• Tidak ada hasil yang ditemukan

Isolasi Aktinomiset Endofit

Pada penelitian ini sebanyak 32 isolat aktinomiset endofit telah berhasil diisolasi dari tanaman T. crispa dan 33 isolat dari tanaman lainnya menggunakan media agar HV. Semua isolat aktinomiset endofit yang diperoleh dalam penelitian ini merupakan isolat yang dapat dikulturkan dan tidak mewakili semua populasi mikrob endofit yang hidup di tanaman-tanaman obat tersebut. Hal ini disebabkan sebagian besar mikrob (lebih dari 99%) adalah unculturable atau tidak dapat ditumbuhkan pada medium sintetik (Sharma et al. 2005).

Sekitar 69,2% dari tanaman yang diuji mengandung aktinomiset endofit Tananam T. crispa merupakan tanaman obat dengan jumlah isolat aktinomiset tertinggi (32 isolat). Sejumlah isolat diperoleh dari tanaman lainnya, yaitu: Curcuma aeruginosa (9 isolat), Gynura procumbens (6 isolat), Curcuma xanthorryza (5 isolat) dan tanaman lainnya (1-4 isolat) (Gambar 3).

Gambar 3 Jumlah isolat aktinomiset endofit yang berhasil diisolasi dari masing- masing tanaman obat.

Hasil isolasi dari keseluruhan tanaman menunjukkan bahwa aktinomiset endofit paling banyak diperoleh dari bagian akar tanaman (45 isolat), diikuti bagian rimpang (14 isolat), lalu batang dan daun (masing-masing 3 isolat). Hampir 70% aktinomiset endofit diperoleh dari bagian akar (Gambar 4). Hal ini dapat dipahami karena secara umum aktinomiset merupakan bakteri tanah,

6 5 1 32 1 3 3 4 9 0 0 5 10 15 20 25 30 35 Ju m la h i so la t

sehingga sangat wajar jika mikrob tersebut paling banyak berasosiasi dengan bagian tanaman yang berada di dalam tanah, yaitu bagian akar.

Gambar 4 Jumlah isolat aktinomiset endofit yang berhasil diisolasi berdasarkan asal bagian tanaman.

Mikrob endofit merupakan mikrob, baik bakteri (non aktinomiset), aktinomiset maupun cendawan yang seluruh atau sebagian siklus hidupnya berada di dalam jaringan tanaman yang sehat. Mikrob endofit dapat berkolonisasi di dalam jaringan tanaman dan tidak membahayakan inangnya. Setiap tanaman umumnya dapat mengandung beberapa hingga ratusan jenis mikrob endofit (Tan & Zou, 2001). Di dalam tanaman berpembuluh dapat mengandung sejumlah mikrob endofit yang mampu menghasilkan senyawa biologi atau metabolit sekunder serupa dengan inangnya. Beberapa peneliti telah melaporkan adanya aktinomiset endofit yang mampu menghasilkan senyawa aktif mirip dengan senyawa yang dihasilkan tanaman inangnya. Strobell dan Daisy (2003) melaporkan bahwa Taxomyces andreanae endofit pada tanaman Taxus menghasilkan paclitaxel. Paclitaxel adalah senyawa antikanker yang dihasilkan juga oleh tanaman Taxus brevivolia. Taechowisan et al. (2007) melaporkan Streptomyces aureofaciens, isolat endofit dari tanaman jahe penghasil senyawa arylcoumarin yang memiliki aktivitas antitumor. Tanaman jahe juga memiliki senyawa anti tumor seperti dilaporkan oleh Katiyar et al. (1996). Penelitian Castillo et al. (2002) menunjukkan bahwa Streptomyces NRRL

akar 69,2% rimpang 21,5% batang 4,6% daun 4,6%

30562 endofit pada tanaman Kennedia nigriscans mampu menghasilkan antibiotik spektrum luas. Tanaman ini secara tradisional digunakan suku Aborigin sebagai antiseptis untuk mencegah infeksi luka.

