• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tahap III. Uji Pertumbuhan dan Kecernaan pada Ikan Nila Uji Pertumbuhan Uji Pertumbuhan

HASIL DAN PEMBAHASAN

Tahap I: Mekanisme fisik untuk meningkatkan kualitas jagung

Penelitian tahap satu bertujuan untuk meningkatkan kecernaan jagung sebagai salah satu pakan ikan nila. Hasil penelitian menunjukkan bahwa setelah beberapa perlakuan fisik pada jagung (perendaman, perebusan, dan pengukusan) tidak memberikan pengaruh terhadap hasil analisis proksimat jagung (P>0,05). Data analisis proksimat lengkap jagung hasil perlakuan fisik disajikan pada Tabel 9.

Tabel 9. Analisis proksimat jagung hasil perlakuan fisik

Parameter Perlakuan/ jenis mekanisme fisik

A (Kontrol) B (Rendam) C (Rebus) D (Kukus) Protein (%) 8,64 ± 0,35a* 9,83 ± 1,51 a 9,57 ± 1,27 a 8,48 ± 0,31 a Lemak (%) 4,02 ± 0,03 a 3,31 ± 0,10 a 4,10 ± 0,05 a 3,70 ± 0,15 a Serat kasar (%) 6,39 ± 0,53 a 6,56 ± 0,94 a 6,21 ± 0,36 a 6,45 ± 0,07 a Abu (%) 3,64 ± 0,30 a 3,62 ± 0,14 a 3,36 ± 0,14 a 3,66 ± 0,11 a BETN (%) 77,74 ± 0,55a 75,68 ± 2,61a 76,77 ± 1,13 a 76,71 ± 0,28 a * Keterangan: huruf superscript yang sama pada baris yang sama menunjukkan

tidak berbeda nyata antar perlakuan (P>0,05)

Kandungan protein jagung antar perlakuan berkisar antara 8,48-9,83% sedangkan kandungan lemak berkisar antara 3,31-4,10%. Hasil yang sama diperoleh pada kandungan serat kasar, abu, dan BETN yang menunjukkan tidak berbeda nyata antar perlakuan (P>0,05). Nilai serat kasar, abu, dan BETN jagung hasil pengolahan fisik berturut-turut 6,21-6,56%, 3,36-3,64%, dan 75,68-77,74%.

Kandungan fosfor dan kalsium

Fosfor dan kalsium merupakan mineral yang banyak terkandung dalam jagung. Hasil percobaan menunjukkan bahwa beragam perlakuan fisik (perendaman, perebusan, dan pengukusan) tidak mempengaruhi kandungan fosfor dan kalsium jagung (P>0,05). Kandungan fosfor pada jagung berkisar antara 0,31-0,34% sedangkan kandungan kalsium jagung berkisar antara 0,031-0,045%. Data hasil analisis kandungan fosfor dan kalsium jagung disajikan pada Gambar 2 dan 3.

Gambar 2. Kandungan fosfor jagung hasil perlakuan fisik

Gambar 3. Kandungan kalsium jagung hasil perlakuan fisik

Fraksi serat kasar

Fraksi serat kasar yang diamati meliputi kandungan neutral detergent fiber

(NDF), acid detergent fiber (ADF), hemiselulosa, lignin, dan selulosa. Hasil percobaan menunjukkan bahwa perlakuan fisik tidak mempengaruhi kandungan fraksi serat kasar (P>0,05). Kandungan NDF dan ADF berturut-turut 36,72-38,30% dan 4,81-5,49%. Kandungan hemiselulosa pada bahan uji berkisar antara 31,20-32,94%. Kandungan selulosa dan lignin jagung uji berturut-turut 1,44-1,55% dan 3,51-3,67%. Data fraksi serat kasar disajikan pada Gambar 4.

