• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tahap III. Uji Pertumbuhan dan Kecernaan pada Ikan Nila Uji Pertumbuhan

Pakan yang digunakan pada penelitian ini adalah pakan formulasi dengan isoprotein (29,16±0,2%), isolipid (6,24±0,33%) dan isoenergi (GE, 3574±43,97

Kkal/kg). Pakan diformulasikan agar mengandung semua nutriea yang esensial untuk pertumbuhan. Air ditambahkan pada bahan baku pakan dan setelah tercampur dengan baik dicetak menjadi bentuk pelet kemudian dikeringkan dan dibuat menjadi crumble. Pakan dalam wadah yang kering dan tertutup.

Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL). Lima pakan uji digunakan sebagai perlakuan yaitu pakan tanpa tambahan jagung fermentasi dan pakan dengan penambahan tepung jagung fermentasi dengan dosis 0%, 5%, 10%, 15% dan 20%. Setiap perlakuan mempunyai tiga ulangan. Ikan diberi pakan tiga kali sehari yaitu pada pukul 08.00; 12.00; dan pukul 16.00.

Tabel 8. Komposisi pakan percobaan

Bahan pakan Jagung Fermentasi (%)

0 5 10 15 20 Tepung ikan 11 14 17 20 23 Bungkil Kedelai 35 30 25 20 15 Jagung fermentasi 0 5 10 15 20 Dedak padi 20 20 20 20 20 Pollard 23 20 17 15 12 Vitamin mix 2 2 2 2 2 Mineral mix 1 1 1 1 1 Minyak ikan 2 2 2 1 1 Tapioka 6 6 6 6 6 Jumlah 100 100 100 100 100 Protein (%) 29.38 28.99 29.16 29.34 28.95 Lemak (%) 5.80 6.18 6.64 6.10 6.47 GE (kKal/kg) 3613.55 3610.19 3594.78 3534.09 3520.74

Ikan uji yang digunakan adalah ikan nila hitam (Oreochromis niloticus) strain BEST (Bogor Enhanced Strain Tilapia). Ikan uji diperoleh dari Instalasi Riset Plasma Nutfah Perikanan Air Tawar, Balai Riset Perikanan Budidaya Air Tawar, Cijeruk, Bogor. Ikan uji memiliki bobot awal 5,0±0,14 gram/ekor. Sebelum digunakan untuk penelitian ikan uji diadaptasikan dalam bak fiber bervolume 1 m3 yang dilengkapi dengan aerasi dan sistem resirkulasi. Ikan uji diadaptasikan selama dua minggu, diberi pakan menggunakan pakan komersial dengan protein pakan 28% (berat kering). Wadah yang digunakan adalah akuarium berukuran 60x60x50 cm sebanyak 24 buah, yang masing-masing diisi air bervolume 90 liter dan dilengkapi sistem resirkulasi dan heater. Pengaturan dan penempatan wadah perlakuan dilakukan secara acak dengan menggunakan bilangan acak (Steel & Torrie, 1993).

Pemberian pakan dilakukan tiga kali sehari sebanyak at satiation. Penyesuaian bobot biomassa ikan uji dilakukan dengan sampling setiap 10 hari sekali. Jumlah pakan yang diberikan dicatat untuk mendapatkan data konsumsi pakan, efisiensi pakan dan retensi protein. Percobaan pertumbuhan ini dilakukan selama 40 hari.

Penggantian air di tandon filter dilakukan setiap tgai hari sekali, dan penyiponan kotoran dilakukan setiap hari. Pengukuran kualitas air dilakukan pada awal, tengah dan akhir masa pemeliharaan meliputi suhu, pH, oksigen terlarut dan amoniak, kesadahan, alkalinitas, dan karbondioksida.

