• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA Kerbau ( Bubalus bubalis )

SIFAT FISIK DAGING KERBAU PADA UMUR DAN JENIS KELAMIN YANG BERBEDA

TINJAUAN PUSTAKA Kerbau ( Bubalus bubalis )

Kerbau termasuk ke dalam spesies Bubalus bubalis yang diduga berevolusi dari Bubalus arnee, kerbau liar dari India. Kerbau domestik sebagai suatu spesies

Bubalus bubalis memiliki tiga subspesies, yaitu kerbau sungai (B. bubalis bubalis) yang berasal dari Asia Selatan, kerbau rawa (B. bubalis carabanesis) yang berasal dari Asia Tenggara dan kerbau liar atau Arni (B. bubalis arnee). Klasifikasi ternak kerbau sebagai berikut.

Kingdom : Animalia Kelas : Mamalia Sub-kelas : Ungulata Ordo : Artiodactyla Sub-ordo : Ruminansia Famili : Bovidae Genus : Bubalus

Spesies : Bubalus bubalis Linn

Kemampuan toleransi kerbau terhadap lingkungan, kesehatan dan produksi, pada beberapa wilayah menyamai atau bahkan melebihi sapi lokal. Kebanyakan kerbau air merupakan hewan yang belum dikenal luas dan belum dikembangkan untuk produksi. Kerbau air terdiri dari dua jenis umum, yaitu kerbau rawa dan kerbau sungai. Kerbau rawa atau kerbau lumpur (swamp buffalo) banyak terdapat di Cina, Thailand, Malaysia, Indonesi dan Filipina. Kerbau rawa berwarna mulai dari putih atau albinoid, belang, abu-abu terang sampai abu-abu gelap. Kerbau rawa umumnya berwarna keabu-abuan, leher terkulai, pendek, gemuk, tanduk melengkung mengarah ke belakang dan masif. Kerbau rawa berkubang di dalam air maupun kubangan lumpur yang terdapat secara alamiah atau dibuat oleh kerbau. Kerbau rawa umumnya digunakan sebagai ternak pekerja dan juga ternak pedaging tetapi jarang diternakan untuk produksi susu. Kerbau lumpur mempunyai kemampuan beradaptasi yang cukup baik terhadap lingkungan (iklim, pakan, dan pengangkutan) (Hasinah dan Handiwirawan, 2006).

4 Kerbau sungai (river buffalo) adalah kerbau yang biasa berkubang pada sungai yang berair jernih. Populasinya menyebar dari India sampai ke Mesir dan Eropa. Kerbau sungai merupakan ternak tipe perah umumnya berwarna hitam, memiliki tanduk yang keriting atau melingkar ke bawah membentuk spiral. Kerbau sungai berasal dari India dan Pakistan, tetapi juga ditemukan di barat daya Asia dan tenggara Eropa (Hasinah dan Handiwirawan, 2006)

Karkas Kerbau

Karkas kerbau adalah tubuh kerbau yang telah disembelih, utuh atau dibelah membujur sepanjang tulang belakangnya, setelah dikuliti, isi perut dikeluarkan, tanpa kepala, kaki bagian bawah dan alat kelamin kerbau jantan atau ambing kerbau betina yang telah dipisahkan dengan atau tanpa ekor. Kepala dipotong di antara tulang

ocipital (Os. occipitale) dengan tulang tengkuk pertama (Os. atlas). Kaki depan dipotong di antara carpus dan metacarpus; kaki belakang dipotong di antara tarsus

dan metatarsus (Dewan Standardisasi Nasional, 1995). Walaupun kulit dan kepalanya lebih berat, persentase karkas (dressing percentage) kerbau hampir sama dengan sapi, yaitu mencapai sekitar 53%. Ketebalan lemak subkutan kerbau lebih tipis dibandingkan dengan sapi. Produksi karkas kerbau memiliki persentase lemak kurang dari 25% dari berat karkas. Proporsi otot karkas kerbau lebih dibandingkan sapi dan proporsi tulangnya lebih rendah, rusuk kerbau lebih melingkar dibandingkan sapi (National Research Council, 1981).

