• Tidak ada hasil yang ditemukan

Data Mortalitas

Virus H5N1 yang sangat patogen atau yang lebih dikenal dengan virus flu burung, menyebabkan penyebaran penyakit secara cepat di antara unggas serta dapat menular ke manusia dengan dampak mortalitas yang sangat tinggi (Widyasari 2005). Tingkat mortalitas dapat diketahui dengan salah satu metode yaitu melalui data klinis. Data klinis dapat dilihat pada Tabel 1, data yang diperoleh menyajikan hasil yang menunjukkan keadaan mortalitas pada berbagai kelompok perlakuan ayam. Tabel 1 menunjukkan hasil dari uji tantang virus Avian Influenza (AI) strain H5N1/NGK/2003 secara intranasal dengan dosis 106 EID50/0.1 mL per ekor. Parameter yang dihitung dalam data klinis adalah persentase hewan hidup dan koefisien kekebalan.

Persentase hewan hidup adalah jumlah ayam yang tersisa pada hari terakhir dari jumlah total ayam di hari pertama. Persentase hewan hidup diperoleh dengan cara membandingkan hewan yang tersisa pada hari terakhir dengan total ayam pada hari pertama dikali 100%. Semakin tinggi persentase hewan hidup pada suatu kelompok, maka semakin bagus daya tahan tubuh hewan tersebut terhadap uji tantang virus H5N1. Untuk menguatkan data kematian, maka perlu juga dihitung koefisien kekebalan. Koefisien kekebalan adalah suatu ketetapan yang bisa menjadi faktor untuk melihat apakah daya tahan tubuh ayam tersebut kebal terhadap infeksi atau sebaliknya. Cara perhitungan koefisien kekebalan adalah dengan menggunakan metode skoring. Metode skoring dilakukan dengan mengalikan jumlah ayam yang tersisa dengan faktor pengali tiap hari. Mulai hari pertama hingga hari terakhir faktor pengali akan berlipat dua kali, misalnya ayam yang hidup pada hari pertama dikali 1, hari kedua dikali 2, hari ketiga dikali 4, hari keempat dikali 8, hari kelima dikali 16 dan seterusnya.

Tabel 1 Data mortalitas ayam broiler yang diberi ekstrak tanaman obat selama 21 hari setelah uji tantang virus AI H5N1/NGK/2003

Kelompok Total

Ayam

Total ayam yang mati hari ke-

setelah uji tantang virus Persentase

Hidup (%) Total Skor Koefisien Kekebalan* 1 2 3 4 5 6 7 Kontrol 8 8 8 3 4 1 0 0 0 84 I 8 8 8 4 3 1 0 0 0 80 II 8 8 8 6 1 1 1 1 12.5 168 III 8 8 8 7 1 0 0 0 0 60

Ket: Kontrol (diberi akuades), I (tanaman obat 5%), II (tanaman obat 7.5%), III(tanaman obat 10%).*total perolehan angka kekebalan = hasil penjumLahan angka kekebalan setiap hari. Angka kekebalan = jumlah ayam bertahan hingga hari ke- x koefisien kekebalan pada hari tersebut (koefisien kekebalan hari ke-1(kk 1) = 1, kk 2 = 2, kk 3 = 4, kk 4 = 8, kk 5 = 16, kk 6 = 32, kk 7 = 64).

Hampir seluruh kelompok perlakuan menunjukkan mortalitas yang sangat cepat, dilihat dari jumlah ayam pada hari ke-7 pasca infeksi tidak ada yang tersisa yaitu pada kelompok kontrol, kelompok I (5% formula ekstrak) dan kelompok III (10% formula ekstrak). Kelompok II (7.5% formula ekstrak) menunjukkan hasil yang lebih baik, dilihat dari adanya 1 ekor ayam yang bertahan sampai 7 hari pasca infeksi.

Data kematian yang disajikan diperoleh dengan cara melihat persentase hewan hidup setelah melalui proses infeksi selama 7 hari. Kelompok kontrol menunjukkan data kematian 100% yang artinya sama sekali tidak ada ayam yang tersisa sampai hari ke-7 saat infeksi virus H5N1. Hal ini menunjukkan bahwa dengan tidak adanya tanaman obat dan vaksin, maka virus akan semakin cepat bereplikasi dan mempercepat kematian pada ayam.

