun betina terdapat perbedaan tergantung dari jumlah anak yang dilahirkan dimana berat lahir tunggal (jantan = 4,39 kg/ekor dan betina = 4,20 kg/ekor) lebih tinggi daripada berat lahir kembar empat (jantan = 2,57 kg/ekor dan betina = 2,70 kg/ekor). Munier (2008)

7 menyatakan bahwa tinggi rendahnya bobot lahir anak kambing sangat dipengaruhi oleh kondisi induknya selama kebuntingan. Faktor utama yang paling menentukan adalah pakan yang berkaitan dengan jumlah dan mutu pakan yang dikonsumsi kambing. Kekurangan pakan umumnya akan mengakibatkan lemahnya fisik calon induk, produksi air susu rendah menjelang kelahiran, kondisi fisik anak lemah dan bobot lahir rendah. Bobot lahir anak jantan lebih besar dibandingkan betina dengan nilai masing-masing bobot lahir adalah sebagai berikut: jantan 3,15 kg dan betina 2,90 kg. Sementara itu persyaratan kuantitatif kambing PE bibit menurut Badan Standarisasi Nasional (2008) dapat dilihat pada Tabel 1 dan 2.

Tabel 1. Persyaratan Kuantitatif Kambing PE Jantan No. Parameter Satuan

Umur (tahun) 0,5 sampai 1 >1 sampai 2 1 Bobot badan (kg) 29 ± 5 40 ± 9 2 Tinggi pundak (cm) 67 ± 5 75 ± 8 3 Panjang badan (cm) 53 ± 8 61 ± 7 4 Lingkar dada (cm) 71 ± 6 80 ± 8

Sumber: Badan Standarisasi Nasional, 2008

Tabel 2. Persyaratan Kuantitatif Kambing PE Betina No. Parameter Satuan

Umur (tahun) >1 sampai 2 >2 sampai 4 1 Bobot badan (kg) 34 ± 6 41 ± 7 2 Tinggi pundak (cm) 71 ± 5 75 ± 5 3 Panjang badan (cm) 57 ± 5 60 ± 5 4 Lingkar dada (cm) 76 ± 7 81 ± 3

Sumber: Badan Standarisasi Nasional, 2008

Menurut Ensminger (2002), suhu lingkungan yang ideal untuk kambing perah di daerah subtropis berkisar 12,7oC sampai 21,11oC, sementara untuk daerah tropis lebih tinggi suhu lingkungannya yakni menurut Smith dan Mangkoewidjojo (1988), suhu nyaman bagi kambing berkisar antara 18oC sampai 30oC. Tomaszewska et al. (1993) menyatakan bahwa ternak kambing sangat cocok di daerah dengan kelembaban kering daripada kelembaban tinggi, karena kambing yang dipelihara pada wilayah basah cenderung lebih mudah mati karena infeksi parasit atau oleh

8 penyakit. Faktor iklim lainnya yang penting diperhatikan pada ternak adalah kecepatan angin dan radiasi sinar matahari. Kambing yang dipelihara pada ketinggian tempat 300 meter di atas permukaan laut dengan kisaran suhu 15,7oC sampai 35,1oC menghasilkan kecepatan tumbuh sebesar 40 gram/hari sedangkan pada ketinggian 700 meter di atas permukaan laut dengan kisaran suhu 22,4oC sampai 28,4oC kecepatan tumbuh ternak 50 gram/hari (Tomaszewska et al., 1993).

Produksi karkas seekor ternak dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain jenis kelamin dan umur disamping nutrisi yang diberikan terhadap ternak tersebut (Usmiati dan Setiyanto, 2008). Soeparno (1994) menyatakan bobot potong yang tinggi menghasilkan karkas yang makin besar. Bertambahnya umur ternak dan pertambahan bobot hidup maka bobot karkas akan semakin bertambah. Ternak jantan mempunyai lebih banyak daging dan tulang dibandingkan ternak betina pada bobot tubuh dan bobot karkas yang sama. Hal ini disebabkan oleh perbedaan laju pertumbuhan pada umur yang sama antara ternak jantan dan betina. Usmiati dan Setiyanto (2008) menyatakan bahwa kambing yang berusia dibawah dua tahun dengan bobot hidup 17,50 kg akan menghasilkan bobot karkas sebesar 7,37 kg dengan persentase karkas 40,49%.

