• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kondisi Umum Wilayah Penelitian

Penelitian ini dilakukan di empat pasar burung di DKI Jakarta antara lain di kawasan Jakarta Timur dan kawasan Jakarta Selatan yang merupakan lokalisasi penjualan burung atau unggas hias/kesayangan di wilayah Ibukota. Terdapat tiga pasar burung di kawasan Jakarta Timur yaitu Pasar Burung Pramuka, Pasar Burung Cipinang Kebembem, dan Pasar Burung Jatinegara dan satu pasar burung di kawasan Jakarta Selatan yaitu Pasar Burung Barito. Keempat pasar burung ini dijadikan tempat penelitian dikarenakan memiliki populasi pedagang yang besar yaitu lebih dari 50 pedagang.

Pasar Burung Pramuka terletak pada sebuah bangunan khusus kios penjualan burung/unggas yang terdiri dari tiga bangunan dan empat lantai. Bangunan pasar burung terletak di dalam kompleks kawasan pasar pramuka. Sama halnya dengan Pasar Burung Pramuka, Pasar Burung Cipinang Kebembem juga terletak pada bangunan khusus satu lantai yang terdiri dari kios- kios penjualan burung/unggas.

Berbeda dengan kedua pasar burung di atas, Pasar Burung Jatinegara terletak di lingkungan tanpa bangunan khusus. Pasar tersebut berada di lingkungan pusat perdagangan di daerah pinggiran jalan Jatinegara yang merupakan pasar burung tradisional/pasar becek. Pasar burung terakhir yaitu Pasar Burung Barito terletak di sepanjang Jalan Barito yang tepat berlokasi di pinggir jalan sehingga pasar tersebut langsung berbatasan dengan area jalan raya.

Dari penjelasan di atas, kondisi fisik Pasar Burung Pramuka sama dengan Pasar Burung Cipinang Kebembem yang terletak pada suatu bangunan khusus tempat penjualan burung. Sementara Pasar Burung Jatinegara dan Pasar Burung Barito berada di lingkungan tanpa bangunan khusus, ada yang berjualan langsung di lingkungan terbuka namun ada juga beberapa tempat berjualan yang berupa kios khusus, terutama di Pasar Burung Barito yang berupa kios penjualan khusus yang berjejer di sepanjang jalan.

Karakteristik Pedagang di Pasar Burung Wilayah DKI Jakarta

Karakteristik pedagang merupakan gambaran suatu keadaan khusus responden penelitian (pedagang) yang membedakan ciri pedagang satu dengan

28

 

lainnya. Karakteristik ini digabungkan menjadi suatu gambaran keseluruhan pedagang burung di wilayah di DKI Jakarta.

Beberapa karakteristik pedagang/responden yang diamati sebagai variabel penelitian antara lain umur pedagang, pendidikan pedagang, pengalaman berdagang, tujuan usaha, skala usaha dan adanya pelatihan yang pernah diikuti pedagang. Karakteristik pedagang tersebut nantinya akan dihubungkan dengan nilai pengetahuan, nilai sikap dan nilai praktik pedagang tentang biosekuriti di pasar burung terkait avian influenza (AI). Gambaran karakteristik pedagang dapat dilihat pada Tabel 3.

Umur pedagang dikategorikan menjadi umur muda yaitu 40 tahun ke bawah dan umur tua yaitu di atas 40 tahun. Dari data yang telah dikumpulkan, pedagang burung di wilayah DKI Jakarta didominasi oleh pedagang yang sudah berumur tua yaitu sebesar 57.3% sementara itu pedagang berumur muda sebesar 42.7%. Rataan umur pedagang burung adalah 42.5 tahun dengan umur tertua 64 tahun dan termuda 19 tahun. Dari data tersebut, pedagang burung berada pada kisaran usia produktif untuk bekerja atau melakukan usaha.