Parameter kinerja pertumbuhan yang diamati adalah:

Laju Pertumbuhan Spesifik (LPS)

Laju pertumbuhan spesifik ikan uji dihitung mengikuti rumus yang digunakan oleh Mundheim et al. (2004) yaitu:

LPS (%) = (ln Wt – ln Wo) x 100% T

LPS = laju pertumbuhan spesifik (%)

Wt = rata-rata bobot individu pada akhir penelitian (g) Wo = rata-rata bobot individu pada awal penelitian (g) T = lama waktu pemeliharaan (hari)

Jumlah Konsumsi Pakan

Jumlah pakan yang dikonsumsi ikan uji dihitung dengan cara menimbang pakan yang diberikan setiap hari, dan juga pakan yang tersisa setiap hari sebagai pengurangnya. Jumlah keseluruhan pakan yang dikonsumsi pada setiap unit percobaan selama 40 hari dicatat sebagai data jumlah konsumsi pakan.

Retensi Protein

Nilai retensi protein dihitung berdasarkan persamaan Takeuchi (1988) sebagai berikut :

RP(%) = [(F-I)/P] x 100% RP = retensi protein (%)

F = jumlah protein tubuh ikan pada akhir penelitian (g) I = jumlah protein tubuh ikan pada awal penelitian (g) P = jumlah protein yang dikonsumsi ikan (g)

Retensi lemak

Nilai retensi protein dihitung berdasarkan persamaan Takeuchi (1988) sebagai berikut :

RL(%) = [(F-I)/P] x 100% Keterangan :

RL = retensi lemak (%)

I = jumlah lemak tubuh ikan pada awal penelitian (g) P = jumlah lemak yang dikonsumsi ikan (g)

Rasio Efisiensi Protein

Rasio efisiensi protein dihitung berdasarkan persamaan sebagai berikut : REP =

Pp Pi

Keterangan :

REP = rasio efisiensi protein

Pi = protein yang diakumulasikan dalam tubuh ikan (g) Pp = Protein yang diberikan selama masa pemeliharaan (g)

Indeks Hepatosomatik

Indeks hepatosomatik dihitung dengan cara membandingkan bobot ikan total dengan bobot hati. Pertama-tama ikan ditimbang bobotnya, setelah itu ikan dibedah diatas permukaan es. Pembedahan dilakukan dengan hati-hati dan secepat mungkin. Selanjuntya hati-hati ditimbang. Nilai indeks hepatosomatik dihitung berdasarkan persamaan berikut :

IH = W HP Keterangan : IH = Indeks hepato-pankreas HP = bobot hepato-pankreas (g) W = bobot ikan (g)  Konversi pakan

Perhitungan konversi pakan didasarkan pada NRC (1977), yaitu besarnya rasio perbandingan antara pertambahan bobot ikan yang didapatkan dengan jumlah pakan yang dikonsumsi ikan.

KP =

Keterangan :

KP = konversi pakan

Wt = biomassa ikan pada akhir pemeliharaan (g) Wo = biomassa ikan pada awal pemeliharaan (g) D = bobot ikan yang mati selama penelitian (g)

Tingkat Kelangsungan Hidup

Tingkat kelangsungan hidup dihitung berdasarkan persamaan yang dikemukakan oleh Huisman (1987) yaitu:

SR(%) = Nt x 100% No Keterangan;

Nt = jumlah ikan pada akhir penelitian (ekor) No = jumlah ikan pada awal penelitian (ekor)

Uji Kecernaan Protein, phosfor, kalsium, dan Total Pakan

Pengujian daya cerna pakan oleh ikan nila dilakukan secara terpisah dari uji pertumbuhan. Hal ini dimaksudkan agar kegiatan pengumpulan feses tidak mengganggu pertumbuhan ikan uji. Akuarium yang digunakan untuk uji kecernaan berukuran lebih besar, yaitu 100x60x50 cm.

Pembuatan pakan percobaan untuk uji kecernaan dilakukan sama seperti pakan untuk uji pertumbuhan, namun ditambahkan 0,5% Cr2O3 sebagai indikator kecernaan. Pakan diberikan pada ikan selama 3 minggu dan pengumpulan feses mulai dilakukan pada hari ketujuh dengan cara menyedot feses di dasar akuarium dengan selang kecil dan ditampung di ember. Selanjutnya feses yang mengendap di dasar ember disaring dan dikumpulkan dalam botol film. Feses yang terkumpul dikeringkan dalam oven pada suhu 110oC (selama 4-6 jam), dan dianalisis kandungan Cr2O3 dan kadar proteinnya.

