• Tidak ada hasil yang ditemukan

Menurut Almatsier (2002) pengetian status gizi adalah keadaan tubuh yang diakibatkan oleh keseimbangan antara jumlah asupan (intake) zat gizi dan jumlah yang dibutuhkan (requirement) untuk berbagai fungsi biologis. Salah satu indeks dalam penilaian status gizi menggunakan metode antropometri adalah dengan Indeks Massa Tubuh menurut umur (IMT/U). Berdasarkan WHO (2007) indeks yang paling baik untuk menentukan status gizi dan remaja adalah IMT/U.

Tabel 10 Sebaran contoh berdasarkan status gizi dan lingkar pinggang

Lingkar pinggang

Status gizi (IMT/U)

Gizi normal Gizi lebih Total

n % n % n %

Normal 43 100 12 27,9 55 64,0

Lebih 0 0,0 31 72,1 31 36,0

Total 43 100 43 100 86 100

Selain menggunakan indeks IMT/U, pengukuran lingkar pinggang juga dapat dijadikan salah satu metode penilaian status gizi. Pengukuran lingkar pinggang merupakan salah satu metode antropometri yang dilakukan untuk menentukan total lemak tubuh seseorang.

Berdasarkan Tabel 10 dapat diketahui secara keseluruhan contoh yang memiliki ukuran lingkar pinggang normal sebanyak 64%. Seluruh contoh dengan status gizi normal (100%) memiliki ukuran lingkar pinggang normal. Sebaliknya, sebagian besar contoh dengan status gizi lebih (72,1%) memiliki ukuran lingkar pinggang lebih.

Menurut Gibson (2005) ukuran lingkar pinggang sangat berhubungan dengan total lemak dalam tubuh. Hal ini berarti ukuran lingkar pinggang yang diatas ambang batas normal dapat lebih beresiko terkena penyakit degeneratif karena banyaknya timbunan lemak dalam tubuh mereka. Namun berdasarkan hasil penelitian ini ukuran lingkar pinggang kurang sensitif dalam menentukan status gizi contoh. Hal ini dapat terlihat pada Tabel 10 beberapa contoh dengan status gizi lebih (27,9%) memiliki ukuran lingkar pinggang yang tergolong normal. Oleh karena itu, jika penentuan status gizi sudah dilakukan berdasarkan IMT/U sebenarnya tidak harus dilakukan pengukuran lingkar pinggang juga.

Karakteristik Contoh

Contoh pada penelitian ini merupakan siswa/i SMAN 3 Bogor kelas X dan XI RSBI yang dipilih secara purposive. Contoh dibagi menjadi dua kelompok,

yaitu kelompok contoh dengan status gizi normal dan kelompok contoh dengan status gizi lebih. Karakteristik contoh merupakan suatu gambaran mengenai contoh meliputi ciri-ciri fisik maupun sosial. Karakteristik contoh meliputi usia, jenis kelamin, uang saku, berat badan, dan tinggi badan. Sebaran contoh berdasarkan karakteristik dan status gizi secara lengkap disajikan pada Tabel 11.

Tabel 11 Sebaran contoh berdasarkan karakteristik dan status gizi

Karakteristik contoh Gizi normal Gizi lebih Total

n % n % n % Usia 14 tahun 3 7,0 0 0 3 3,5 15 tahun 16 37,2 18 41,9 34 39,5 16 tahun 21 48,8 19 44,2 40 46,5 17 tahun 3 7,0 6 14,0 9 10,5 Total 43 100 43 100 86 100 Jenis kelamin Laki-laki 16 37,2 19 44,2 35 40,7 Perempuan 27 62,8 24 55,8 51 59,3 Total 43 100,0 43 100,0 86 100 Uang saku ≤ Rp 15.000 5 11,6 13 30,2 18 20,9 Rp 15.001 - 30.000 37 86,0 27 62,8 64 74,4 ≥ Rp 30.001 1 2,3 3 7,0 4 4,7 Total 43 100,0 43 100,0 86 100 Usia

Secara keseluruhan sebagian besar contoh (46,7%) berusia 16 tahun dengan rata-rata 15,6±0,65 tahun. Seluruh contoh tergolong dalam kelompok remaja, menurut Almatsier et al. (2011) yang tergolong sebagai kelompok remaja antara usia 10−18 tahun. Sebagian besar (48,8%) contoh dengan status gizi normal berusia 16 tahun dengan rata-rata 15,6±0,73 tahun. Tidak jauh berbeda dengan kelompok status gizi normal, usia contoh pada kelompok status gizi lebih sebagian besar (44,2%) 16 tahun dengan rata-rata 15,7±0,70 tahun.

