• Tidak ada hasil yang ditemukan

SIFAT FISIK DAGING KERBAU PADA UMUR DAN JENIS KELAMIN YANG BERBEDA

HASIL DAN PEMBAHASAN

Ternak kerbau mempunyai fungsi dan peranan dalam sistem usahatani sebagai sumber tenaga, sumber pupuk dan sekaligus memberikan pendapatan tambahan bagi petani. Kerbau di lokasi penelitian digunakan sebagai sumber tenaga, sumber pendapatan, tabungan keluarga, sumber pupuk, dan status sosial. Berdasarkan hasil Pendataan Sapi Potong, Sapi Perah dan Kerbau (PSPK) 2011 yang dilaksanakan serentak di seluruh Indonesia mulai 1-30 Juni 2011 jumlah populasi kerbau adalah 1,3 juta ekor. Populasi kerbau secara rinci di setiap pulau di Indonesia yaitu Sumatera 512.816 ekor, Jawa 363.008 ekor, Bali dan Nusa Tenggara 257.587 ekor, Kalimantan 41.541 ekor, Sulawesi 110.393 ekor, serta Maluku dan Papua 19.671 ekor. Sebagian besar populasi kerbau terdapat di pulau Jawa, antara lain di daerah Banten memiliki populasi kerbau sebanyak 123.100 ekor (Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, 2011).

Komposisi jenis kelamin kerbau menunjukkan pola relatif sama, yaitu jumlah terbesar adalah populasi betina, sebesar 68,76 persen dari total populasi. Sementara itu berdasarkan komposisi umur, sebagian besar kerbau betina adalah berumur dewasa (>2 tahun), yaitu 72,40 persen dari total populasi betina. Untuk kerbau jantan, jumlah terbanyak pada umur dewasa (>2 tahun) sekitar 42,34 persen dari total populasi kerbau jantan.

Potensi daging kerbau dalam penyediaan protein hewani masih rendah hal ini dikarenakan pertumbuhan populasi yang kian menurun dan produktivitas yang rendah. Penurunan ini diduga berkaitan dengan sistem pemeliharaan masih dilakukan secara tradisional. Penyebab lain adalah tingginya jumlah pemotongan, terbatasnya pakan dan padang penggembalaan, penampilan produksi belum maksimal, angka kelahiran rendah, dewasa kelamin dan selang beranak (calving interval) relatif

panjang, serta kurang tersedianya pejantan. Produksi daging berdasarkan

kemampuan induk dapat dihitung berdasarkan bobot anak lahir per satuan waktu, sedangkan berdasarkan sumber daya alam adalah dengan menghitung biomassa untuk menghasilkan 1 kg daging (Mayunar, 2007).

Populasi kerbau sebagian besar terdapat di Pulau Jawa. Faktor penyebabnya adalah tingkat kebutuhan (konsumsi) daging di pulau Jawa relatif lebih besar jika dibandingkan dengan kebutuhan daging di luar pulau Jawa. Faktor lain

18 yang berpengaruh adalah infrastruktur, teknologi dan industri peternakan yang lebih maju di pulau Jawa dibanding dengan daerah-daerah lainnya, terutama industri penyediaan pakan ternak (Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, 2011).

Daging kerbau yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari daerah Rumah Potong Hewan (RPH) di Kecamatan Menes, Labuan dan Cibaliung. Penyembelihan di rumah potong tersebut masih dilakukan secara tradisional. Jumlah ternak Kerbau yang paling banyak dipotong pada penelitian ini adalah kerbau betina kerena populasi kerbau betina di daerah banten lebih banyak dibandingkan kerbau jantan. Daging kerbau memiliki serat yang besar dan lebih kasar daripada daging sapi dengan lemak keras dan berwarna putih. Menurut Lawrie (2003), kualitas daging kerbau lebih rendah dibandingkan dengan daging sapi karena daging kerbau mengandung lebih banyak tenunan pengikat dan berwarna lebih gelap sehingga mengurangi kualitasnya. Ketidaksukaan konsumen terhadap daging kerbau adalah karena dagingnya keras atau alot (Burhanudin et al., 2002).