Penghitungan nilai kecernaan berdasarkan Takeuchi (1988): KT = 100 x (1 –b/b’)

KN = 100 x [1 –(a’/a x b/b’)] Keterangan :

KT = kecernaan total (%) KN = kecernaan nutrien (%)

a = kadar nutrien dalam pakan (bobot kering) a’ = kadar nutrien dalam feses (bobot kering)

b = kadar indikator Cr2O3 dalam pakan (% bobot kering) b’ = kadar indikator Cr2O3 dalam feses (% bobot kering)

Analisis Data

Data hasil uji pertumbuhan, retensi lemak, retensi protein, konsumsi pakan, rasio efisiensi protein, indeks hepatosomatik dan kecernaan pakan dianalisis secara statistika dengan Anova dan uji Duncan dengan selang kepercayaan 95%. Analisis data menggunakan piranti lunak SPSS ver 16,00.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Tahap I: Mekanisme fisik untuk meningkatkan kualitas jagung

Penelitian tahap satu bertujuan untuk meningkatkan kecernaan jagung sebagai salah satu pakan ikan nila. Hasil penelitian menunjukkan bahwa setelah beberapa perlakuan fisik pada jagung (perendaman, perebusan, dan pengukusan) tidak memberikan pengaruh terhadap hasil analisis proksimat jagung (P>0,05). Data analisis proksimat lengkap jagung hasil perlakuan fisik disajikan pada Tabel 9.

Tabel 9. Analisis proksimat jagung hasil perlakuan fisik

Parameter Perlakuan/ jenis mekanisme fisik

A (Kontrol) B (Rendam) C (Rebus) D (Kukus) Protein (%) 8,64 ± 0,35a* 9,83 ± 1,51 a 9,57 ± 1,27 a 8,48 ± 0,31 a Lemak (%) 4,02 ± 0,03 a 3,31 ± 0,10 a 4,10 ± 0,05 a 3,70 ± 0,15 a Serat kasar (%) 6,39 ± 0,53 a 6,56 ± 0,94 a 6,21 ± 0,36 a 6,45 ± 0,07 a Abu (%) 3,64 ± 0,30 a 3,62 ± 0,14 a 3,36 ± 0,14 a 3,66 ± 0,11 a BETN (%) 77,74 ± 0,55a 75,68 ± 2,61a 76,77 ± 1,13 a 76,71 ± 0,28 a * Keterangan: huruf superscript yang sama pada baris yang sama menunjukkan

tidak berbeda nyata antar perlakuan (P>0,05)

Kandungan protein jagung antar perlakuan berkisar antara 8,48-9,83% sedangkan kandungan lemak berkisar antara 3,31-4,10%. Hasil yang sama diperoleh pada kandungan serat kasar, abu, dan BETN yang menunjukkan tidak berbeda nyata antar perlakuan (P>0,05). Nilai serat kasar, abu, dan BETN jagung hasil pengolahan fisik berturut-turut 6,21-6,56%, 3,36-3,64%, dan 75,68-77,74%.

Kandungan fosfor dan kalsium

Fosfor dan kalsium merupakan mineral yang banyak terkandung dalam jagung. Hasil percobaan menunjukkan bahwa beragam perlakuan fisik (perendaman, perebusan, dan pengukusan) tidak mempengaruhi kandungan fosfor dan kalsium jagung (P>0,05). Kandungan fosfor pada jagung berkisar antara 0,31-0,34% sedangkan kandungan kalsium jagung berkisar antara 0,031-0,045%. Data hasil analisis kandungan fosfor dan kalsium jagung disajikan pada Gambar 2 dan 3.

Gambar 2. Kandungan fosfor jagung hasil perlakuan fisik

Gambar 3. Kandungan kalsium jagung hasil perlakuan fisik

Fraksi serat kasar

Fraksi serat kasar yang diamati meliputi kandungan neutral detergent fiber

(NDF), acid detergent fiber (ADF), hemiselulosa, lignin, dan selulosa. Hasil percobaan menunjukkan bahwa perlakuan fisik tidak mempengaruhi kandungan fraksi serat kasar (P>0,05). Kandungan NDF dan ADF berturut-turut 36,72-38,30% dan 4,81-5,49%. Kandungan hemiselulosa pada bahan uji berkisar antara 31,20-32,94%. Kandungan selulosa dan lignin jagung uji berturut-turut 1,44-1,55% dan 3,51-3,67%. Data fraksi serat kasar disajikan pada Gambar 4.

