• Tidak ada hasil yang ditemukan

Virus avian influenza (AI) termasuk dalam famili Orthomyxoviridae, merupakan virus yang beramplop, single stranded RNA. Virus dalam famili ini terbagi menjadi 5 genus, yaitu virus tipe A, B, C, Isavirus, dan Thogovirus. Virus influenza tipe A dapat menginfeksi berbagai spesies unggas dan mamalia. Virus tipe B dan C bersifat patogen pada manusia dan jarang menginfeksi spesies lain (Suarez 2007). Pengelompokan virus influenza menjadi A, B, dan C berdasarkan perbedaan nukleoprotein (NP) dan matriks proteinnya (M) (Harder & Werner 2006). Semua virus AI mempunyai delapan segmen RNA berpolaritas negatif yang mengkode paling sedikit sepuluh protein viral yang berbeda. Virus AI dibagi menjadi beberapa subtipe berdasar karakterisasi dari hemaglutinin (HA) dan neuraminidase (NA), serta glikoprotein yang terletak pada lapisan luar amplop. Berdasar perkembangan terakhir telah ditemukan 16 HA dan 9 NA (Suarez 2007).

Komposisi, Morfologi, dan Patologi Virus AI

Seluruh virus influenza memiliki 8 segmen gen yang berbeda yang dapat mengkode paling sedikit 10 protein virus yang berbeda pula. Protein struktural pada virion dewasa dapat dibagi menjadi protein permukaan hemagluntinin (HA), neuraminidase (NA), protein membran saluran ion (M2), protein internal nukleoprotein (NP), matriks protein (M1), polymerase basic protein 1 dan 2 (PB 1 dan PB 2), dan polymerase acidic protein (PA). Terdapat 2 protein tambahan yang diproduksi oleh virus influenza, yaitu non struktural protein 1 dan 2 (NS 1 dan NS 2) atau sering disebut juga dengan nuclear export protein (NEP). Protein NS 1 merupakan protein non struktural sejati yang tidak ditemukan pada partikel virus, namun diproduksi dalam jumlah besar di sel hospes, sedangkan protein NS 2 dapat ditemukan pada sel hospes dan pada virion (Suarez 2007). Morfologi virus influenza A tersaji pada Gambar 1.

Gambar 1 Anatomi virus influenza A (Subbarao & Joseph 2007).

Morfologi virus sangat bervariasi, dari partikel berbentuk spherical dengan diameter 80–120 nm sampai bentuk filamen dengan panjang beberapa mikron. Bentuk filamen merupakan bentuk yang mendominasi pada isolat lapangan, namun setelah pasase pada kultur sel atau telur ayam tertunas, virus dapat berubah bentuk menjadi spherical. Morfologi virus dikontrol oleh protein M1. Nukleokapsid berbentuk heliks dan terdapat di dalam amplop virus. Duri HA adalah trimer bentuk tangkai, sedangkan duri NA adalah tetramer bentuk jamur (Easterday et al. 1997). Membran glikoprotein HA berfungsi sebagai binding receptor pada sialyloligosaccharide dan fusi membran glikoprotein pada pintu masuk sel, sedangkan membran glikoprotein NA berfungsi sebagai enzim penghancur reseptor pada pelepasan virus (Ha et al. 2002). Antibodi melawan HA sangat penting dalam proses netralisasi dan perlindungan terhadap infeksi virus, aktivitas enzim neuraminidase bertanggung jawab pada pelepasan virus baru dari sel melalui aktivitasnya pada reseptor asam neuraminik. Antibodi terhadap NA juga sangat penting dalam perlindungan, terutama dengan mencegah penyebaran virus dari sel yang terinfeksi (Easterday etal. 1997).