Jenis kelamin

Jenis kelamin dapat berpengaruh terhadap pengeluaran energi contoh. Menurut Hardinsyah dan Martianto (1992) untuk menghitung pengeluaran energi diperlukan data tentang jenis kelamin, berat badan, angka metabolisme basal (AMB) yang sesuai kelompok usia, tingkat kegiatan, alokasi waktu untuk setiap kegiatan dan faktor energi kegiatan.

Baik contoh pada kelompok status gizi normal maupun gizi lebih didominasi oleh jenis kelamin perempuan (51,0%). Lebih dari separuh contoh

dengan status gizi normal (62,8%) dan status gizi lebih (55,8%) berjenis kelamin perempuan.

Uang saku

Uang saku biasanya diberikan kepada anak sekolah untuk keperluan membeli makanan, minuman, transportasi, dan kepentingan lainnya. Pada penelitian ini secara umum contoh memiliki uang saku yang berkisar antara Rp 10.000−50.000 dengan rata-rata Rp 21.139±6.006. Lebih dari separuh contoh (74,4%) memiliki uang saku berkisar antara Rp 15.001−30.000.

Berdasarkan Tabel 11 juga dapat diketahui bahwa sebagian besar contoh dengan status gizi normal (86%) dan contoh dengan status gizi lebih (74,4%) memiliki uang saku yang berkisar antara Rp 15.001−30.000. Rata-rata uang saku contoh dengan status gizi normal adalah lebih kecil (Rp 21.114±5.987) daripada contoh dengan status gizi lebih (Rp 21.227 ± 6.013). Hal ini dapat memungkinkan contoh dengan status gizi lebih mengonsumsi lebih banyak daripada contoh dengan status gizi normal. Hal ini sesuai dengan Harper et al.

(1985) yang menyatakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi konsumsi pangan adalah pengeluaran uang untuk keperluan pangan.

Berat dan tinggi badan

Berat badan contoh secara umum berkisar antara 42,2−99 kg dengan rata-rata 64,3±14,6 kg. Kisaran berat badan contoh dengan status gizi normal dan lebih berturut-turut 42,2−68,2 kg dan 49,8-99 kg. Rata-rata berat badan contoh dengan status gizi normal adalah lebih kecil (53,7±5,97 kg) daripada contoh dengan status gizi lebih (74,8±12,92 kg). Kelebihan berat badan diatas standar dapat mengakibatkan kegemukan yang termasuk kedalam kondisi status gizi lebih.

Tinggi badan contoh secara keseluruhan berkisar antara 144−180,5 cm. Tinggi badan contoh dengan status gizi normal berkisar antara 147,4−177,6 cm dengan rata-rata 161,4±7,74 cm. Sedangkan pada contoh dengan status gizi lebih memiliki tinggi badan yang berkisar antara 144−180,5 cm dengan rata-rata 161,9±8,05 cm.

Karakteristik Keluarga

Karakteristik keluarga dapat berhubungan dengan konsumi pada contoh. Dalam penelitian ini karakteristik keluarga contoh meliputi pendidikan dan pekerjaan orang tua, besar keluarga, serta pendapatan keluarga. Sebaran

contoh berdasarkan karakteristik keluarga dan status gizi contoh disajikan pada Tabel 12.

Tabel 12 Sebaran contoh berdasarkan karakteristik keluarga dan status gizi

Karakteristik keluarga Gizi normal Gizi lebih Total

n % n % n % Pendidikan ayah Tidak tamat SD 1 2,3 0 0 1 1,2 SMP/ sederajat 0 0 1 2,3 1 1,2 SMA/ sederajat 13 30,2 6 14,0 19 22,1 Perguruan tinggi 29 67,4 36 83,7 65 75,6 Total 43 100 43 100 86 100 Pendidikan ibu SD/ sederajat 1 2,3 0 0 1 1,2 SMP/ sederajat 0 0 2 4,7 2 2,3 SMA/ sederajat 14 32,6 10 23,3 24 27,9 Perguruan tinggi 28 65,1 31 72,1 59 68,6 Total 43 100 43 100 86 100 Pekerjaan ayah Tidak bekerja 1 2,3 1 2,3 2 2,3 Wiraswasta 6 14,0 2 4,7 8 9,3 PNS 11 25,6 13 30,2 24 27,9 Pegawai swasta 18 41,9 22 51,2 40 46,5 TNI/POLRI/BUMN 7 16,3 5 11,6 12 14,0 Total 43 100 43 100 86 100 Pekerjaan ibu