Gambar 4. Fraksi serat kasar hasil perlakuan fisik; a) Neutral detergent fiber

(NDF), b) Acid detergent fiber (ADF), c) Lignin, d) Selulosa, e) Hemiselulosa

Amilosa dan Amilopektin

Amilosa dan amilopektin merupakan komponen utama pendukung pati (starch). Kandungan amilosa jagung pada penelitian ini berkisar antara 31,25-33,21% dari total pati. Sedangkan kandungan amilopektin berkisar antara 66,79-68,75% dari total pati. Rasio amilosa:amilopektin pada jagung perlakuan berkisar antara 0,455-0,497. Kandungan amilosa, amilopektin, serta rasio keduanya disajikan pada Tabel 10.

Tabel 10. Kandungan amilosa (%), amilopektin (%), serta rasio keduanya pada jagung hasil perlakuan fisik

Parameter

Perlakuan/ jenis mekanisme fisik A (Kontrol) B (Rendam) C (Rebus) D (Kukus) Amilosa (%) 31,25 31,31 32,47 33,21 Amilopektin (%) 68,75 68,69 67,53 66,79 Rasio amilosa:amilopektin 0,455 0,456 0,481 0,497 Asam fitat

Penggunaan perlakuan fisik yang berbeda memberikan pengaruh terhadap kandungan asam fitat jagung (P<0,05). Kandungan asam fitat terendah diperoleh

a)

e)

d) c)

pada jagung yang diberi perlakuan pengukusan yaitu sebesar 4,76% namun nilai ini tidak berbeda nyata dengan perlakuan perebusan dengan kandungan asam fitat sebesar 4,88%. Kandungan asam fitat tertinggi diperoleh pada jagung kontrol dengan kandungan asam fitat sebesar 7,71%. Data lengkap kandungan asam fitat pada penelitian ini disajikan pada Gambar 5.

Kecernaan

Penggunaan perlakuan fisik yang berbeda mempengaruhi nilai kecernaan total, protein, energi, dan bahan uji (P<0,05). Penggunaan perlakuan pengukusan pada jagung memberikan nilai terbaik bagi nilai kecernaan total, protein, energi, dan bahan (tanpa dibandingkan dengan pakan acuan). Nilai kecernaan total, protein, energi, dan bahan pada perlakuan pengukusan berturut-turut 70,82%, 76,94%, 78,22%, dan 65,79%. Nilai kecernaan terendah diperoleh pada kontrol (tanpa perlakuan) dengan nilai kecernaan total, protein, energi, dan bahan berturut-turut 61,12%, 71,11%, 74,13%, dan 56,23% (Tabel 11).

Gambar 5. Kandungan asam fitat jagung hasil perlakuan fisik

Tabel 11. Nilai kecernaan total (%), protein (%), energi (%), dan bahan (%) pada jagung hasil perlakuan fisik

Kecernaan (%)

Perlakuan/ jenis mekanisme fisik

A (Kontrol) B (Rendam) C (Rebus) D (Kukus)

Total 61,12±1,13d* 63,83±1,47c 67,83±0,52c 70,82±0,66b Protein 74,11±1,49c 75,19±0,72bc 76,34±0,94b 76,94±0,65b Energi 74,13±0,99d 74,85±0,46cd 76,24±1,07c 78,22±1,05b Bahan 56,23±1,13b 58,96±1,36ab 63,82±0,48ab 65,79±0,52a * Keterangan: huruf superscript yang sama pada baris yang sama menunjukkan

tidak berbeda nyata antar perlakuan (P>0,05).

