• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perkembangan Wilayah

Perkembangan wilayah diasumsikan dengan banyaknya jumlah dan jenis fasilitas yang ada di suatu wilayah. Asumsi ini menurut Panuju, et al. (2012) berdasarkan bahwa penduduk mempunyai kecenderungan untuk bergerombol di suatu lokasi dengan kondisi fisik, sosial dan ekonomi yang secara relatif terbaik untuk komunitasnya. Daerah dengan fasilitas umum terlengkap merupakan pusat bagi daerah di sekitarnya.

Melalui analisis skalogram akan diperoleh gambaran karakteristik perkembangan wilayah. Penentuan tingkat hirarki wilayah berdasarkan kelengkapan fungsi pelayanan yang dapat disediakan oleh suatu wilayah, sehingga dapat diidentifikasi wilayah yang berfungsi sebagai pusat/inti dan wilayah-wilayah hinterlandnya. Unit wilayah yang mempunyai jumlah sarana dan jenis fasilitas umum dengan kuantitas dan kualitas yang relatif paling lengkap akan menjadi pusat pelayanan atau mempunyai hirarki yang lebih tinggi dibandingkan dengan unit wilayah lain yang jumlah fasilitasnya lebih rendah. Tingkat perkembangan wilayah dapat dicerminkan oleh nilai Indeks Perkembangan Desa (IPD) pada analisis skalogram. Semakin tinggi IPD maka semakin berkembang atau maju desa tersebut.

Hasil identifikasi terhadap jumlah desa yang wilayahnya termasuk dalam kawasan hutan produksi Gedong Wani sebanyak 39 desa. Dari ke-39 desa ini, hanya 32 desa yang informasinya tercatat pada data potensi desa (PODES) tahun 2003. Sisanya sejumlah 7 desa merupakan desa-desa pemekaran yang baru terbentuk setelah tahun 2003. Nilai indek perkembangan desa dan penentuan hirarki wilayah ditunjukkan pada Tabel 13

Tabel 13. Nilai indek perkembangan desa dan penentuan hirarki wilayah

Uraian Tahun 2003 2011 Minimal IPD 8.13 16.73 Maksimal IPD 70.18 65.22 Rataan 31.92 27.6 Standar Deviasi 14,76 11.2

Hirarki I IPD > 61.44 IPD > 50

Hirarki II 31.92<IPD<61.44 27.6<IPD<50

Hirarki III IPD < 31.92 IPD < 27.6

Sumber : Hasil analisis Podes tahun 2003 dan Podes 2011

Hasil analisis menunjukkan nilai rataan IPD pada tahun 2003 adalah 31.92 dengan nilai IPD terendah 8.13 dan nilai IPD tertinggi 70.18. Nilai tertinggi diperoleh Desa Talang Jawa kecamatan Merbau Mataram kabupaten Lampung Selatan dan nilai terendah diperoleh desa Budi Lestari kecamatan Tanjung Bintang kabupaten Lampung Selatan. Sedangkan nilai rataan IPD pada tahun 2011 adalah

27.6 dengan nilai tertinggi 65.23 dan nilai terendah 16.73. Desa yang menempati nilai tertinggi adalah desa Jati Baru kecamatan Tanjung Bintang Kabupaten Lampung Selatan dan desa yang menempati nilai terendah adalah desa Gunung Agung kecamatan Sekampung Udik Kabupaten Lampung Timur. Jumlah desa berdasarkan hirarkinya disajikan pada Tabel 14.