Gambar 4. Fraksi serat kasar hasil perlakuan fisik; a) Neutral detergent fiber

(NDF), b) Acid detergent fiber (ADF), c) Lignin, d) Selulosa, e) Hemiselulosa

Amilosa dan Amilopektin

Amilosa dan amilopektin merupakan komponen utama pendukung pati (starch). Kandungan amilosa jagung pada penelitian ini berkisar antara 31,25-33,21% dari total pati. Sedangkan kandungan amilopektin berkisar antara 66,79-68,75% dari total pati. Rasio amilosa:amilopektin pada jagung perlakuan berkisar antara 0,455-0,497. Kandungan amilosa, amilopektin, serta rasio keduanya disajikan pada Tabel 10.

Tabel 10. Kandungan amilosa (%), amilopektin (%), serta rasio keduanya pada jagung hasil perlakuan fisik

Parameter

Perlakuan/ jenis mekanisme fisik A (Kontrol) B (Rendam) C (Rebus) D (Kukus) Amilosa (%) 31,25 31,31 32,47 33,21 Amilopektin (%) 68,75 68,69 67,53 66,79 Rasio amilosa:amilopektin 0,455 0,456 0,481 0,497 Asam fitat

Penggunaan perlakuan fisik yang berbeda memberikan pengaruh terhadap kandungan asam fitat jagung (P<0,05). Kandungan asam fitat terendah diperoleh

a)

e)

d) c)

pada jagung yang diberi perlakuan pengukusan yaitu sebesar 4,76% namun nilai ini tidak berbeda nyata dengan perlakuan perebusan dengan kandungan asam fitat sebesar 4,88%. Kandungan asam fitat tertinggi diperoleh pada jagung kontrol dengan kandungan asam fitat sebesar 7,71%. Data lengkap kandungan asam fitat pada penelitian ini disajikan pada Gambar 5.

Kecernaan

Penggunaan perlakuan fisik yang berbeda mempengaruhi nilai kecernaan total, protein, energi, dan bahan uji (P<0,05). Penggunaan perlakuan pengukusan pada jagung memberikan nilai terbaik bagi nilai kecernaan total, protein, energi, dan bahan (tanpa dibandingkan dengan pakan acuan). Nilai kecernaan total, protein, energi, dan bahan pada perlakuan pengukusan berturut-turut 70,82%, 76,94%, 78,22%, dan 65,79%. Nilai kecernaan terendah diperoleh pada kontrol (tanpa perlakuan) dengan nilai kecernaan total, protein, energi, dan bahan berturut-turut 61,12%, 71,11%, 74,13%, dan 56,23% (Tabel 11).

Gambar 5. Kandungan asam fitat jagung hasil perlakuan fisik

Tabel 11. Nilai kecernaan total (%), protein (%), energi (%), dan bahan (%) pada jagung hasil perlakuan fisik

Kecernaan (%)

Perlakuan/ jenis mekanisme fisik

A (Kontrol) B (Rendam) C (Rebus) D (Kukus)

Total 61,12±1,13d* 63,83±1,47c 67,83±0,52c 70,82±0,66b Protein 74,11±1,49c 75,19±0,72bc 76,34±0,94b 76,94±0,65b Energi 74,13±0,99d 74,85±0,46cd 76,24±1,07c 78,22±1,05b Bahan 56,23±1,13b 58,96±1,36ab 63,82±0,48ab 65,79±0,52a * Keterangan: huruf superscript yang sama pada baris yang sama menunjukkan

tidak berbeda nyata antar perlakuan (P>0,05).