Karakteristik Reproduksi Kambing Betina

Siklus berahi pada kambing betina setiap 21 hari dengan lama berahi antara 2-3 hari (Toelihere, 1981), 15-18 hari (Taylor dan Field, 2004) dan 22,79 hari menurut Atabany (2001). Tanda-tanda berahi pada kambing bisa diamati pada daerah vulvanya yang membengkak, warnanya merah dan basah. Ciri-ciri lain yaitu sering mengembik, sering kencing dan siap dinaiki kambing betina lainnya (Blakely dan Blade, 1992). Berahi umumnya akan terjadi sepanjang tahun pada kambing yang terdapat di daerah tropis (Devendra dan Burns, 1994) tetapi siklus berahi akan lebih lama dengan semakin meningkatnya suhu lingkungan (Hsia, 1990). Ketelitian dalam mengidentifikasi berahi pada kambing dan lamanya berahi sangat penting karena akan mempengaruhi keberhasilan perkawinan. Ketika terjadi berahi kembali setelah proses perkawinan, itu berarti tidak terjadi kebuntingan pada kambing betina (Atabany, 2001). Gambar kambing betina dewasa bisa dilihat pada Gambar 2.

9 Gambar 2. Kambing PE Betina Dewasa

Atabany (2001) menyatakan bahwa kambing PE yang dipelihara di daerah Bogor memiliki karakteristik reproduksi sebagai berikut: lama kebuntingan 148,87 hari dan lama hari kosong 110,09 hari. Selang beranak adalah periode antara dua beranak yang berurutan, terdiri atas periode perkawinan dan periode bunting (Devendra dan Burns, 1994). Selang beranak kambing PE di Kecamatan Caringin yaitu 259,36 hari (Atabany, 2001). Smith dan Mangkoewidjojo (1987) menyatakan bahwa ternak kambing betina dikawinkan pertama kali pada umur 9-12 bulan sedangkan Taylor dan Field (2004) menyatakan bahwa kambing dapat dikawinkan pada umur 6-10 bulan. Hal ini tergantung pada pertumbuhan betina tersebut. Umumnya kambing betina dikawinkan pada saat bobot tubuhnya mencapai 40-45 kg (Blakely dan Blade, 1992). Kambing PE yang dipelihara di Kecamatan Caringin, umur kawin pertama yakni pada usia 403,22 hari dan umur beranak pertama 643,24 hari. Lama bunting pada ternak kambing adalah 144-157 hari (Smith dan Mangkoewidjojo, 1987), 142-156 hari (Bogard dan Taylor, 1983) dan 146 hari (Devendra dan Burns, 1994). Waktu kawin setelah beranak 64,195 hari atau sering disebut dengan masa kosong. Masa kosong adalah waktu sejak kambing beranak sampai dikawinkan kembali dan terjadi kebuntingan (Atabany, 2001).

Produksi dan Kualitas Susu Kambing

Menurut Atabany (2001), produksi susu sangat dipengaruhi oleh tahun musim beranak, jumlah laktasi dan umur pertama kali beranak. Bangsa kambing juga memiliki pengaruh yang sangat besar. Produksi susu kambing PE sebesar 0,99 kg/ekor/hari dengan lama laktasi 170,07 hari. Taylor dan Field (2004) menambahkan bahwa lama laktasi normal pada kambing adalah 7-10 bulan dengan lama masa

10 kering 2 bulan. Produksi susu yang dihasilkan setiap hari akan meningkat sejak induk melahirkan dan akan menurun secara berangsur-angsur hingga berakhirnya masa laktasi (Blakely dan Blade, 1992). Puncak produksi susu akan dicapai pada hari 48- 72 setelah beranak (Devendra dan Burns, 1994).