Tabel 14. Jumlah desa pada setiap kecamatan berdasarkan tingkat hirarki

Kecamatan Ʃ Desa Hirarki 1 Ʃ Desa Hirarki 2 Ʃ Desa Hirarki 3

2000 2011 2000 2011 2000 2011 Batanghari 1 2 Jati Agung 3 2 3 4 Katibung 3 2 2 3 Marga Tiga 1 Merbau Mataram 1 1 1 2 3 Metro Kibang 1 2 2 Natar 1 1 Sekampung 1 2 1 Sekampung Udik 1 1 2 Tanjung Bintang 1 1 4 5 Tanjung Sari 2 2 3 4 Jumlah 1 2 13 13 18 24

Berdasarkan Tabel 14. jumlah desa yang berhirarki I tahun 2003 dan 2011 berjumlah 1 dan 2 desa. Desa hirarki I pada tahun 2003 adalah desa Talang Jawa kecamatan Merbau Mataram Kabupaten Lampung Selatan dan pada tahun 2011 adalah desa Jati Baru kecamatan Tanjung Bintang kabupaten Lampung Selatan serta desa Karya Mukti kecamatan Sekampung kabupaten Lampung Timur. Menurut Panuju, et al.(2012) wilayah yang menempati hirarki wilayah lebih tinggi atau berhirarki I merupakan wilayah yang memiliki fasilitas terlengkap secara relatif dibandingkan dengan wilayah lainnya. Hal ini berarti bahwa pada tahun 2003 desa Talang Jawa dan tahun 2011 desa Jati Baru dan desa Karya Mukti merupakan desa yang mengalami perkembangan wilayah yang relatif lebih tinggi dibandingkan dengan desa lain yang wilayahnya termasuk dalam kawasan hutan produksi Gedong Wani. Penempatan hirarki I pada desa Talang Jawa juga disebabkan karena jumlah penduduknya yang hanya 2% dari total penduduk yang berada di Kawasan Hutan Produksi Gedong Wani akan tetapi memiliki jumlah dan jenis fasilitas yang paling lengkap pada tahun 2003. Hal ini berbeda dengan desa hirarki I pada tahun 2011, desa Jati Baru yang memiliki jumlah penduduk paling banyak yaitu 6% dari total jumlah penduduk di kawasan hutan produksi Gedong Wani dengan jumlah dan jenis fasilitas paling lengkap. Menurut Tarigan (2005) desa dengan hirarki wilayah paling tinggi termasuk dalam kategori desa swasembada karena fasilitasnya yang paling lengkap dan mudah dijangkau.

Selain kelengkapan fasilitas, wilayah yang menempati hirarki wilayah tertinggi juga dicirikan dengan adanya fasilitas penciri yang keberadaannya langka dan berimplikasi terhadap pergerakan masyarakat untuk memperoleh layanan

terkait fasilitas tersebut (Panuju, et al. 2012). Fasilitas yang menjadi penciri pada Desa Talang Jawa tahun 2003 adalah adanya fasilitas pendidikan berupa Sekolah Menengah Umum Negeri. Fasilitas penciri desa Jati Baru tahun 2011 adalah adanya fasilitas jasa keuangan yaitu Bank Perkreditan Rakyat dan KUD. Adanya fasilitas penciri menunjukkan bahwa keberadaan fasilitas tersebut hanya terdapat pada satu desa dan tidak terdapat pada desa yang lainnya.

Selanjutnya desa yang termasuk dalam hirarki II atau desa dengan tingkat perkembangan sedang pada tahun 2003 dan 2011 masing-masing berjumlah 13 desa. Lokasi desa desa ini menyebar dan tidak selalu berdampingan dengan desa desa yang mempunyai hirarki I. Bahkan sebagian besar desa yang termasuk hirarki II posisinya dikelilingi oleh desa dengan hirarki III. Dalam konsep wilayah nodal kondisi seperti ini menurut Rustiadi, et al. ( 2011) menunjukkan adanya hubungan fungsional antara subwilayah dan inti. Suatu wilayah dapat mempunyai beberapa inti dengan hirarki tertentu. Sub wilayah inti dengan hirarki yang lebih tinggi merupakan pusat bagi beberapa sub wilayah inti yang mempunyai hirarki yang lebih rendah. Oleh karena itu, desa dengan hirarki II merupakan pusat pelayanan bagi wilayah sekitarnya yang hirarkinya lebih rendah. Dari sisi perkembangan wilayah, desa dengan hirarki II mempunyai tingkat perkembangan dan fasilitas relatif sedang artinya jumlah dan jenis fasilitasnya relatif lebih rendah dibandingkan dengan desa yang berhirarki I dan relatif lebih tinggi dibandingkan dengan desa yang berhirarki III.