Nilai pH Daging Kerbau

Nilai pH merupakan sifat fisik yang paling umum dipertimbangkan pada daging segar. Nilai pH juga dapat mempengaruhi sifat-sifat fisik daging yang lain seperti daya mengikat air, keempukan, susut masak, dan warna daging (Soeparno, 2005). Nilai pH digunakan untuk menunjukkan tingkat keasaman dan kebasaan suatu substansi. Nilai pH daging sangat berpengaruh terhadap ketahanan daging. Hasil pengukuran pH daging kerbau disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3. Nilai pH Daging Kerbau pada Umur dan Jenis Kelamin yang Berbeda Jenis Kelamin Umur Rataan I0 (±1 thn) I1 (±2 thn) I2 (±3 thn) I3 (±3,5 thn) I4 (±4 thn) Betina 6,06±0,64 (n=7) 5,73±0,42 (n=6) 5,54±0,09 (n=9) 5,58±0,16 (n=6) 5,61±0,53 (n=60) 5,7±0,37 Jantan 5,63±0,30 (n=13) 6,00±0,73 (n=6) 5,55±0,15 (n=2) 5,51±0,08 (n=4) 5,50±0,19 (n=2) 5,64±0,29 Rataan 5,58±0,47 5,87±0,58 5,55±0,12 5,55±0,12 5,55±0,36 5,67±0,33 Keterangan : n= jumlah sampel

19 Hasil pengujian menunjukkan bahwa nilai pH tidak dipengaruhi oleh perlakuan (P>0,05). Hal ini diduga sampel yang beragam dan manajemen pemotongan yang kurang baik serta akibat sampel daging kerbau saat dibawa ke laboratorium yang membutuhkan waktu perjalanan selama 5-6 jam dari Banten ke Bogor. Transportasi daging hanya menggunakan media es batu sebagai bahan untuk mempertahankan suhu dingin. Sampel daging dibekukan setelah sampai di laboratorium pada suhu -12oC dalam waktu yang lama 1-2 bulan hingga sebelum sampel dianalisis. Fluktuasi suhu penyimpanan tersebut dapat menyebabkan perubahan kondisi psikokimia sampel daging.

Penelitian lain yang dilakukan Andreas (2010) menyatakan bahwa nilai pH tidak dipengaruhi oleh umur dan jenis kelamin setelah daging disimpan dalam

freezer selama 7 hari, namun umur berpengaruh terhadap nilai pH sebelum dilakukan penyimpanan daging. Nilai pH pada daging kerbau jantan yaitu 5,7±0,5 (<2 tahun) dan 5,5±0,1 ( 2-4 tahun). Nilai pH daging kerbau betina 5,8±0,5 (< 2 tahun), 5,5±0,1 (2-4 tahun), 5,8±0,5 (> 4 tahun). Menurut Rao et al. (2009), nilai pH tidak dipengaruhi oleh umur, tetapi terdapat perbedaan sangat nyata di antara jenis kelamin pada daging kerbau segar dan tidak terdapat perbedaan nyata setelah daging disimpan pada suhu freezer (-15+1oC) selama 1-7 hari.

Secara keseluruhan, daging kerbau yang berasal dari daerah Banten mempunyai nilai pH daging dalam batasan pH normal (5,4-5,8). Meskipun pH daging kerbau jantan umur I1 dan I0 kerbau betina di atas nilai pH ultimat, namun

belum mencapai kategori DFD (dark, firm, dry) dengan nilai pH 6,5-6,8 (Mullen dan Troy, 2005).Kerbau betina pada umur I1 mempunyai nilai pH daging yang lebih

tinggi dari pH isoelektrik protein daging sehingga menyebabkan daya mengikat air daging kerbau betina meningkat.

Hasil pengujian menunjukkan tidak adanya interaksi antara umur dan jenis kelamin terhadap nilai pH daging kerbau. Hal ini dapat djadikan dugaan bahwa sampel daging kerbau dengan tingkat umur dan jenis kelamin yang berbeda di daerah Banten tersebut digunakan sebagai ternak pekerja. Menurut Lawrie (2003), kandungan glikogen dapat cenderung menurun jika ternak mengalami stres sehingga nilai pH dapat meningkat tetapi kandungan glikogen yang rendah juga dapat menurunkan pH karena glikogen berperan dalam proses glikolisis. Kandungan

20 glikogen pada ternak juga dipengaruhi oleh beberapa faktor intrinsik dan ekstrinsik. Faktor intrinsik tersebut meliputi spesies, tipe otot, dan variabilitas diantara ternak. Faktor ekstrinsik yang berpengaruh meliputi temperatur lingkungan, perlakuan adanya bahan tambahan sebelum pemotongan, dan stres sebelum pemotongan.