Hampir seluruh kelompok perlakuan mengalami kematian yang cepat, terutama pada kelompok III ayam yang mati pada hari ke-3 saat infeksi sebanyak 7 ekor dari 8 ekor. Kelompok II juga demikian, pada hari ke-3 saat infeksi maka ayam yang mati sebanyak 6 ekor dari 8 ekor. Kelompok II memiliki hasil yang berbeda dari yang lain yaitu masih ada ayam yang tersisa sebanyak 1 ekor sampai hari ke-7. Hal ini bisa saja dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti pengaruh salah satu tanaman obat, misalnya Sambiloto yang kandungan zat aktifnya yaitu flavonoid bersifat antivirus dan menurut Spelman et al. (2006), andrografolid dari Sambiloto mampu meningkatkan proliferasi sel atau limfosit yang berperan dalam sistem imun. Efektifitas tanaman obat juga akan bermanfaat dan aman jika digunakan dengan tepat, baik takaran, waktu dan cara penggunaan, pemilihan bahan serta penyesuai dengan indikasi tertentu (Katno dan Pramono 2005).

Berdasarkan persentase hewan hidup, kelompok ayam yang baik adalah kelompok II dibandingkan dengan kontrol, kelompok I, dan III. Persentase hewan hidup pada kelompok II sebesar 12.5% yang artinya daya tahan tubuh ayam pada kelompok II masih baik, sedangkan pada kelompok yang lainnya menunjukkan hasil yang seragam yaitu 0, artinya tidak ada ayam yang bertahan hidup di hari terakhir setelah uji tantang virus.

Hasil perolehan angka koefisien kekebalan tidak jauh berbeda dengan perolehan persentase kematian. Kelompok yang paling tinggi angkanya adalah dari kelompok II, artinya pada kelompok II tersebut kekebalan tubuh ayam masih ada jika dilihat dari perolehan angka kekebalan yang dihitung setiap harinya. Dosis tanaman obat yang paling tepat dalam perlakuan ini adalah dosis ekstrak pada perlakuan kelompok II.

Data Bobot Badan

Pengaruh efektivitas tanaman obat terhadap performa ayam dapat dilihat pada tabel dibawah ini. Dalam Tabel 2 memperlihatkan hasil pengukuran bobot ayam perminggu. Pengukuran bobot badan dilakukan setiap minggu dengan tetap dicekok tanaman obat setiap harinya pada kelompok I, II, III dan pada kelompok kontrol dicekok akuades.

Tabel 2 Bobot badan ayam rata-rata (g) diukur perminggu yang diberi ekstrak tanaman obat selama 21 hari dan diuji tantang virus AI H5N1/NGK/2003

Kelompok Bobot Ayam Rata-Rata (g)/minggu Total Rata-

rata 1 2 3 4 5 6 Kontrol (-) 237.25 506.63 819.25 1373.38 2000.44 2252.88 1198.30a I 214.25 410.75 795.25 1313.63 1821.08 2049.38 1100.72a II 234.86 422.25 788.63 1366.88 1929.60 2188.25 1155.08a III 210.75 436.63 733.25 1319.13 1923.10 2187.63 1135.08a

Ket: Huruf superskrip berbeda pada kolom yang sama menunjukkan hasil berbeda nyata (p<0.05) Kontrol (diberi akuades), I (tanaman obat 5%), II (tanaman obat 7.5%), III(tanaman obat 10%)

Bobot badan ayam pada semua kelompok perlakuan umumnya mengalami kenaikan dalam batas yang normal. Rata-rata bobot badan ayam yang paling tinggi adalah pada kelompok kontrol. Dilihat dari semua hasil rata-rata pada setiap kelompok perlakuan ayam yang menggunakan ekstrak tanaman obat, yang paling tinggi adalah kelompok II yaitu sebesar 1155.08 g. Jika kontrol sebagai acuannya, maka rataan bobot badan ayam tidak berbeda jauh dengan yang memakai ekstrak

tanaman obat. Bobot badan ayam pada kelompok kontrol adalah 1198.30 g, sedangkan pada kelompok I adalah 1100.72 g dan kelompok III adalah 1135.08 g. Dilihat dari semua hasil rata-rata pada setiap kelompok, perolehan nilai bobot badan tidak berbeda jauh antara kelompok yang diberi tanaman obat maupun kelompok kontrol, hal ini sesuai dengan percobaan (Rizal dan Halim 2005) yang menerangkan salah satu manfaat tanaman obat, yaitu pemberian andrografolid pada hewan percobaan dengan dosis 1 g/kgBB selama 7 hari tidak mempengaruhi berat badan.