Ibu rumah tangga 20 46,5 20 46,5 40 46,5

Wiraswasta 5 11,6 4 9,3 9 10,5 PNS 12 27,9 14 32,6 26 30,2 Pegawai swasta 5 11,6 5 11,6 10 11,6 TNI/POLRI/BUMN 1 2,3 0 0 1 1,2 Total 43 100 43 100 86 100 Besar keluarga Kecil (≤ 4 orang) 23 53,5 25 58,1 48 55,8 Sedang (5-7 orang) 19 44,2 18 41,9 37 43,0 Besar (> 7 orang) 1 2,3 0 0 1 1,2 Total 43 100 43 100 86 100 Pendapatan keluarga Rp 1.000.000 - 1.999.999 2 4,7 0 0 2 2,3 Rp 2.000.000 - 2.999.999 2 4,7 2 4,7 4 4,7 Rp 3.000.000 - 3.999.999 5 11,6 5 11,6 10 11,6 Rp 4.000.000 - 4.999.999 8 18,6 12 27,9 20 23,3 Rp 5.000.000 - 5.999.999 6 14,0 4 9,3 10 11,6 ≥ Rp 6.000.000 20 46,5 20 46,5 40 46,5 Total 43 100 43 100 86 100 Pendidikan ayah

Tingkat pendidikan merupakan faktor yang mempengaruhi kualitas dan kuantitas makanan karena dengan tingkat pendidikan yang tinggi diharapkan pengetahuan dan informasi yang dimiliki tentang gizi menjadi lebih baik (Fikawati&Syafiq 2009).

Berdasarkan Tabel 12 dapat diketahui secara umum sebagian besar (75,6%) pendidikan terakhir yang ditempuh ayah contoh adalah hingga perguruan tinggi. Sebagian besar ayah pada contoh dengan status gizi normal dan status gizi lebih menempuh pendidikan hingga perguruan tinggi. Namun persentase ayah contoh yang menempuh pendidikan hingga perguruan tinggi lebih besar pada ayah contoh dengan status gizi lebih (83,7%) daripada ayah contoh status gizi normal (67,4%). Meningkatnya pendidikan ayah kemungkinan akan meningkatkan pendapatan sehingga dapat meningkatkan daya beli terhadap makanan (Fikawati&Syafiq 2009).

Pendidikan ibu

Tingkat pendidikan keluarga merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap pola asuh anak termasuk pemberian makan, pola konsumsi pangan, dan status gizi (Fikawati&Syafiq 2009). Biasanya pada suatu keluarga makanan disediakan oleh ibu. Oleh karena itu, pendidikan ibu dapat berpengaruh terhadap kuantitas dan kualitas makanan suatu keluarga.

Menurut data pada Tabel 12 dapat diketahui pendidikan terakhir yang ditempuh ibu contoh. Sebagian besar ibu contoh (68,6%) menempuh pendidikan hingga perguruan tinggi. Sejalan dengan hal tersebut sebagian besar ibu pada kelompok contoh status gizi normal dan status gizi lebih menempuh pendidikan hingga perguruan tinggi. Namun ibu contoh yang menempuh pendidikan terkahir hingga perguruan tinggi lebih banyak pada kelompok contoh status gizi lebih (72,1%) daripada kelompok status gizi normal (65,1%). Tingkat pendidikan yang tinggi pada orang tua diharapkan dapat memberikan pengetahuan mengenai gizi yang lebih baik (Fikawati & Syafiq 2009). Akan tetapi pada penelitian ini hal tersebut tidak terjadi, hal ini dapat dikarenakan pendidikan yang ditempuh ibu contoh bukan mengenai gizi.

