• Tidak ada hasil yang ditemukan

B. TAHAP PENELITIAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. PEMBUATAN MIE BASAH MATANG DALAM SKALA LABORATORIUM

Pembuatan mie basah matang pertama kali dilakukan menggunakan formula Anonim (2003) dan formula Bogasari (2005). Mie yang dihasilkan kemudian dibandingkan dari segi karakteristik fisiknya, meliputi warna, tekstur dan elastisitas. Berdasarkan hasil pengamatan, mie basah matang yang dibuat dengan dua fomula tersebut menghasilkan karakteristik fisik yang berbeda, seperti yang disajikan dalam Tabel 6. Mie dengan formula Bogasari (2005) mempunyai warna yang lebih kuning dibandingkan dengan mie dengan formula Anonim (2003). Warna kuning ini berasal dari pigmen flavonoid yang terdapat pada tepung. Pigmen warna ini akan terlepas dari pati pada kondisi alkali (Kruger et al., 1996; Hatcher, 2001). Semakin tinggi pH maka pigmen flavonoid yang terlepas semakin banyak, sehingga warna yang dihasilkan semakin kuning.

Tabel 6. Karakteristik fisik mie basah matang yang dihasilkan dari dua formula

Formula Warnaa) Teksturb) Elastisitasc)

Anonim (2003) dengan CMC ++ ++ +

Bogasari (2005) tanpa CMC + + ++

Keterangan :

a. + : kuning b. + : kenyal c. + : elastis

++ : agak kuning ++ : agak kenyal ++ : agak elastis

+++ : putih kekuningan +++ : lembek +++ : rapuh

Dari Tabel 6. dapat dilihat bahwa penambahan CMC ternyata tidak berpengaruh nyata terhadap tekstur mie. Tekstur mie yang kenyal dihasilkan dari formula Bogasari (2005) yang konsentrasi garam alkalinya lebih tinggi dibandingkan formula Anonim (2003), seperti yang tercantum dalam Tabel 3. Selain dapat meningkatkan pH, garam alkali juga dapat meningkatkan kekenyalan dan kehalusan tekstur mie (Badrudin, 1994). Penambahan CMC dilakukan dengan tujuan untuk mempercepat pengembangan adonan

(Sunaryo, 1985). Namun demikian, mie yang ditambahkan CMC mempunyai karakteristik fisik yanng lebih elastisitas dibandingkan mie tanpa CMC. Berdasarkan hasil ini maka dapat diketahui bahwa mie yang dibuat dengan formula Bogasari (2005) (tanpa CMC) lebih baik dari segi warna dan teksturnya dibandingkan mie dengan formula Anonim (2003) (dengan CMC). Oleh karena itu, pembuatan mie basah matang selanjutnya dilakukan dengan menggunakan formula Bogasari (2005). Selain warna dan tekstur yang dihasilkan lebih baik, secara umum para produsen mie basah tidak menggunakan CMC karena harga CMC yang cukup mahal akan berkontribusi terhadap biaya produksi.

Berdasarkan hasil pengamatan sebelumnya (Tabel 6) diketahui bahwa warna dan tekstur mie basah matang dipengaruhi oleh adanya garam alkali yang dicampurkan pada adonan mie. Oleh karena itu, pada tahap selanjutnya dilakukan pembuatan mie basah matang menggunakan beberapa jenis garam alkali yang biasa digunakan pada pembuatan mie. Garam alkali yang digunakan adalah Na2CO3, K2CO3 dan NaOH. Konsentrasi masing-masing

garam alkali disesuaikan dengan konsentrasi yang biasa digunakan pada pembuatan mie secara umum. Natrium karbonat (Na2CO3) digunakan pada

pembuatan Chinese wet noodle dan pada pembuatan mie basah secara umum di Indonesia dengan konsentrasi 0,6% dari berat tepung terigu (Bogasari, 2005). Kalium karbonat (K2CO3) digunakan pada pembuatan Chukamen

noodle dengan konsentrasi 0,6% dari berat adonan, sedangkan natrium

hidroksida (NaOH) digunakan pada pembuatan Hokkien noodle dengan konsentrasi 0,5% dari berat adonan (Hou dan Kruk, 1998). Agar hasilnya dapat dibandingkan, maka semua garam alkali dihitung berdasarkan berat tepung terigu dengan persentase tetap.