Desa dengan hirarki III pada tahun 2003 dan 2011 masing-masing sebanyak 18 desa dan 24 desa. Desa – desa ini merupakan desa dengan tingkat perkembangan relatif rendah karena nilai Indek perkembangan desa di bawah rataan nilai IPD. Menurut Tarigan (2005) desa dengan fasilitas yang minim dan tidak mudah dalam menjangkau fasilitas tersebut termasuk kategori desa swadaya. Adanya fasilitas penciri yang tidak dimiliki desa lain pada desa dalam hirarki III, biasanya tidak terlalu berimplikasi pada pergerakan masyarakat untuk memperoleh layanan fasilitas tersebut. Dengan demikian desa hirarki III merupakan wilayah yang terlayani oleh desa lain yang hirarkinya lebih tinggi atau dengan kata lain merupakan wilayah hinterland dari wilayah yang lainnya. Sebaran hirarki wilayah desa-desa dalam kawasan hutan produksi Gedong Wani ditampilkan pada Gambar 10 dan Gambar 11. Perubahan hirarki wilayah disajikan pada Tabel 15.

Perubahan hirarki wilayah pada desa-desa dalam kawasan hutan produksi Gedong Wani tahun 2003 dan 2011. Terdapat 16 desa mengalami perubahan hirarki wilayah masing masing adalah perubahan hirarki 1 ke hirarki 2 sejumlah 1 desa, hirarki 2 ke hirarki 3 sejumlah 8 desa, hirarki 3 ke hirarki 1 sejumlah 2 desa dan hirarki 3 ke hirarki 2 sejumlah 5 desa. Sejumlah 22 desa hirarkinya tetap masing-masing adalah desa dengan hirarki 2 yang tetap menjadi hirarki 2 sejumlah 7 desa dan hirarki 3 yang tetap menjadi hirarki 3 sejumlah 15 desa, sedangkan 1 desa yaitu desa Tri Sinar kecamatan Marga Tiga pada tahun 2003 tidak ada data. Namun demikian desa Tri Sinar untuk kepentingan analisis selanjutnya diasumsikan merupakan desa dengan hirarki 3 pada tahun 2003. Adanya perubahan hirarki wilayah menunjukkan adanya keterlibatan pemerintah dalam menyediakan fasilitas dan peran masyarakat sehingga terjadi perubahan status desa. Menurut Tarigan (2005) peningkatan status desa erat kaitannya dengan pertumbuhan ekonomi di desa tersebut.

Gambar 11. Peta hirarki desa-desa dalam kawasan hutan produksi Gedong Wani tahun 2011

Gambar 10. Peta hirarki desa-desa dalam kawasan hutan produksi Gedong Wani tahun 2003

Tabel 15. Perubahan hirarki desa tahun 2003 / 2011 Kecamatan Desa Hirarki Perubahan Hirarki Tahun 2003 Tahun 2011