Daya Mengikat Air

Daya mengikat air oleh protein daging atau water holding capacity (WHC) atau water binding capacity (WBC) adalah kemampuan daging untuk mengikat airnya atau air yang ditambahkan selama ada pengaruh kekuatan dari luar, misalnya pemotongan daging, pemanasan, penggilingan, dan tekanan (Soeparno, 2005). Hasil rataan nilai air bebas daging kerbau dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Nilai Air Bebas Daging Kerbau pada Umur dan Jenis Kelamin yang Berbeda

Jenis Kelamin Umur

I0 (±1 thn) I1 (±2 thn) I2 (±3 thn) I3 (±3,5 thn) I4 (±4 thn) Rataan ---% mgH2O--- Betina 0,30±0,24 0,38±0,30 0,38±3,00 0,20±0,17 0,23±0,16 0,3±0,218 (n=7) (n=6) (n=9) (n=6) (n=60) Jantan 0,32±0,17 0,35±0,16 0,18±0,22 1,07±0,71 0,38±0,00 0,46±0,25 (n=13) (n=6) (n=2) (n=4) (n=2) Rataan 0,31±0,21 0,37±0,23 0,28±0,22 0,64±0,44 0,31±0,08 0,38±0,24

Keterangan : n = jumlah sampel

Hasil dari penelitian dengan perlakuan umur yang berbeda dari jenis kelamin jantan dan betina tidak berpengaruh nyata (P>0,05) terhadap nilai daya mengikat air karena implikasi dari nilai pH yang juga tidak berpengaruh. Hal ini sesuai dengan pernyataan Rao et al. (2009) bahwa daya mengikat air daging kerbau tidak dipengaruhi oleh faktor umur, namun dipengaruhi oleh perbedaan jenis kelamin (P<0,01) selama periode penyimpanan 0, 24, dan 48 jam.

Persentase nilai daya mengikat air daging kerbau betina menurun pada I3 dan

I4. Menurut Rao et al. (2009), penurunan daya mengikat air pada daging kerbau

betina diduga akibat dari rasio kehilangan cairan dan protein yang tinggi pada daging. Rasio kelembaban dan protein nyata menurun secara linier selama peningkatan periode penyimpanan. Penurunan kelembaban diakibatkan oleh penguapan cairan di permukaan daging dalam freezer, sedangkan penurunan protein

21 selama penyimpanan disebabkan oleh denaturasi protein pada drip loss akibat peningkatan konsentrasi formasi kristal es pada jaringan otot (Kandeepan et al.,

2006).

Hasil pengujian menunjukkan tidak adanya interaksi antara umur dan jenis kelamin terhadap kualitas fisik daya mengikat air pada daging kerbau bagian

Longissimus dorsni et lumbarrum. Menurut Muchtadi dan Sugiyono (1992) protein daging berperan dalam pengikatan air daging. Daya mengikat air oleh protein dipengaruhi nilai pH dan jumlah ATP (Adenosin Triphosphat). Proses pengikatan air oleh protein merupakan fungsi dari gugus asam amino daging tersebut. Kadar protein daging yang tinggi menyebabkan peningkatan kemampuan menahan air daging sehingga menurunkan kandungan air bebas, dan begitu pula sebaliknya. Semakin tinggi jumlah air yang keluar, maka daya mengikat airnya semakin rendah. Nilai daya mengikat air meningkat seiring dengan penurunan nilai pH daging. Apabila nilai pH lebih tinggi atau lebih rendah dari titik isoelektrik daging (5,0-5,1), maka nilai daya mengikat air daging akan tinggi atau nilai mg H2O rendah.

