• Tidak ada hasil yang ditemukan

Identifikasi Bahaya

Hasil identifikasi bahaya dan penilaian tingkat kepentingan risiko unggas serta produk asal unggas dalam membawa virus HPAI H5N1 masuk melalui wilayah kerja Balai Karantina Pertanian Kelas I Banjarmasin berdasarkan penilaian para pakar disajikan dalam Tabel 9.

Tabel 9 Penilaian pakar mengenai tingkat kepentingan risiko unggas dan produknya dalam membawa virus HPAI H5N1

No Alur tapak risiko Modus (*)

1 DOC (day old chick) 5

2 DOD (day old duck) 5

3 Burung kicauan 4

4 Ayam aduan/hobi 4

5 Telur tetas 4

6 Telur konsumsi 2

7 Daging ayam beku 2

8 Daging itik beku 2

9 Daging burung dara beku 2

10 Jeroan ayam beku 1

11 Sarang walet 1

Keterangan : (*) 1 = tidak penting, 2 = kurang penting, 3 = cukup penting, 4 = penting, 5 = sangat penting

Unggas dan produk unggas yang diajukan kepada pakar untuk dinilai tingkat risikonya merupakan komoditas yang dilalulintaskan ke Kalimantan Selatan melalui pintu pemasukan resmi yang telah ditetapkan oleh pemerintah, yaitu di Bandara Syamsudin Noor, Pelabuhan Trisakti, Pelabuhan Batulicin, dan Pelabuhan Kotabaru. Komoditas tersebut adalah DOC, DOD, ayam aduan, burung, telur tetas, telur konsumsi, daging ayam beku, daging itik beku, daging burung dara beku, jeroan ayam beku, dan sarang walet.

Hasil penilaian pakar menunjukkan modus pada nilai 5 (sangat penting) untuk pemasukan DOC dan DOD; 4 (penting) untuk burung, ayam aduan, telur tetas; 2 (kurang penting) untuk telur konsumsi, daging ayam beku, daging itik beku, daging burung dara beku; dan 1 (tidak penting) untuk pemasukan jeroan ayam beku dan sarang walet. Hasil penilaian menunjukkan persepsi pakar yang

merupakan pemangku kebijakan perunggasan di Kalimantan Selatan terhadap pemasukan unggas dan produk asal unggas melalui karantina. Hasil penilaian pakar mengenai tingkat kepentingan risiko pemasukan DOC, DOD, burung, ayam aduan, telur tetas adalah sangat tinggi dan tinggi. Hal ini disebabkan komoditas tersebut merupakan hewan hidup yang mempunyai kemungkinan tinggi untuk terinfeksi atau terkontaminasi virus HPAI H5N1, serta dapat mengeluarkan virus secara langsung maupun tidak langsung ke lingkungan, sehingga menjadi sumber penularan bagi spesies peka lainnya.

Hasil penilaian pakar untuk produk unggas, yaitu telur konsumsi, daging ayam beku, daging itik beku, daging burung dara beku, jeroan ayam beku, dan sarang walet menunjukkan tingkat penilaian kurang penting dan tidak penting dari komoditas tersebut dalam pemasukan virus HPAI H5N1 ke Kalimantan Selatan. Menurut Swayne (2008), virus HPAI dapat menyebabkan infeksi sistemik. Virus dapat diisolasi dari beberapa jaringan tubuh seperti daging, darah, sumsum tulang, saluran respirasi, ginjal, limpa, hati, thymus, pankreas, glandula adrenal, saluran pencernaan, ovarium, testis, folikel bulu, dan otak pada ayam yang diinfeksi secara buatan. Eksperimen yang dilakukan pada ayam specified pathogen-free (SPF) umur 4 minggu menggunakan isolat A/duck/Anyang/AVL-1/01 (H5N1) secara intra nasal dengan dosis infeksi 106 EID50/0.1 ml virus, menghasilkan titer virus positif sebesar 5.3–5.5 log10 EID50/g pada otot dada hari di ke-2 dan ke-3 setelah infeksi (Tumpey et al. 2002). Beato et al. (2006) melaporkan adanya antigen virus pada hati itik peking yang diinfeksi secara oro-nasal dengan 0.1 ml suspensi virus H5N1 HPAI (A/chicken/Vietnam/12/2005)107 EID50. Isolasi virus dari sampel hati menunjukkan hasil positif pada hari ke-3 dan ke-5 setelah infeksi. Titer virus H5N1 pada hati ayam dilaporkan berjumlah 1010.6 EID50/g. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa virus HPAI mempunyai kemungkinan ditemukan pada daging maupun jeroan unggas, dengan titer bergantung pada strain virus, spesies unggas terinfeksi, serta stadium infeksi (Swayne 2008).