Virus AI dapat diklasifikasikan berdasar sifat patogenesitasnya pada unggas. Virus low pathogenic avian influenza (LPAI) menyebabkan infeksi mukosal dengan gejala sakit pernafasan pada unggas dan menimbulkan mortalitas yang

7

rendah. Virus highly pathogenic avian influenza (HPAI) menyebabkan gejala penyakit sistemik dengan mortalitas tinggi pada kalkun dan ayam (Suarez 2007). Infeksi virus HPAI yang mengakibatkan penyakit akut berasal dari subtipe H5 dan H7, tetapi banyak juga ditemukan isolat asal burung dari subtipe H5 dan H7 yang memiliki sifat virulensi rendah terhadap peternakan ayam (OIE 2000). Menurut Spickler et al. (2008), virus HPAI dan LPAI berbeda pada struktur hemaglutininnya (HA), yaitu protein yang harus dipecahkan oleh virus untuk dapat masuk ke dalam sel. HA dari virus LPAI dipecahkan oleh enzim tripsin-like yang ditemukan pada sel epitel dan sekresi pernafasan, sehingga virus LPAI yang masuk ke dalam tubuh melalui inhalasi akan terlokalisasi di saluran pernafasan dan gastrointestinal. HA dari virus HPAI dipecahkan oleh enzim famili furin, yang ditemukan di seluruh tubuh, oleh karena itu infeksi HPAI lebih bersifat sistemik.

Sifat dan Daya Tahan Virus AI

Virus AI dapat bertahan hidup dalam waktu yang lama di lingkungan dengan suhu yang cocok, dapat menyebabkan infeksi melalui aerosol di udara, yang menempel pada mulut, hidung, wajah, atau terhisap masuk ke paru-paru. Kontaminan sebanyak satu gram yang mengandung virus, cukup untuk menginfeksi satu juta unggas. Virus cepat mengalami inaktivasi ketika terjadi perubahan pH atau kondisi nonisotonik, suhu (panas), dan kekeringan. Telah dibuktikan bahwa suspensi virus dalam air mampu mempertahankan daya penularannya selama lebih dari 100 hari pada suhu 17 °C. Virus dapat bertahan pada suhu di bawah minus 50 °C dalam waktu tidak terbatas (Perez et al. 2005).

Virus HPAI dapat ditemukan pada feses maupun sekresi pernafasan ayam. Beberapa virus HPAI dikeluarkan pada hari ke-1 atau ke-2 pada ayam dengan infeksi buatan. Shedding virus jarang terlihat sebelum dua hari, meskipun pada beberapa kasus, ayam yang diinokulasi secara intranasal dapat mengeluarkan virus A/chicken/Pennsylvania/1370/83 (H5N2) (Van der Goot et al. 2003; Swayne & Beck 2004) dan A/chicken/Netherlands/621557/03 (H7N7) (Van der Goot et al. 2005) pada hari pertama setelah infeksi di sekresi pernafasan maupun fesesnya. Transmisi virus lebih efisien pada suhu rendah (5 ⁰C) dan kelembaban

relatif rendah (20-35%). Transmisi melalui droplet respirasi tidak terjadi pada kelembaban relatif 80% dan suhu 20 ⁰C, maupun kelembaban relatif 35% dan suhu 30 ⁰C (Swayne 2008).

Virus HPAI H5N1 akan kehilangan infektivitas dalam waktu 1 hari pada suhu 28 ⁰C, dan 30 menit pada suhu 56 ⁰C. Virus dapat mempertahankan infektivitasnya pada suhu 4 ⁰C dalam waktu lebih dari 100 hari meskipun aktivitas HA yang dimiliki berkurang. Daya tahan virus pada pH 5 virus adalah 18 jam, pH 7 dapat bertahan lebih dari 24 jam, sedangkan pada pH 1 dan 3, serta pH 11 dan pH 13, virus mati setelah terjadi kontak selama 6 jam. Sinar ultraviolet tidak begitu efektif untuk membunuh virus, meskipun telah mengalami kontak selama 1 jam. Sabun lifebuoy®, deterjen, dan alkali menghilangkan infektifitas setelah 5 menit pada konsentrasi 0.1, 0.2, dan 0.3%. Formalin pada konsentrasi 0.2, 0.4, dan 0.6%, efektif menginaktifasi virus setelah kontak selama15 menit. Virkon®- S dapat menginaktifasi virus pada konsentrasi 0.2% setelah kontak 45 menit, dan konsentrasi 0.5% serta 1%, setelah kontak selama 15 menit. Disinfektan lain seperti kristal iodin, CID®20, Zeptin, Kepcide, akan menginaktifasi virus dalam konsentrasi dan waktu yang direkomendasikan pada kemasan komersial (Shahid et al. 2009).