Mie basah mentah sangat rentan terhadap reaksi pencoklatan enzimatis, sedangkan mie basah matang relatif lebih tahan. Hal ini disebabkan enzim polifenol-oksidase (PPO) telah diinaktifkan selama perebusan. Mie basah mentah yang masih segar berwarna kekuningan. Warna mie basah matang di pasaran lebih dipengaruhi oleh pewarna buatan. Dalam penelitian ini, mie dibuat tanpa penambahan pewarna buatan. Namun demikian, dengan

adanya penambahan minyak sawit menjadikan warna mie basah matang berbeda dengan warna mie basah mentah. Oleh karena itu, dilakukan pula perlakuan penambahan minyak sawit pada saat perebusan dan setelah perebusan untuk memperoleh warna mie basah matang yang lebih bagus.

Pengukuran karakteristik fisik mie basah matang dilakukan secara subyektif. Penilaian secara subyektif sangat tergantung pada interpretasi masing-masing panelis terhadap suatu produk. Namun demikian, secara keseluruhan dapat diketahui perbedaan antar sampel mie basah matang. Pada pengamatan subyektif ini digunakan tiga orang panelis tetap. Hal ini dilakukan untuk menghindari perbedaan interpretasi yang besar antar sampel yang sejenis. Hasil penilaian mie basah matang dengan perlakuan penambahan garam alkali dan minyak sawit disajikan pada Tabel 7.

Tabel 7. Perlakuan penambahan garam alkali dan minyak sawit terhadap karakteristik fisik mie basah matang

Penambahan garam alkali

Pemberian

minyak sawit Warna

a) Teksturb) Elastisitasc) Na2CO3 0,6% Saat perebusan + + + Setelah perebusan + + + K2CO3 0,6% Saat perebusan ++ + ++ Setelah perebusan ++ + ++ Na2CO3 0,3% + K2CO3 0,3% Saat perebusan ++ +++ + Setelah perebusan ++ ++ +

NaOH 0,5% Saat perebusan +++ +++ ++

Setelah perebusan +++ ++ ++

Keterangan :

a. + : kuning b. + : kenyal c. + : elastis

++ : agak kuning ++ : agak kenyal ++ : agak elastis

+++ : putih kekuningan +++ : lembek +++ : rapuh

Berdasarkan hasil pengamatan (Tabel 7) diketahui bahwa penambahan garam alkali sangat berpengaruh terhadap tekstur mie basah matang. Dari ketiga garam alkali yang ditambahkan, terlihat bahwa mie basah matang dengan tekstur yang kenyal dan elastis adalah yang ditambah Na2CO3. Mie

basah matang yang ditambah K2CO3 juga dapat meningkatkan tekstur mie

basah matang, tetapi tidak meningkatkan elastisitasnya. Begitupun halnya dengan penambahan kombinasi Na2CO3 dan K2CO3 (1 : 1) tidak begitu

berpengaruh terhadap tekstur mie basah matang, tetapi hanya berpengaruh terhadap elastisitasnya. Adapun penambahan NaOH tidak begitu berpengaruh baik terhadap tekstur maupun elastisitas mie basah matang.

Pemberian minyak sawit pada saat perebusan dan setelah perebusan tidak begitu berpengaruh terhadap warna mie basah matang. Dari Tabel 7 terlihat bahwa pemberian minyak sawit hanya berpengaruh nyata pada mie basah matang yang ditambah Na2CO3, sedangkan yang paling tidak

berpengaruh adalah pada mie basah matang yang ditambah NaOH baik pada saat perebusan maupun setelah perebusan.

Selanjutnya dari keempat sampel tersebut dipilih sampel yang terbaik, yaitu mie basah matang yang ditambah Na2CO3 dengan pemberian minyak

sawit setelah perebusan (Tabel 7). Sampel yang terbaik ini digunakan dalam pembuatan mie berikutnya, yaitu perlakuan perebusan dan pengukusan dengan pemberian minyak sawit setelah pemasakan (perebusan/pengukusan). Perbedaan perlakuan pemasakan mie ini dilakukan untuk membandingkan perlakuan yang lebih baik antara perebusan dan pengukusan dengan membandingkan warna, tekstur, dan elastisitasnya. Pada pembuatan mie basah matang ini dilakukan juga penaburan (dusting) dengan tapioka setelah pengukusan sebagai pengganti minyak sawit. Tujuannya sama yaitu untuk memperoleh mie basah matang yang lebih bagus dari segi penampakan, tekstur, elastisitas dan warnanya. Lamanya pengukusan 15 menit.