Tabel 3 Karakteristik pedagang burung di wilayah DKI Jakarta

Karakteristik responden pedagang Jumlah responden

(orang) Persentase (%) Umur • Muda (≤40 tahun) • Tua (≥40 tahun) 32 43 42.7 57.3 Pendidikan • Rendah 1. Tidak sekolah 2. Tidak selesai SD 3. SD 4. SMP • Tinggi 1. SMU 2. PT 0 3 26 25 19 2 0 4.0 34.7 33.3 25.3 2.7 Pengalaman • Baru (≤5 tahun) • Cukup (6-20 tahun) • Lama (>20 tahun) 7 46 22 9.3 61.3 29.3 Tujuan usaha • Pokok • Sampingan 69 6 92.0 8.0 Skala usaha • Kecil • Sedang • Besar 58 11 6 77.3 14.7 8.0 Mendapat pelatihan • Tidak • Ya 63 12 84.0 16.0

29

 

Jenjang pendidikan pedagang dikategorikan menjadi pendidikan rendah yaitu bagi pedagang yang mengenyam pendidikan dari tidak bersekolah hingga SMP dan pendidikan tinggi yaitu bagi pedagang yang mengenyam pendidikan SMU dan Perguruan Tinggi. Dari data yang telah terkumpul diketahui bahwa sebanyak 72% pedagang hanya mengenyam pendidikan rendah dengan rincian tidak ada yang tidak bersekolah, 4.0% berpendidikan tidak tamat sekolah dasar, 34.7% berpendidikan sekolah dasar, dan 33.3% berpendidikan SMP. Pedagang yang mengenyam pendidikan tinggi hanya sebesar 28% dengan rincian 25.3% berpendidikan SMU dan 2.7% berpendidikan perguruan tinggi.

Pengalaman berjualan burung bagi para pedagang dikategorikan menjadi tiga yakni pengalaman baru bagi pedagang yang berjualan selama lima tahun atau kurang, pengalaman cukup bagi pedagang yang berjualan selama 6 – 20 tahun, dan pengalaman lama bagi pedagang yang berjualan lebih dari 20 tahun. Dari data responden yag didapatkan sebanyak tujuh orang atau 9.3% masuk dalam kategori pengalaman baru dan 22 orang atau 29.3% masuk dalam kategori pengalaman lama. Kebanyakan pedagang memiliki pengalaman yang cukup yaitu diantara 6 – 20 tahun atau 61.3%.

Dari data tersebut dapat diketahui bahwa kebanyakan pedagang sudah memiliki pengalaman yang cukup lama dengan rataan pengalaman berdagang sebesar 17.2 tahun dengan pengalaman terbaru sebesar tiga tahun dan pengalaman terlama sebesar 42 tahun. Hal ini menunjukkan kebanyakan pedagang melakukan usaha berdagang burung dimulai dari usia muda dan sudah banyak pegalaman di dalam memelihara dan menjual burung.

Tujuan usaha pedagang dibagi ke dalam dua kategori yaitu usaha pokok dan usaha sampingan. Sebanyak 92% pedagang memiliki tujuan usaha berdagang burung sebagai usaha pokok mereka di dalam mendapatkan penghasilan sementara hanya sebagian kecil yaitu sebesar 8% yang merupakan usaha sampingan atau pekerjaan sambilan di luar pekerjaan pokok mereka. Pedagang yang berdagang sebagai usaha sampingan memiliki pekerjaan pokok antara lain pegawai swasta sebanyak dua orang, petani/peternak sebanyak satu orang, pedagang selain burung sebanyak tiga orang. Kebanyakan pedagang berdagang burung dijadikan sebagai usaha pokok mereka sehingga penghasilan mereka bergantung pada keuntungan di dalam berjualan burung.

Skala usaha dibagi menjadi tiga kategori yaitu skala usaha kecil, sedang dan besar. Pedagang yang tergolong dalam skala usaha kecil adalah mereka

30

 

yang memiliki penghasilan sebesar lima juta rupiah atau di bawahnya per bulan dalam berjualan burung. Skala usaha sedang digolongkan pada pedagang yang memiliki penghasilan di atas lima juta rupiah hingga 10 juta rupiah per bulan dan pedagang yang memiliki penghasilan di atas 10 juta rupiah masuk ke dalam kategori skala usaha besar. Dari data yang diambil, sebanyak 58 orang atau 77.3% pedagang masuk ke dalam kategori skala usaha kecil, sebanyak 11 orang atau 14.7% pedagang masuk ke dalam kategori skala usaha sedang, sementara sisanya sebanyak enam orang atau 8% pedagang masuk ke dalam kategori skala usaha besar.