Penapisan Aktinomiset Endofit Penghasil Inhibitor α-glukosidase

Pengujian terhadap semua isolat aktinomiset endofit diperoleh 12 isolat mampu menghasilkan inhibitor α-glukosidase, yang terdiri dari 10 isolat asal T. crispa, 1 isolat dari C. sappan dan 1 isolat dari C. aeruginosa. Lima puluh tiga isolat lainnya tidak menunjukkan adanya kemampuan inhibitor α-glukosidase (Tabel 6).

Tabel 6 Isolat aktinomiset endofit dari berbagai tanaman obat diabetes dan aktivitas inhibitor α-glukosidase yang dihasilkannya

Tanaman Obat Bagian Tanaman Jumlah Isolat Kode Isolat Karakteristik pada Medium YMA Pengham- batan (%) Tinospora crispa

akar 32 BWA 14 tidak berspora, koloni coklat,

pigmen coklat

-

BWA14A tidak berspora, koloni coklat -

BWA 15 spora coklat keputihan 0.68

BWA15A spora abu-abu -

BWA 16 spora abu-abu -

BWA 2 spora putih-abu-abu -

BWA 3 spora putih, menghasilkan pigmen kemerahan

-

BWA 33 spora putih -

BWA 34 spora putih, koloni hitam -

BWA 35 tidak berspora, koloni warna coklat

2.66 BWA 36 tidak berspora, koloni warna

coklat

4.85

BWA 3A spora putih 0.48

BWA 4

spora putih, koloni warna coklat

1.16

BWA 4A spora abu-abu 0.27

BWA 51 spora putih -

BWA 54 tidak berspora, koloni coklat tua

1.16 BWA 61 tidak berspora, koloni coklat

tua, pigmen coklat

- BWA 62 tidak berspora, koloni coklat

tembaga

-

BWA 63 spora krem -

BWA 64 spora putih -

BWA 65 tidak berspora, koloni warna coklat tua

4.51

BWA 66 spora putih -

BWA 71 tidak berspora, koloni warna coklat

0.75 BWA 72 tidak berspora, koloni coklat

kekuningan

-

BWA 73

spora putih, koloni warna coklat

0.89 BWA 74 tidak berspora, koloni warna

coklat

-

BWA 76 spora putih, koloni warna coklat, pigmen hitam

- BWA 82 tidak berspora, koloni warna

coklat

-

BWA 84 tidak berspora, koloni kuning -

BWA 85 spora putih -

BWA 86 tidak berspora, koloni warna coklat

-

BWA 93 tidak berspora, koloni hitam -

batang - daun - Tanaman lainnya Gynura procumbens akar 4 SNA 11

tidak berspora, koloni warna pink

-

SNA 12

tidak berspora, koloni warna merah

-

SNA 2 tidak berspora, koloni coklat -

SNA 21

tidak berspora, koloni coklat tua

-

batang 2

SNB 1

tidak berspora, koloni warna coklat

-

SNB 1A tidak berspora, pink koloni -

daun 1 SND 22 tidak berspora, red koloni -

Alloe vera akar -

daun - Curcuma xanthoriza akar - batang - daun -

rimpang 5 TLR 1 spora coklat -

TLR 2 spora putih - TLR 21 spora abu-abu - TLR 3 spora putih - TLR 4 spora abu-abu - Centela asiatica akar - batang - daun - Physalis peruviana akar - batang -

daun 1 CP1 spora putih -

Hibiscus sabdariffa

akar -

batang 1 ROB 12 tidak berspora, koloni pink -

daun -

bunga -

Phaleria macrocarpa

akar 3 MDA 2 spora warna coklat -

MDA 22 spora warna coklat -

MDA 52 tidak berspora, koloni orange -

batang -

daun -

buah -

Andrographis paniculata

akar 2 SBL A1 tidakberspora, koloni hitam -

SBL A2 spora putih -

batang -

daun 1 SBLD 3 tidak berspora, koloni warna

coklat - Xoncus arvensis akar - batang - daun - Caesalpinia sappan

akar 4 SC A 13 spora putih 0.55

SC A 11 spora krem -

SC A 14 spora putih -

SCA 1 spora putih -

batang -

Parcia speciosa akar - batang - daun - Curcuma aeruginosa akar - batang - daun - rimpang 9 TIR 11