Bobot badan ayam yang paling bagus terdapat pada kelompok perlakuan kontrol, meskipun paling tinggi rataannya, namun perbedaannya dengan kelompok lain masih kurang dari 50% yang artinya tidak ada perbedaan yang jauh jika dilihat dari angka. Hal ini disebabkan, tingkat stres pada semua kelompok perlakuan adalah sama. Ekstrak tanaman obat yang diberikan setiap hari pada ayam dengan cara dicekok tidak memberikan efek yang negatif terhadap performa ayam. Efek negatif terjadi jika setelah diberikan tanaman obat, bobot badan tidak bertambah atau malah menyebabkan ayam tidak nafsu makan.

Uji statistik memperlihatkan hasil yang sama dengan perbandingan pengukuran bobot badan per minggu, yaitu menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata antar setiap kelompok. Bobot badan yang tidak berbeda nyata antara setiap kelompok disebabkantingkat stres pada semua kelompok perlakuan adalah sama. Ekstrak tanaman obat yang diberikan setiap hari pada ayam dengan cara dicekok tidak memberikan efek yang negatif terhadap performa ayam. Efek negatif terjadi jika setelah diberikan tanaman obat, bobot badan tidak bertambah atau malah menyebabkan ayam tidak nafsu makan.

Pengamatan Histopatologi Organ Limforetikular Limpa

Pengamatan organ limforetikular limpa pada Tabel 3 dilakukan dengan cara menghitung rata-rata luas dari pulpa putih. Arteriol sentral merupakan penanda bahwa area di sekitarnya merupakan pulpa putih. Diambil 5 pulpa putih pada setiap perlakuan dan dirata-ratakan. Pulpa putih adalah jaringan limfoid yang tersusun mengelilingi arteriol sentral, susunan arteriol sentral ini disebut sebagai

PALS (Price dan Wilson 2006). Semakin banyak jumlah sel limfoid pada pulpa putih maka sistem imun ayam yang telah ditantang virus AI H5N1 semakin baik. Tabel 3 Persentase pulpa putih pada limpa ayam yang diberi ekstrak tanaman

obat selama 21 hari setelah uji tantang virus AI strain H5N1/NGK/2003

Kelompok Luas pulpa

putih (µm2)

JumLah sel (µm2)

JumLah

Sel/104µm2 Lesio

Kontrol 17345.52 143.20 85.9 c Oedema subkapsular, kongesti,

nekrosa

I 22026.36 333.50 152.7b Kongesti, deplesi pulpa putih.

II 19861.30 493.60 249.5 a Kongesti, proliferasi folikel limfoid

sekunder

III 12455.18 284.30 239.0 a Deplesi pulpa putih, nekrotik folikel

limfoid, kongesti

Huruf superskrip berbeda pada kolom yang sama menunjukkan hasil berbeda nyata (p<0.05) Kontrol (diberi akuades), I (tanaman obat 5%), II (tanaman obat 7.5%), III(tanaman obat 10%)

Hasil pengamatan pulpa putih limpa menunjukkan rata-rata kepadatan sel limfoid setiap 104 µm2 pada semua perlakuan yang diberi tanaman obat lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol. Kepadatan sel limfoid yang tertinggi terdapat pada kelompok II yaitu 249.5 sel/104 µm2, diikuti kelompok III yaitu 239.0 sel/104 µm2 , kelompok I adalah 152.7 sel/104 µm2, dan kelompok kontrol adalah 85.9 sel/104 µm2. Berdasarkan data statistik, kelompok II dan III tidak berbeda nyata, tetapi menunjukkan perbedaan dengan kelompok kontrol dan kelompok I. Kelompok I menunjukkan perbedaan yang nyata dengan kontrol. Kelompok II mempunyai kepadatan sel limfoid tertinggi dibandingkan kelompok lainnya. Hal ini berarti kelompok II memiliki tingkat proliferasi sel limfoid yang tinggi untuk melawan infeksi sehingga ketahanan ayam terhadap infeksi lebih baik.