Pekerjaan ayah

Pekerjaan seseorang akan berpengaruh terhadap kuantitas dan kualitas makanan. Hal ini karena pekerjaan akan menentukan pendapatan yang dihasilkan. Pendapatan ini kemudian akan digunakan untuk membeli makanan. Berdasarkan Tabel 12 dapat diketahui bahwa pekerjaan ayah baik pada contoh dengan status gizi normal maupun status gizi lebih secara umum adalah sebagai pegawai swasta (46,5%). Pekerjaan ayah pada kelompok contoh status gizi normal (41,9%) dan status gizi lebih (51,2%) sebagian besar adalah pegawai swasta.

Pekerjaan ibu

Selain ayah, pada beberapa keluarga ibu juga memiliki pekerjaan dan memiliki penghasilan tertentu. Menurut data pada Tabel 12 juga dapat diketahui sebagian besar (46,5%) pekerjaan ibu contoh baik pada contoh dengan status gizi normal maupun lebih adalah sebagai ibu rumah tangga.

Besar keluarga

Besar keluarga adalah banyaknya anggota keluarga yang terdiri dari ayah, ibu, anak, dan anggota keluarga lain yang hidup dari pengelolaan sumber daya yang sama (Kartasapoetra & Marsetyo 2008). Menurut BKKBN (1996) besar keluarga dibedakan menjadi tiga, yaitu keluarga kecil (≤ 4 orang), keluarga sedang (5-7 orang), dan keluarga besar (>7 orang). Menurut Kartasapoetra dan Marsetyo (2008) besar keluarga akan mempengaruhi pengeluaran rumah tangga. Besar keluarga juga akan mempengaruhi jumlah dan ragam pangan yang dikonsumsi dalam keluarga.

Sebagian besar keluarga contoh (55,8%) secara keseluruhan termasuk keluarga kecil dengan rata-rata jumlah anggota keluarga 4,6±1,16 orang. Sebanyak 53,5% contoh berstatus gizi normal dan 58,1% contoh berstatus gizi lebih berasal dari keluarga kecil. Rata-rata jumlah anggota keluarga contoh dengan status gizi normal (4,7±1,30 orang) cenderung sama dengan contoh status gizi lebih (4,5±1,01 orang).

Pendapatan keluarga

Pendapatan keluarga adalah besarnya rata-rata penghasilan yang diperoleh dari seluruh anggota keluarga. Kemampuan keluarga untuk membeli bahan makanan tergantung kepada besar kecilnya pendapatan keluarga. Tingginya tingkat pendapatan cenderung diikuti dengan tingginya jumlah dan jenis pangan yang dikonsumsi. Konsumsi makanan baik jumlah maupun mutunya dipengaruhi oleh faktor pendapatan keluarga (Soekirman 2000).

Berdasarkan Tabel 12 dapat diketahui sebagian besar pendapatan keluarga contoh (46,5%) baik dengan status gizi normal dan gizi lebih sebanyak ≥ Rp 6.000.000. Akan tetapi pada keluarga contoh dengan status gizi lebih, persentase pendapatan keluarga ≥ Rp 4.000.000 lebih banyak (83,7%) daripada contoh dengan status gizi normal (79,1%). Pendapatan merupakan faktor yang menentukan kuantitas dan kualitas makanan yang dikonsumsi. Semakin tinggi pendapatan maka semakin besar peluang untuk memilih pangan yang baik (Suhardjo 1989).

Konsumsi Pangan

Menurut Hardinsyah et al. (2002) konsumsi pangan merupakan informasi tentang jenis dan jumlah pangan yang dikonsumi oleh seseorang atau kelompok orang pada waktu tertentu. Sebagian besar contoh pada penelitian ini memenuhi kebutuhan energi dari makanan pokoknya yaitu nasi. Sementara itu untuk memenuhi kebutuhan protein bersumber dari lauk hewani dibandingkan lauk nabati. Konsumsi sayur dan buah kedua kelompok contoh relatif kurang.

Secara keseluruhan rata-rata asupan energi pada contoh dengan status gizi lebih cenderung lebih rendah daripada status gizi normal. Namun, jika dilihat dari ragam makanan yang dikonsumsi, maka contoh dengan status gizi normal cenderung mengonsumsi buah, telur ayam, daging sapi, dan susu. Pada contoh dengan status gizi lebih cenderung mengonsumsi nasi, ayam, tahu goreng, dan tempe goreng lebih banyak daripada contoh dengan status gizi normal.