Dari data tersebut menunjukkan bahwa sebagian besar pedagang masuk ke dalam kategori skala usaha kecil yang berpenghasilan maksimum lima juta rupiah per bulannya. Adapun rataan penghasilan pedagang per bulannya sebesar 4.8 juta rupiah per bulan dengan penghasilan maksimum sebesar 25 juta rupiah per bulan dan penghasilan minimum sebesar empat ratus ribu rupiah per bulan.

Hal terakhir yang dapat diketahui sebagai karakteristik pedagang adalah pelatihan yang telah didapatkan pedagang terkait dengan manajemen pemeliharaan dan kesehatan burung atau unggas. Dari data yang telah diperoleh, sebanyak 63 orang atau 83% pedagang belum pernah mendapatkan pelatihan sama sekali sementara hanya 12 orang atau 16% pedagang yang pernah mendapatkan pelatihan.

Sebagian besar pedagang belum pernah mendapat pelatihan khusus dan hanya mengandalkan pengalamannya berdagang selama ini. Mereka hanya mendapatkan keterampilan memelihara burung secara turun temurun dari keluarga ataupun memperolehnya dari pedagang burung lain yang sudah lebih dahulu berdagang burung. Untuk pedagang yang sudah pernah mengikuti pelatihan, mereka memeroleh pelatihan tersebut dari dinas setempat atau pengelola pasar. Sebanyak 11 responden memperoleh pelatihan dari dinas setempat dan sebanyak satu orang memperolehnya dari pengelola pasar.

Praktik Biosekuriti yang Dilakukan oleh Pedagang Burung di DKI Jakarta

Praktik biosekuriti terdiri dari tiga aspek utama. Ketiga aspek tersebut adalah sanitasi, isolasi, dan pengendalian lalu lintas. Disini akan dipaparkan kegiatan apa saja yang dilakukan oleh pedagang terkait praktik biosekuriti dimana kegiatan-kegiatan tersebut ada yang dilakukan pedagang ada juga yang

31

 

tidak. Hasil data ini diperoleh dari praktik keseharian para pedagang di dalam memelihara dan merawat burung atau unggas dagangannya.

Praktik Sanitasi yang Dilakukan oleh Pedagang Burung di DKI Jakarta

Aspek sanitasi dan higiene merupakan salah satu unsur penting di dalam mencegah dan mengendalikan patogen termasuk virus AI. Hal ini menjadi syarat utama di dalam manajemen pemeliharaan dan kesehatan burung sehingga burung tidak terserang penyakit, tidak menularkan ke unggas lain serta tidak menularkan penyakit ke pedagang/konsumen di pasar burung.

Aspek sanitasi pertama yang akan dibahas adalah mengenai kegiatan dalam hal pengelolaan kebersihan kios. Kebersihan kios mencakup kebersihan tempat pakan, tempat minum, kandang dan lingkungan di sekitar kios. Praktik tersebut disajikan pada Tabel 4.

Dari data yang telah didapatkan dari wawancara responden, kebanyakan pedagang melakukan praktik pembersihan tempat pakan, tempat minum dan kandang burung setiap hari. Banyaknya pedagang yang sudah melakukan tindakan sanitasi tempat pakan dan tempat minum burung disebabkan oleh kesadaran mereka untuk tetap menjaga kebersihan peralatan tersebut. Pedagang telah mengetahui bahwa dengan selalu menjaga kebersihan tempat pakan dan minum maka kesehatan burung peliharaannya pun akan tetap terjaga. Pembersihan tempat pakan dan minum merupakan salah satu faktor risiko AI yang mana pedagang/peternak yang tidak melakukan pembersihan tempat pakan akan meningkatkan risiko seropositif kejadian AI (Thompson et al. 2008).