Hasil penilaian pakar berhubungan dengan jumlah, frekuensi pemasukan beberapa komoditas, dan kemungkinan produk tersebut mendedahkan virus ke lingkungan atau spesies peka. Menurut data sistem informasi karantina hewan, pemasukan jeroan ayam beku ke Kalimantan Selatan sebanyak 1-4 kali dalam

27

setahun dengan jumlah kurang dari 1000 kg. Produk unggas yang dikirim ke Kalimantan Selatan biasanya dijual di supermarket atau diproses lebih lanjut di rumah makan siap saji. Kemungkinan kontak yang kecil dari produk tersebut dengan populasi unggas peka di Kalimantan Selatan, menyebabkan peluang produk dalam melepaskan dan mendedahkan virus HPAI H5N1 kecil, sehingga dinilai kurang penting dan tidak penting.

Komoditas yang mempunyai nilai modus 2 (kurang penting) dan 1 (tidak penting) dari hasil penilaian pakar, yaitu telur konsumsi, daging ayam beku, daging itik beku, daging burung dara beku, jeroan ayam beku, dan sarang walet, diabaikan atau tidak dilanjutkan ke penilaian pelepasan. DOC, DOD, ayam aduan, burung, serta telur tetas yang modusnya 4 (penting) dan 5 (sangat penting), diidentifikasi sebagai alur tapak risiko untuk selanjutnya dilakukan penilaian pelepasan.

Penilaian Pelepasan (Release Assessment) Virus HPAI Subtipe H5N1 Penilaian Pelepasan Virus HPAI Subtipe H5N1 Melalui Pemasukan DOC

Berdasarkan data SIKAWAN yang dikelola oleh BKP I Banjarmasin tahun 2009 sampai dengan 2011, terdapat pengiriman DOC ke Kalimantan Selatan melalui Bandara Syamsudin Noor. DOC dikirim dari Bandara Soekarno Hatta Tangerang, Bandara Juanda Surabaya, Bandara Adisucipto Yogyakarta, serta Bandara Sultan Hasanudin Makasar. Day old chick yang dilalulintaskan adalah DOC parent stock (PS) pedaging serta DOC final stock (FS) pedaging dan petelur. Day old chick PS yang dikirim ke Kalimantan Selatan berasal dari peternakan grand parent stock (GPS) di Jawa bagian barat untuk perusahaan pembibitan (breeding farm) yang ada di Kalimantan Selatan. Berdasarkan data dari Dispet Kalsel (2010), terdapat empat breeding farm dan dua hatchery yang terletak di Kabupaten Tanah Laut, Banjarbaru, dan Banjar. Day old chick FS yang dikirim ke Kalimantan Selatan sebagian besar berasal dari perusahaan pembibitan ayam pedaging, petelur, dan ayam buras di Jawa Timur, Jawa Barat, Yogyakarta, Jawa Tengah, dan Sulawesi Selatan. DOC FS dikirim untuk mensuplai peternakan ayam pedaging dan petelur dalam memenuhi kebutuhan daging dan telur di

Kalimantan Selatan dan sekitarnya. Ringkasan penilaian pelepasan virus HPAI H5N1 melalui DOC, disajikan pada Tabel 10.

Tabel 10 Ringkasan penilaian pelepasan virus HPAI subtipe H5N1 melalui DOC

Parameter Deskripsi Penafsiran Sumber data

Peluang terinfeksi (prevalensi)

Penelitian yang dilakukan pada bulan April sampai

dengan September 2008

pada 240 ekor DOC yang akan dilalulintaskan antar area dari bandara Soetta menunjukkkan hasil 158 sampel (65.8%) positif AI dengan metode IHK.