Buah merupakan salah satu sumber serat yang baik dan mudah untuk diperoleh di negara tropis seperti Indonesia (Selvendran & Dupont 1984). Pada penelitian ini contoh dengan status gizi normal cenderung mengonsumsi buah lebih banyak daripada contoh dengan status gizi lebih.

Nasi merupakan sumber karbohidrat yang banyak dikonsumsi oleh orang Asia tidak terkecuali Indonesia. Asupan karbohidrat yang berlebih kemudian akan disimpan dalam bentuk lemak di tubuh. Selain nasi, jenis makanan lain yang cenderung lebih banyak dikonsumsi contoh dengan status gizi lebih adalah ayam, sedangkan pada kelompok contoh dengan status gizi normal adalah telur. Ayam merupakan salah satu jenis makanan sumber protein hewani. Namun, ayam memiliki kandungan lemak yang lebih banyak daripada telur ayam. Berdasarkan DKBM dapat diketahui kandungan lemak satu porsi ayam (50 g) adalah 7,3 g, sedangkan kandungan lemak satu porsi telur ayam (60 g) adalah 6,9 g. Meskipun demikian secara keseluruhan asupan lemak pada contoh dengan status gizi normal lebih tinggi daripada status gizi lebih karena selain telur ayam, konsumsi konsumsi susu pada contoh status gizi normal lebih besar. Selain nasi dan ayam, jenis makanan yang cenderung banyak dikonsumsi oleh contoh dengan status gizi lebih adalah tahu dan tempe goreng. Pengolahan makanan dengan cara digoreng dapat meningkatkan kandungan lemak pada makanan tersebut, hal ini dikarenakan minyak mempunyai kandungan lemak yaitu 5 g lemak setiap porsinya (5 g). Kelebihan lemak dalam waktu yang cukup lama dapat menyebabkan seseorang mengalami gizi lebih.

Selain kontribusi bahan pangan, dilihat pula tingkat kecukupan energi dan zat gizi lain (protein dan lemak) serta serat pada kedua kelompok contoh. Sebaran tingkat kecukupan energi dan zat gizi berdasarkan status gizi contoh disajikan pada Tabel 13.

Tabel 13 Sebaran contoh berdasarkan tingkat kecukupan energi, zat gizi, dan serat serta status gizi

Tingkat kecukupan Gizi normal Gizi lebih Total

n % n % n %

Energi

Defisit tingkat berat 14 32,6 24 55,8 38 44,2

Defisit tingkat sedang 9 20,9 5 11,6 14 16,3

Defisit tingkat ringan 8 18,6 5 11,6 13 15,1

Normal 11 25,6 8 18,6 19 22,1

Diatas angka kebutuhan 1 2,3 1 2 2 2,3

Total 43 100 43 100 86 100

Protein

Defisit tingkat berat 18 41,9 21 48,8 39 45,3

Defisit tingkat sedang 5 11,6 8 18,6 13 15,1

Defisit tingkat ringan 5 11,6 7 16,3 12 14

Normal 13 30,2 4 9,3 17 19,8

Diatas angka kebutuhan 2 4,7 3 7 5 5,8

Total 43 100 43 100 86 100

Lemak

Defisit tingkat berat 20 46,5 24 55,8 44 51,2

Defisit tingkat sedang 7 16,3 6 14,0 13 15,1

Defisit tingkat ringan 2 4,7 7 16,3 9 10,5

Normal 10 23,3 3 7,0 13 15,1

Diatas angka kebutuhan 4 9,3 3 7,0 7 8,1

Total 43 100 43 100 86 100

Serat

Kurang 43 100 43 100 86 100

Cukup 0 0 0 0 0 0

Total 43 100 43 100 86 100

Tingkat kecukupan energi

Konsumsi pangan erat kaitannya dengan masalah gizi dan kesehatan. Manusia perlu mengonsumsi makanan dan minuman dalam jumlah yang cukup serta teratur setiap harinya untuk hidup sehat (Hardinsyah et al. 2002).