Kebersihan kandang sangat penting untuk dilakukan dan menjadi prioritas utama di dalam manajemen pemeliharaan dan kesehatan burung. Kandang yang kotor menjadi tempat bersarangnya kuman penyakit termasuk virus AI. Virus AI dapat dikeluarkan dari burung yang sakit melalui mukus ataupun feses yang langsung mengontaminasi kandang. Jika kandang tersebut tidak dibersihkan maka penularan melalui kontak langsung kepada burung lain dapat terjadi.

Dalam hal menjaga kebersihan kandang, sudah banyak pedagang yang melakukan hal tersebut didasari kesadaran untuk selalu menjaga kesehatan burung dan kebersihan lingkungan. Disisi lain, terdapat pula pedagang yang tidak rutin atau bahkan sama sekali tidak pernah membersihkan kandang dikarenakan kurangnya perhatian terhadap kebersihan dan kesehatan karena

32

 

burung peliharaannya hanya dijadikan komoditas bisnis semata. Kebersihan kandang penting untuk dijaga karena feses yang tidak dibersihkan dapat menjadi risiko penularan AI (FAO 2007).

Tabel 4 Praktik sanitasi pengelolaan kebersihan kios pedagang burung di DKI Jakarta

Aspek sanitasi dalam pengelolaan

kebersihan kios Jumlah responden (orang) Persentase (%)

Frekuensi pembersihan tempat pakan burung

• Setiap hari

• Beberapa kali dalam seminggu

• Seminggu sekali • Tidak teratur 65 4 2 4 86.7 5.3 2.7 5.3 Frekuensi pembersihan tempat minum burung

• Setiap hari

• Beberapa kali dalam seminggu

• Seminggu sekali

• Tidak teratur

• Tidak pernah dibersihkan

68 3 1 2 1 90.7 4.0 1.3 2.7 1.3 Frekuensi pembersihan tempat kandang burung

• Setiap hari

• Beberapa kali dalam seminggu

• Seminggu sekali

• Tidak teratur

• Tidak pernah dibersihkan

58 7 6 2 2 77.3 9.3 8.0 2.7 2.7 Cara pembersihan kandang burung

• Disapu/disikat

• Disapu/disikat dan dicuci

¾ Dengan air

¾ Dengan air sabun/ detergen

19 54 38 16 26.0 74.0 70.4 29.6 Praktik menjemur kandang burung

• Tidak

• Ya

• Ada beberapa kandang yang dijemur

11 59 5 14.7 78.7 6.7 Frekuensi menjemur kandang burung

• Setiap hari

• Beberapa kali dalam seminggu

• Seminggu sekali • Tidak teratur 51 2 3 8 79.7 3.1 4.7 12.5 Lama menjemur kandang burung

• Kurang dari 1 jam

• Lebih dari 1 jam

18 46

28.1 71.9 Cara penanganan kotoran burung

• Dikubur

• Disimpan dalam karung

• Dibuang ke tempat sampah

• Dibuang ke got/selokan 3 1 66 11 4.0 1.3 88.0 14.7

Terkait cara membersihkan kandang, kebanyakan pedagang membersihkan kandang dengan disapu/disikat dan dicuci walaupun ada yang

33

 

hanya disapu/disikat saja. Dari pedagang yang mencuci kandang, mereka kebanyakan hanya mencuci dengan air saja. Hal ini dikarenakan lebih dirasa praktis dan tidak perlu repot dan membuang dana untuk pembelian sabun/detergen. Risiko penularan AI lebih banyak terdapat pada pedagang yang hanya menyapu/menyikat dan yang hanya mencuci dengan air saja. Hal ini dikarenakan adanya material seperti feses yang masih tersisa pada kandang dan virus AI hanya dapat dieliminasi menggunakan sabun atau deterjen.

Menurut Martin et al. (2010), kegiatan seperti pembersihan dan desinfeksi kandang setiap hari berperan besar dalam menurunkan risiko keberadaan virus HPAIV H5N1. Pedagang yang mendesinfeksi area penjualan burung memiliki risiko tertular AI yang lebih rendah (Paul et al. 2011).