Virus dapat ditularkan melalui unggas yang tertular, unggas carrier, peralatan kandang termasuk sepatu pekerja, alat angkut, rak telur (egg trays), kontak dengan fomites, feses,atau leleran yang mengandung virus, karkas unggas terinfeksi, air yang tercemar, rodensia atau hewan liar lainnya, makanan, serta telur yang tercemar (Jeffrey 1997). Menurut Harder dan Werner (2006), siklus infeksi antar unggas terjadi melalui melalui kontak langsung dari unggas terinfeksi, rantai oral-fecal, melalui air, dan benda lain yang tercemar.

Kebijakan Pengendalian AI di Indonesia

Kejadian AI di Indonesia pertama kali terjadi pada bulan Agustus 2003 di beberapa peternakan ayam petelur di Kecamatan Legok, Tangerang yang kemudian meluas ke seluruh Pulau Jawa, Bali, dan beberapa daerah di Sumatera serta Kalimantan. Wilayah Indonesia yang terjangkit AI pada tahun 2003 adalah 9 provinsi, meliputi 51 kabupaten. Akhir tahun 2004 tercatat 17 provinsi yang

9

mencakup 100 kabupaten/kota dan pada Desember 2005 HPAI telah endemis di 25 dari 33 provinsi di Indonesia. Penyakit AI telah menyebar di 27 provinsi sampai bulan Juli 2006, dan sekitar 20 juta unggas mati atau dimusnahkan, belum termasuk kematian di peternakan rakyat (sektor 4) karena tidak ada data dukung yang akurat (Komnas FBPI 2009).

Pemerintah telah mengeluarkan kebijakan yang bersifat strategis dalam rangka pencegahan penyebaran virus sejak awal tahun 2004, terdiri dari 9 (sembilan) tindakan yang harus dilakukan secara simultan. Kebijakan tersebut ditetapkan melalui Surat Keputusan Dirjen Bina Produksi Peternakan Nomor 17/Kpts/PD.640/F/02/04 tentang Pedoman Pencegahan, Pengendalian dan Pemberantasan Penyakit Hewan Menular Avian Influenza (AI) pada unggas. Inti dari program tersebut adalah pelaksanaan sembilan tindakan strategis yang mencakup (1) peningkatan biosekuriti; (2) vaksinasi; (3) depopulasi (pemusnahan terbatas) di daerah tertular; (4) pengendalian lalu lintas unggas, produk unggas dan limbah peternakan unggas; (5) survailans dan penelusuran; (6) pengisian kandang kembali (restocking); (7) stamping out (pemusnahan menyeluruh) di daerah tertular baru; (8) peningkatan kesadaran masyarakat (public awareness); serta (9) monitoring dan evaluasi (Komnas FBPI 2009).

Kegiatan pengendalian AI dilakukan dengan kerjasama teknis antara Kementerian Pertanian dan Food and Agricultural Organization (FAO) didukung oleh negara donor dari United States Agency for International Development (USAID), Australian Agency for International Development (AUSAID), dan Japan Trust Fund (JTF). Dukungan tersebut disalurkan melalui FAO Kementerian Pertanian melalui proyek “The Immediate Assistance for Strenghtening Community based Early Warning and Reaction to Avian Influenza”. FAO

membantu Kementerian Pertanian melalui unit pengendali penyakit avian influenza-Pusat (UPP-AI Pusat)/campaign management unit (CMU), dan di tahun pertama untuk unit pengendali penyakit avian influenza-regional (UPP-AI Regional)/regional management unit (RMU), dan implementasi operasionalisasi melalui petugas participatory disease surveillance and response (PDSR) yang dilatih di tingkat kabupaten/kota. UPP-AI Propinsi yang disebut local disease control centre (LDCC) sebagai implementasi dari rencana strategis nasional

dalam pengendalian AI berkedudukan di dinas yang membidangi fungsi peternakan dan kesehatan hewan. Upaya ini dilakukan untuk percepatan dan fokus pengendalian AI (Komnas FBPI 2009).