Sangat tinggi Setyawati (2010)

Peternakan ayam ras di Jawa Timur positif terdeteksi VAI subtipe H5 sebesar 20 % dari

100 sampel (Blitar,

Mojokerto, Jember,

Lamongan)

Sabdoningrum (2008)

Penelitian yang dilakukan pada bulan Juni 2008

Januari 2009 pada 346 sampel DOC di Bandara Soekarno Hatta terdeteksi mengandung virus Influenza A subtipe H5 menggunakan uji PCR dan isolasi pada telur bertunas, dengan prevalensi sampel positif sebesar 1.72%

Mujiatun (2009)

Peluang terinfeksi tidak terdeteksi

Pemeriksaan di exit point berupa rapid test AI, uji HA/HI. Disinfeksi boks

DOC menggunakan

disinfektan Virkon secara

spray.

Tinggi Wawancara petugas

karantina

Peluang pelepasan DOC (frekuensi pemasukan)

Pemasukan DOC tahun 2009 sebanyak 1.678.706 ekor, tahun 2010 sebanyak 2.973.551 ekor, tahun 2011 sebanyak 3.719.340 ekor, dengan frekuensi kedatangan rata-rata 2-3 kali per hari

Sangat tinggi SIKAWAN

Peluang pelepasan

Peluang terinfeksi x Peluang terinfeksi tidak terdeteksi x Peluang pelepasan DOC

Sangat tinggi x Tinggi x

Sangat tinggi = Tinggi

29

Hasil survailans AI pada peternakan komersial belum banyak dilaporkan. Vaksinasi terhadap unggas di peternakan komersial telah dilakukan namun kejadian AI masih terjadi, diindikasikan dengan terdapatnya hasil positif H5 dengan isolasi virus dari ayam petelur afkir dan pedaging pada beberapa tempat pengumpulan unggas di Jakarta. Indikasi lain adalah masih adanya kasus H5N1 pada peternakan ayam petelur komersial yang telah divaksin (Poetri et al. 2011). Penelitian yang dilakukan oleh Sabdoningrum (2008) pada lima peternakan ayam ras di Blitar, Mojokerto, Jember, dan Lamongan menunjukkan bahwa peternakan ayam ras di Jawa Timur positif terdeteksi virus AI sebesar 20% dari 100 sampel.

Menurut laporan FAO (2008), DOC komersial tidak lazim terinfeksi virus H5N1 saat menetas, karena telur yang telah terinfeksi secara vertikal dari induknya memiliki daya tetas rendah. Day old chick dapat tertular virus AI akibat penggunaan berulang alat angkut yang terkontaminasi (Sims & Brown 2007). Wibawan (2006), menyatakan kondisi virus AI saat ini berbentuk infeksi subklinis yang berarti bahwa hewan terinfeksi namun tidak menunjukkan gejala klinis sakit. Penelitian yang dilakukan pada bulan Juni 2008 sampai Januari 2009 di gudang keberangkatan domestik, kedatangan international, dan instalasi DOC Balai Besar Karantina Pertanian Soekarno Hatta menunjukkan prevalensi virus influenza A sebesar 1.73% (6 positif dari 346) (Mujiatun 2009). Setyawati (2010) pada bulan April, Juni, Juli, September 2008, melakukan penelitian terhadap 240 ekor sampel DOC di Bandara Soekarno Hatta dari perusahaan pembibitan di Provinsi Jawa Barat dan Banten, menunjukkan bahwa 158 dari 240 sampel DOC FS (65.8%) yang dilalulintaskan menunjukkan hasil positif antigen AI H5N1 pada organ dengan metode pemeriksaan imunohistokimia (IHK). Sampel DOC yang digunakan, telah memiliki dokumen karantina serta dokumen pendukung berupa SKKH, yang memuat keterangan bahwa DOC berasal dari peternakan pembibitan yang tidak terjadi kasus avian influenza sekurang-kurangnya 30 hari terakhir. Hasil tersebut menunjukkan bahwa kasus AI dapat terjadi pada DOC yang terlihat sehat dengan pemeriksaan klinis dan tidak menunjukkan lesi spesifik AI.