Data konsumsi pangan yang diperoleh merupakan rata-rata konsumsi pangan pada hari sekolah dan hari libur. Secara umum Tingkat Kecukupan Energi (TKE) contoh (44,2%) tergolong defisit tingkat berat dengan rata-rata 1719±432 kkal. TKE sebagian besar contoh dengan status gizi normal (32,6%) dan status gizi lebih (55,8%) tergolong defisit tingkat berat. Rata-rata asupan energi pada contoh dengan status gizi normal lebih besar (1750±397 kkal) daripada contoh dengan status gizi lebih (1680±467 kkal). Berdasarkan hasil uji beda Mann-Whitney tidak terdapat perbedaan TKE yang signifikan (p>0,05) antara contoh dengan status gizi normal dan gizi lebih.

Tingkat kecukupan protein

Protein mempunyai fungsi khas yang tidak dapat digantikan oleh zat gizi lain, yaitu membangun serta memelihara sel-sel dan jaringan tubuh (Almatsier 2002). Berdasarkan Tabel 13 dapat diketahui bahwa Tingkat Kecukupan Protein (TKP) contoh secara umum (45,3%) tergolong defisit tingkat berat dengan rata-rata 44,6±14,84 g. TKP sebagian besar contoh dengan status gizi normal (41,9%) dan contoh dengan status gizi lebih (48,8%) tergolong defisit tingkat berat. Rata-rata asupan protein contoh dengan status gizi normal lebih besar (46,1±13,94 g) daripada contoh dengan status gizi lebih (43,2±15,72 g). Berdasarkan hasil uji beda Mann-Whitney dapat diketahui bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan (p>0,05) antara kedua kelompok contoh.

Tingkat kecukupan lemak

Lemak memiliki beberapa fungsi penting bagi tubuh, diantaranya adalah sebagai sumber energi dan alat angkut vitamin larut lemak. Namun, konsumsi lemak harus dalam jumlah yang cukup, karena jika berlebihan akan menyebabkan gizi lebih (Almatsier 2002). Mayoritas (51,2%) contoh dari kedua kelompok status gizi memiliki tingkat kecukupan lemak (TK Lemak) yang tergolong defisit tingkat berat dengan rata-rata asupan lemak 42,4±13,45 g. Sebanyak 46,5% dan 55,8% contoh dengan status gizi normal dan lebih memiliki TK Lemak yang tergolong defisit tingkat berat. Asupan lemak rata-rata contoh dengan status gizi normal lebih besar (43,8±13,60) daripada contoh dengan status gizi lebih (40,9±13,29 g). Hasil uji beda Mann-Whitney menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang signifikan (p>0,05) antara kedua kelompok contoh. Tingkat kecukupan serat

Serat makanan dapat memberikan pengaruh baik pada organ-organ pencernaan seperti lambung, usus halus, dan usus besar (Beck 2000). Berdasarkan Tabel 13 dapat diketahui seluruh contoh (100%) memiliki Tingkat Kecukupan serat (TK serat) yang tergolong kurang. Adapun rata-rata asupan serat contoh secara keseluruhan adalah 6,5±2,89 g. Rata-rata asupan serat contoh dengan status gizi normal lebih besar (6,9±2,89 g) dibandingkan contoh berstatus gizi lebih (6,18±2,87 g). Hasil uji beda Mann-Whitney menunjukkan tidak terdapat perbedaan TK serat yang signifikan (p>0,05)antara contoh dengan status gizi normal dan lebih.

Berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui baik contoh dengan status gizi normal maupun gizi lebih sebagian besar kurang mengonsumsi serat.

Menurut Menurut Kiess et al. (2004) konsumsi serat pada remaja cenderung kurang dikarenakan remaja lebih senang mengonsumsi minuman ringan atau makanan cepat saji yang tinggi kalori dan rendah serat.

Secara keseluruhan, baik asupan maupun tingkat kecukupan energi dan zat gizi contoh dengan status gizi lebih cenderung lebih rendah daripada contoh dengan status gizi normal. Hasil ini berbeda dengan pernyataan Almatsier (2002) bahwa kelebihan konsumsi dapat mengakibatkan seseorang mengalamin gizi lebih. Hal tersebut diduga terkait dengan salah satu kekurangan dari metode

food recall adalah kemungkinan terjadinya flat slope syndrome, yaitu kecenderungan contoh dengan status gizi lebih melaporkan makanan yang dikonsumsi lebih sedikit daripada kenyataan (Supariasa et al. 2001).

Konsumsi sayur

Salah satu sumber serat yang baik adalah sayur dan buah (Selvendran&Dupont 1984). Konsumsi sayur terdiri dari jenis sayur yang banyak dikonsumsi oleh contoh, dan jumlah konsumsi sayur contoh dalam sehari. Sebaran konsumsi sayur berdasarkan status gizi disajikan pada Tabel 14.