Karantina merupakan pihak berwenang yang melakukan pengawasan dan pemeriksaan media pembawa HPAI yang akan dilalulintaskan di instalasi karantina hewan (IKH). Pengawasan dan pemeriksaan media pembawa HPAI di luar IKH bekerjasama atau berkoordinasi dengan dinas yang membidangi fungsi peternakan/kesehatan hewan atau kesehatan masyarakat veteriner, dan Balai Penyidikan dan Pengujian Veteriner (BPPV)/Balai Besar Veteriner (BBVet). Pelaksanaan tindak karantina di lapangan dilakukan berdasarkan Petunjuk Teknis Tindakan Karantina Hewan terhadap Media Pembawa HPAI melalui Keputusan Kepala Badan Karantina Pertanian Nomor 316.a/Kpts/PD.670.320/L/11/06 tanggal 20 November 2006. Petunjuk Teknis ini berfungsi sebagai pedoman bagi petugas karantina hewan di lapangan dalam melakukan tindakan karantina terhadap lalu lintas media pembawa HPAI (Barantan 2006).

Kejadian serta Upaya Pembebasan AI di Kalimantan Selatan

Penyakit AI pertama kali dilaporkan kejadiannya di Provinsi Kalimantan Selatan awal Januari 2004 di peternakan ayam petelur. Penyakit ini yang telah menyebabkan kematian sebanyak 2800 ekor unggas dari total populasi 15 592 ekor di Desa Nusa Indah, Kecamatan Bati-bati, Kabupaten Tanah Laut. Penyakit AI juga telah menyerang beberapa jenis ternak unggas lainnya (itik, ayam pedaging, ayam buras, dan burung puyuh) di Kabupaten Hulu Sungai Tengah, Hulu Sungai Utara, dan Kota Banjarbaru. Kasus AI kembali ditemukan di Kabupaten Hulu Sungai Utara sebanyak 5 kasus pada tahun 2005. Kasus kejadian AI tidak ditemukan kembali setelah tahun 2005. Kasus kembali muncul di peternakan ayam pedaging di Kabupaten Tanah Laut pada tahun 2009. Hasil penelusuran tim BPPV dan Dinas Peternakan Kalimantan Selatan pada tahun 2009 menunjukkan terdapat 4 kabupaten/kota yang tertular AI, yaitu Tanah Laut, Banjarbaru, Banjar, dan Barito Kuala (Hadi et al. 2010).

Tindakan pemusnahan dan disinfeksi telah dilakukan Dinas Peternakan Kalimantan Selatan di daerah terjadinya wabah. Survailans AI di Provinsi

11

Kalimantan Selatan telah dilakukan sejak penyakit ini ditemukan pada bulan Januari 2004. Survailans yang dilakukan berupa pengambilan sampel serum dan usapan kloaka pada unggas, kucing, babi, dan binatang lain yang dapat kontak langsung dengan manusia. Provinsi Kalimantan Selatan memiliki populasi unggas cukup tinggi serta memiliki itik alabio yang merupakan plasma nuftah di Indonesia. Kejadian AI dengan insidensi rendah masih terjadi di Kalimantan Selatan. Pemerintah daerah setempat membuat kebijakan untuk tidak melakukan vaksinasi AI pada unggas di sektor peternakan 3 dan 4, serta terus melakukan survailans kejadian AI bekerja sama dengan BPPV Banjarbaru dalam upaya pembebasan wilayah tersebut dari AI (Ariani 2007).

Peran Unggas dan Produk asal Unggas dalam Penyebaran Penyakit AI Lalu lintas unggas (DOC, DOD, unggas dewasa, burung) serta produknya (telur, daging) mempunyai risiko terhadap penyebaran AI. Menurut Syafrison (2011), risiko pemasukan virus HPAI H5N1 ke zona yang tertinggi adalah dari pemasukan ayam pedaging, unggas backyard, dan media pembawa (fomite). Risiko sedang berkaitan dengan pemasukan itik angonan berpindah, burung liar, hewan perantara, dan produk unggas, sementara aliran air, manur, bangkai dinilai berisiko rendah, sedangkan pakan berisiko sangat rendah.