Pemeriksaan yang dilakukan karantina terhadap DOC yang dilalulintaskan antar area adalah monitoring titer antibodi menggunakan uji HA/HI pada periode waktu tertentu (tidak pada setiap keberangkatan DOC). Titer antibodi AI

sebesar 25 pada sampel DOC yang terdeteksi positif antigen AI di trakea, paru-paru, dan kuning telur dengan uji RT-PCR dan isolasi virus (Mujiatun 2009). Menurut Setyawati (2010), antigen positif AI dengan uji IHK banyak terdapat pada titer antibodi protektif 23 maupun titer negatif. Hasil penelitian menunjukkan keberadaan virus AI pada tubuh DOC tidak dipengaruhi oleh titer antibodi induk. Menurut Kumar et al. (2007), ayam dengan titer antibodi lebih rendah dari 10 atau 23 maupun titer negatif tidak mampu melindungi ayam dari infeksi virus AI, tetapi dapat mencegah shedding virus. Prevalensi HPAI subtipe H5N1 dari DOC yang dimasukkan ke Kalimantan Selatan diduga sebagai sangat tinggi.

Tindakan disinfeksi yang dilakukan di karantina adalah penyemprotan boks DOC menggunakan disinfektan. Disinfeksi secara spray dinilai tidak dapat menjangkau keseluruhan bagian boks, serta kurang dalam waktu kontak dengan permukaan yang terkontaminasi virus. Bagian yang terkena cairan disinfektan adalah bagian luar boks, sementara bagian dalam yang lebih banyak terkontaminasi feses dan bulu hanya sedikit kontak dengan disinfektan. Disinfektan Virkon®-S yang digunakan oleh beberapa UPT karantina mempunyai daya inaktivasi terhadap virus AI pada konsentrasi 0.2% setelah 45 menit, atau konsentrasi 0.5-1% setelah 15 menit. Berdasarkan hal tersebut, kemungkinan DOC terinfeksi AI namun tidak terdeteksi di exit/entry point dan kemungkinan DOC membawa virus HPAI H5N1 dinilai sebagai tinggi, dengan ketidakpastian sedang.

Data pemasukan DOC melalui Bandara Syamsudin Noor pada tahun 2009 sebanyak 1 678 706 ekor dengan frekuensi 364 kali, tahun 2010 jumlah pemasukan 2 973 551 ekor dengan frekuensi 748 kali, dan tahun 2011 sejumlah 3 719 340 ekor dengan frekuensi pemasukan 814 kali. Data menunjukkan terjadi peningkatan jumlah dan frekuensi pemasukan DOC setiap tahunnya. Data ini menunjukkan pemasukan DOC ke Kalimantan Selatan melalui pintu karantina terjadi dengan frekuensi rata-rata 2-3 kali kedatangan setiap hari. Berdasarkan kategori penilaian kualitatif dari EFSA (2006) dan Kasemsuwan et al. (2009) pada Tabel 2 dan 3, peluang pelepasan DOC yang masuk ke Kalimantan Selatan dinilai sebagai sangat tinggi.Berdasarkan frekuensi pemasukan, prevalensi HPAI subtipe H5N1 pada DOC dari daerah asal, serta kemungkinan unggas terinfeksi namun

31

tidak terdeteksi di exit point, maka peluang masuknya virus HPAI subtipe H5N1 melalui DOC dinilai sebagai tinggi, dengan ketidakpastian dugaan peluang sedang.

Penilaian Pelepasan Virus HPAI Subtipe H5N1 Melalui Pemasukan DOD Kalimantan Selatan memiliki plasma nutfah asli itik alabio, yang banyak dibudidayakan sebagai itik petelur. Pemasukan DOD dari Pulau Jawa ke Kalimantan Selatan ditujukan untuk penyilangan dengan itik lokal agar memperoleh bibit unggul. Sistem pemeliharaan itik di Jawa sudah mulai berkembang ke arah intensif dalam skala menengah dan besar (Yusdja et al. 2005). Menurut Gibert et al. (2006), tipe peternakan itik ekstensif maupun semi-intensif mempunyai risiko yang tinggi terhadap penyebaran virus AI.

Balai Besar Veteriner (BBVet) Wates pada tahun 2004 telah melakukan pemeriksaan terhadap 43 sampel itik yang dikirimkan ke balai tersebut, sebanyak 21% sampel menunjukkan hasil positif terhadap virus AI (Prijono 2004). Kajian seroepidemiologi serta strategi penanggulangan dan pencegahan AI oleh Fakultas Kedokteran Hewan IPB pada tahun 2005 di Sumatera dan Kalimantan dan menemukan bahwa peternakan itik di sembilan provinsi di Pulau Sumatera dan Kalimantan telah positif terinfeksi virus AI dengan presentasi bervariasi dari 0-44.6% (Soejoedono et al. 2005).