Merbau Mataram Talang Jawa Hirarki 1 Hirarki 2 1 Ke 2

Batanghari Buana Sakti Hirarki 2 Hirarki 2 2 Ke 2

Sekampung Udik Gunung Agung Hirarki 2 Hirarki 3 2 Ke 3

Tanjung Bintang Jati Indah Hirarki 2 Hirarki 3 2 Ke 3

Jati Agung Margo Lestari Hirarki 2 Hirarki 3 2 Ke 3

Tanjung Sari Mulyo Sari Hirarki 2 Hirarki 3 2 Ke 3

Katibung Neglasari Hirarki 2 Hirarki 2 2 Ke 2

Batanghari Purwodadi Mekar Hirarki 23 Hirarki 2 2 Ke 2

Jati Agung Sidoharjo Hirarki 2 Hirarki 2 2 Ke 2

Tanjung Bintang Srikaton Hirarki 22 Hirarki 3 2 Ke 3

Natar Sukadamai Hirarki 2 Hirarki 2 2 Ke 2

Jati Agung Sumber Jaya Hirarki 2 Hirarki 2 2 Ke 2

Katibung Tanjungagung Hirarki 2 Hirarki 3 2 Ke 3

Katibung Tanjungratu Hirarki 2 Hirarki 2 2 Ke 2

Merbau Mataram Triharjo Hirarki 2 Hirarki 3 2 Ke 3

Tanjung Sari Wonodadi Hirarki 2 Hirarki 3 2 Ke 3

Tanjung Bintang Budi Lestari Hirarki 3 Hirarki 3 3 Ke 3

Tanjung Bintang Jatibaru Hirarki 3 Hirarki 1 3 Ke 1

Metro Kibang Jaya Asri Hirarki 34 Hirarki 3 3 Ke 3

Jati Agung Karang Rejo Hirarki 3 Hirarki 3 3 Ke 3

Sekampung Karya Mukti Hirarki 3 Hirarki 1 3 Ke 1

Tanjung Sari Kertosari Hirarki 3 Hirarki 3 3 Ke 3

Tanjung Sari Malang Sari Hirarki 35 Hirarki 2 3 Ke 2

Metro Kibang Margo Jaya Hirarki 3 Hirarki 2 3 Ke 2

Metro Kibang Margo Sari Hirarki 3 Hirarki 3 3 Ke 3

Sekampung Mekar Mukti Hirarki 31 Hirarki 2 3 Ke 2

Sekampung Mekar Mulya Hirarki 31 Hirarki 2 3 Ke 2

Merbau Mataram Panca Tunggal Hirarki 3 Hirarki 3 3 Ke 3

Tanjung Sari Purwodadi Dalam Hirarki 3 Hirarki 3 3 Ke 3

Jati Agung Purwotani Hirarki 3 Hirarki 3 3 Ke 3

Tanjung Sari Sidomukti Hirarki 3 Hirarki 2 3 Ke 2

Merbau Mataram Sinar Karya Hirarki 3 Hirarki 3 3 Ke 3

Tanjung Bintang Sinar Ogan Hirarki 3 Hirarki 3 3 Ke 3

Jati Agung Sinar Rejeki Hirarki 3 Hirarki 3 3 Ke 3

Sekampung Udik Sindang Anom Hirarki 3 Hirarki 3 3 Ke 3

Katibung Tanjungan Hirarki 3 Hirarki 3 3 Ke 3

Katibung Trans Tanjungan Hirarki 3 Hirarki 3 3 Ke 3

Tanjung Bintang Trimulyo Hirarki 3 Hirarki 3 3 Ke 3

Marga Tiga Tri Sinar Hirarki 3 No Data

1,2,3,4

adalah desa-desa pemekaran yang datanya belum tercantum dalam Podes 2003. 1Pemekaran dari desa Karya Mukti; 2Pemekaran dari Desa Jati Indah; 3Pemekaran dari desa Buana Sakti;

4

Perubahan hirarki wilayah pada 39 desa dalam 10 tahun terakhir menjadi indikasi perkembangan wilayah desa di kawasan hutan produksi Gedong Wani, yang tidak sesuai dengan tujuan peruntukan kawasan hutan. Secara Nasional desa yang berada dalam kawasan hutan berjumlah 19.420 desa (BPS, 2007,2009). Desa-desa tersebut menjadikan kawasan hutan sebagai lahan tanaman pangan dan lahan perkebunan. Keberadaan desa yang terus berkembang dalam kawasan hutan menurut Kartodihardjo (2008) disebabakan legalitas desa yang telah ditetapkan oleh Kementerian Dalam Negeri belum ditetapkan legalitasnya terkait dengan kawasan hutan negara yang ditempatinya. Selanjutnya Kartodihardjo (2012) menyatakan bahwa keberadaan desa dalam kawasan hutan meskipun berdasarkan hukum positif dianggap melanggar hukum, namun dalam kenyataannya secara sosial politik, tidak ada perlakuan apapun dan oleh karena itu dari waktu kewaktu terus berkembang. Perkembangan desa dapat menimbulkan konflik atau ancaman kerusakan sumberdaya hutan, maupun dari sisi masyarakat, mereka tidak mendapat legalitas akses secara jelas terhadap manfaat hutan negara.