Faktor genetik dan lingkungan mempengaruhi laju pertumbuhan dan komposisi tubuh yang meliputi distribusi berat dan komposisi kimia komponen karkas. Faktor lingkungan dapat dibagi menjadi dua kategori, yaitu faktor fisiologi dan nutrisi. Umur, berat hidup, dan laju pertumbuhan juga dapat mempengaruhi komposisi karkas. Proporsi tulang, otot, dan lemak sebagai komponen utama karkas dipengaruhi oleh faktor-faktor tersebut. Bila proporsi salah satu variabel lebih tinggi, maka proporsi salah satu atau kedua variabel lainnya lebih rendah. Komposisi kimia karkas terutama terdiri atas air, protein, lemak dan abu secara proporsional juga dapat berubah bila salah satu variabel mengalami perubahan (Soeparno, 2005). Karkas dapat digunakan untuk menentukan berat dan persentase tanpa tulang, serta produk retail hasil trimming (Greiner etal., 2003). Faktor yang diperhitungkan dalam

5 mengestimasi jumlah daging dari suatu karkas (kualitas hasil) pada daging ruminansia besar meliputi ketebalan lemak subkutan, luas area urat daging mata rusuk, persentase lemak visceral (lemak penyelubung ginjal, jantung dan pelvis) terhadap berat karkas (Soeparno, 2005).

Daging Kerbau

Daging kerbau yang dipotong umumnya berasal dari ternak yang tua (8-10 tahun) dan dipekerjakan untuk membajak sawah serta menarik barang (sebagai kendaraan). Akibatnya, daging kerbau yang dijual di pasar tidak empuk, juiceness

rendah, flavornya kurang enak sehingga tidak memenuhi syarat sebagai daging yang bermutu baik (Direktorat Jenderal Peternakan, 2005). Daging kerbau pada dasarnya sama dengan daging sapi. Daging kerbau memiliki karakteristik nilai pH daging 5,4; kadar air 76,6%; protein 19%; dan kadar abu 1%.

Lemak kerbau berwarna lebih putih dan daging kerbau berwarna lebih gelap dibandingkan dengan daging sapi. Hal ini disebabkan lebih banyaknya pigmentasi pada daging kerbau atau lemak intramuskuler yang lebih sedikit (National Research Council, 1981). Kualitas konsumsi daging kerbau serupa dengan daging sapi bahkan lebih disukai di beberapa daerah. Kadar lemak daging kerbau lebih rendah sehingga dapat memenuhi keinginan konsumen dewasa ini. Walaupun demikian, daging kerbau lebih banyak mengandung tenunan pengikat dan berwarna lebih gelap sehingga cenderung mengurangi kualitas dibandingkan dengan daging sapi (Lawrie, 2003).

Kualitas karkas dan daging dipengaruhi oleh faktor sebelum dan setelah pemotongan. Faktor yang mempengaruhi kualitas daging sebelum pemotongan meliputi genetik, spesies, bangsa, tipe ternak, jenis kelamin, umur, pakan (termasuk bahan aditif) dan stres (Soeparno, 2005). Faktor yang mempengaruhi kualitas daging setelah pemotongan adalah metode pelayuan, stimulasi listrik, metode pemasakan, pH karkas dan daging, bahan tambahan (enzim pengempuk daging, hormon dan antibiotik), lemak intramuskuler (marbling), metode penyimpanan dan preservasi, serta jenis otot daging dengan lokasi anatomis (Soeparno, 2005 Lawrie, 2003). Faktor kualitas daging konsumsi ditentukan terutama oleh warna, keempukan dan tekstur, flavor dan aroma (bau, cita rasa, dan juiceness). Selain itu, faktor lemak

6 intramuskuler, susut masak (cooking loss), retensi cairan, dan pH daging ikut menentukan kualitas daging (Soeparno, 2005).