Susu yang dihasilkan dari ternak kambing akan menghasilkan kualitas yang berbeda dibandingkan dengan kualitas susu ternak ruminansia lainnya. Bangsa yang berbeda pada ternak kambing juga akan menghasilkan kualitas yang berbeda, karena kualitas susu merupakan sifat kuantitatif dari seekor ternak yang dipengaruhi oleh genetik, lingkungan serta interaksi antara genetik dan lingkungan. Kualitas susu kambing PE yang berada di Daerah Caringin-Bogor dengan ketinggian tempat 720 meter dari permukaan laut dengan suhu rata-rata harian 22oC dan kelembaban 70%- 80% berturut-turut sebagai berikut: berat jenis 1,0292, bahan kering 16,38%, lemak 6,68%, protein 2,93%, SNF 9,69%, gross energi 3305 kkal (Atabany, 2001). Greppi et al. (2008) menyatakan bahwa komposisi susu dari kambing yakni 29-31 gram/liter protein, 35-45 gram/liter lemak dan 41-44 gram/liter laktosa.

Jenis dan Cara Pemberian Pakan

Pakan adalah salah satu faktor yang sangat menentukan disamping mutu bibit dan tatalaksana dalam menghasilkan produksi ternak seperti produksi daging, susu dan telur (Sudaryanto, 1997). Perbaikan performa ternak kambing dapat diupayakan melalui beberapa hal, antara lain melalui perbaikan pakan yaitu dengan menjaga kontinuitas jumlah dan mutu pakan yang diberikan atau dapat pula dilakukan dengan mengatur pola reproduksinya. Ternak kambing pada dasarnya lebih selektif dalam memilih pakan sehingga harus diberikan pakan yang berkualitas baik (Yulistiani et al., 2000). Pakan yang diberikan kepada ternak umumnya terbagi menjadi dua yakni berupa hijauan dan konsentrat. Faktor yang perlu diperhatikan adalah jumlah konsumsi pakan karena berpengaruh terhadap tingkat produksi ternak. Hal ini terkait dengan jumlah zat-zat makanan yang didapatkan oleh ternak. Ternak akan mencapai tingkat penampilan yang tinggi sesuai potensi genetiknya ketika ternak mendapatkan zat-zat makanan yang dibutuhkan (Sutardi, 1980). Pakan yang banyak diberikan pada ternak kambing adalah rumput gajah, rumput benggala, rumput raja, daun lamtoro, gamal dan kaliandra. Selain itu, kambing juga menyukai pakan dari limbah industri (dedak padi, dedak jagung, ampas tahu, bungkil kedelai, bungkil kacang tanah dan

11 bungkil kelapa), limbah pertanian (jerami kacang tanah, jerami kedelai, daun kacang panjang dan daun buncis), pakan penguat dan silase (Devandra dan Burns, 1994).

Kaliandra (Calliandra calothyrsus) digunakan secara luas untuk pakan ternak karena 1) daun, bunga dan tangkai memiliki kandungan protein 20%-25% dan 2) cepat tumbuh dan kemampuan bertunas tinggi setelah pemangkasan. Kaliandra digunakan dalam sistem tebang dan angkut (cut and carry system) maupun sistem pengembalaan (Roshetko, 2000). Wina dan Budi (2000) menyatakan bahwa domba dan kambing akan tumbuh lebih baik bila disuplementasi dengan kaliandra dibandingkan bila hanya diberi rumput. Tingkat suplementasi yang baik adalah 30% dari total ransum karena pemberian yang lebih tinggi tidak mempunyai pengaruh lagi. Kadar tanin yang tinggi dalam daun kaliandra akan mengikat protein lebih kuat bila kaliandra dikeringkan daripada dalam bentuk segar. Karda (2000) menyatakan bahwa kambing dilaporkan mempunyai kemampuan mencerna tanin karena memiliki enzim tannase pada mukosa ruminal. National Academy of Science (1980) menyatakan bahwa hijauan kaliandra memiliki PK 22%, SK 34%-75%, lemak 2%- 3%, abu 4,5%-5% serta produksi 1-10 ton bahan kering/ha/tahun. Kaliandra tumbuh optimal pada daerah basah dengan curah hujan 1000 mm/tahun dan dapat tumbuh pada ketinggian 150-1500 m dpl.