Pada praktik menjemur kandang, kebanyakan pedagang menjemur kandangnya setiap hari dengan lama penjemuran lebih dari satu jam. Kebanyakan dari pedagang menjemur kandangnya beserta burung yang ada di dalam kandang tersebut setiap hari. Alasan penjemuran kandang tersebut adalah untuk menjaga kesehatan dan performa burung agar senantiasa sehat dan segar setiap hari, dengan demikian burung terlihat lebih menarik untuk dibeli oleh para konsumen.

Penjemuran kandang dilakukan untuk mengeliminasi kuman penyakit termasuk virus AI dan penjemuran kandang di bawah sinar matahari yang paling efektif adalah selama dua jam. Kandang termasuk peralatan pemeliharaan burung yang hendaknya diperhatikan kebersihannya termasuk keberadaan patogen pada kandang (Shulaw dan Bowman 2001) dan menjemur kandang dapat mengeliminasi kebradaan patogen tersebut

Faktor risiko penularan AI selanjutnya adalah feses atau kotoran burung yang berasal dari burung yang sakit. Feses menjadi faktor transmisi AI melalui kontak dari burung satu ke burung lainnya (Cardona 2010; Koch dan Elbers 2006). Dengan demikian penting untuk mengetahui manajemen pembuangan limbah feses yang dilakukan oleh pedagang burung.

Kebanyakan pedagang membuang kotoran tersebut ke tempat sampah tanpa dilakukan pengolahan lebih lanjut. Sampah tersebut kemudian akan dikelola oleh pihak pasar untuk diolah lebih lanjut. Namun demikian, terdapat jeda waktu yang cukup panjang ketika feses tersimpan di tempat sampah dengan pengangkutan sampah yang dilakukan petugas pasar/dinas kebersihan setempat. Waktu jeda tersebut dapat meningkatkan risiko penularan AI

34

 

dikarenakan adanya lalat sebagai vektor mekanik yang dapat membawa materi yang mengandung virus AI ke area pasar dan kandang burung.

Hal lain yang perlu diperhatikan adalah cukup banyak pedagang yang membuang feses langsung ke got atau saluran air sehingga dapat mencemari air pembuangan limbah langsung mengalir ke sungai tanpa adanya pengolahan. Hal ini pun dapat meningkatkan risiko penularan penyakit bagi masyarakat sekitar pasar atau sungai tersebut. Untuk menghindari transmisi virus AI antar burung, feses harus dikubur di dalam tanah paling tidak sedalam satu meter (WHO 2004).

Aspek sanitasi kedua yang akan dibahas adalah kegiatan pengendalian vektor penyakit yang dilakukan oleh pedagang burung di tiap kiosnya. Keberadaan hewan pembawa penyakit seperti rodensia dan juga insekta di sekitar kandang dan tempat penjualan burung perlu untuk diperhatikan. Dengan demikian diperlukan pengendalian populasi vektor-vektor tersebut untuk mengurangi risiko penyebaran penyakit termasuk AI (Cardona 2010). Praktik pengendalian vektor tersebut disajikan pada Tabel 5.

Tabel 5 Praktik sanitasi pengendalian vektor penyakit oleh pedagang burung di DKI Jakarta

Aspek sanitasi dalam pengendalian

vektor penyakit Jumlah responden (orang) Persentase (%)

Keberadaan tikus di dalam dan disekitar kandang burung

• Tidak • Ya 11 64 2.7 97.3 Cara pengendalian tikus oleh pedagang burung

• Tidak melakukan apapun

• Menggunakan perangkap

• Menggunakan racun

• Membunuh dengan tangan

• Menggunakan kucing 28 21 16 15 1 37.3 28.0 21.3 20.0 1.3 Cara pengendalian lalat/kecoa/serangga lain oleh pedagang burung