spora putih, koloni warna coklat

-

TIR 12 spora krem -

TIR 13 spora keemasan, koloni warna coklat

3.62

TIR 14 tidak berspora -

TIR 1A

spora putih, koloni warna coklat

-

TIR 1B spora putih -

TIR 1B2

spora putih, koloni warna coklat

- TIR 2 spora abu-abu, koloni coklat

tua

-

TIR 3 spora putih abu-abu -

Jumlah isolat 65

Pada pengujian lebih lanjut secara kuantitatif menggunakan p-nitrophenyl α-D-glucopyranoside sebagai substrat menunjukkan bahwa ekstrak kasar (supernatan) dari empat isolat aktinomiset endofit (BWA36, BWA65, BWA35, BWA54) dari T. crispa memiliki aktivitas α-glukosidase tertinggi. Ekstrak kasar BWA65 isolat dari T. crispa menghasilkan penghambatan tertinggi (11.01%) terhadap α-glukosidase, yaitu sebesar 80% jika dibandingkan dengan penghambatan 1mg/ml acarbose (13.61%) yang digunakan sebagai kontrol (Gambar 5).

Penemuan aktinomiset endofit pada tanaman brotowali belum pernah dilaporkan oleh para peneliti sebelumnya, sehingga dapat dikatakan adanya aktinomiset endofit pada tanaman brotowali pada penelitian ini merupakan hal yang baru. Laporan ini juga yang pertama kali menyebutkan adanya aktinomiset endofit penghasil senyawa inhibitor α-glukosidase. Laporan-laporan sebelumnya yang menyebutkan sejumlah aktinomiset penghasil senyawa inhibitor α- glukosidase adalah bukan merupakan isolat endofit yang berasal dari jaringan tanaman.

Gambar 5 Aktivitas inhibitor α-glukosidase oleh supernatan dari kultur aktinomiset endofit asal T. crispa.

Penemuan isolat aktinomiset endofit dari tanaman T. crispa yang menghasilkan inhibitor α-glukosidase dalam penelitian ini memiliki arti penting dalam memperkuat pendapat Tan dan Zou (2001) yang menyatakan bahwa tanaman dapat mengandung mikrob endofit yang dapat menghasilkan senyawa biologis atau metabolit sekunder yang sama dengan inangnya. Informasi tentang keberadaan agen hipoglikemik pada tanaman Tinospora telah dilaporkan oleh beberapa peneliti sebelumnya ( Rajalakshmi et al. 2009; Chougale et al. 2009). Mereka melaporkan bahwa ekstrak tanaman T. cordifolia memiliki aktivitas inhibitor α-glukosidase. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa pemberian ekstrak etanol dan air tanaman T. cordifolia pada dosis 400 mg/kg dapat menurunkan gula darah pada tikus dan kelinci hiperglikemia yang diinduksi dengan aloksan.

Pada penelitian ini juga dibandingkan aktivitas inhibitor α-glukosidase yang dihasilkan oleh tanaman inang T. crispa, tanaman T. crispa bebas endofit hasil kultur jaringan tanaman dan isolat aktinomiset endofit. Hasil pengujian ini diharapkan dapat menggambarkan peran aktinomiset endofit dalam memberikan kontribusi terhadap produksi senyawa inhibitor. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tanaman bebas endofit yang diperoleh dari kultur jaringan tanaman umur 3 bulan hanya memiliki kemampuan yang sangat rendah untuk menghasilkan senyawa inhibitor. Tanaman T. crispa yang diperoleh dari alam mampu memproduksi senyawa inhibitor jauh lebih besar (Gambar 6). Namun,

6,35 11,01 5,64 6,34 13,61 0,00 2,00 4,00 6,00 8,00 10,00 12,00 14,00 16,00

BWA 36 BWA65 BWA 35 BWA 54 Ac

In h ib is i (% ) Isolat aktinomiset

kemampuan inhibitor α-glukosidase yang dihasilkan oleh aktinomiset endofit BWA65 lebih dari dua kali lipat dibanding aktivitas inhibitor α-glukosidase yang dihasilkan tanaman inang. Data tersebut mengindikasikan bahwa aktinomiset endofit dalam tanaman T. crispa tersebut memberikan kontribusi yang besar terhadap produksi senyawa inhibitor α-glukosidase.