Tabel 14 Sebaran contoh berdasarkan konsumsi sayur dan status gizi

Konsumsi sayur Gizi normal Gizi lebih Total

n % n % n % Jenis sayur Bayam Tidak pernah 11 25,6 14 32,6 25 29,1 ≤ 2 kali/bulan 10 23,3 8 18,6 18 20,9 1-2 kali /minggu 16 37,2 15 34,9 31 36,0 3-6 kali /minggu 5 11,6 5 11,6 10 11,6 1 kali /hari 1 2,3 0 0 1 1,2 >1kali /hari 0 0 1 2,3 1 1,2 Total 43 100 43 100 86 100 Kangkung Tidak pernah 10 23,3 13 30,2 23 26,7 ≤ 2 kali/bulan 8 18,6 13 30,2 21 24,4 1-2 kali /minggu 18 41,9 10 23,3 28 32,6 3-6 kali /minggu 6 14,0 6 14,0 12 14,0 1 kali /hari 1 2,3 1 2,3 2 2,3 >1kali /hari 0 0 0 0 0 0 Total 43 100 43 100 86 100 Wortel Tidak pernah 15 34,9 12 27,9 27 31,4 ≤ 2 kali/bulan 3 7,0 10 23,3 13 15,1 1-2 kali /minggu 15 34,9 8 18,6 23 26,7 3-6 kali /minggu 7 16,3 9 20,9 16 18,6 1 kali /hari 1 2,3 3 7,0 4 4,7 >1kali /hari 2 4,7 1 2,3 3 3,5 Total 43 100 43 100 86 100 Jumlah <300 g/hari 37 86,0 42 97,7 79 91,9 ≥ 300 g/hari 6 14,0 1 2,3 7 8,1 Total 43 100 43 100 86 100

Berdasarkan Tabel 14 diatas dapat diketahui bahwa baik contoh dengan status gizi normal maupun gizi lebih jarang mengonsumsi sayuran sebagai salah satu sumber serat. Secara umum jenis sayuran yang sering dikonsumsi oleh contoh adalah kangkung. Pada contoh dengan status gizi normal jenis sayuran yang paling banyak dikonsumsi oleh contoh adalah kangkung. Sedangkan sayuran yang banyak dikonsumsi oleh contoh dengan status gizi lebih adalah wortel. Hal ini dapat dikarenakan jenis sayuran kangkung dan wortel mudah diperoleh di daerah Bogor.

Jumlah konsumsi sayur dibedakan menjadi kurang dari 300 gram per hari dan lebih dari atau sama dengan 300 g per hari atau setara dengan 3 porsi sayur. Menurut Krebs-Smith dan Kantor (2001) untuk memenuhi kebutuhan serat standar yang digunakan adalah 3 porsi per hari (300 g). Berdasarkan data pada Tabel 14 juga dapat diketahui sebagian besar contoh (91,9%) secara umum kurang mengonsumsi sayuran dalam hal jumlah (<300 g/hari). Kelompok contoh berstatus gizi normal (86,0%) dan gizi lebih (97,7%) sebagian besar kurang mengonsumsi sayur. Hal ini sejalan dengan penelitian Riskesdas (2007) bahwa sebanyak 93,8% remaja berusia 15-24 tahun kurang mengonsumsi sayur dan buah sebagai salah satu sumber serat (Depkes 2008). Namun, pada penelitian ini konsumsi sayur contoh dengan status gizi normal lebih baik dalam hal jumlah daripada contoh dengan status gizi lebih.

Menurut Dwyer dan Ripe (2001) remaja yang kurang mengonsumsi serat cenderung mengonsumsi makanan yang tinggi lemak. Ditambahkan dalam Haerens et al. (2006) kebiasaan mengonsumsi makanan yang tinggi kalori dan lemak, rendah buah dan sayur berhubungan dengan semakin meningkatnya resiko mengalami gizi lebih. Hasil uji beda Mann-Whitney menunjukkan tidak terdapat perbedaan fekuensi dan jumlah konsumsi sayur yang signifikan (p>0,05) antara kedua kelompok contoh.