Serat merupakan komponen dari karbohidrat setelah dipisahkan dari komponen bahan ekstrak tanpa nitrogen. Pemberian perlakuan rendam, rebus, dan kukus pada jagung tidak mempengaruhi fraksi serat kasar jagung (Tabel 9). Hal ini disebabkan bahwa struktur serat terutama lignin dan selulosa merupakan struktur yang kompleks. Walaupun ikatan pada lignin dan selulosa didominasi oleh ikatan hidrogen (α 1,4 glikosidik), namun lignin dan selulosa membentuk untai berpilin ganda (double helix) sehingga mekanisme fisik biasa kurang efektif dalam memutus dan menguraikan lignin dan selulosa. Serat kasar pada jagung terbagi menjadi serat kasar yang larut dalam air (soluble fiber) seperti pektin, gum, serta β glukan dan serat yang tidak larut dalam air (insoluble fiber) seperti selulosa, hemiselulosa, dan lignin. Hampir sepertiga serat pada jagung merupakan serat makanan yang larut sedangkan sisanya yang terbanyak merupakan serat makanan yang tidak larut dalam air (Prosky & De Vries 1992). Tillman et al. (1998) menyatakan bahwa perebusan bahan dasar pakan yang banyak mengandung serat kasar pada suhu 100oC selama 30 menit belum mampu mereduksi komponen serat kasar. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa dengan penggunaan enzim selulase baru mampu memutus ikatan yang ada pada serat kasar dan mengurangi kandungan serat kasar dalam bahan pakan (Maina et al. 2002; Pantaya et al. 2011).

Selanjutnya karena proses pengolahan secara fisik tidak mempengaruhi kandungan fraksi serat maka hal ini mengakibatkan kandungan serat kasar dan karbohidrat dalam jagung tidak berbeda nyata (Tabel 9; P>0,05). Penggunaan mekanisme fisik yang berbeda juga tidak mempengaruhi kandungan protein kasar, lemak kasar, dan abu jagung yang diberi perlakuan. Hasil ini memperkuat hasil penelitian Suarni (2005a) yang menyebutkan bahwa penggunaan teknik perebusan dan pengukusan jagung pada suhu 100oC tidak mempengaruhi kandungan nutriea jagung. Stabilitas ini disebabkan struktur karbohidrat yang salah satunya terdiri dari kandungan serat bersifat massif sehingga sulit terurai pada suhu pemanasan dibawah 100oC. Selain karbohidrat, protein yang terkandung pada jagung secara kimiawi lebih stabil. Stabilitas molekul protein disebabkan molekul protein lebih banyak mengandung ikatan kovalen sehingga pemanasan pada suhu tertentu sulit

mengubah struktur protein, terutama tipe protein dengan kandungan asam amino tipe D (dekstro) yang banyak terkandung pada tumbuhan (Winarno 2002).

Suarni (2005a) menyatakan bahwa pengolahan jagung menggunakan mekanisme fisik menyebabkan terjadinya perubahan pada struktur jagung. Selain itu penggunaan mekanisme fisik terutama pengolahan fisik-basah (perebusan dan pengukusan) dapat menyebabkan terjadinya perubahan pada bentuk dan fisik jagung. Hasil percobaan menunjukkan bahwa penggunaan mekanisme fisik yang berbeda pada jagung mengakibatkan terjadinya penurunan kandungan asam fitat. Perlakuan perebusan dan pengukusan mampu menurunkan asam fitat (Gambar 5; P<0,05). Penurunan kandungan asam fitat terbesar diperoleh pada perlakuan pengukusan (38,26%) dan perlakuan perebusan (36,71%). Asam fitat (mio-inositol heksakisfosfat (C6H8O24P6)) merupakan anti nutrisi yang terkandung dalam kacang-kacangan dan serealia termasuk pada jagung. Asam ini merupakan tipe asam yang stabil, tahan terhadap pemanasan, tidak mudah larut pada pH netral, serta dapat menurunkan aktifitas enzim protease dengan protein (asam amino) yang berikatan dengan asam fitat (Ravindran 2000). Hasil penelitian ini memperkuat penelitian Greiner & Konietzny (2006) yang menunjukkan bahwa melalui pemanasan basah (perebusan dan pengukusan) mampu memecah ikatan pada struktur asam fitat sehingga menurunkan kandungan asam fitat pada jagung dan kedelai. Perendaman jagung juga mampu menurunkan kandungan asam fitat walaupun tidak signifikan dengan kontrol (tanpa perlakuan). Hal ini disebabkan karena durasi perendaman kurang maksimal. Perendaman jagung selama 6-10 jam mampu menurunkan kandungan asam fitat sebesar 72,34 % (Greiner & Konietzny 2006). Perendaman mampu merangsang proses perkecambahan pada jagung serta merangsang terbentuknya fitase (purple acid phytase/ 6-phytase) pada kandung lembaga sehingga menghidrolisis asam fitat yang terdapat pada jagung (Mullaney & Ullah 2007).