Gambar 6 Aktivitas inhibitor α-glukosidase yang dihasilkan oleh tanaman hasil kultur jaringan tanaman (KJT, kalus), tanaman dari alam (batang, akar, daun) dan isolat aktinomiset endofit BWA65.

Selain tanaman hasil kultur jaringan, diuji pula aktivitas inhibitor α- glukosidase dari kalus. Kalus merupakan sekumpulan hasil proliferasi sel tanaman yang membentuk biomassa tetapi tidak dapat berdiferensiasi membentuk organ tanaman seperti akar, batang dan daun. Kultur kalus biasanya dilakukan dengan tujuan untuk menghasilkan senyawa bioaktif dari suatu tanaman. Pada gambar di atas terlihat bahwa kalus tanaman brotowali memiliki aktivitas inhibitor α-glukosidase yang relatif besar jika dibanding dengan tanaman hasil kultur jaringan. Hal ini dapat disebabkan karena pada kultur kalus, biosintesis senyawa metabolit sekunder lebih besar jika dibanding dengan metabolisme sekunder pada tanaman hasil kultur jaringan. Dengan demikian untuk keperluan produksi metabolit sekunder, seringkali digunakan kultur kalus.

Beberapa peneliti memilih menggunakan kultur kalus untuk memproduksi senyawa bioaktif. Purwianingsih dan Hamdiyati (2009). menggunakan kultur kalus Morinda citrifolia L. (Mengkudu) yang dielisitasi menggunakan Sacharomyces cerevisiae untuk memproduksi senyawa bioaktif kuinon. Sutini et

0,06 3,05 1,64 3,39 4,52 10,98 0,00 2,00 4,00 6,00 8,00 10,00 12,00

KJT Kalus Batang Akar Daun BWA65

P e n gh a m b a ta n (% ) Sampel

al. (2008) juga menggunakan kultur kalus Camellia sinensis untuk memproduksi senyawa bioaktif flavonoid, flavan-3-ol suatu metabolit sekunder yang terdapat dalam daun teh muda yang yang memiliki khasiat sebagai antiobesitas dan antioksidan. Adanya aktivitas inhibitor α-glukosidase pada kultur kalus tanaman Tinospora belum pernah dilaporkan sebelumnya. Kultur kalus tanaman Tinospora cordifolia dilaporkan memiliki aktifitas antimikrob terhadap Eschericia coli dan Staphylococcus aureus (Khalilsaraie et al. 2011).

Karakterisasi Morfologi dan Identifikasi Isolat BWA65

Dalam penelitian ini digunakan tiga jenis media untuk melihat karakteristik kultur isolat BWA65 yaitu: Yeast Extract Malt Extract Agar (YMA), Yeast Extract Soluble Starch Agar (YSA) dan Oatmeal Agar (OA). Hasil penelitian menunjukkan bahwa isolat BWA65 memiliki pertumbuhan yang baik pada media YSA dan OA, dan pertumbuhan moderat pada media YMA. Pada semua media, isolat BWA65 menghasilkan miselium aerial berwarna putih. Miselium substrat isolat BWA65 berwarna coklat apabila ditumbuhkan pada media OA dan coklat tua apabila ditumbuhkan pada media YSA maupun YMA. Isolat BWA65 ini juga memproduksi pigmen terlarut (soluble pigment) berwarna coklat tua pada media YSA dan merah muda pada media OA (Tabel 7).