Untuk itu, perkembangan wilayah desa dalam kawasan hutan perlu diantisipasi agar tidak menimbulkan efek penyebaran (spread effect) terhadap wilayah desa sekitarnya. Menurut Tarigan (2005) desa yang berkembang kemungkinan akan mendorong desa tetangganya untuk berkembang, karena adanya keterkaitan kegiatan antar desa.

Analisis Perubahan Penggunaan Lahan di Kawasan Hutan Produksi Gedong Wani Tahun 2000 dan Tahun 2013

Penggunaan lahan dan penutupan lahan pada hakekatnya berbeda walaupun sama-sama menggambarkan keadaan fisik lahan. Penggunaan lahan berhubungan dengan kegiatan manusia pada suatu bidang lahan, sedangkan penutupan lahan lebih merupakan perwujudan fisik objek-objek yang menutupi lahan tanpa mempersoalkan kegiatan manusia terhadap objek-objek tersebut (Lilisand, et al. 1993). Perubahan penggunaan lahan adalah fenomena kompleks, yang merefleksikan interaksi antara manusia dengan lingkungannya (Munroe et al. 2007).

Interpretasi penggunaan/penutupan lahan pada kawasan hutan produksi Gedong Wani terdiri dari 6 (enam) kelas yaitu area terbangun, hutan, perkebunan rakyat, perkebunan PTPN, ladang dan tubuh air. Area terbangun sesuai dengan cirinya dalam interpretasi adalah pemukiman dan jalan. Hutan yang dimaksud dalam interpretasi adalah hutan tanaman yang pernah dibangun oleh PT. Darmala Hutan Lesari (PT DHL). Untuk perkebunan rakyat adalah tanaman perkebunan yang ditanam oleh masyarakat, di lapangan banyak dijumpai tanaman karet dan kelapa sawit. Perkebunan PTPN merupakan tanaman perkebunan yang diusahakan oleh PTPN dalam hal ini merupakan area tumpang tindih yang batasnya sudah dipetakan oleh instansi kehutanan, sehingga interpretasinya mengacu pada batas yang ada. Untuk ladang merupakan lahan terbuka, atau lahan-lahan yang ditanami tanaman pangan lahan kering termasuk sawah tadah hujan. Pegertian tubuh air pada interpretasi merupakan genangan air, sungai, waduk ataupun rawa. Luas setiap tipe penggunaan lahan di kawasan hutan produksi Gedong Wani periode tahun 2000 dan 2013 disajikan pada Tabel 16 dan Gambar 12.

Tabel 16. Penggunaan/penutupan lahan di kawasan hutan produksi Gedong Wani Penggunaan

Lahan

Tahun 2000 Tahun 2013 Perubahan Luas (ha) % Luas (ha) % Luas (ha) %

Area Terbangun 2 943 9.8 3 245 10.8 302 1 Hutan 1 155 3.8 34 0.1 -1 121 3,7 Ladang 12 798 42.5 11 092 36.8 -1 706 5.7 Perkebunan PTPN 192 0.6 192 0.6 0 0 Perkebunan Rakyat 11 181 37.1 13 670 45.3 2 489 8.3 Tubuh Air 1 876 6.2 1 913 6.3 37 0.1 Jumlah 30 146 100 30 146 100