• Tidak melakukan apapun

• Menggunakan perangkap

• Menggunakan racun

• Membunuh dengan tangan

• Menggunakan minyak tanah

54 2 16 6 1 72.0 2.7 21.3 8.0 1.3

Data di atas menunjukkan bahwa keberadaan tikus pada pasar burung masih kurang diperhatikan terbukti dengan banyaknya pedagang yang melihat atau menemukan adanya tikus yang berkeliaran pada area kandang. Tikus cenderung dibiarkan begitu saja oleh pedagang dan sudah dianggap wajar

35

 

keberadaannya, walaupun mereka tetap melakukan pengendalian dikarenakan mereka takut tikus-tikus yang berkeliaran dapat menggigit atau menyakiti burung- burung peliharaan mereka.

Terdapat berbagai macam cara pengendalian tikus yang dilakukan oleh pedagang. Kebanyakan pedagang membiarkan saja tikus tersebut berkeliaran di dalam dan disekitar kandang burung. Hal demikian disebabkan karena pedagang sudah menganggap bahwa tikus di sekitar kandang adalah hal yang biasa sehingga tidak dilakukan pengendalian apapun. Tikus yang berlalu lintas di area pemeliharaan unggas membawa agen penyakit secara mekanis dari sisa- sisa makanan unggas, kotoran unggas dan juga unggas yang mati (BCG 2009).

Selain tikus, insekta seperti lalat, kecoa maupun serangga lain juga dapat menjadi vektor penyakit dan penting untuk dilakukan pengendalian. Kebanyakan dari pedagang cenderung membiarkan serangga-serangga tersebut berkeliaran di area kandang. Serangga adalah hewan yang dianggap umum keberadaannya oleh pedagang dan dianggap tidak merugikan dari segi ekonomi. Pedagang belum banyak mengetahui kerugian kesehatan yang dapat ditimbulkan oleh serangga sebagai vektor penyakit, termasuk penyakit AI. Lalat dapat menjadi vektor mekanik yang dapat memindahkan feses yang mengandung virus AI dari satu kandang burung ke kandang burung lain sehingga peluang penularan AI menjadi tinggi (Cardona 2010).

Aspek sanitasi ketiga yang juga penting adalah mengenai praktik higiene personal yang dilakukan pedagang burung pada saat memelihara dan merawat burung. Praktik higiene personal pedagang mencakup praktik mencuci tangan, mengganti baju bersih dan memakai sepatu khusus saat merawat dan memelihara burung dagangan di pasar. Praktik higiene personal pedagang telah disajikan pada Tabel 6.

Pada praktik higiene personal, pedagang kebanyakan melakukan praktik mencuci tangan dan mengganti baju bersih setelah berjualan burung, namun tidak pernah menggunakan sepatu bot pada saat memelihara dan berjualan burung. Banyak dari pedagang sudah mengetahui pentingnya mencuci tangan sebelum dan sesudah memegang atau merawat burung, namun masih ada pedagang yang tidak pernah mencuci tangannya dengan alasan tidak praktis atau merepotkan dan sudah terbiasa dengan perilaku tersebut.

36

 

Tabel 6 Praktik sanitasi pengendalian vektor penyakit oleh pedagang burung di DKI Jakarta

Aspek sanitasi dalam praktik higiene

personal Jumlah responden (orang) Persentase (%)

Praktik mencuci tangan yang dilakukan pedagang burung

• Tidak • Ya • Kadang-kadang 8 56 11 10.7 74.7 14.7 Cara mencuci tangan yang dilakukan pedagang burung

• Dengan air saja

• Dengan air dan sabun

31 36

46.3 53.7 Praktik mengganti baju bersih setelah berjualan burung

• Tidak • Ya • Kadang-kadang 24 40 11 32.0 54.3 14.7 Praktik memakai sepatu khusus/sepatu bot saat berjualan burung

• Tidak • Ya 73 2 97.3 2.7

Praktik mencuci tangan setelah memegang atau merawat burung dapat mencegah penyebaran AI (Nyaga 2007, WHO 2004). Menurut Swayne dan Akey (2005), mengganti baju dan menggunakan sepatu merupakan praktik manajemen untuk mengurangi risiko penularan AI dari tempat yang mengandung virus ke tempat lainnya.