Tabel 7 Karakteristik kultur isolat BWA65 pada berbagai media (7 hari inkubasi pada suhu ruang)

Karakteristik Kultur Media

YMA YSA OA pertumbuhan moderat baik baik miselium aerial putih putih putih miselium substrat coklat tua coklat tua coklat pigmen terlarut tidak ada coklat merah muda

Pengamatan morfologi isolat BWA65 di bawah mikroskop cahaya dengan perbesaran 400x menunjukkan adanya rantai spora berbentuk spiral. Susunan rantai spora berbentuk spiral ini merupakan karakter yang khas untuk Streptomyces. Pengujian lebih lanjut dengan menggunakan mikroskop elektron SEM menunjukkan bahwa isolat BWA65 memiliki hifa udara yang tidak

bercabang (unbranched aerial hyphae) serta rantai spora spiral dengan spora berbentuk silinder dan permukaannya halus (Gambar 7).

Gambar 7 Morfologi isolat aktinomiset endofit BWA65 yang ditumbuhkan pada media Oatmeal Agar umur 7 hari (A), dilihat dengan mikroskop cahaya (400x) (B) dan SEM (10,000x) (C), tanda panah menunjukkan rantai spora.

Identifikasi Isolat Aktinomiset

Hasil identifikasi molekuler menggunakan sekuen parsial 16S rDNA menunjukkan bahwa BWA65 memiliki kesamaan paling tinggi dengan Streptomyces olivochromogenes dengan tingkat kemiripan 92%. Berdasarkan studi sebelumnya, S. olivochromogenes dikenal untuk menghasilkan senyawa aktif seperti: glukosa isomerase, xilosa isomerase dan fosfolipase (Azin et al.1997; Simkada et al. 2009). Sampai sekarang, belum ada laporan tentang inhibitor α-glukosidase yang dihasilkan oleh S. olivochromogenes. Identifikasi ulang isolat BWA65 dengan sekuen gen 16S rRNA yang lebih lengkap dilakukan untuk meyakinkan hasil identifikasi ini. Hasil identifikasi menggunakan sekuen 16S rDNA yang lebih lengkap sepanjang sekitar 1343 pasang basa menunjukkan bahwa BWA65 memiliki kesamaan 98% dengan Streptomyces diastaticus. Berdasarkan studi sebelumnya, S. diastaticus dikenal dapat menghasilkan senyawa aktif seperti: L-arabinofuranosidase (Tajana et al. 1992) dan antibiotik makrolida poliene (Seco et al. 2005). Hingga saat ini juga belum ada laporan tentang inhibitor α-glukosidase yang dihasilkan oleh S. diastaticus. Berdasarkan hal tersebut, kemungkinan besar isolat BWA65 merupakan jenis baru penghasil inhibitor α-glukosidase. Pohon filogenetik isolat aktinomiset endofit BWA65 berdasarkan sekuen 16S rDNA dapat dilihat pada Gambar 8.

C

Pohon filogenetik tersebut terlihat jelas bahwa isolat BWA65 memiliki kekerabatan paling dekat dengan S. diastaticus. Isolat BWA65 berada satu grup dengan beberapa Streptomyces lainnya seperti S. coeliflavus, S. olivochromogenes dan S. abikoensis. S. coeliflavus dikenal mampu menghaslkan senyawa inhibitor alfa amilase dan S. abikoensis dilaporkan dapat menghasilkan senyawa inhibitor α-glukosidase. Pada gambar pohon filogenetik tersebut juga dapat dilihat dua jenis aktinomiset non Streptomyces yaitu Actinoplanes dan Saccarothrix espanaensis. Kedua jenis anggota aktinomiset non Streptomyces ini dikenal juga dapat menghasilkan senyawa inhibitor α-glukosidase (Hyun et al. 2005). Sebagai outer group pada gambar pohon filogenetik tersebut terdapat spesies Bacillus subtilis yang merupakan wakil dari bakteri Gram positif non aktinomiset.