Otot Longissimus Dorsi

Longissimus dorsi adalah otot yang sangat penting dan membentuk mata daging jika dipotong dari area rusuk dan dari loin. Otot Longissimus dorsi terdiri atas banyak sub unit otot yang masing-masing membantu fleksibilitas vertebrata colum

dan gerakan leher serta aktivitas pernafasan (Swatland, 1984).

Penampang lintang Longissimus dorsi meluas ke arah posterior rusuk. Otot

Longissimus dorsi bagian loin mempunyai penampang lintang yang hampir konstan. Area Longissimus dorsi di antara bagian seperempat depan dan seperempat belakang dari karkas, yaitu di antara rusuk ke 12 dan ke 13 sering diuji untuk menaksir jumlah daging dari suatu karkas. Luas area Longissimus dorsi ini juga dapat dipergunakan sebagai petunjuk perbedaan tingkat perototan di antara karkas dengan panjang karkas yang kira-kira sama. Area Longissimus dorsi, pada rusuk ke 12 atau loin sering disebut Rib Eye Area (REA) pada loin (Lawrie, 2003).

Sifat Fisik Daging Nilai pH Daging

Nilai pH digunakan untuk menunjukkan tingkat keasaman dan kebasaan suatu substansi. Nilai pH daging sapi yang baru dipotong berkisar antara 6,5-6,8 kemudian mengalami penurunan dengan cepat sampai 5,6-5,8 setelah 24 jam. Nilai pH akhir normal daging postmortem adalah antara 5,4-5,8 (Soeparno, 2005). Jaringan otot hewan pada saat hidup mempunyai nilai pH sekitar 5,1 sampai 7,2 dan menurun setelah pemotongan karena mengalami glikolisis dan menghasilkan asam laktat yang akan mempengaruhi nilai pH. Nilai pH ultimat daging tercapai setelah glikolisis otot habis atau setelah enzim-enzim glikolitik menjadi tidak aktif yaitu pada nilai pH rendah atau glikogen tidak lagi sensitif terhadap serangan-serangan enzim glikolitik. Menurut Soeparno (2005), nilai pH ultimat daging normal adalah antara 5,4-5,8. Temperatur lingkungan (penyimpanan) mempunyai hubungan yang erat dengan penurunan nilai pH karkas postmortem. Temperatur tinggi pada dasarnya meningkatkan laju penurunan nilai pH, sedangkan temperatur rendah menghambat laju penurunan pH (Soeparno, 2005).

7 Menurut Rao et al. (2009), nilai pH tidak dipengaruhi oleh umur, tetapi terdapat perbedaan sangat nyata di antara jenis kelamin pada daging kerbau segar dan tidak terdapat perbedaan nyata setelah daging disimpan pada suhu beku(-15 + 1

o

C) selama 1-7 hari. Perbedaan sangat nyata tersebut mengindikasikan bahwa daging kerbau jantan (6,72+0,04) memiliki nilai pH lebih tinggi daripada betina (6,58+0,06). Menurut Zein (1991), umur pemotongan sapi berpengaruh terhadap nilai pH daging sebelum dilakukan penyimpanan. Nilai pH yang didapat untuk masing- masing kelompok umur I1, I2, I3 adalah 6,27; 6,12; 6,34. Keadaan ini disebabkan

kandungan glikogen dalam otot cenderung turun pada ternak tua terutama ternak yang dipertahankan sebagai sumber tenaga. Kandungan glikogen yang rendah pada ternak sebelum dipotong menyebabkan pH akhir yang lebih tinggi. Data kandungan glikogen dan asam laktat pada karkas kerbau dan sapi dapat dilihat pada Tabel 1. Bertambahnya waktu postmortem mengakibatkan konsentrasi glikogen menurun dan asam laktat meningkat. Konsentrasi glikogen signifikan lebih tinggi pada kerbau saat 40 menit (0 hari) postmortem. Besarnya konsentrasi asam laktat menggambarkan penurunan pH (Neath et al., 2007).