Kerbau rawa di daerah Banten mempunyai nilai daya mengikat air daging yang tinggi karena mempunyai nilai pH yang lebih tinggi dari titik isoelektrik daging. Hasil penelitian ini berbeda dengan Rao et al. (2009), yang menyatakan nilai daya mengikat air yang rendah. Kerbau yang digunakan kerbau India, usia ternak kerbau yang digunakan yaitu 6 bulan sampai 2 tahun, 2 sampai 4 tahun dan di atas 4 tahun dan menggunakan taraf penyimpanan yang berbeda yaitu 0, 24 dan 48 jam mengakibatkan perbedaan tersebut.

Keempukan

Keempukan merupakan salah satu kriteria dalam penilaian mutu daging. Daging kerbau memiliki tingkat keempukan yang rendah, karena ternak yang dipotong umumnya berasal dari ternak yang tua (8-10 tahun) dan dipekerjakan untuk membajak sawah serta menarik barang (sebagai kendaraan). Hasil pengukuran daya iris daging dengan alat Warner Blatzer dapat dilihat pada Tabel 5.

22 Tabel 5. Nilai Daya Iris Daging Kerbau pada Umur dan Jenis Kelamin yang

Berbeda Jenis Kelamin Umur Rataan I0 (±1 thn) I1 (±2 thn) I2 (±3 thn) I3 (±3,5 thn) I4 (±4 thn) ---kg/cm2--- Betina 5,89±3,54 10,27±0,58 10,19±1,85 10,02±0,95 9,65±1,11 9,20±1,61 (n=7) (n=6) (n=9) (n=6) (n=60) Jantan 8,11±2,24 5,95±5,50 9,11±2,37 8,92±1,72 8,77±1,98 8,17±2,76 (n=13) (n=6) (n=2) (n=4) (n=2) Rataan 7 ±2,89 8,11±3,04 9,65±2,11 9,47±1,34 9,21±1,55 8,69±2,18

Keterangan : n = jumlah sampel

Penelitian ini menunjukkan bahwa umur dan jenis kelamin yang berbeda tidak memberikan pengaruh terhadap keempukan daging kerbau. Hal ini merupakan implikasi dari nilai pH dan daya mengikat air yang juga tidak berpengaruh. Andreas (2010) menyatakan hal yang sama bahwa daya iris daging kerbau tidak dipengaruhi oleh umur dan jenis kelamin.

Nilai daya iris dapat menunjukkan keempukan daging. Keempukan diduga kuat merupakan penentu yang paling penting pada kualitas daging. Nilai daya iris

Warner-Bratzler Shear (WBS) dikelompokkan menjadi 4 kategori yaitu sangat empuk (WBS<3,2), empuk (3,2<WBS<3,9), sedang (3,9<WBS<4,6), dan keras (WBS>4,6) (Belew et al., 2002). Hasil pengukuran keempukan daging kerbau pada penelitian ini menunjukkan kategori keras. Nilai daya iris berkorelasi negatif dengan keempukan. Semakin tinggi nilai daya iris, maka tingkat keempukan semakin rendah atau alot.

Sistem pemeliharaan kerbau di daerah Banten sebagian di kandangkan dan sebagian lagi digembalakan. Perbedaan manajemen pemeliharaan dapat berpengaruh terhadap kualitas pakan yang diberikan. Kerbau yang dikandangkan diberi pakan 100% rumput, sedangkan kerbau yang digembalakan mencari pakan sendiri di padang gembala. Selain itu, kerbau yang dikandangkan juga digunakan sebagai ternak pekerja sehingga dapat meningkatkan kealotan daging. Nilai daya iris daging kerbau di daerah Banten secara keseluruhan tinggi yang berarti bahwa nilai keempukan rendah sehingga masuk dalam katagori daging keras. Ternak kerbau di daerah Banten baik berumur muda maupun tua dapat ditingkatkan keempukannya

23 dengan memberikan ransum dengan nutrisi baik serta penanganan baik sehingga dapat menghasilkan daging lebih empuk. Menurut Prihatman (2000), nutrisi dan penanganan yang baik mengakibatkan otot tumbuh dan berkembang dengan baik sehingga jumlah kolagen per satuan luas otot menjadi kecil dibandingkan dengan otot dari ternak yang mendapat nutrisi kurang baik sehingga metode pemberian pakan pada ternak juga dapat mempengaruhi warna, kualitas, flavor, dan oksidasi lemak pada daging.