Piper aduncum merupakan perdu yang tumbuh tegak atau pohon kecil dengan tinggi 3-8 meter, memiliki sifat tahan bakar, tajuknya rimbun dan selalu hijau, cepat tumbuh dan tahan pangkas berat sehingga banyak dijadikan sebagai jalur hijau dalam pencegahan kebakaran hutan. Masyarakat sunda sering menyebut tanaman Piper aduncum dengan sebutan gedebong atau seuseureuhan. Tumbuhan ini berasal dari Amerika dan ada di Indonesia pada tahun 1860, dapat tumbuh pada ketinggian 90-1000 m dpl. Batang dari gedebong ini bisa juga dimanfaatkan sebagai tongkat dan mengandung minyak atsiri sebesar 0,1%. (Heyne, 1987). P. aduncum atau seuseureuhan tumbuh baik di hutan belukar dan hutan-hutan sekunder juga di berbagai tempat seperti tepi sungai dan lereng gunung. Kelebihannya adalah mudah dalam perkembangbiakannya karena bisa dilakukan dengan cara stek (Nurhayati, 2000).

Gamal (Gliricidia sepium) merupakan tanaman leguminosa yang banyak tumbuh di daerah tropis, tumbuh subur sepanjang tahun dan produksi daunnya cukup

12 tinggi, sehingga tanaman ini diharapkan dapat mengatasi kekurangan pakan hijauan terutama rumput di musim kering. Pemanfaatan Gliricidia telah banyak dilakukan oleh peternak di pedesaan sebagai suplemen terutama untuk ternak ruminansia hal ini sangat tepat karena Gliricidia mempunyai kandungan gizi yang tinggi terutama protein, yaitu 23,5% (Yulistiani et al., 2000). Daun gamal ketika diberikan kepada kambing dapat meningkatkan pertumbuhan bobot badan dua kali lebih besar. Namun, pemberian daun gamal harus dilayukan terlebih dahulu sebelum diberikan kepada ternak (Asnah, 1997).

Rumput gajah (Pennisetum purpureum) adalah rumput yang banyak digunakan oleh peternak di Indonesia karena mudah dibudidayakan dan dapat dipanen dengan interval pemotongan 40 hari. Jenis rumput ini mudah tumbuh di kondisi basah maupun kering. Rumput gajah yang terdegradasi dalam rumen sebesar 45% untuk bahan kering dan 48% protein (Widiawati et al., 2007).

Cahyadi (2009) menyatakan bahwa kedelai merupakan protein nabati yang efisien dan protein kedelai merupakan satu-satunya leguminosa yang mengandung semua asam amino esensial. Kedelai termasuk kedalam famili Leguminosae dengan nama ilmiahnya yakni Glycine max (L) Merill. Kedelai sering digunakan sebagai bahan pokok dalam industri pembuatan tahu. Tahu adalah ekstrak protein kedelai yang telah digumpalkan dengan asam dan ion kalsium. Widowati (2007) menyatakan bahwa prinsip pembuatan tahu ada dua tahap yakni pembuatan susu kedelai dan penggumpalan protein. Proses pembuatan tahu tersebut menghasilkan limbah kulit kacang kedelai dan ampas tahu. Adie dan Krisnawati (2007) menyatakan bahwa kulit biji kedelai terdiri dari tiga lapisan yaitu epidermis, hipodermis dan parenkim. Kulit kacang kedelai dari limbah industri tahu memiliki kandungan protein kasar 26,79%, lemak kasar 12,73% dan serat kasar 26,93%.

Ampas tahu merupakan limbah industri pangan yang memiliki nilai nutrisi sangat tinggi, namun demikian bahan ini dihasilkan dalam keadaan basah (kandungan kadar air yang sangat tinggi). Kecernaan bahan kering ampas tahu kering secara in vivo pada ternak domba lokal ekor tipis sebesar 70,95% (Sugiyono, 2010). Ampas tahu yang dilakukan pengeringan dengan sinar matahari mengandung zat nutrisi 87,75% bahan kering, 18,87% protein kasar, 28,23% serat kasar, 8,77% lemak, 3,79% abu, BETN 40,34% dan 63,16% TDN (Wahyuni, 2003).