Pengambilan sampel usap kloaka dan trakea yang dilakukan oleh Nuradji et al. (2009) di beberapa peternakan itik rakyat dan pasar unggas di Jawa Tengah dan Jawa Barat, menunjukkan hasil 3 dari 62 sampel (4.84%) positif AI H5N1 dengan teknik isolasi virus pada telur ayam bertunas umur 10-12 hari. Percobaan yang dilakukan pada 460 sampel unggas air yang tidak divaksin (itik, angsa, entog) berhasil mendapatkan 21 isolat dari peternakan itik skala kecil di Jawa Barat. Prevalensi virus AI H5N1 pada masing-masing spesies adalah 6.67% (angsa), 4.85% (itik), dan 4.04% (entog) (Susanti et al. 2008).

Penelitian yang dilakukan Wahyu (2008) pada beberapa pasar di Surabaya (bagian barat, selatan, timur, utara, pusat) berhasil mendeteksi antibodi virus AI tipe A dari serum kuning telur itik dan entog. Hasil penelitian menunjukkan 32% sampel terdapat antibodi terhadap virus tersebut. Hal tersebut mengindikasikan

bahwa itik dan entog penghasil telur tersebut pernah terpapar oleh virus AI karena infeksi alam maupun vaksinasi. Prevalensi desa terinfeksi AI menurut survailans PDSR pada tahun 2009-2011 di Jawa Timur berkisar antara 0.1-1.3%, Jawa Tengah 1.0-3.6%, Yogyakarta 0-8%. Itik merupakan vektor potensial bagi virus AI subtipe H5N1. Strain patogenik H5N1 hanya menyebabkan gejala klinis ringan pada itik, tetapi secara “silently”, shedding virus terjadi terus menerus sehingga berpotensi menyebarkan virus yang bersifat patogenik bagi unggas lain bahkan pada manusia (Hulse-Post et al. 2005). Virus HPAI H5N1 menginfeksi itik, namun itik tetap terlihat sehat dan tidak menunjukkan gejala klinis meskipun virus telah ada di otot dan organ internalnya (Capua 2006).

Virus H5N1 yang diisolasi dari itik lebih beragam dibandingkan pada ayam, materi genetik H5 lebih sering terdeteksi pada itik hidup dibandingkan ayam, dengan atau tanpa terdeteksinya antibodi, mengindikasikan bahwa virus H5 lebih banyak bersirkulasi pada kelompok itik (Wibawa et al. 2011). Data prevalensi HPAI H5N1 pada DOD belum tersedia, namun dapat diduga berdasarkan beberapa hasil penelitian dan survailans. Biosekuriti pada peternakan itik, dan kejadian subklinis AI pada itik memberikan kemungkinan DOD yang dihasilkan pada peternakan pembibitan itik komersial juga memiliki prevalensi yang tinggi terhadap infeksi virus HPAI subtipe H5N1.

Pengiriman DOD dari daerah asal disertai dengan surat keterangan kesehatan hewan (SKKH) dari dokter hewan dinas peternakan setempat yang memberikan keterangan bahwa tidak terjadi kasus kasus AI sekurang-kurangnya 30 hari terakhir secara klinis maupun patologi anatomi. Surat keterangan kesehatan hewan yang dijadikan dokumen pendukung untuk pengiriman DOD ke daerah lain tidak selalu melampirkan bukti pemeriksaan laboratorium AI. Tindakan karantina yang dilakukan di exit/entry point adalah pemeriksaan fisik, pengujian menggunakan rapid test atau uji HA/HI. Menurut Dirkeswan (2009), rapid test yang ada di Indonesia belum terbukti dapat digunakan pada spesies lain seperti itik, kalkun, burung puyuh, merpati, dan babi. Peluang DOD terinfeksi namun tidak terdeteksi di exit/entry point diperkirakan sebagai tinggi. Ringkasan penilaian pelepasan virus HPAI subtipe H5N1 oleh DOD disajikan pada Tabel 11.

33

Tabel 11Ringkasan penilaian pelepasan virus HPAI subtipe H5N1 melalui DOD

Parameter Deskripsi Penafsiran Sumber data

Peluang terinfeksi (prevalensi)

Peternakan itik rakyat dan pasar unggas di Jawa Tengah dan Jawa Barat, 3 dari 62 sampel (4.84 %) positif AI H5N1 dengan teknik isolasi virus

Tinggi Nuradji et al.(2009)

Tipe peternakan itik ekstensif maupun semi-intensif mempunyai risiko yang tinggi terhadap penyebaran virus AI

Gilbert et al.