Serat merupakan komponen dari karbohidrat setelah dipisahkan dari komponen bahan ekstrak tanpa nitrogen. Pemberian perlakuan rendam, rebus, dan kukus pada jagung tidak mempengaruhi fraksi serat kasar jagung (Tabel 9). Hal ini disebabkan bahwa struktur serat terutama lignin dan selulosa merupakan struktur yang kompleks. Walaupun ikatan pada lignin dan selulosa didominasi oleh ikatan hidrogen (α 1,4 glikosidik), namun lignin dan selulosa membentuk untai berpilin ganda (double helix) sehingga mekanisme fisik biasa kurang efektif dalam memutus dan menguraikan lignin dan selulosa. Serat kasar pada jagung terbagi menjadi serat kasar yang larut dalam air (soluble fiber) seperti pektin, gum, serta β glukan dan serat yang tidak larut dalam air (insoluble fiber) seperti selulosa, hemiselulosa, dan lignin. Hampir sepertiga serat pada jagung merupakan serat makanan yang larut sedangkan sisanya yang terbanyak merupakan serat makanan yang tidak larut dalam air (Prosky & De Vries 1992). Tillman et al. (1998) menyatakan bahwa perebusan bahan dasar pakan yang banyak mengandung serat kasar pada suhu 100oC selama 30 menit belum mampu mereduksi komponen serat kasar. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa dengan penggunaan enzim selulase baru mampu memutus ikatan yang ada pada serat kasar dan mengurangi kandungan serat kasar dalam bahan pakan (Maina et al. 2002; Pantaya et al. 2011).

Selanjutnya karena proses pengolahan secara fisik tidak mempengaruhi kandungan fraksi serat maka hal ini mengakibatkan kandungan serat kasar dan karbohidrat dalam jagung tidak berbeda nyata (Tabel 9; P>0,05). Penggunaan mekanisme fisik yang berbeda juga tidak mempengaruhi kandungan protein kasar, lemak kasar, dan abu jagung yang diberi perlakuan. Hasil ini memperkuat hasil penelitian Suarni (2005a) yang menyebutkan bahwa penggunaan teknik perebusan dan pengukusan jagung pada suhu 100oC tidak mempengaruhi kandungan nutriea jagung. Stabilitas ini disebabkan struktur karbohidrat yang salah satunya terdiri dari kandungan serat bersifat massif sehingga sulit terurai pada suhu pemanasan dibawah 100oC. Selain karbohidrat, protein yang terkandung pada jagung secara kimiawi lebih stabil. Stabilitas molekul protein disebabkan molekul protein lebih banyak mengandung ikatan kovalen sehingga pemanasan pada suhu tertentu sulit

mengubah struktur protein, terutama tipe protein dengan kandungan asam amino tipe D (dekstro) yang banyak terkandung pada tumbuhan (Winarno 2002).

Suarni (2005a) menyatakan bahwa pengolahan jagung menggunakan mekanisme fisik menyebabkan terjadinya perubahan pada struktur jagung. Selain itu penggunaan mekanisme fisik terutama pengolahan fisik-basah (perebusan dan pengukusan) dapat menyebabkan terjadinya perubahan pada bentuk dan fisik jagung. Hasil percobaan menunjukkan bahwa penggunaan mekanisme fisik yang berbeda pada jagung mengakibatkan terjadinya penurunan kandungan asam fitat. Perlakuan perebusan dan pengukusan mampu menurunkan asam fitat (Gambar 5; P<0,05). Penurunan kandungan asam fitat terbesar diperoleh pada perlakuan pengukusan (38,26%) dan perlakuan perebusan (36,71%). Asam fitat (mio-inositol heksakisfosfat (C6H8O24P6)) merupakan anti nutrisi yang terkandung dalam kacang-kacangan dan serealia termasuk pada jagung. Asam ini merupakan tipe asam yang stabil, tahan terhadap pemanasan, tidak mudah larut pada pH netral, serta dapat menurunkan aktifitas enzim protease dengan protein (asam amino) yang berikatan dengan asam fitat (Ravindran 2000). Hasil penelitian ini memperkuat penelitian Greiner & Konietzny (2006) yang menunjukkan bahwa melalui pemanasan basah (perebusan dan pengukusan) mampu memecah ikatan pada struktur asam fitat sehingga menurunkan kandungan asam fitat pada jagung dan kedelai. Perendaman jagung juga mampu menurunkan kandungan asam fitat walaupun tidak signifikan dengan kontrol (tanpa perlakuan). Hal ini disebabkan karena durasi perendaman kurang maksimal. Perendaman jagung selama 6-10 jam mampu menurunkan kandungan asam fitat sebesar 72,34 % (Greiner & Konietzny 2006). Perendaman mampu merangsang proses perkecambahan pada jagung serta merangsang terbentuknya fitase (purple acid phytase/ 6-phytase) pada kandung lembaga sehingga menghidrolisis asam fitat yang terdapat pada jagung (Mullaney & Ullah 2007).