Tabel 16 dan Gambar 12 menunjukkan bahwa penggunaan/penutupan lahan terbesar pada tahun 2000 adalah ladang dengan luasan 12 798 ha atau 42.5% dari total luas kelompok kawasan hutan produksi Gedong Wani. Penggunaan/Penutupan lahan terbesar kedua pada tahun 2000 adalah perkebunan rakyat dengan luas 11 181 ha atau 37.1 %. Penggunaan/penutupan lahan terbesar tahun 2013 didominasi oleh penggunaan lahan perkebunan rakyat seluas 13 670 ha atau 45.3% dan kemudian ikuti oleh penggunaan lahan ladang dengan luas 11 092 ha atau 36.8% .

Luas area terbangun menempati urutan ketiga yaitu seluas 2 943 ha pada tahun 2000 dan meningkat jumlahnya menjadi 3 245 ha pada tahun 2013. Luas hutan yang seharusnya menjadi penggunaan/penutupan lahan dominan di kawasan hutan produksi Gedong Wani justru menunjukkan jumlah luas yang minimal yaitu hanya 1 115 ha atau 3.8 % pada tahun 2000 dan jumlahnya menurun menjadi 34 ha atau 0.1 % pada tahun 2013.

Penurunan luas hutan sebesar 1121 ha hingga hanya menjadi 34 ha, menunjukkan bahwa hutan tanaman yang di bangun oleh PT. DHL pada tahun 1996 tidak terkelola dengan baik, sehingga dijarah oleh masyarakat. Menurut Kusworo (2000) pembabatan hutan tanaman oleh masyarakat berlangsung sejak reformasi bergulir tahun 1997/1998. Masyarakat beranggapan bahwa adanya hutan tanaman industri yang dikelola PT. DHL telah merampas lahan-lahan garapan masyarakat desa–desa di kawasan hutan produksi Gedong Wani

Gambar 12. Luas penggunaan/penutupan lahan pada kelompok kawasan hutan produksi Gedong Wani tahun 2000 dan 2013.

diantaranya adalah desa Sinar Rejeki, Sidorejo, Karanganyar (Karang Rejo), Sumber Jaya, Sukadamai, Marga Jaya, Karya Mukti dan Trisinar

Penggunaan lahan area terbangun mengalami kenaikan luasan hingga 302 ha menunjukkan bahwa kebutuhan area terbangun meningkat seiring dengan peningkatan jumlah penduduk di kawasan hutan produksi Gedong Wani yaitu dari jumlah penduduk pada tahun 2003 sebesar 132 789 jiwa menjadi 150 424 jiwa pada tahun 2011. Menurut Munibah, et al. (2010) semakin meningkatnya jumlah penduduk, berdampak pada semakin tingginya aktifitas manusia terhadap lahan. Peningkatan penduduk memiliki konsekuensi terhadap perkembangan ekonomi yang menuntut kebutuhan lahan untuk permukiman, industri, infrastruktur dan jasa (Munibah, 2008). Bertambahnya luas area terbangun hingga mencapai luas 3245 ha merupakan hasil konversi hutan seluas 25 ha, ladang 105 ha, perkebunan rakyat 167 ha dan tubuh air seluas 6 ha

Pengurangan luas ladang sebesar 1 706 ha, menunjukkan adanya peralihan penggunaan lahan untuk budidaya tanaman pangan menjadi penggunaan lahan untuk kegiatan budidaya lainnya. Masyarakat di kawasan hutan produksi Gedong Wani banyak beralih menanam tanaman perkebunan pada ladang garapannya untuk komoditas jenis karet dan sawit, karena komoditas ini dianggap lebih menguntungkan secara ekonomi dan mudah dalam perawatannya. Perubahan penggunaan lahan menjadi ladang merupakan hasil konversi hutan seluas 591 ha, perkebunan rakyat 3 790 ha dan tubuh air 492 ha.