Sebagian besar pedagang yang melakukan praktik mengganti bajunya dengan baju bersih sesudah berjualan di pasar namun sebagian dari mereka yang mengenakan baju yang sudah dibawanya dari rumah dan sudah dianggap bersih dan layak ketika berjualan. Banyaknya pedagang yang tidak pernah menggunakan sepatu khusus dikarenakan merasa repot, tidak praktis dan sudah terbiasa dengan sandal yang digunakan sehari-hari saat berdagang maupun berjalan dari dan keluar area pasar.

Hal tersebut dapat meningkatkan risiko penularan AI karena sandal atau sepatu yang dikenakan oleh pedagang dapat menjadi vektor mekanik pembawa materi seperti feses sehingga terbawa ke area kios lain di dalam pasar maupun terbawa ke area di luar pasar. Praktik biosekuriti yang terbaik adalah dengan melakukan desinfeksi pada sepatu/alas kaki yang telah digunakan secara rutin (BCG 2009).

Kebanyakan pedagang mencuci tangan hanya menggunakan air saja tanpa disertai sabun/detergen atau desinfektan. Mencuci tangan hanya menggunakan air adalah praktik yang tidak efektif untuk mengeliminasi patogen yang terbawa melalui tangan pedagang. Virus AI hanya dapat dieliminasi

37

 

menggunakan sabun/deterjen atau desinfektan. Banyaknya pedagang yang mencuci tangan dengan air saja dapat meningkatkan risiko penularan virus AI baik dari burung ke burung lain maupun dari burung ke pedagang maupun konsumen yang berada di pasar burung.

Praktik Isolasi yang Dilakukan oleh Pedagang Burung di DKI Jakarta

Isolasi merupakan praktik pemisahan atau karantina yang dilakukan untuk menjauhkan agen penyakit dengan inang. Dalam hal ini, praktik isolasi dilakukan agar burung sebagai inang diharapkan terhindar dari virus Avian Influenza sehingga mengurangi risiko penularan penyakit.

Transmisi virus AI dapat terjadi antar spesies unggas dan dapat merubah keganasan dari virus tersebut dari low pathogenic avian influenza (LPAI) menjadi

high pathogenic avian influenza (HPAI) sehingga meningkatkan risiko penularannya kepada unggas lain maupun kepada manusia. Praktik pengandangan merupakan salah satu praktik biosekuriti untuk mencegah Avian Influenza (AED 2008). Praktik isolasi yang dilakukan oleh pedagang burung disajikan pada Tabel 7.

Tabel 7 Praktik isolasi yang dilakukan pedagang burung di DKI Jakarta

Aspek isolasi Jumlah responden (orang) Persentase (%)

Praktik pemisahan kandang untuk setiap jenis unggas

• Tidak

• Ya

• Ada beberapa yang tidak

• Hanya menjual satu jenis burung

3 53 6 13 4.0 70.7 8.0 17.7 Praktik pemisahan kandang untuk burung yang baru datang

• Tidak • Ya 51 24 68.0 32.0 Lama pemisahan kandang untuk burung yang baru datang

• Kurang dari dua minggu

• Dua minggu atau lebih

32 19

62.8 37.2 Praktik pemisahan kandang untuk burung yang sakit

• Tidak • Ya 40 35 53.5 46.7 Lama pemisahan kandang untuk burung yang sakit

• Kurang dari dua minggu

• Dua minggu atau lebih

• Dipelihara sampai sembuh/mati

5 3 27 14.3 8.6 77.1 Urutan perawatan burung yang dilakukan oleh pedagang

• Yang sakit dahulu baru yang sehat

• Yang sehat dahulu baru yang sakit

• Tidak ada urutan

19 33 23 25.3 44.0 30.7

38

 

Dari data yang diperoleh, kebanyakan pedagang sudah melakukan praktik pemisahan kandang untuk setiap jenis burung yang dijual dan pemisahan untuk burung yang baru datang. Pada umumnya pedagang memisahkan setiap jenis

Dokumen terkait