Selain asam fitat, pada penelitian ini diamati pula kandungan amilosa, amilopektin serta rasio keduanya (Tabel 10). Amilosa dan amilopektin merupakan fraksi pati yang sama-sama homopolimer glukosa dengan ikatan α-glikosidik. Amilosa merupakan fraksi pati yang larut dalam air, mempunyai struktur lurus

dengan ikatan α-(1,4)-D-glukosa berbentuk lurus sedangkan amilopektin merupakan fraksi pati dengan ikatan α-(1,6)-D-glukosa berbentuk percabangan yang tidak larut dalam air. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kandungan amilosa jagung berkisar antara 31,25-33,21% sedangkan kandungan amilopektin berkisar antara 68,75-66,79%. Kandungan amilosa dan amilopektin pada jagung sangat bervariasi, tergantung pada jenis dan strain jagung (Watson 1984; Widowati et al. 2005). Rasio antara amilosa dan amilopektin mempengaruhi sifat amilograf dari jagung. Semakin tinggi kandungan amilopektin maka mengakibatkan semakin tinggi tingkat gelatinisasi dari pati. Pada pati dengan kadar amilopektin yang terlalu tinggi, jika diberi pemanasan akan mengakibatkan proses gelatinisasi yang tinggi, ditandai bahan baku tersebut sangat rekat sehingga cukup sulit dicerna oleh hewan (Winarno 2002). Semakin tinggi kadar amilosa maka semakin tinggi nilai kecernaan pati pada bahan baku pakan. Pada percobaan ini terlihat dengan metode perebusan dan pengukusan terjadi peningkatan rasio amilosa amilopektin. Winarno (2002) menyatakan melalui pemanasan maka granula-granula yang terdapat dalam pati terhidrolisis sehingga terjadi perubahan struktur pati dan mengalami proses gelatinisasi. Pemanasan basah pada suhu 71-110 oC pati jagung akan mengalami gelatinisasi yang optimal (Zobel, 1984).

Penggunaan mekanisme fisik yang berbeda mempengaruhi nilai kecernaan bahan, total, protein, dan energi (Tabel 11). Nilai kecernaan protein, energi, bahan dan total diperoleh pada penggunaan mekanisme pengukusan. Hal ini didukung pada beberapa parameter sebelumnya seperti penurunan asam fitat dan peningkatan rasio amilosa amilopektin pada mekanisme pengukusan. Penurunan kandungan asam fitat mampu meningkatkan kandungan protein tercerna. Gugus fosfor yang berikatan dengan asam fitat membentuk ikatan kompleks (kompleks dengan ikatan elektrostatik) dengan asam amino terutama asam amino residu lisin dan arginin. Selanjutnya kompleks ini akan berikatan dengan gugus karboksil residu aspartat dan asam glutamat (Cheriyan 1980; Vats & Banarjee 2004). Semakin menurunnya kandungan asam fitat mengakibatkan semakin banyaknya protein yang dapat dicerna oleh ikan. Hal ini berdampak pada peningkatan nilai kecernaan protein jagung yang diberi perlakuan pengukusan. Selanjutnya peningkatan rasio amilosa dan amilopektin mampu meningkatkan kecernaan

karbohidrat (pati). Karbohidrat yang dicerna selanjutnya dibakar menjadi energi dalam tubuh ikan nila sehingga meningkatkan nilai kecernaan energi. Hal ini sesuai dengan pernyataan Schaeffer et al. (2009) bahwa ikan nila mampu memanfaatkan karbohidrat yang berasal dari jagung dan mengkonversi karbohidrat tersebut menjadi energi secara efisien.