Menurut Setyawati (2010), DOC telah terinfeksi oleh virus AI dengan gejala subklinis dan berpotensi sebagai salah satu penyebab cepatnya penyebaran AI di Indonesia, sehingga perlu diwaspadai pendistribusiannya ke daerah yang masih bebas AI. Penelitian menunjukkan bahwa itik memegang peranan penting dalam mempertahankan keberadaan virus AI dalam lingkungan. Itik yang terinfeksi meskipun tidak menunjukkan gejala klinis, mampu mengeluarkan virus dalam konsentrasi tinggi yang sifatnya patogen bagi spesies unggas lainnya (Chen et al. 2006).

Suatu penelitian yang bertujuan untuk menjelaskan peranan burung migran dalam penularan flu burung di wilayah endemik seperti Indonesia dilakukan pada bulan Oktober 2006 dan September 2007 di lima lokasi Pulau Jawa,. Sejumlah 4067 burung berhasil ditangkap dengan jaring yang terdiri dari 1110 burung-burung hasil penangkaran (captive bird), 1417 burung-burung yang menetap (resident bird), dan 1540 burung-burung yang bermigrasi (migratory bird).

Keseluruhan tangkapan yang berhasil dikumpulkan terdiri dari 98 spesies dengan 23 genus berbeda. Hasil pemeriksaan serologi menunjukkan prevalensi antibodi H5N1 dari semua lokasi adalah 5.3% (215 dari 4067 ekor burung). Persentase antibodi terhadap paparan virus HPAI H5N1 lebih tinggi secara nyata pada burung-burung hasil penangkaran (16.2%) dibandingkan dengan burung-burung migran (1%) atau yang menetap (1%). Pengujian molekuler usap trakea dan kloaka dari semua lokasi hanya 0.4% (7 dari 1655 ekor burung) yang menunjukkan hasil RT-PCR positif (Stoops et al. 2009).

FAO (2008), melaporkan kejadian dan uji eksperimental yang mengindikasikan bahwa virus AI dapat diisolasi dari kuning dan putih telur ayam di daerah wabah AI. Penelitian terhadap daging itik yang diimpor dari Cina ke Korea Selatan menunjukkan gen HA yang diisolasi mempunyai karakteristik yang relatif sama dengan virus H5N1 Hongkong. Virus dapat bereplikasi dengan baik dan menghasilkan 100% kematian pada ayam yang diinokulasi, 22% kematian pada tikus, dan tidak ada gejala klinis pada itik namun terdapat titer tinggi pada jaringan dan usap trakea (Tumpey et al. 2003).

Penularan AI melalui produk unggas diperkirakan dapat terjadi jika di dalam komoditas tersebut terdapat virus hidup dalam konsentrasi cukup untuk menginfeksi hospes. Beberapa kasus AI H5N1 pada manusia disebabkan karena mengkonsumsi darah segar itik atau produk unggas yang tidak dimasak dengan sempurna. Percobaan yang dilakukan oleh Tumpey et al. (2002) menunjukkan bahwa infeksi buatan secara intranasal dengan dosis 106 EID50/0.1 ml virus HPAI H5N1 isolat A/duck/Anyang/AVL-1/01 pada ayam specified pathogen-free (SPF) umur 4 minggu, menunjukkan keberadaan virus di otot dada pada hari ke-2 dan ke-3 setelah infeksi dengan titer 5.3-5.5 log10 EID50/g. Keberadaan virus pada organ hati itik peking yang diinfeksi secara oro-nasal menggunakan 0.1 suspensi virus H5N1 HPAI A/chicken/Vietnam/12/2005 yang mengandung titer 107 EID50, terdeteksi pada hari ke-3 dan ke-5 setelah infeksi (Beato et al. 2007). Efek pemanasan virus HPAI H5N1 (A/chicken/Korea/ES/2003) pada daging ayam memberikan hasil pada daging sayap dan dada ayam masih terdapat virus dengan titer yang tidak banyak berubah pada suhu 30 ⁰C, 40 ⁰C, 50 ⁰C, 60 ⁰C , namun setelah perlakuan dengan suhu 70⁰C selama 1, 5, 10, 30, dan 60

13

detik menggunakan thermocycler virus mengalami inaktivasi secara sempurna (Swayne 2006).