Deteksi Gen Sedoheptulosa- 7- Fosfat Siklase

Ketersediaan gen penyandi biosintesis senyawa inhibitor α-glukosidase akan memudahkan untuk mengembangkan primer dan probe yang dapat digunakan untuk mendeteksi adanya organisme penghasil senyawa inhibitor α- glukosidase. Hyun et al. (2005) telah berhasil membuat primer untuk gen penyandi inhibitor α-glukosidase pada aktinomiset berdasarkan sekuen gen yang telah diketahui. Oleh karena itu, deteksi gen penyandi senyawa inhibitor α- glukosidase pada aktinomiset akan menjadi lebih mudah. Primer yang spesifik dapat membantu mempercepat pencarian galur-galur aktinomiset penghasil senyawa inhibitor α-glukosidase. Pendekatan yang dapat dilakukan untuk mendeteksi adanya gen penyandi inhibitor α-glukosidase pada aktinomiset BWA65 adalah dengan menggunakan primer spesifik yang telah dikenal tersebut. Dengan cara ini akan dapat diketahui apakah isolat aktinomiset BWA65 mempunyai gen penyandi biosintesis senyawa inhibitor α-glukosidase yang mirip dengan acarbose, validamisin dan lainnya yang jalur biosintesisnya melibatkan senyawa sedoheptulosa-7-fosfat. Dengan cara ini juga dapat ditemukan dengan cepat aktinomiset yang mempunyai gen penyandi senyawa inhibitor α- glukosidase tersebut atau tidak. Jika deteksi gen tidak menunjukkan hasil positif maka senyawa inhibitor α-glukosidase tersebut kemungkinan merupakan senyawa baru dan belum diketahui jalur biosintesisnya.

Hasil amplifikasi gen penyandi sedoheptulosa-7-fosfat siklase menggunakan primer VOG-R dan VOG-R setelah divisualisasi menggunakan gel agarosa 1% seperti tertera pada Gambar 9. Fragmen DNA target berukuran sekitar 540 pasang basa tampak terlihat jelas pada hasil amplifikasi menggunakan PCR yang divisualisasi pada gel agarosa. Fragmen DNA berukuran 540 pasang basa ini kemudian dipurifikasi untuk kemudian disekuen dan hasilnya dianalisis menggunakan BLASTX pada situs NCBI. Hasil analisis BLASTX dari hasil sekuen terhadap urutan asam amino yang terdapat pada bank data NCBI menunjukkan kemiripan paling besar terhadap protein histidin kinase pada Streptomyces violaceusniger (No akses YP-004812094.1) (Tabel 8) dan bukan sebagai protein sedoheptulosa-7-fosfat siklase.

Gambar 9 Hasil amplifikasi PCR menggunakan primer VOG-F dan VOG-R (lajur 1,2 kontrol positif; 3,4,5 isolat BWA 65; M marker; 6,7 kontrol negatif. Histidin kinase sendiri merupakan protein kelas transferase yang biasanya berupa protein transmembran yang berperan dalam transduksi sinyal melintasi membran selular. Sebagian besar histidin kinase merupakan homodimer yang memiliki kemampuan autokinase, fosfotransfer dan aktivitas fosfatase. Molekul histidin kinase biasanya memiliki bagian reseptor di bagian luar sel (domain ekstraseluler), bagian yang melintasi membran sel (domain transmembran), dan bagian dalam sel (domain intraseluler) yang mengandung aktivitas enzimatik. Selain aktivitas kinase, domain-domain intraseluler biasanya memiliki wilayah yang mengikat ke molekul efektor sekunder atau kompleks molekul yang lebih lanjut menyebarkan transduksi sinyal dalam sel. Histidin kinase memainkan peran utama dalam transduksi sinyal di prokariot untuk adaptasi selular terhadap kondisi lingkungan dan cekaman (Dutta et al. 1999)