13 Kebutuhan nutrisi ternak bervariasi antar spesies ternak dan umur fisiologis ternak tersebut. Faktor lain yang juga menentukan adalah jenis kelamin, tingkat produksi, aktivitas ternak dan kondisi lingkungan ternak (Haryanto, 1992). Devendra (1993) menyatakan bahwa kambing perah membutuhkan bahan kering yang terkandung di dalam bahan pakan adalah 5%-7% dari berat hidupnya. Tabel 3 menyajikan kebutuhan nutrisi yang diperlukan oleh ternak kambing.

Tabel 3. Kebutuhan Nutrisi Ternak Kambing Berat Badan

(kg)

Kebutuhan Nutrisi Harian

BK (g) BK (%BB) TDN (g) Protein (g)

10 500 5,0 278 38

20 840 4,2 467 64

30 1140 3,8 634 87

Sumber : National Research Council, 1981

Kandungan lemak dalam pakan yang diberikan pada ternak kambing PE betina dewasa yakni berkisar 1,51%–10,37%. Pemberian konsentrat pada induk kambing laktasi sebesar 0,5 kg, ampas tahu 3 kg, rumput 5,5 kg dan singkong sebanyak 0,5 kg akan menghasilkan produksi susu harian sebesar 0,99 kg/ekor/hari dengan lama laktasi 170,07 hari. Rataan konsumsi zat makanan per ekor induk laktasi kambing PE yakni konsumsi bahan kering sebanyak 1759 gram/ekor/hari, protein kasar 215 gram/ekor/hari, lemak 52 gram/ekor/hari, serat kasar 386 gram/ekor/hari, BETN 817 gram/ekor/hari dan abu 119 gram/ekor/hari (Atabany, 2001).

Performa Produksi Ternak Kambing

Performa ternak bisa dilihat dari Pertambahan Bobot Hidup Harian (PBBH) yang sangat dipengaruhi oleh kondisi fisik ternak dan lingkungannya. Peningkatan bobot hidup ternak erat kaitannya dengan kondisi pakan sehingga pakan yang diberikan harus diperhatikan dengan baik oleh peternak (Zurriyati, 2005). Devendra (1993) menyatakan bahwa berat badan mempunyai pengaruh yang nyata terhadap produksi daging. Salah satu faktor yang mempengaruhi berat badan adalah pakan yang diberikan kepada ternak. Sehingga respon yang baik akan diperoleh ketika ternak diberikan pakan yang memiliki kualitas dan kuantitas yang baik. Zurriyati (2005) menambahkan bahwa adanya perubahan bobot badan pada umur yang relatif

14 sama diantara ternak kambing disebabkan oleh keragaman individu (variasi genetik), tatalaksana pemeliharaan dan kondisi lingkungan yang berbeda. Namun, umumnya pertumbuhan anak jantan pra sapih lebih tinggi dibandingkan anak betina, selain itu anak dengan kelahiran tunggal akan memiliki pertumbuhan yang lebih tinggi dibandingkan dengan anak tipe kelahiran anak kembar (Budiarsana, 2005). Tabel 4 memperlihatkan data pertumbuhan kambing PE.

Tabel 4. Bobot Badan Kambing PE pada Berbagai Sistem Pemeliharaan Sumber

Berat badan

PBBH (g) Keterangan Lahir Sapih 12 bln

Astuti (1984) 2,50 - 15,4 65,4 di desa

Setiadi & Sitorus (1984) 2,51 10,7 16,6 27,0 st. pembibitan

Seiadi et al. (1987) - 8,6 - - st. percobaan

Seiadi et al. (1989) 2,50 9,9 - - di desa

Triwulanningsih (1989) 2,85 8,9 20,5 - st. percobaan Sutama et al. (1984) 2,90 12,7 - 38,4 st. percobaan Sutama et al. (1955) 3,25 11,1 - 62,4 st. percobaan

Rataan 2,75 10,2 17,5 48,3

Sumber: Sutama dan Budiarsana, 1997

PBBH umumnya digunakan sebagai peubah yang dapat digunakan untuk menilai kualitas bahan makanan ternak yang diberikan. Pengukuran bobot tubuh

Dokumen terkait