(2006)

Deteksi pemeriksaan

serum kuning telur itik dan entog dari beberapa pasar di Surabaya 32% sampel terdapat antibodi VAI tipe A.

Wahyu (2008)

Prevalensi desa terinfeksi AI antara tahun 2009 - 2011 di Jawa Timur 0.1-1.3%, Jawa Tengah 1.0-3.6%, DIY 0-8% PDSR (2011) Peluang unggas terinfeksi tidak terdeteksi Pemeriksaan di exit/entry point berupa rapid test AI, uji HA/HI. Disinfeksi boks DOD menggunakan Virkon secara spray

Tinggi Wawancara

petugas karantina

Peluang pelepasan DOD

Total pemasukan DOD pada tahun 2009 sebanyak 3700 ekor, tahun 2010 12 643 ekor, tahun 2011

sebanyak 3460 ekor,

dengan rata-rata frekuensi pemasukan 1 kali sebulan

Sedang SIKAWAN

Peluang pelepasan Peluang terinfeksi x

Peluang terinfeksi tidak terdeteksi x

Peluang pelepasan DOD

Tinggi x Tinggi x Sedang = Sedang Ketidakpastian sedang

Jumlah pemasukan itik ke Kalimantan Selatan melalui karantina pada tahun 2009 sebanyak 3700 ekor dalam 2 kali frekuensi kedatangan dari Bandara Juanda, tahun 2010 sebanyak 12 643 ekor dengan 12 kali frekuensi kedatangan dari Yogyakarta dan Surabaya, dan pada tahun 2011, terdapat pemasukan DOD sejumlah 3 460 ekor dengan frekuensi 8 kali. Berdasarkan frekuensi pemasukan

DOD, yaitu sekitar satu kali sebulan, peluang pelepasan DOD terinfeksi dinilai sebagai sedang, dengan ketidakpastian sedang.

Penilaian Pelepasan Virus HPAI Subtipe H5N1 Melalui Pemasukan Burung Burung yang dimasukkan ke Kalimantan Selatan melalui wilayah kerja karantina di bandara maupun pelabuhan, sebagian besar merupakan burung kesayangan/kicauan yang dibawa oleh pemiliknya. Jumlah burung yang dibawa antara satu sampai lima ekor dengan tujuan untuk dipelihara sendiri maupun dalam jumlah lebih banyak untuk diperdagangkan. Burung berasal dari berbagai daerah di Jawa, Sumatera, Sulawesi, serta daerah lain di Indonesia. Burung diperoleh dari hasil tangkapan langsung di alam, dibeli dari pasar burung maupun penangkaran burung di daerah asalnya. Burung liar yang ditangkap dari alam sulit dalam pengaturan perdagangannya, karena adanya kemungkinan perdagangan secara ilegal. Burung tersebut mempunyai kemungkinan terinfeksi AI sebelum penangkapan dilakukan sampai dengan dijual di pasar (FAO 2008a).

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Dharmayanti et al. (2006) menggunakan metode isolasi RNA virus dari usap kloaka dan RT-PCR menggunakan primer spesifik H5 telah dapat mendeteksi keberadaan virus AI pada beberapa jenis burung (kakatua, puter, merpati, perkutut) milik penggemar burung dan sebuah penangkaran burung di Jakarta. Burung-burung tersebut merupakan burung yang sengaja dipelihara dan dikandangkan dengan baik. Terinfeksinya burung di tempat penangkaran kemungkinan disebabkan biosekuriti yang kurang ketat. Kasus AI pada delapan burung peliharaan milik penggemar burung kemungkinan disebabkan keberadaan unggas lain seperti ayam, itik, atau burung-burung liar yang berada di sekitar rumah pemilik.