Tabel 8. Pengaruh beberapa perlakuan terhadap karakteristik fisik mie basah matang

Perlakuan Warnaa) Teksturb) Elastisitasc)

Rebus minyak sawit + ++ +

Kukus minyak sawit + + +

Kukus dusting dengan tapioka ++ + ++

Keterangan :

a. + : kuning b. + : kenyal c. + : elastis

++ : agak kuning ++ : agak kenyal ++ : agak elastis

+++ : putih kekuningan +++ : lembek +++ : rapuh

Berdasarkan hasil pengamatan (Tabel 8) terlihat bahwa mie basah matang yang dimasak dengan pengukusan dan diberi (dilumuri) minyak sawit setelah pengukusan mempunyai warna yang kuning, tekstur yang kenyal dan

agak elastis. Menurut Prangdimurti (1991), pada proses pengukusan terjadi gelatinisasi pati dan koagulasi gluten sehingga dengan terjadinya dehidrasi air dari gluten akan menyebabkan mie menjadi kenyal. Hal ini disebabkan putusnya ikatan hidrogen, sehingga rantai ikatan kompleks pati-gluten lebih rapat. Pada waktu sebelum dikukus ikatan bersifat lunak dan fleksibel, tetapi setelah dikukus menjadi keras dan kuat.

Mie yang dikukus dan ditaburi tapioka mempunyai tekstur yang sama dengan mie yang dikukus dan dilumuri minyak sawit, tetapi dari segi penampakan terlihat kusam dan lengket serta tercium bau tapioka. Mie yang dimasak dengan perebusan dan dilumuri minyak sawit setelah perebusan juga mempunyai karakteristik fisik yang sama, tetapi dari segi penampakan mie basah matang yang dikukus terlihat lebih padat dan tidak terlalu lengket.

Perlakuan pengukusan dengan pelumuran minyak sawit (Tabel 8) merupakan perlakuan pemasakan yang dipilih karena mie basah matang yang dihasilkan mempunyai karakteristik fisik dan penampakan yang lebih bagus dibandingkan kedua perlakuan lainnya. Selanjutnya dilakukan pembuatan mie basah matang dengan waktu pengukusan yang berbeda, yaitu 5, 10, 15, dan 20 menit. Pengaruh waktu pengukusan terhadap karakteristik fisik mie basah matang disajikan dalam Tabel 9.

Tabel 9. Pengaruh waktu pengukusan terhadap karakteristik fisik mie basah matang Waktu pengukusan (menit) Warna a) Teksturb) Elastisitasc) 5 +++ + ++++ 10 ++ ++ ++ 15 + + ++ 20 ++++ + ++++ Keterangan :

a. + : kuning b. + : keras c. + : sangat elastis

++ : agak kuning ++ : kenyal ++ : elastis

+++ : putih kekuningan +++ : agak kenyal +++ : agak elastis ++++ : kuning kecoklatan ++++ : lembek ++++ : rapuh

Waktu pengukusan sangat berpengaruh terhadap karakteristik fisik mie yang dihasilkan, seperti terlihat dalam Tabel 9. Pengukusan selama 5 menit menghasilkan mie yang keras dan rapuh serta warna masih tetap sama dengan

warna mie mentahnya. Hal ini terjadi karena mie hanya mengalami gelatinisasi pati pada permukaannya saja, sehingga hanya memberikan kelembutan mie. Begitu pula pada pengukusan selama 20 menit, tekstur mie keras dan rapuh dengan warna kecoklatan. Pada pengukusan selama 10 dan 15 menit, mie yang dihasilkan hampir sama. Pengukusan selama 10 menit menghasilkan mie yang kenyal dengan sedikit elastis serta warna yang putih kekuningan, sedangkan pemasakan selama 15 menit menghasilkan mie yang kenyal, elastis dan berwarna agak kuning.

Berdasarkan hasil pengamatan (Tabel 9) secara subyektif terhadap keempat sampel mie dengan waktu pengukusan yang berbeda, diketahui bahwa waktu pengukusan 15 menit menghasilkan mie yang lebih baik dibandingkan waktu pengukusan 5, 10, dan 20 menit. Oleh karena itu, pembuatan mie basah matang dengan penambahan pengawet dilakukan dengan perlakuan pengukusan selama 15 menit dan dilumuri minyak sawit. Setelah didapatkan pengawet yang terbaik, maka dilakukan reduksi waktu pengukusan untuk mempercepat proses pemasakan, tetapi tidak merubah karakteristik fisiknya.

B. APLIKASI BAHAN PENGAWET PADA MIE BASAH MATANG

Dokumen terkait