Susut Masak

Susut masak merupakan persentase berat daging yang hilang akibat pemasakan dan merupakan fungsi dari waktu dan suhu pemasakan. Daging dengan susut masak yang rendah mempunyai kualitas yang relatif lebih baik daripada daging dengan persentase susut masak yang tinggi. Daging yang memiliki susut masak yang rendah akan mengalami kehilangan nutrisi selama proses pemasakan lebih sedikit. Hasil perhitungan nilai susut masak dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6. Nilai Susut Masak Daging Kerbau pada Umur dan Jenis Kelamin yang Berbeda Jenis Kelamin Umur Rataan I0 (±1 thn) I1 (±2 thn) I2 (±3 thn) I3 (±3,5 thn) I4 (±4 thn) ---(%)--- Betina 37,89±15,3 43,48±5,74 49,7±4,04 47,35±4,62 49,94±6,1 45,67±7,15 (n=7) (n=6) (n=9) (n=6) (n=60) Jantan 47,78±5,04 33,43±10,5 47,14±8,3 45,55±24,8 46,28±2,3 44,04±10,19 (n=13) (n=6) (n=2) (n=4) (n=2) Rataan 42,84±10,17a 38,45±8,1 48,42±6,17 46,45±14,73 48,11±4,19b 44,85±8,67 Keterangan: Superscript yang berbeda menunjukkan berbeda nyata (P<0,05) n = jumlah sampel

Hasil penelitian menunjukkan bahwa susut masak tidak dipengaruhi (P>0,05) oleh jenis kelamin sedangkan pada umur berpengaruh nyata (P<0,05). Tidak ada interaksi antara umur dan jenis kelamin terhadap susut masak daging kerbau. Pengaruh umur pada daging kerbau yaitu I0 dan I4 berbeda hal ini dikarenakan

serabut otot dan penampang lintang daging yang berbeda. Menurut Ziauddin et al. (1993), susut masak dipengaruhi oleh umur (P<0,01) pada daging bagian biceps

24

femoris (BF) dan semitendinosus (ST) pada hewan tua (12 tahun), nilai susut masak sebesar 52-86% dan 46,94 - 47,36% ternak muda (1-2 tahun) dengan metode pemasakan yang berbeda yaitu pada pemasakan dengan menggunakan tekanan dan tidak menggunakan tekanan. Andreas (2010) mengungkapkan hal yang berbeda bahwa jenis kelamin dan umur tidak berpengaruh terhadap nilai susut masak daging kerbau.

Nilai pH daging kerbau jantan pada umur I1 cukup tinggi sehingga

menghasilkan daya mengikat air yang lebih tinggi pula. Daya mengikat air yang lebih tinggi akan meningkatkan kemampuan otot mengikat air sehingga susut masak menjadi lebih rendah. Menurut Soeparno (2005), penurunan pH yang diakibatkan temperatur tinggi dapat menyebabkan penurunan daya mengikat air karena meningkatnya denaturasi protein otot dan meningkatnya perpindahan air ke ruang ekstraseluler sehingga dapat meningkatkan angka susut masak daging. Susut masak daging juga sangat berhubungan dengan daya mengikat air daging. Semakin rendah daya mengikat air daging, maka susut masaknya akan semakin besar. Daya mengikat air daging tinggi akan menyebabkan air yang keluar sedikit sehingga susut masak daging menjadi rendah.

Susut masak merupakan indikator nilai nutrisi daging yang berhubungan dengan kadar air daging, yaitu banyaknya air yang terikat di dalam dan di antara otot. Menurut Shanks et al. (2002), besarnya susut masak dipengaruhi oleh banyaknya kerusakan membran seluler, banyaknya air yang keluar dari daging, degradasi protein, dan kemampuan daging untuk mengikat air.