Tabel 1. Konsentrasi Glikogen dan Asam Laktat pada Daging Kerbau dan Sapi Waktu Postmortem (hari) Glikogen (μmol/g otot+ SD) Asam Laktat (μmol/g otot + SD)

Kerbau Sapi Kerbau Sapi

0 31,4+2,7a 20,5+2,0b 27,1+3,6 49,0+15,9

2 19,5+2,6 15,6+1,5 93,7+5,3 104,5+2,2

4 17,4+1,6 14,1+1,0 99,5+9,2 94,5+9,3

Keterangan: Superscript yang berbeda menunjukkan berbeda nyata (P<0,05) Sumber : Neath et al. (2007)

Daya Mengikat Air

Daya ikat air oleh protein daging atau water holding capacity atau water binding capacity (WHC atau WBC) adalah kemampuan daging untuk mengikat airnya atau air yang ditambahkan selama ada pengaruh kekuatan dari luar, misalnya pemotongan daging, pemanasan, penggilingan, dan tekanan (Soeparno, 2005). Penurunan DMA dapat diketahui dengan adanya eksudasi cairan yang disebut weep

8 disegarkan kembali atau kerut pada daging masak. Eksudasi berasal dari cairan dan lemak daging. DMA dipengaruhi oleh pH, DMA menurun dari pH yang lebih tinggi sekitar 7-10 sampai pada pH titik isoelektrik protein-protein daging antara 5,0-5,1. Protein daging pada pH ini tidak bermuatan (jumlah muatan positif sama dengan jumlah muatan negatif) dan solubilitasnya minimal. Pada pH yang lebih tinggi dari pH isoelektrik protein daging, sejumlah muatan positif dibebaskan dan terdapat surplus muatan negatif yang mengakibatkan penolakan dari miofilamen dan memberi lebih banyak ruang untuk molekul air. Hal yang sama terjadi pada pH lebih rendah dari titik isoelektrik protein-protein daging terhadap surplus muatan positif yang mengakibatkan penolakan miofilamen dan memberi lebih banyak ruang untuk molekul-molekul air (Soeparno, 2005).

Faktor pH, pelayuan dan pemasakan atau pemanasan mempengaruhi DMA daging selain spesies, umur, fungsi otot, serta pakan, transportasi, temperatur, kelembaban, penyimpanan, jenis kelamin, kesehatan, perlakuan sebelum pemotongan, dan lemak intramuskular. Perbedaan DMA disebabkan oleh perbedaan jumlah asam laktat yang dihasilkan, sehingga pH diantara dan di dalam otot berbeda (Soeparno, 2005).

Zein (1991) menyatakan bahwa daya ikat air tidak dipengaruhi umur saat pemotongan dilakukan dan setelah dilakukan penyimpanan karena keadaan tersebut berkaitan dengan kandungan protein daging sehingga meningkatnya kadar protein secara relatif akan meningkatkan daya mengikat air. Menurut Rao et al. (2009), daya mengikat air daging kerbau tidak dipengaruhi oleh faktor umur, namun dipengaruhi oleh perbedaan jenis kelamin (P<0,01) selama periode penyimpanan 0, 24, dan 48 jam. Nilai daya mengikat air daging kerbau jantan lebih kecil daripada betina. Hasil analisis daya mengikat air pada karkas kerbau dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Daya Mengikat Air Otot Longissimus dorsi Kerbau pada Jenis Kelamin yang Berbeda (% mgH2O)

Jenis Kelamin

Lama Penyimpanan Daging Kerbau

0 jam 24 jam 48 jam

---% mgH2O--- Jantan Betina 0,90+0,06 1,11+0,11 1,97+0,10 2,35+0,06 2,28+0,09 2,52+0,07

9 Keterangan: Superscript yang berbeda menunjukkan berbeda nyata (P<0,05)

Penyimpanan daging dalam freezer dapat mengubah jaringan otot dan menurunkan DMA setelah dilakukan thawing. Penyimpanan daging dalam chiller

menghasilkan nilai DMA lebih kecil dibandingkan pada freezer. Hal ini disebabkan peningkatan denaturasi protein dan perpindahan air ke ruang ekstraselular. Freezing

dapat menyebabkan nilai DMA menurun secara gradual yang disebabkan oleh pH

postmortem, formasi kristal es, tingginya kekuatan ionik, denaturasi protein, dan drip loss (Kandeepan et al., 2006).