Analisis gen penyandi sedoheptulosa-7-fosfat siklase pada penelitian ini belum sesuai dengan hasil yang diharapkan karena fragmen DNA yang didapat menggunakan primer VOG-F dan VOG-R memiliki kemiripan yang lebih besar terhadap gen-gen bukan penyandi sedoheptulosa-7-fosfat siklase. Primer VOG-F dan VOG-R pada awalnya dipilih karena primer ini telah digunakan oleh peneliti sebelumnya untuk mendeteksi adanya gen penyandi sedoheptulosa-7-fosfat siklase pada aktinomiset (Hyun et al. 2005). Ketidaksesuaian hasil ini

kemungkinan besar disebabkan karena primer tersebut tidak menempel secara spesifik hanya pada gen sedoheptulosa-7-fosfat siklase, tetapi juga dapat menempel pada gen lain yang ujungnya memiliki urutan basa yang komplemen dengan sebagian urutan basa pada primer VOG-F dan VOG-R, misalnya gen histidin kinase tersebut. Ketidak spesifikan ini berhasil dibuktikan oleh Velina (2012, unpublished) yang berhasil mendesain ulang primer untuk mengamplifikasi gen sedoheptulosa-7-fosfat siklase pada isolat BWA65 ini. Primer dengan urutan basa Forward: 5’-ACCTACGAGGTGCGCTTCCGG- GACGACGT-3’ dan Reverse : 5’-GGCGGCCTGCAGCTCGGCGGCCGTCA- CGT-3’. Hasil amplifikasi menggunakan primer tersebut diperoleh amplikon berukuran sekitar 300 pasang basa. Fragmen DNA yang diperoleh kemudian dikloning ke plasmid pMD20 dan kemudian disekuen. Hasil analis sekuen fragmen DNA hasil amplifikasi tersebut menunjukkan kemiripan 100% dengan sedoheptulosa-7-fosfat siklase pada Actinoplanes SE50/100. Terdeteksinya gen penyandi sedoheptulosa-7-fosfat siklase pada isolat BWA65 ini memberikan informasi terdapatnya jalur biosintesis senyawa inhibitor α-glukosidase yang mirip dengan jalur biosintesis acarbose pada isolat BWA65.

Tabel 8 Hasil analisis sekuen DNA hasil amplifikasi gen penyandi sedoheptulosa- 7-fosfat siklase isolat BWA65 menggunakan program BLASTX

No akses Homologi Tingkat kemiripan

YP-004812094.1 GAF sensor hybrid histidine kinase pada

Streptomyces violaceusniger Tu 4113

92%

ZP_07294440.1 Sensor histidine kinase/respone regulator pada Streptomyces himastatinicus ATCC 53653)

89%

AD106478.1 Two-component system sensor kinase pada Streptomyces bingchenggensis

BCW-1

83%

Ekstraksi Senyawa Inhibitor α-Glukosidase

Pelarut terbaik yang digunakan untuk ekstraksi senyawa inhibitor dari kultur BWA65 diperoleh dengan cara melakukan percobaan pendahuluan dengan menggunakan berbagai macam pelarut yaitu; kloroform, etil asetat, metanol, etanol dan butanol. Hasil ekstraksi dengan berbagai macam pelarut tersebut disajikan pada Tabel 9. Hasil percobaan menunjukkan penggunaan etil

asetat memberikan hasil terbaik diantara pelarut lainnya dengan rendemen ekstrak 0.03%, diikuti dengan pelarut etanol, metanol, butanol dan kloroform . Etil asetat selanjutnya digunakan untuk keperluan ekstraksi senyawa inhibitor α- glukosidase dari kultur aktinomiset endofit BWA65.

Tabel 9 Hasil ekstraksi senyawa inhibitor dengan berbagai pelarut

Pelarut Rendemen (%) kloroform 0.0100 etil asetat 0.0300 metanol 0.0260 etanol 0.0299 butanol 0.0243

Uji Aktivitas Inhibitor α-glukosidase Hasil Ekstraksi dengan Berbagai Pelarut. Ekstrak kultur BWA 65 selanjutnya diuji aktivitas penghambatannya terhadap enzim α-glukosidase. Pada pengujian ini enzim α-glukosidase menghidrolisis substrat p-nitrophenyl α-D-glucopyranoside menjadi p-nitrophenol yang berwarna kuning dan glukosa. Aktivitas enzim diukur berdasarkan absorbansi p-nitrophenol yang berwarna kuning. Dengan adanya ekstrak kultur BWA65 yang berperan sebagai inhibitor α-glukosidase maka p-nitrophenol yang dihasilkan akan berkurang yang ditandai oleh berkurangnya intensitas warna kuning. Aktivitas penghambatan α-glukosidase berbagai ekstrak kultur BWA65 dapat dilihat pada Tabel 10.