Tahap II: Mekanisme Fermentasi Tepung Jagung Penentuan Dosis dan Lama Fermentasi Tepung Jagung

Setelah difermentasi jagung, seluruh nilai analisis proksimat mengalami perubahan. Kenaikan protein tertinggi diperoleh pada fermentasi jagung menggunakan Rhizopus oligosporus dengan dosis spora sebesar 109 spora/ml. Hal yang serupa terjadi pada kandungan lemak kasar dimana fermentasi jagung oleh

R. oligosporus pada dosis 109 spora/ml memberikan pertambahan lemak kasar tertinggi. Nilai bahan ekstrak tanpa nitrogen (BETN) cenderung turun pada penggunaan dosis R. oligosporus 109 spora/ml. Perubahan nilai analisis proksimat jagung yang difermentasi dengan dosis yang berbeda ditampilkan pada Gambar 6 berikut.

Gambar 6. Analisis proksimat jagung sebelum dan setelah fermentasi dengan dosis yang berbeda

Selain menentukan dosis dilakukan pula penentuan lama waktu fermentasi yang mampu menghasilkan peningkatan protein kasar tertinggi. Dari percobaan yang dilakukan diketahui bahwa peningkatan protein tertinggi diperoleh pada jagung yang difermentasi selama lima hari. Kandungan lemak kasar tertinggi diperoleh pada jagung yang difermentasi pada hari ketiga. Kadar serat kasar tertinggi diperoleh pada jagung yang difermentasi pada hari ketujuh. Berdasarkan data hasil uji pendahuluan maka pada tahap kedua digunakan fermentasi jagung dengan dosis R. oligosporus 109 spora/ml dan lama fermentasi selama lima hari. Data perubahan nilai analisis proksimat jagung yang difermentasi dengan lama waktu yang berbeda ditampilkan pada Gambar 7 berikut.

Gambar 7. Analisis proksimat jagung sebelum dan setelah fermentasi dengan lama waktu fermentasi yang berbeda

Asam fitat, fosfor, dan kalsium

Setelah difermentasi dengan dosis 109 spora/ml dan lama fermentasi selama lima hari diperoleh data kandungan asam fitat, fosfor dan kalsium sebagai berikut. Penggunaan teknik fermentasi memberikan pengaruh nyata (P<0,05) terhadap penurunan kandungan asam fitat serta peningkatan kandungan fosfor dan kalsium (Lampiran 15 dan 17). Asam fitat mengalami penurunan 58,82% dibandingkan dengan kandungan asam fitat sebelum fermentasi yaitu dari 4,76% menjadi 1,96%. Kalsium mengalami peningkatan sebesar 18,52% dibandingkan dengan sebelum fermentasi yaitu dari 0,054% menjadi 0,064%. Fosfor juga mengalami tren yang sama seperti kalsium. Fosfor mengalami peningkatan sebesar 41,09% dibandingkan dengan jagung sebelum difermentasi yaitu dari

0,195% menjadi 0,331%. Data penurunan kandungan asam fitat serta kenaikan kandungan fosfor dan kalsium disajikan pada Gambar 8 dan 9 berikut.

Gambar 8. Kandungan asam fitat jagung sebelum dan setelah fermentasi

Gambar 9 Kandungan fosfor serta kalsium jagung sebelum dan setelah fermentasi Fraksi serat kasar

Penggunaan fermentasi jagung oleh R. oligosporus memberikan pengaruh yang nyata (P<0,05) terhadap kandungan fraksi serat kasar kecuali NDF. Fermentasi jagung oleh R. oligosporus tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap perubahan kandungan NDF. Kandungan NDF sebelum dan sesudah fermentasi berkisar antara 36,01-38,40%. Kandungan hemiselulosa mengalami

peningkatan setelah proses fermentasi. Kandungan hemiselulosa sebelum fermentasi bernilai 31,20% kemudian meningkat menjadi 36,13% setelah dilakukan fermentasi.