Selain asam fitat, pada penelitian ini diamati pula kandungan amilosa, amilopektin serta rasio keduanya (Tabel 10). Amilosa dan amilopektin merupakan fraksi pati yang sama-sama homopolimer glukosa dengan ikatan α-glikosidik. Amilosa merupakan fraksi pati yang larut dalam air, mempunyai struktur lurus

dengan ikatan α-(1,4)-D-glukosa berbentuk lurus sedangkan amilopektin merupakan fraksi pati dengan ikatan α-(1,6)-D-glukosa berbentuk percabangan yang tidak larut dalam air. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kandungan amilosa jagung berkisar antara 31,25-33,21% sedangkan kandungan amilopektin berkisar antara 68,75-66,79%. Kandungan amilosa dan amilopektin pada jagung sangat bervariasi, tergantung pada jenis dan strain jagung (Watson 1984; Widowati et al. 2005). Rasio antara amilosa dan amilopektin mempengaruhi sifat amilograf dari jagung. Semakin tinggi kandungan amilopektin maka mengakibatkan semakin tinggi tingkat gelatinisasi dari pati. Pada pati dengan kadar amilopektin yang terlalu tinggi, jika diberi pemanasan akan mengakibatkan proses gelatinisasi yang tinggi, ditandai bahan baku tersebut sangat rekat sehingga cukup sulit dicerna oleh hewan (Winarno 2002). Semakin tinggi kadar amilosa maka semakin tinggi nilai kecernaan pati pada bahan baku pakan. Pada percobaan ini terlihat dengan metode perebusan dan pengukusan terjadi peningkatan rasio amilosa amilopektin. Winarno (2002) menyatakan melalui pemanasan maka granula-granula yang terdapat dalam pati terhidrolisis sehingga terjadi perubahan struktur pati dan mengalami proses gelatinisasi. Pemanasan basah pada suhu 71-110 oC pati jagung akan mengalami gelatinisasi yang optimal (Zobel, 1984).

Penggunaan mekanisme fisik yang berbeda mempengaruhi nilai kecernaan bahan, total, protein, dan energi (Tabel 11). Nilai kecernaan protein, energi, bahan dan total diperoleh pada penggunaan mekanisme pengukusan. Hal ini didukung pada beberapa parameter sebelumnya seperti penurunan asam fitat dan peningkatan rasio amilosa amilopektin pada mekanisme pengukusan. Penurunan kandungan asam fitat mampu meningkatkan kandungan protein tercerna. Gugus fosfor yang berikatan dengan asam fitat membentuk ikatan kompleks (kompleks dengan ikatan elektrostatik) dengan asam amino terutama asam amino residu lisin dan arginin. Selanjutnya kompleks ini akan berikatan dengan gugus karboksil residu aspartat dan asam glutamat (Cheriyan 1980; Vats & Banarjee 2004). Semakin menurunnya kandungan asam fitat mengakibatkan semakin banyaknya protein yang dapat dicerna oleh ikan. Hal ini berdampak pada peningkatan nilai kecernaan protein jagung yang diberi perlakuan pengukusan. Selanjutnya peningkatan rasio amilosa dan amilopektin mampu meningkatkan kecernaan

karbohidrat (pati). Karbohidrat yang dicerna selanjutnya dibakar menjadi energi dalam tubuh ikan nila sehingga meningkatkan nilai kecernaan energi. Hal ini sesuai dengan pernyataan Schaeffer et al. (2009) bahwa ikan nila mampu memanfaatkan karbohidrat yang berasal dari jagung dan mengkonversi karbohidrat tersebut menjadi energi secara efisien.

Tahap II: Mekanisme Fermentasi Tepung Jagung

Dokumen terkait