Kandungan aktif dari tanaman obat yang bisa meningkatkan kerja organ limforetikular diantaranya adalah flavonoid yang terdapat dalam Sambiloto, piperin yang terdapat dalam Sirih Merah dan anetol yang terdapat dalam Adas. Menurut Radhika et al. (2012), Flavonoid yang terkandung dalam Sambiloto merupakan Senyawa-senyawa yang mempunyai prospek cukup baik yang dapat meningkatkan aktivitas sistem imun. Hasil test secara in vitro dari flavonoid golongan flavones dan flavonols telah menunjukkan adanya respon imun. Menurut Radhika et al. (2012), bahwa Sambiloto dapat merangsang sistem imun tubuh baik berupa respon antigen spesifik maupun respon imun non spesifik untuk kemudian menghasilkan sel fagositosis. Respon antigen spesifik yang dihasilkan

akan menyebabkan diproduksinya limfosit dalam jumlah besar terutama limfosit B. Limfosit B akan menghasilkan antibodi yang merupakan plasma glikoprotein yang akan mengikat antigen dan merangsang proses fagositosis (Decker 2000). Piperin yang terkandung dalam Sirih Merah berperan secara signifikan pada perubahan akut pada awal proses peradangan dan perubahan granulative kronis (Kumar et al. 2007). Menurut Astani et al. (2011), Adas berperan dalam menekan aktivitas virus, misalnya pada saat replikasi. Berdasarkan fungsi tanaman obat tersebut, maka besar kemungkinan kelompok II mengalami peningkatan kemampuan organ limforetikular untuk mempertahankan diri dari serangan virus sehingga sel fungsional yang bertahan masih banyak.

Gambar 1. Histopatologi Limpa yang diberi ekstrak tanaman obat selama 21 hari setelah uji tantang virus AI strain H5N1, Pewarnaan HE, A (Kontrol, 5 hari p.i, diberi akuades), B

(kelompok I, 5 hari p.i, tanaman obat 5%), C (kelompok II, 7 hari p.i, tanaman obat 7.5%), D (kelompok III, 4 hari p.i, tanaman obat 10%) : 1. Kongesti, 2. Peradangan.

Pengamatan lesio kelompok III menunjukkan adanya kongesti dan proliferasi folikel limfoid sekunder, meskipun kepadatan sel limfoid pada kelompok ini paling tinggi, tetapi masih ada tanda-tanda lesio yang menunjukkan

1 1 1 2 A D C B

bahwa ketika terjadi infeksi, maka terjadi respon dari limpa. Menurut Price dan Wilson (2006), kongesti adalah berlimpahnya darah dalam pembuluh di regio tertentu, daerah atau jaringan yang mengalami kongesti terlihat lebih merah karena bertambahnya darah dalam jaringan tersebut. Adanya kongesti dari kelompok perlakuan ini menunjukkan adanya respon peradangan awal yang dilakukan oleh sel limfoid limpa, menyebabkan dilatasi vena akibat peningkatan aliran darah lokal akibat peradangan. Kongesti juga dapat menyebabkan kenaikan jumlah serabut fibrosa jaringan ikat. Daerah limpa juga terjadi adanya pemecahan sel darah merah lokal, yang mengakibatkan pengendapan pigmen yang berasal dari hemoglobin di dalam jaringan. Proliferasi folikel limfoid sekunder diakibatkan adanya respon pertahanan dari limpa dalam melawan antigen. Menurut Price dan Wilson (2006), organ limfoid sekunder sangat responif terhadap stimulasi antigenik, organ ini kaya akan makrofag dan sel dendrit yang menangkap serta memproses antigen dan sel limfosit T dan B.