Perkebunan PTPN tidak mengalami perubahan luas dan tetap konstan seluas 192 ha. Hal ini menunjukkan bahwa perkebunan PTPN dikelola dengan baik, sehingga walaupun lokasinya merupakan bagian dari kawasan hutan produksi Gedong Wani akan tetapi masyarakat mengakui bahwa kawasan ini merupakan wilayah kelola perkebunan PTPN. Konsistensi luasan perkebunan PTPN ditengah perebutan penggunaan ruang kawasan hutan produksi Gedong Wani menjadi suatu bukti bahwa pengelolaan kawasan ditingkat lapangan menjadi hal yang penting bagi keberlanjutan suatu kawasan yang peruntukannya sudah ditetapkan.

Peningkatan luas pada perkebunan rakyat seluas 2 489 ha atau 8.3% dari luas kawasan hutan produksi Gedong Wani menunjukkan bahwa komoditas perkebunan dianggap lebih menguntungkan secara ekonomis. Harga karet dan sawit yang relatif tinggi dan pasar yang mudah menjadi daya tarik masyarakat untuk mengembangkan komoditas tersebut di kawasan hutan produksi Gedong Wani. Hal ini tidak berlaku untuk pengembangan tanaman kayu-kayuan, masyarakat enggan melaksanakan budidaya tanaman kayu-kayuan karena prosedur administrasi pemanenan kayu dalam kawasan hutan dianggap sulit oleh masyarakat. Disamping itu, penanaman kayu dianggap tidak memberikan hasil harian seperti halnya karet dan sawit. Bertambahnya luas perkebunan rakyat merupakan hasil konversi hutan seluas 474 ha, ladang 6 040 ha serta tubuh air seluas 583 ha.

Luas tubuh air relatif konstan yaitu sekitar 6.2% dari luas kawasan. Di kawasan hutan produksi Gedong Wani banyak dijumpai sungai diantaranya sungai Way Galih, Way Kandis dan Way Katibung, semua sungai ini bermuara di sungai Way Sekampung. Perubahan penggunaan lahan tahun 2000-2013 disajiakan pada Tabel 17. Pola dan sebaran spasialnya ditunjukkan pada Gambar 13, 14 dan 15.

Tabel 17. Perubahan penggunaan lahan di kawasan hutan produksi Gedong Wani dari tahun 2000 ke tahun 2013

Perubahan

Penggunaan Lahan Tahun 2000-2013 (ha)

Area

Terbangun Hutan Ladang

Perkebunan PTPN Perkebunan Rakyat Tubuh Air Jumlah Tahun 2000 Area Terbangun 2 943 2 943 Hutan 25 34 591 474 32 1 155 Ladang 105 6 219 6 040 435 12 798 Perkebunan PTPN 192 192 Perkebunan Rakyat 167 3 790 6 574 651 11 181 Tubuh Air 6 492 583 795 1 876 Jumlah Tahun 2013 3 245 34 11 092 192 13 670 1 913 30 146

Dari gambaran pola perubahan penggunaan lahan pada Gambar 13 dapat dilihat bahwa penggunaan lahan area terbangun seluas 2 943 ha tahun 2000 tidak mengalami perubahan ke penggunaan lahan lainnya. Area terbangun berupa pemukiman dan sarana-prasarana umum investasi pembangunan (public capital investement) seperti jaringan jalan, sekolahan, kantor-kantor pemerintahan, jaringan listrik dan sebagainya bersifat kaku atau rigid yaitu sekali dibangun akan sulit diubah atau dipindahkan letaknya. Selain itu, ditinjau dari keterkaitan land rent, area pemukiman mempunyai land rent yang lebih tinggi dibandingkan dengan penggunaan lahan lainnya. Menurut Rustiadi et al. (2011) bahwa hukum pasar akan mengarah pada penggunaan lahan dengan land rent tertinggi dan sifat pergeseran penggunaan lahan berlangsung secara searah serta bersifat irreversible (tidak dapat balik). Dalam hal ini, lahan pertanian yang telah digunakan untuk pembangunan pemukiman dan sarana-prasarana fisik hampir tidak mungkin untuk berubah kembali menjadi penggunaan lahan pertanian.