Hasil pengujian tersebut dapat dilihat aktivitas inhibitor kultur BWA65 yang diekstrak dengan berbagai macam pelarut. Ekstrak etil asetat memberikan aktivitas penghambatan paling tinggi dibandingkan dengan ekstrak lainnya. Pada konsentrasi 1000 μg/ml ekstrak etil asetat memberikan penghambatan sebesar 77.77%, diikuti ekstrak butanol, metanol, kloroform dan etanol dengan nilai penghambatan sebesar 75.98%, 69.94%, 69.51% dan 68.05%. Semakin rendah konsentrasi ekstrak menghasilkan penghambatan yang semakin rendah pula terhadap aktivitas enzim α-glukosidase. Berdasarkan hasil uji pendahuluan bahwa penggunaan etil asetat menghasilkan rendemen ekstrak tertinggi dan aktivitas inhibitor α-glukosidase tertinggi dibanding pelarut lainnya, serta senyawa etil asetat diketahui tidak bersifat toksik, maka untuk keperluan ekstraksi selanjutnya dipilih senyawa etil asetat.

Tabel 10 Aktivitas inhibitor α-glukosidase berbagai ekstrak kultur aktinomiset BWA65

Konsentrasi μg/ml

Penghambatan ekstrak (%)

etil asetat kloroform butanol metanol etanol 1000 77.77 69.51 75.98 69.94 68.05

500 71.80 64.80 66.99 66.03 59.92 250 65.59 58.59 60.15 64.23 59.92 125 61.75 54.25 58.20 59.06 52.22 62.5 56.20 52.46 55.74 41.31 44.92

Penggunaan etil asetat untuk mengekstrak senyawa bioaktif khususnya senyawa inhibitor α-glukosidase telah dilakukan oleh beberapa peneliti sebelumnya. Xu et al. (2005) melakukan ekstraksi tanaman Glycyrrhiza uralensis dengan beberapa jenis pelarut. Hasil pengujian ekstrak menunjukkan bahwa ekstrak etil asetat dari tanaman tersebut menghasilkan hambatan terhadap α- glukosidase tertinggi sebesar 83.2% dibanding dengan ekstrak dari pelarut yang lain. Wu et al. (2009) juga melaporkan telah mengekstrak tanaman Crossostephium chinense dengan etil asetat untuk mendapatkan senyawa inhibitor α-glukosidase. Hasil fraksinasi dari ekstrak etil asetat tersebut akhirnya diperoleh senyawa scopoletin, tanacetin, hispidulin, quercetagetin, celagin yang menunjukkan aktivitas penghambatan yang kuat terhadap enzim α-glukosidase secara in vitro.

Pada penelitian ini ditentukan juga nilai IC50 masing-masing ekstrak yaitu nilai yang menunjukkan konsentrasi ekstrak yang menyebabkan penghambatan sebesar 50% terhadap aktivitas enzim α-glukosidase yang diuji. Semakin kecil nilai IC50 berarti semakin kuat daya hambat senyawa inhibitor terhadap enzim α- glukosidase tersebut. Nilai ini didapat dengan cara menguji aktifitas penghambatan suatu ekstrak pada berbagai macam konsentrasi. Setelah didapat nilai penghambatan dari masing-masing konsentrasi ekstrak, selanjutnya dibuat persamaan garis yang merupakan fungsi dari konsentrasi ekstrak dan besaran penghambatan yang dihasilkan. Nilai-nilai konsentrasi ekstrak sebagai absis

Dokumen terkait