Kelompok perlakuan yang menunjukkan kepadatan sel limfoid yang paling kecil adalah kelompok kontrol dengan rata-rat 85.9 sel/104µm2. Kelompok kontrol tidak menggunakan tanaman obat dan tidak memakai vaksin untuk membantu organ limfoid dalam melawan virus, sehingga organ limfoid bekerja lebih berat, hal ini membuktikan peran tanaman obat pada organ limpa sebagai immunomodulator. Menurut Tjandrawinata et al. (2005), imunomodulator berfungsi untuk memperbaiki sistem imun yaitu dengan cara stimulasi (imunostimulan) atau menekan/menormalkan reaksi imun yang abnormal (imunosupresan). Dikenal dua golongan imunostimulan yaitu imunostimulan biologi dan sintetik. Lesio pada kelompok kontrol menunjukkan adanya edema subkapsular, kongesti, dan nekrosa. Menurut Price dan Wilson (2006), edema adalah penimbunan cairan yang berlebihan di antara sel-sel tubuh atau dalam berbagai organ tubuh, Kenaikan tekanan hidrostatik cenderung memaksa cairan masuk kedalam ruang interstisial tubuh. Karena alasan yang sederhana ini, kongesti dan edema cenderung terjadi bersamaan. Edema adalah reaksi yang mencolok dari reaksi peradangan akut, dalam hal ini adalah reaksi peradangan akibat virus H5N1. Sel mengalami nekrotik artinya sel tersebut mengalami kematian akibat respon terhadap virus. Hal ini terjadi karena virus bereplikasi

pada sel sehingga menyebabkan degenerasi dan kematian sel (Cheville 2006). Kematian sel terjadi secara tidak terkontrol yang dapat menyebabkan rusaknya sel sehingga adanya respon peradangan. Perubahan pada sel yang nekrotik terjadi pada sitoplasma dan organel-organel sel lainnya. Ciri sel nekrotik yaitu piknotik, kariolisis, dan kariorektik (Price dan Wilson 2006). Inti sel pada kelompok kontrol mengalami piknotik yaitu inti sel yang mati menyusut, tidak berbatas jelas dan zat warna gelap.

Bursa Fabricius

Pengamatan bursa Fabricius pada Tabel 4 menunjukkan perbandingan dari luas plika dan folikel limfoid. Pengamatan pada bursa Fabricius dilakukan dengan mencari rata-rata kepadatan folikel limfoid. Rumus yang digunakan adalah luas folikel limfoid dibandingkan dengan luas plika dikali 100%. folikel limfoid merupakan tempat dihasilkannya sel-sel limfoid yang berfungsi sebagai sistem pertahanan jika ada antigen yang masuk, oleh karena itu untuk melihat respon imun dalam tubuh hewan, maka bursa adalah salah satu tempat yang dapat dijadikan acuan.

Tabel 4 Persentase Bursa Fabricius pada Ayam yang diberi ekstrak tanaman obat selama 21 hari setelah uji tantang virus AI strain H5N1/NGK/2003

Kelompok Luas Plika

(µm2)

Luas Folikel Limfoid (µm2)

Kepadatan Folikel

Limfoid (%) Lesio

Kontrol 3567713.60 1676659.57 46.73 ab Edema, kongesti, deplesi

folikel limfoid

I 2108268.07 823712.57 38.71 b Deplesi folikel limfoid,

atropi plika

II 3030702.68 1124206.40 37.34b Kista, edema ringan

III 2398849.94 1393848.00 58.02 a Deplesi folikel limfoid,

edema ringan

Ket: Huruf superskrip berbeda pada kolom yang sama menunjukkan hasil berbeda nyata (p<0.05) Kontrol (diberi akuades), I (tanaman obat 5%), II (tanaman obat 7.5%), III(tanaman obat 10%)

Pengamatan persentase kepadatan folikel limfoid dari bursa Fabricius menunjukkan hasil rata-rata yang paling tinggi dari kelompok III yaitu 58.02%, diikuti dengan kelompok kontrol yaitu 46.73%, kelompok I yaitu 38.71%, dan kelompok II yaitu 37.34%. kerusakan lesio yang paling rendah terdapat pada kelompok III, salah satu penyebabnya adalah proliferasi sel limfoid pada kelompok III lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok lainnya.