Survailans AI yang dilakukan oleh US NAMRU 2 di lima lokasi yaitu Muara Gembong (Bekasi), Eretan, Kandang Haur (Indramayu), Sayung (Demak), Wonorejo, Rungkut (Surabaya), Trisik, Galur (Kulonprogo) pada bulan Oktober 2006 sampai September 2007, menunjukkan 3 dari 84 sampel merpati (3.6%), 2 dari 97 sampel kuntul kerbau (Bubulcus ibis) (2.1%), menunjukkkan positif H5 dengan uji ELISA, dengan prevalensi 5.3% (Stoops et al. 2009). Penelitian yang dilakukan oleh Prawiradilaga (2010), menunjukkan bahwa burung yang

35

diperdagangkan dan burung liar mempunyai potensi tertular AI. Pengambilan sampel dari pasar burung di Malang, Jember, Banyuwangi (Jawa Timur) dan dari burung liar di Muara Gembong, Bekasi, menunjukkan sebanyak 3 spesies dari 44 spesies yaitu Passer montanus (burung gereja erasia), Sturnus contra (jalak suren) dan Geopelia striata (perkutut jawa) terinfeksi H5N1 dengan prevalensi 6.82%. Jumlah sampel dari Jawa Barat sebanyak 49 sampel serum darah, 59 sampel usap trakea, dan 51 sampel usap kloaka. Prevalensi infeksi burung liar di Jawa Barat yaitu 10% H5Nl, yaitu pada seekor Tringa hypoleucos (burung trinil pantai). Menurut Sims dan Brown (2008), perdagangan burung di Asia, dapat menjadi rute potensial penyebaran infeksi. Prevalensi HPAI H5N1 pada berbagai spesies burung diperkirakan sebagai tinggi.

Burung kesayangan/kicauan yang dibawa oleh pemilik ke Kalimantan Selatan terdiri dari berbagai macam spesies seperti burung cucak hijau (Chloropsis sonnerati), cucak rawa (Pycnonotus zeylanicus), murai batu (Copsychus malabaricus), kacer (Copsychus sechellarum), kenari (Serinus canaria/Canariae insulae), lovebird (Agapornis sp), perkutut (Geopelia striata), emprit (Lonchura leucogastroides), merpati (Columba livia), punglor. Burung merpati telah diketahui dapat terinfeksi oleh virus HPAI H5N1 (Dharmayanti etal. 2004). Virus dapat bertahan di dalam tubuh burung merpati, ataupun unggas air, tanpa menimbulkan kematian sehingga bertindak sebagai reservoir penyebar HPAI H5N1 dengan cara dieskresikan melalui kloaka (Fouchier et al. 2003).

Menurut hasil wawancara dengan beberapa petugas karantina daerah asal burung, terdapat beberapa perbedaan pada dokumen pengiriman burung. Beberapa daerah asal menyatakan pengiriman burung harus dilengkapi dengan SKKH dari dinas kesehatan hewan setempat, jika jumlah burung yang akan dikirim lebih dari lima ekor, jika jumlah kurang dari itu SKKH tidak dipersyaratkan. Beberapa daerah asal burung mempersyaratkan surat keterangan dari Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) yang menyatakan bahwa burung yang akan dibawa bukan burung dari spesies yang dilindungi atau terancam punah, dengan atau tanpa SKKH. Surat keterangan kesehatan hewan memuat keterangan tentang jumlah dan jenis unggas, serta status kesehatan hewan berdasarkan pemeriksaan

klinis dan status kejadian AI daerah asal, dengan atau tanpa melampirkan hasil pemeriksaan laboratorium AI.

Pemeriksaan yang dilakukan di exit point adalah pemeriksaan secara klinis maupun laboratorium. Pada beberapa daerah asal, pemeriksaan yang dilakukan adalah rapid test AI, uji HA/HI, maupun PCR, bergantung kepada persyaratan rekomendasi pemasukan yang dicantumkan oleh dinas peternakan dan kesehatan hewan daerah tujuan. Dinas Peternakan Kalimantan Selatan mengizinkan pemasukan unggas dewasa dengan persyaratan terdapat SKKH dari dokter hewan daerah asal, dan Sertifikat Kesehatan Hewan (KH 9) dari dokter hewan karantina yang berwenang.

Deteksi antigen menggunakan rapid test tidak direkomendasikan untuk screening unggas yang terlihat sehat atau unggas liar, disebabkan rendahnya nilai sensitivitas. Sebagian besar kit mempunyai sensitivitas rata-rata 104-105 EID50. Hanya unggas yang telah menunjukkan gejala klinis AI atau yang mati akibat infeksi virus, yang mengeluarkan titer virus dalam jumlah yang mencukupi untuk deteksi rapid test tersebut. Jumlah virus yang dikeluarkan oleh unggas pada kasus

Dokumen terkait