Keempukan Daging

Keempukan dan tekstur daging merupakan penentu paling penting pada kualitas daging. Keempukan daging ditentukan oleh tiga komponen daging, yaitu struktur miofibrilar atau status kontraksinya, kandungan jaringan ikat dan tingkat ikatan silangnya, serta daya ikat air oleh protein daging serta jus daging (Soeparno, 2005). Pada prinsipnya, keempukan daging dapat ditentukan secara subjektif dan objektif. Penentuan keempukan dengan metode subjektif dilakukan dengan uji panel cita rasa atau panel taste. Pengujian secara objektif dapat dilakukan secara mekanik dengan uji putus Warner-Brazler. Nilai daya putus Warner-Brazler menunjukkan tingkat keempukan daging.

Keempukan daging menurun dengan meningkatnya umur ternak. Daging dengan pH tinggi mempunyai keempukan yang lebih tinggi daripada daging dengan pH rendah. Kealotan atau keempukan serabut otot pada kisaran pH 5,4 sampai 6,0 lebih banyak ditentukan oleh status kontraksi serabut otot dari pada oleh status fisik serabut otot (Soeparno, 2005).

Hewan yang tua akan mengalami perubahan struktur jaringan ikat dan daging menjadi lebih keras sehingga nilai daya iris meningkat. Xiong et al. (2007) menyatakan bahwa nilai daya iris dipengaruhi oleh umur dan lama penyimpanan

postmortem karena terjadi proses psikokimia pada daging selama penyimpanan postmortem pada suhu refrigerator. Nilai daya iris semakin meningkat dengan bertambahnya umur dan semakin menurun dengan bertambahnya waktu penyimpanan posmortem hingga 10 hari karena terjadi perpecahan serabut otot. Rao

et al. (2009) juga menyatakan hal yang sama yaitu terdapat pengaruh yang nyata pada umur dan jenis kelamin terhadap nilai daya iris daging kerbau pada periode

10 penyimpanan berbeda. Nilai daya iris cenderung meningkat pada ternak kerbau yang lebih tua karena terjadi perkembangan jaringan ikat seiring bertambahnya umur ternak. Daging kerbau betina lebih empuk dibandingkan daging kerbau jantan.

Pengaturan ransum juga berpengaruh secara langsung terhadap sifat urat daging setelah pemotongan. Ternak yang digemukkan dalam kandang akan menghasilkan daging lebih empuk dibandingkan ternak yang digembalakan. Ternak yang lebih tua yang mendapatkan ransum dengan nutrisi dan penanganan baik dapat menghasilkan daging lebih empuk dibandingkan dengan daging dari ternak yang lebih muda yang mendapatkan nutrisi dan penanganan buruk. Nutrisi dan penanganan yang baik dapat membuat otot tumbuh dan berkembang dengan baik, sehingga jumlah kolagen per satuan luas otot menjadi kecil dibandingkan dengan otot dari ternak yang mendapat nutrisi kurang baik, sehingga daging yang dihasilkan akan lebih empuk. Metode pemberian pakan pada ternak juga dapat mempengaruhi warna, kualitas, flavor, dan oksidasi lemak pada daging (Prihatman, 2000).