Penggunaan teknik fermentasi jagung oleh R. oligosporus mampu menurunkan kandungan ADF secara nyata (P<0,05). Kandungan ADF mengalami penurunan sebesar 41,19% dimana sebelum fermentasi sebesar 3,35% kemudian menjadi 1,97%. Selulosa mengalami penurunan sebesar 79,45% dibandingkan antara sebelum fermentasi (1,46%) dan setelah fermentasi (0,30%). Lignin juga mengalami penurunan antara sebelum dan setelah fermentasi. Penurunan kandungan lignin sebesar 52,60% dibandingkan sebelum fermentasi (4,81%) dan setelah fermentasi (2,28%). Kandungan fraksi serat kasar secara lengkap disajikan pada Gambar 10 dan 11 (Lampiran 16).

Gambar 10. Kandungan neutral detergent fiber (NDF) dan hemiselulosa jagung sebelum dan setelah fermentasi

Gambar 11. Kandungan lignin, selulosa, dan acid detergent fiber (ADF) jagung sebelum dan setelah fermentasi

Kecernaan

Kecernaan merupakan salah satu parameter yang diukur pada penggunaan teknik fermentasi. Penggunaan fermentasi jagung oleh R. oligosporus

memberikan pengaruh yang nyata terhadap nilai kecernaan jagung (P<0,05). Nilai kecernaan total meningkat sebesar 5,13% antara sebelum fermentasi (70,82%) dengan setelah fermentasi (74,45%). Nilai kecernaan protein meningkat sebesar 3,24% antara sebelum fermentasi (76,94%) dibandingkan dengan setelah fermentasi (79,43%). Penggunaan teknik fermentasi mampu meningkatkan nilai kecernaan energi sebesar 2,90% antara sebelum fermentasi (78,22%) dengan setelah fermentasi (80,49%). Nilai kecernaan bahan mengalami kenaikan sebesar 4,64% antara nilai kecernaan bahan sebelum fermentasi (65,79%) dengan setelah proses fermentasi (69,99%). Nilai pengukuran lengkap kecernaan total, protein, energi, dan bahan disajikan pada Tabel 12.

Tabel 12. Nilai kecernaan total, protein, energi, dan bahan jagung sebelum dan setelah fermentasi

Kecernaan (%) Perlakuan

A (sebelum fermentasi) B (setelah fermentasi)

Protein 76,94±0,65c 79,43±0,84b

Energi 78,22±1,05c 80,49±0,84b

Bahan 65,79±0,52b 68,99±1,48a

* Keterangan: huruf superscript yang sama pada baris yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata antar perlakuan (P>0,05)

Pembahasan

Fermentasi jagung menggunakan kapang R. oligosporus mengakibatkan perubahan nutriea yang terkandung di dalam jagung. Seperti kapang lainnya, R. oligosporus mampu menggunakan berbagai macam bahan organik yang terkandung dalam substrat untuk mendukung perkembangan hidupnya. Gandjar et al (2006) mengemukakan bahwa R. oligosporus mampu menggunakan karbon, nitrogen, sulfur, serta berbagai bahan organik lainnya menjadi bahan yang diasimilasikan untuk mendukung pertumbuhan R. oligosporus. Hasil percobaan menunjukkan bahwa R. oligosporus mampu memanfaatkan sumber karbon yang berasal dari karbohidrat menjadi jaringan tubuh kapang. Hal ini ditandai dari penurunan kandungan karbohidrat dan terjadinya kenaikan nutriea lain seperti protein dan lemak (Gambar 6). Peningkatan biomassa tubuh kapang pada substrat mengakibatkan peningkatan kandungan bahan pakan yang difermentasi oleh R. oligosporus. Kandungan protein kapang terdiri dari beberapa bagian diantaranya pada lapisan sekunder hifa yang mengandung protein dan glikoprotein (Alexopoulos et al. 1996). Penggunaan kapang dengan dosis yang tinggi (1011 spora/ml) mengakibatkan peningkatan kandungan serat kasar. Hal ini disebabkan karena pada kepadatan yang tinggi kapang tumbuh dengan cepat kemudian berkompetisi nutrisi. Pada kondisi nutrisi yang semakin berkurang disertai peningkatan kandungan alkohol pada media maka mengakibatkan kapang segera

Dokumen terkait