Menurut Lawrie (2003), susut masak juga dipengaruhi oleh waktu dan temperatur pemasakan. Semakin tinggi temperatur pemasakan dan semakin lama waktu pemanasan maka semakin besar kadar cairan daging yang hilang sampai mencapai tingkat yang konstan. Tingginya nilai susut masak disebabkan oleh derajat kerusakan serabut otot dan koagulasi protein (Vasanthi et al., 2007). Perebusan daging pada suhu tinggi (60-90 oC) menyebabkan kerusakan jaringan epimisium, perimisium, dan endomisium sehingga jaringan daging akan menyusut sekitar 30% dari panjang semula akibat keluarnya cairan daging (Lawrie, 2003). Nilai susut masak daging kerbau dari daerah Banten secara keseluruhan rendah yaitu dibawah

25 50%. Hal ini dikarenakan daging kerbau memiliki nilai daya mengikat yaitu air yang tinggi sehingga air yang keluar saat pemasakan sedikit.

Warna Warna Daging

Warna merupakan salah satu faktor penilaian kualitas fisik dari suatu daging. Menurut Aberle et al. (2001), warna daging merupakan kombinasi beberapa faktor yang terdeteksi oleh mata. Warna merupakan salah satu komponen penting pada penampakandaging segar dan sangat berpengaruh terhadap ketertarikan konsumen dibandingkan dengan karakteristik-karakteristik visual lain pada daging segar. Konsumen cenderung menghubungkan warna merah cerah terhadap tingkat kesegaran daging. Komponen yang mempengaruhi warna daging yaitu konsentrasi dan keadaan pigmen hem, mioglobin (Mb) dan hemoglobin (Hb). Hasil penilaian skor daging dapat dilihat pada Tabel 7.

Tabel 7. Nilai Warna Daging Kerbau pada Umur dan Jenis Kelamin yang Berbeda Jenis Kelamin Umur Rataan I0 (±1 thn) I1 (±2 thn) I2 (±3 thn) I3 (±3,5 thn) I4 (±4 thn) Betina 4,11±2,33 4,72±0,74 6,23±0,158 4,57±1,90 5,43±1,39 5,01±1,30 (n=7) (n=6) (n=9) (n=6) (n=60) Jantan 5,00±1,52 6,17±0,41 6,5±0,71 6,66±0,47 6,16±0,23 6,09±0,67 (n=13) (n=6) (n=2) (n=4) (n=2) Rataan 4,56±1,93 5,45±0,58 6,37±0,44 5,62±1,19 5,80±0,81 5,56±0,99 Keterangan : n= jumlah sampel

Pada penelitian ini tidak ada pengaruh perlakuan terhadap penilaian warna daging kerbau. Proses pemotongan di Rumah Potong Hewan (RPH) di Kecamatan Labuan, Menes dan Cibaliung masih tradisional sehingga lumuran darah yang melekat pada daging dapat mempengaruhi kondisi warna daging. Warna daging ditentukan oleh karakteristik kandungan pigmen mioglobin di dalamnya. Mioglobin terbentuk sekitar 50-90% dari total pigmen tergantung pada spesies dan otot tertentu.,

Kandungan mioglobin pada otot Longissimuss dorsi et lumbarum rendah karena urat daging diafragma kurang bekerja secara konstan (Lawrie, 2003).

26 Menurut Boakye dan Mittal (1996)faktor yang spesifik terhadap warna daging meliputi hue (warna dasar, pigmen kuning, hijau, merah, dan biru), chroma

(intensitas warna), dan value (terang tidaknya). Hue di dalam daging sangat dipengaruhi oleh mioglobin. Penelitian Arun et al. (2005) menggunakan perlakuan karnosin dengan persentase berbeda dengan tujuan untuk melihat pengaruh warna pada daging kerbau menemukan tanda-tanda perubahan warna kecoklatan. Hasil pengamatan pada persentase karnosin 60% menunjukkan pengurangan pigmen mioglobin di daerah tertentu pada daging karena terjadinya oksidasi metmioglobin.

Nilai skor warna daging kerbau jantan dan betina rata-rata berada di skor 4-6 dengan tingkatan umur yang berbeda yaitu berwarna merah cerah sampai merah tua. Warna daging merah cerah sampai merah tua hal ini dikarenakan pengukuran warna daging dilakukan dalam kondisi daging masih segar, setelah pemotongan. Menurut Lawrie (2003) menjelaskan bahwa pada daging segar terdapat senyawa kimia yaitu oksimioglobin. Pigmen oksimioglobin merupakan pigmen yang menggambarkan warna merah cerah tersebut. Pada daging terdapat enzim sitokrom yang mengubah mioglobin menjadi oksimioglobin walau oksigen tidak terdapat dalam daging.