Penggunan lahan yang juga tidak mengalami fluktuasi perubahan adalah perkebunan PTPN. Perkebunan PTPN merupakan perkebunan yang dikelola oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang diberi Hak Guna Usaha (HGU). Menurut UU No 5/1960 HGU adalah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh Negara guna usaha pertanian, perikanan atau peternakan dalam jangka 35 tahun dan dapat diperpanjang hingga 25 tahun. Adanya kewajiban dan prasyarat yang harus dipenuhi oleh pemegang izin HGU untuk melaksanakan usaha sesuai dengan peruntukan izin, mengusahakan sendiri tanah HGU dengan baik, memelihara kesuburan tanah, mencegah kerusakan sumberdaya, dan tidak menelantarkan lahan menjadi pedoman bagi pemegang izin untuk mengelola lahannya dengan sebaik mungkin. Adanya pengelolaan yang baik pada lahan HGU perkebunan PTPN berdampak pada legitimasi/pengakuan dari masyarakat, sehingga perkebunan ini dapat bertahan dalam luasannya sesuai dengan fungsinya sebagai area perkebunan.

Ladang 12 798 Ha Tubuh Air Ladang Perkebunan Rakyat Area Terbangun 6 219 ha 2013 2000 435 ha a Perkebunan Rakyat 11 181 Ha Perkebunan Rakyat Ladang Tubuh Air Area Terbangun 2000 2013 6 040 ha 105 ha 6 574 ha 3 790 ha 651 ha 167 ha b Area Terbangun Area Terbangun 2 943 Ha 2 943 ha 2013 2000 Hutan 1 155 Ha Ladang Perkebunan Rakyat Tubuh Air Area Terbangun 2013 591 ha 32 ha 25 ha d Tubuh Air 1 876 Ha Ladang Tubuh Air Perkebunan Rakyat Area Terbangun 795 ha 2013 2000 492 ha c 583 ha 36 ha 2000 Perkebunan PTPN Perkebunan PTPN 192 Ha 192 ha 2013 2000 474 ha Hutan 34 ha e f

Gambar 14. Peta penggunaan/penutupan lahan kelompok kawasan hutan produksi Gedong Wani tahun 2000

Gambar 15. Peta penggunaan/penutupan lahan kelompok kawasan hutan produksi Gedong Wani tahun 2013

Analisis Pengaruh Faktor Fisik Lahan, Demografi dan Kebijakan Penggunaan Kawasan Hutan Terhadap Perubahan Penggunaan Lahan

Perubahan penggunaan lahan merupakan suatu proses perubahan penggunaan lahan ke penggunaan lahan lain yang dapat bersifat sementara maupun permanen, hal ini merupakan konsekuensi logis dari adanya pertumbuhan dan transformasi perubahan struktur sosial ekonomi masyarakat yang sedang berkembang, baik untuk tujuan komersil maupun industri. Menurut McNeil et al. (1998) faktor yang mendorong perubahan penggunaan lahan adalah politik, ekonomi, demografi dan budaya. Faktor yang mempengaruhi perubahan lahan hutan menjadi lahan pertanian menurut Munibah (2008) adalah bentuk lahan, kemiringan lereng, jenis tanah, curah hujan, jarak dari jalan raya dan mata pencaharian masyarakat.

Dalam menganalisis faktor yang berpengaruh terhadap perubahan penggunaan lahan di kawasan hutan produksi Gedong Wani periode tahun 2000- 2013 digunakan faktor fisik lahan, demografi dan kebijakan penggunaan kawasan hutan. Perubahan penggunaan lahan yang dianalisis adalah perubahan penggunaan lahan menjadi lahan perkebunan rakyat, areal terbangun dan ladang. Analisis dilakukan dengan regresi logistik binner, dengan variabel tak bebas berupa

Dokumen terkait