Gambar 1. Histopatologi bursa Fabricius yang diberi ekstrak tanaman obat selama 21 hari setelah uji tantang virus AI strain H5N1, Pewarnaan HE, A (Kontrol, 5 p.i, diberi

akuades), B (kelompok I, 5 hari p.i, tanaman obat 5%), C (kelompok II, 7 hari p.i, tanaman obat 7.5%), D (kelompok III, 4 hari p.i, tanaman obat 10%): 1. Deplesi folikel limfoid, 2. Edema, 3. Peradangan, 4. Kista

Pengamatan histopatologi bursa Fabricius memperlihatkan kepadatan folikel limfoid pada semua kelompok perlakuan di bawah kontrol kecuali kelompok III. Bursa Fabricius pada kelompok II memperlihatkan persentasi rata-rata terkecil. Kepadatan sel yang kecil menandakan rendahnya tingkat proliferasi sel limfoid pada bursa Fabricius. Hal ini disebabkan tanaman obat efektif dalam mengoptimalkan kerja sel limforetikular yang terdapat pada organ limfoid sekunder (limpa). Sehingga organ limfoid primer seperti bursa Fabricius tidak perlu berproliferasi lebih banyak untuk menyediakan sel limfoid yang dibutuhkan untuk pertahanan. Berdasarkan hasil statistik, kepadatan sel limfoid pada kelompok kontrol, I, dan II memperlihatkan hasil yang tidak berbeda nyata, tetapi berbeda nyata dengan kelompok III. Hal ini berarti tingkat proliferasi sel limfoid pada kelompok kontrol, I, dan II tidak memperlihatkan perbedaan.

A C B 1 1 4 3 2 1 D

Lesio yang terlihat dalam kelompok II adalah adanya kista dan edema ringan. Kista yaitu perubahan pada organ berupa adanya suatu ruang kosong pada organ tersebut, kista awalnya terbentuk dari deplesi folikel limfoid yang disebabkan adanya respon kekebalan bursa terhadap infeksi. Perubahan yang terjadi pada bursa Fabricius dalam melindungi tubuh atau organ lain terhadap infeksi virus adalah atropi pada korteks dan medulla, nekrosis, pembentukan kista, dan proliferasi sel-sel limfoid (Tabbu 2000).

Hasil pengamatan pada kontrol menunjukkan nilai yang tidak terlalu parah jika dibandingkan dengan kelompok I dan II, kemungkinan yang terjadi adalah kontrol tidak terlalu efektif dalam melindungi tubuh terhadap serangan virus H5N1, walaupun demikian kelompok kontrol tetap melakukan upaya perlindungan terhadap serangan antigen meski tidak maksimal seperti kelompok perlakuan yang lain, terbukti dari adanya lesio-lesio yang terlihat pada saat pengamatan histopatologi organ.

Lesio yang terlihat saat pengamatan terhadap kelompok kontrol yaitu edema, kongesti dan deplesi folikel limfoid. Deplesi pada bursa Fabricius merupakan suatu keadaan dimana jumlah sel limfoid pada folikel limfoid berkurang yang ditunjukkan dengan kerenggangan sel-sel limfoid dalam tiap folikel sebagai akibat adanya infeksi virus H5N1. Hal ini sesuai dengan Lukert dan Saif (2003), yang menyatakan bahwa bursa Fabricius akan membentuk antibodi sebagai sistem kekebalan humoral terhadap infeksi virus, sehingga terjadi mobilisasi sel limfosit B ke organ yang mengalami peradangan. Hal tersebut menyebabkan deplesi dan pengecilan folikel limfoid. Hilangnya sel limfoid pada bursa Fabricius mengakibatkan kemampuan ayam membentuk kekebalan secara humoral menurun (Lukert dan Saif 2003). Semakin sering organ ini membentuk antibodi, maka akan menyebabkan deplesi dan pengecilan folikel limfoid sehingga persentase berat bursa Fabricius menurun. Deplesi folikel limfoid pada bursa Fabricius dapat menjadi faktor yang menunjukkan perubahan dan tingkat kerusakan dari organ ini (Liu et al. 2012).

Lesio yang berbeda dari semua kelompok perlakuan adalah adanya atropi pada kelompok I, menurut Price & Wilson (2006), atropi adalah organ yang dalam perkembangannya mencapai ukuran definitif dan kemudian secara sekunder

menyusut. Atropi dapat juga disebabkan oleh infeksi virus yang bereplikasi pada bursa Fabricius dan timus sehingga kedua organ tersebut mengalami perubahan degeneratif.