Hal yang sama dijelaskan juga oleh Muchtadi dan Sugiyono (1992) bahwa mioglobin merupakan pigmen berwarna merah keunguan yang menentukan warna daging segar. Mioglobin ini dapat mengalami perubahan akibat reaksi kimia. Mioglobin bersifat larut dalam air dan larutan garam encer serta merupakan bagian dari protein sarkoplasma. Keterikatan air pada protein daging tidak hanya ditentukan oleh sifat protein, lemak maupun air pada daging, tetapi dipengaruhi juga oleh nilai pH yang menentukan karakteristik daging normal, PSE (pale, soft, exudative) dan DFD (dark, firm, dry) yang disebut juga dark-cuttingbeef (DCB) untuk daging sapi. Terbentuknya mioglobin disebabkan oleh aktivitas urat daging yang tinggi. Semakin tinggi aktivitas urat daging, maka semakin banyak mioglobin yang terkandung pada urat daging (Lawrie, 2003).

Warna Lemak

Sebagian besar lemak di dalam tubuh ternak tersimpan di dalam depot lemak, termasuk lemak otot yang disebut intramuskular. Lemak intramuskular berlokasi di dalam jaringan ikat perimiseal diantara fasikuli atau ikatan serabut otot, dan lazim

27 disebut lemak marbling (Soeparno, 2005). Hasil penilaian skor warna lemak dapat dilihat pada Tabel 8.

Tabel 8. Nilai Warna Lemak Daging Kerbau pada Umur dan Jenis Kelamin yang Berbeda Jenis Kelamin Umur Rataan I0 (±1 thn) I1 (±2 thn) I2 (±3 thn) I3 (±3,5 thn) I4 (±4 thn) Betina 3,32±0,47 3,14±0,69 3,37±0,41 3,71±1,50 3,62±0,90 3,43±0,39 (n=7) (n=6) (n=9) (n=6) (n=60) Jantan 3,00±0,80 3,17±0,41 3,75±0,35 3,36±0,47 3,84±0,23 3,42±0,45 (n=13) (n=6) (n=2) (n=4) (n=2) Rataan 3,16±0,64 3,16±0,55 3,56±0,38 3,54±0,99 3,73±0,57 3,43±0,42 Keterangan : n= jumlah sampel

Warna lemak pada daging kerbau dengan perlakuan umur yang berbeda dari jenis kelamin jantan dan betina tidak berpengaruh nyata (P>0,05) dan tidak ditemukan interaksi nyata antar perlakuan. Penilaian warna lemak daging dilakukan setelah proses pemotongan pada bagian urat daging Longissimuss dorsi et lumbarum.

Nilai skor warna lemak kerbau jantan dan betina pada tingkatan umur yang berbeda rata-rata berada di skor 3-4 yaitu putih gelap dan putih agak kekuning- kuningan. Menurut Lawrie (2003), warna lemak kekuningan ditentukan oleh

banyaknya pigmen β-karoten dalam lemak tersebut. Lemak kerbau berwarna lebih putih dan daging kerbau berwarna lebih gelap dibandingkan dengan daging sapi. Hal ini disebabkan lebih banyak pigmentasi pada daging kerbau atau lemak intramuskuler yang lebih sedikit (National Research Council, 1981).

28

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan

Ternak Kerbau yang berasal dari 10 kecamatan di Propinsi Banten secara umum menghasilkan karakteristik fisik daging yang sama. Ciri-ciri daging kerbau pada penelitian ini adalah berwarna merah sampai merah tua; warna lemak putih sampai putih kekuningan, keempukan rendah dengan nilai pH pada batas normal.

Saran

Penelitian lanjutan sebaiknya dilakukan pada kondisi umur yang diketahui dengan jelas melalui sistem recording. Ternak kerbau yang akan digunakan mendapat manajemen pemeliharaan yang sama.

29

Dokumen terkait