Konsumsi buah

Salah satu sumber serat yang baik dan mudah didapat selain sayur adalah buah. Buah-buahan tidak hanya memiliki rasa yang lezat dan segar, tapi juga bergizi tinggi. Mengonsumsi buah secara teratur dan tidak berlebihan dapat mengontrol nafsu makan dan menurunkan berat badan. Berikut merupakan sebaran contoh berdasarkan jenis dan frekuensi konsumsi buah serta status gizi.

Tabel 15 Sebaran contoh berdasarkan konsumsi buah dan status gizi

Konsumsi buah Gizi normal Gizi lebih Total

n % n % n % Jeruk Tidak pernah 13 30,2 11 25,6 24 27,9 ≤ 2 kali/bulan 4 9,3 10 23,2 14 16,3 1-2 kali/minggu 11 25,6 13 30,2 24 27,9 3-6 kali/minggu 9 20,9 7 16,3 16 16,6 1 kali/hari 6 14,0 2 4,7 8 9,3 >1 kali/hari 0 0 0 0 0 0 Total 43 100 43 100 86 100 Pisang Tidak pernah 14 32,5 15 34,9 29 33,7 ≤ 2 kali/bulan 7 16,3 13 30,2 20 23,2 1-2 kali/minggu 10 23,3 8 18,6 18 20,9 3-6 kali/minggu 8 18,6 6 14,0 14 16,3 1 kali/hari 3 7,0 1 2,3 4 4,6 >1 kali/hari 1 2,3 0 0 1 1,2 Total 43 100 43 100 86 100 Jumlah < 200 g/hari 27 62,8 32 74,4 59 68,6 ≥ 200 g/hari 16 37,2 11 25,6 27 31,4 Total 43 100 43 100 86 100

Berdasarkan Tabel 15 dapat diketahui jenis buah yang banyak dikonsumsi contoh secara keseluruhan adalah buah jeruk. Mayoritas contoh (68,6%) kurang mengonsumsi buah dalam hal jumlah (<200 g/hari). Lebih dari separuh contoh dengan status gizi normal (62,8%) dan status gizi lebih (74,4%) kurang mengonsumsi buah dalam jumlah. Hasil uji beda Mann-Whitney

menunjukkan tidak terdapat perbedaan jumlah konsumsi buah yang signifikan (p>0,05) antara contoh berstatus gizi normal dan gizi lebih.

Konsumsi fast food

Fast food adalah makanan cepat saji dan praktis (fried chicken, french fries, burger, spaghetti dan lainnya) dari restoran-restoran cepat saji. Pengaruh media dan teman sebaya mengakibatkan remaja semakin menyukai konsumsi

fast food. Namun, kandungan zat gizi fast food cenderung rendah vitamin, mineral, dan serat tetapi tinggi akan kandungan lemak dan sodium (Mahan &Escott-Stump 2008). Konsumsi lemak yang berlebihan dalam waktu lama dapat menyebabkan gizi lebih pada seseorang (Almatsier 2002). Sebaran contoh berdasarkan konsumsi fast food dan status gizi secara lengkap disajikan pada Tabel 16.

Tabel 16 Sebaran contoh berdasarkan konsumsi fast food dan status gizi

Konsumsi fast food Gizi normal Gizi lebih Total

n % n % n %

Jenis fast food

Burger Tidak pernah 18 41,9 21 48,8 39 45,3

≤2 kali/bulan 17 39,5 18 41,9 35 40,7 1-2 kali/minggu 8 18,6 4 9,3 12 14,0 3-6 kali/minggu 0 0 0 0 0 0 1 kali/hari 0 0 0 0 0 0 >1 kali/hari 0 0 0 0 0 0 Total 43 100 43 100 86 100

Fried chicken Tidak pernah 15 34,9 11 25,6 26 30,2 ≤2 kali/bulan 13 30,2 18 41,9 31 36,0 1-2 kali/minggu 10 23,3 9 20,9 19 22,1 3-6 kali/minggu 4 9,3 5 11,6 9 10,5 1 kali/hari 1 2,3 0 0 1 1,2 >1 kali/hari 0 0 0 0 0 0 Total 43 100 43 100 86 100

French fries Tidak pernah 18 41,9 19 44,2 37 43,0 ≤2 kali/bulan 10 23,3 16 37,2 26 30,0 1-2 kali/minggu 15 34,9 5 11,6 20 23,5

Dokumen terkait