Analisis Risiko

Analisis risiko adalah suatu proses untuk mengevaluasi risiko yang ditimbulkan oleh adanya bahaya (hazard) dan dilakukan oleh seorang penilai risiko (Dirkeswan 2000). Menurut Marks dan Coleman (1998), analisis risiko merupakan suatu proses yang berbasis ilmu pengetahuan untuk memperkirakan suatu kemungkinan (likehood) dan tingkat keparahan. Proses analisis risiko diharapkan dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti hal apa yang dapat menyimpang, seberapa besar peluang penyimpangan, konsekuensi dari penyimpangan, serta tindakan yang dapat dilakukan untuk mengurangi peluang dan atau konsekuensi dari penyimpangan itu.

Analisis risiko dapat bersifat kualitataif maupun kuantitatif. Menurut Vose (2001), secara umum direkomendasikan seluruh analisis risiko diawali dengan kualitatif. Analisis secara kuantitatif bergantung pada dua faktor utama, yaitu apakah hasil kualitatif sudah cukup untuk pembuatan keputusan, serta tersedianya sumber daya maupun data yang diperlukan untuk melakukan analisis secara kuantitatif. Pendekatan kualitatif digunakan secara luas dalam bidang kesehatan hewan karena hasilnya dianggap sudah cukup memadai dalam membuat keputusan, maupun keterbatasan data untuk melakukan penilaian secara kuantitatif.

Analisis risiko menurut OIE (2004) terdiri dari empat komponen, yaitu identifikasi bahaya (hazard identification), penilaian risiko (risk assessment), manajemen risiko (risk management), dan komunikasi risiko (risk communication). Identifikasi bahaya merupakan langkah pertama dalam analisis risiko untuk menilai secara efektif risiko yang berkaitan dengan komoditas yang akan dimasukkan ke suatu daerah. Masing-masing agen patogen dinilai menurut suatu kajian dan diskusi ilmiah. Proses ini memerlukan pengetahuan mengenai penyakit hewan, pola penyebaran penyakit, dan sifat agen patogen. Pengetahuan mengenai status kejadian penyakit terbaru dari negara pengekspor sangat dibutuhkan. Informasi dapat diperoleh dari OIE maupun instansi yang berwenang

dalam penanganan penyakit hewan di negara tersebut (OIE 2004). Proses analisis risiko yang digunakan oleh OIE adalah model Covello dan Merkhoffer (Covello & Merkhofer 1993), seperti pada Gambar 2.

Gambar 2 Penilaian risiko model Covello-Merkhofer (Covello & Merkhoffer 1993).

Penilaian risiko merupakan evaluasi dari berbagai macam risiko berbasis ilmiah dan potensinya dalam meningkatkan atau mengurangi terjadinya suatu bahaya (hazard) (Swayne 2008). Penilaian risiko pada dasarnya merupakan komponen utama dari analisis risiko yang memperkirakan kaitan antara risiko dengan bahaya. Penilaian risiko umumnya dilakukan oleh suatu tim, di mana penilai risiko menjadi bagian dari tim tersebut (Dirkeswan 2000).

Penilaian risiko (risk assessment) merupakan komponen dari analisis risiko yang terdiri dari empat tahap, yaitu penilaian pelepasan (release assessment), penilaian pendedahan (exposure assessment), penilaian dampak (consequence assessment), dan perkiraan risiko (risk estimation). Penilaian pelepasan merupakan perkiraan kemungkinan terjadinya pelepasan dari setiap potensi bahaya (agen patogen) pada suatu kondisi tertentu, berkaitan dengan jumlah dan waktu (Dirkeswan 2000). Penilaian pendedahan meliputi deskipsi alur tapak biologis yang memungkinkan kejadian pendedahan terhadap hewan di daerah penerima terhadap agen patogen yang telah keluar dari sumbernya, dan menduga probabilitas kejadian tersebut. Probabilitas pendedahan terhadap bahaya diduga untuk kondisi pendedahan khusus berkaitan dengan jumlah, waktu, frekuensi,

Identifikasi bahaya Penilaian risiko : - Pelepasan - Pendedahan - Dampak - Perkiraan risiko Pengelolaan risiko: - Evaluasi risiko - Evaluasi pilihan - Penerapan

- Pemantauan & kaji ulang

15

durasi dan rute pendedahan (misal peroral atau inhalasi), serta jumlah, spesies, dan karakteristik populasi hewan terdedah. Penilaian dampak meliputi hubungan antara pendedahan terhadap agen biologis dan dampaknya. Perkiraan risiko merupakan gabungan antara hasil penilaian pelepasan, penilaian pendedahan, dan penilaian dampak untuk menghasilkan ukuran risiko yang diidentifikasi (OIE 2004).