Timus

Pengamatan histopatologi pada timus dilakukan pada korteks. Korteks adalah tempat untuk menghasilkan sel-sel limfoid. Menurut Price dan Wilson (2006), korteks mengandung banyak timosit, timosit adalah limfosit T yang datang dari sumsum tulang melalui aliran darah dan berada dalam berbagai stadium perkembangan. Persentase luas korteks diukur dengan cara luas korteks dibagi luas lobus dikalikan dengan 100%.

Tabel 5 Persentase Timus pada Ayam yang diberi ekstrak tanaman obat selama 21 hari setelah uji tantang virus AI strain H5N1/NGK/2003

Kelompok Luas Lobus LuasKorteks

(µm) % Luas Korteks Lesio

Kontrol 1154418.57 745799.61 67.26 a Kongesti, edema, deplesi

kortek

I 4026429.48 3342432.25 85.71a Kongesti, deplesi kortek

II 1316350.63 1027009.79 79.80a Perdarahan ringan

III 3153557.73 2553319.83 84.62 a Kongesti, deplesi kortek,

multi fokus nekrotik medula Ket: Huruf superskrip berbeda pada kolom yang sama menunjukkan hasil berbeda nyata (p<0.05) Kontrol (diberi akuades), I (tanaman obat 5%), II (tanaman obat 7.5%), III(tanaman obat 10%)

Hasil pengamatan persentase luas korteks menunjukkan nilai rata-rata yang terkecil dari keseluruhan kelompok perlakuan adalah kelompok kontrol yaitu 67.23%, selanjutnya kelompok II 79.80%, kelompok III 84.62%, dan kelompok I 85.71%. Berdasarkan uji statistik, semua kelompok perlakuan menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata, yang menandakan tingkat proliferasi sel limfoid pada timus pada setiap kelompok perlakuan relatif sama.

Kelompok II menunjukan persentase luas korteks paling kecil diantara semua perlakuan pemberian tanaman obat, tetapi masih diatas kontrol. Persentase luas kortek terkecil pada kelompok II mengindikasikan bahwa sel limfoid yang terdapat pada timus berproliferasi lebih rendah dibanding dengan kelompok lainnya. Salah satu faktor yang menyebabkan tingkat proliferasi rendah pada timus adalah limpa sebagai organ limfoid sekunder telah mampu menyediakan sel

limfoid yang dibutuhkan tubuh untuk melawan infeksi. Sel limfoid yang berasal dari limpa akan menuju tempat infeksi melalui proses kemotaksis. Kemotaksis adalah pergerakan leukosit di interstitial pada jaringan yang meradang setelah leukosit tersebut bermigrasi, berbagai agen dapat memberikan sinyal kemotaktik untuk menarik leukosit, meliputi agen infeksius, jaringan rusak dan zat yang diaktifkan di dalam fraksi plasma yang bocor dari aliran darah (Price dan Wilson 2006). Timus pada kelompok II bekerja lebih efektif dibanding dari kelompok perlakuan yang lain.

Gambar 1. Histopatologi Timus yang diberi ekstrak tanaman obat selama 21 hari setelah uji tantang virus AI strain H5N1, Pewarnaan HE, A (Kontrol, 5 hari p.i, diberi akuades), B

(kelompok I, 5 hari p.i, tanaman obat 5%), C (kelompok II, 7 hari p.i, tanaman obat 7.5%), D (kelompok III, 4 hari p.i, tanaman obat 10%) : 1. Kongesti, 2. Deplesi korteks

Lesio timus pada kelompok II adalah perdarahan ringan. Menurut Price dan Wilson (2006), perdarahan adalah keluarnya darah dari sistem kardiovaskular, disertai penimbunan dalam jaringan atau dalam ruang tubuh atau disertai keluarnya darah dari tubuh. Pecahnya dinding pembuluh darah bisa disebabkan oleh beberpa faktor antara lain akibat suatu penyakit, infeksi antigen dan trauma. Replikasi virus juga bisa menyebabkan pecahnya pembuluh darah, karena virus

1 2 1 1 1 A D C B

H5N1 bereplikasi di endotel pembuluh darah. Menurut Peiris et al. (2004), antigen HPAI H5N1 menempati area vaskular yaitu pada epitel endotel pembuluh darah.

Timus kelompok kontrol mengalami kerusakan yang paling banyak dibandingkan kelompok perlakuan lainnya. Hal ini menandakan bahwa pemberian

Dokumen terkait