Susut Masak

Susut masak dipengaruhi oleh temperatur dan lama pemasakan. Semakin tinggi temperatur pamasakan semakin besar kadar cairan daging yang hilang sampai mencapai tingkat yang konstan. Susut masak dapat dipengaruhi oleh pH, panjang sarkomer serabut otot, panjang potongan serabut otot, status kontraksi miofibril, ukuran dan berat sampel daging serta penampang lintang daging (Soeparno, 2005). Perebusan daging pada suhu tinggi (60-90ºC) akan menyebabkan kerusakan jaringan epimisium, perimisium, dan endomesium sehingga jaringan daging akan menyusut sekitar 30% akibat keluarnya cairan daging atau cooking loss (Lawrie, 2003). Besarnya susut masak dipengaruhi oleh banyaknya kerusakan membran seluler, banyaknya air yang keluar dari daging, umur daging, degradasi protein dan kemampuan daging untuk mengikat air (Shanks et al., 2002).

Susut masak menurun secara linier dengan bertambahnya umur ternak. Jenis kelamin mempunyai pengaruh yang kecil terhadap susut masak pada umur yang sama. Berat potong mempengaruhi susut masak terutama bila terdapat perbedaan deposisi lemak intermuskular (Soeparno, 2005). Menurut Zein (1991) dalam penelitiannya, perbedaan umur ternak saat dipotong tidak mempengaruhi susut masak. Rataan susut masak daging sapi yang dipotong pada umur I1, I2, I3 masing-

11 masing adalah 34,03; 34,22; 34,47%. Sebagian besar air terdapat dalam daging ada pada miofibril yaitu antara filamen-filamen.

Menurut Ziauddin et al. (1993), susut masak menggunakan dua metode yang berbeda diperoleh bahwa Bicep femoris (BF) dan Supra spinasus (ST) pada otot hewan tua menunjukkan susut masak masing-masing 51,86% dan 52,86%, sedangkan pada hewan muda susut masak adalah 46,94% dan 47,36%. Susut masak signifikan lebih tinggi pada otot hewan tua. Pada metode pemasakan yang berbeda tidak ada berpengaruh antara kedua metode memasak.

Warna

Aberle et al. (2001) mengemukakan bahwa warna daging merupakan kombinasi beberapa faktor yang terdeteksi oleh mata. Faktor yang spesifik yaitu hue

(warna dasar, pigmen kuning, hijau, merah, dan biru), chroma (intensitas warna), dan

value (terang tidaknya). Hue di dalam daging sangat dipengaruhi oleh mioglobin. Mioglobin merupakan pigmen berwarna merah keunguan yang menentukan warna daging segar. Mioglobin ini dapat mengalami perubahan akibat reaksi kimia (Muchtadi dan Sugiyono, 1992). Mioglobin bersifat larut dalam air dan larutan garam encer serta merupakan bagian dari protein sarkoplasma.

Banyak faktor yang mempengaruhi warna daging, antara lain spesies, bangsa, umur, jenis kelamin, stres, tingkat aktivitas, dan tipe otot, pH, serta oksigen. Faktor- faktor ini dapat mempengaruhi penentu utama warna daging, yaitu pigmen daging mioglobin (Soeparno, 2005). Tipe molekul mioglobin, status kimia mioglobin, dan kondisi kimia serta fisik komponen lain dalam daging mempunyai peranan besar dalam menentukan warna daging (Lawrie, 2003).

Lemak kerbau berwarna lebih putih dan daging kerbau berwarna lebih gelap dibandingkan dengan daging sapi. Hal ini disebabkan lebih banyaknya kadar mioglobin pada daging kerbau. Kualitas daging kerbau serupa dengan daging sapi dan bahkan lebih disenangi di beberapa wilayah seperti Banten. Sebagian konsumen dewasa ini menyukai kadar lemak daging kerbau yang rendah. Walaupun demikian, daging kerbau juga lebih banyak mengandung jaringan ikat dan berwarna lebih gelap sehingga cenderung mengurangi kualitasnya dibandingkan dengan daging sapi (Lawrie, 2003).

12 Tingkat mioglobin yang lebih tinggi secara umum ditemukan pada otot-otot yang lebih aktif dibandingkan dengan hewan yang menetap, dipelihara bebas diban- dingkan dengan ternak dipelihara secara intensif, dan pada ternak tua dibandingkan dengan ternak yang lebih muda (Warris, 2004).

13

MATERI DAN METODE

Dokumen terkait