Penilaian risiko sebaiknya fleksibel sehingga dapat menggambarkan dan sesuai dengan kompleksitas kehidupan nyata; harus berdasarkan informasi terbaik yang tersedia dan selaras dengan pemikiran ilmiah yang berlaku saat ini dengan dukungan referensi literatur ilmiah dan sumber lain, termasuk pendapat ahli; metode penilaian risiko harus konsisten dan transparan; harus mendokumentasikan ketidakpastian, asumsi yang dibuat, dan pengaruhnya terhadap perkiraan risiko akhir; risiko meningkat dengan meningkatnya komoditi yang diimpor; penilaian risiko harus memungkinkan untuk diperbaharui apabila tersedia informasi tambahan setiap saat (Dirkeswan 2000).

Penilaian risiko menggunakan input dugaan parameter, bersumber dari data yang telah dipublikasi maupun yang tidak dipublikasi, kajian yang ditargetkan untuk mendapat data yang sesuai, serta menggunakan pendapat pakar (expert opinion elicitation). Data dari literatur harus relevan dengan kajian yang benar. Data non publikasi dapat berupa laporan atau dokumen pemerintah maupun perusahaan. Data yang tidak tersedia dari kedua sumber tersebut dapat dilengkapi dengan melakukan kajian untuk pengumpulan data yang diperlukan. Pendekatan lain dilakukan dengan menggunakan pendapat pakar. Pendekatan ini bersifat subyektif yang berpotensi menyebabkan kesalahan pada model, namun dapat dihindari dengan menggunakan teknik yang terstruktur dalam memperoleh informasi pakar tersebut (Murray 2004).

Peran Analisis Risiko dalam Pengendalian Penyakit Hewan

Organisasi kesehatan hewan nasional mempunyai tujuan untuk meningkatkan taraf kehidupan peternak, memastikan produk hewan yang dikonsumsi aman bagi konsumen, serta mendukung perdagangan produk peternakan. Pelayanan kesehatan hewan yang dilakukan oleh organisasi tersebut adalah mencegah pemasukan serta

deteksi dini keberadaan penyakit baru, melakukan respon efektif terhadap keberadaan penyakit baru, mengurangi dampak buruk yang ditimbulkan oleh penyakit, meningkatkan status kesehatan hewan, pengendalian terhadap penyakit endemik, serta eradikasi dari penyakit yang menjadi prioritas. Analisis risiko bersama-sama dengan surveillans, karantina, penyidikan kejadian wabah, analisis data epidemiologi, analisis ekonomi, sistem informasi kesehatan hewan, sistem diagnosa laboratorium, merupakan beberapa metode yang digunakan untuk mencapai tujuan tersebut (AusAID 2008).

Analisis risiko dalam bidang kesehatan hewan telah digunakan dalam proses importasi hewan dan produknya, berdasarkan pertimbangan bahwa dalam proses perdagangan tidak ada zero risk. Pangan yang dkonsumsi tidak ada yang 100% aman, maka dalam penilaian risiko digunakan risiko minimum atau yang masih dapat diterima dengan menggunakan standar appropriate level of protection (ALOP) dan food safety objective (FSO). Analisis risiko impor hewan atau produk hewan digunakan jika akan dilakukan impor suatu spesies dan produk baru, jika impor dari negara atau zona baru, jika status kesehatan hewan negara atau zona pengekspor berbeda atau berubah, adanya proses regionalisasi, juga untuk mendorong ekspor suatu negara (OIE 2004).

Proses analisis risiko atau sebagian dari tahapan proses tersebut (hazard identification, risk assessment) mempunyai fungsi sangat penting yang berhubungan dengan kesehatan hewan. Hazard identification dan risk assessment dapat digunakan untuk menentukan risiko terbesar yang terjadi di suatu daerah, dan hal-hal yang dapat dilakukan untuk mengurangi risiko tersebut, sehingga menghasilkan dampak minimal terhadap kasus kejadian penyakit (AusAID 2008).

BAHAN DAN METODE

Dokumen terkait