• Tidak ada hasil yang ditemukan

C. PENGARUH BAHAN PENGAWET TERHADAP MUTU MIE

3. Mutu Mikrobiologi

Mutu mikrobiologi mie basah matang mengacu pada Standar Nasional Indonesia (SNI) untuk mie basah, yang meliputi Total Plate

Count (TPC), total kapang dan kandungan E. coli. Hasil analisis TPC

dapat dilihat pada Gambar 10., sedangkan hasil analisis total kapang disajikan pada Gambar 11.

4.9 6.86 7.04 4.54 6.11 6.53 6.76 3.36 3.74 5.32 5.67 6.34 5.75 4.57 3.97 3.51 7.26 5.36 3.91 3.72 3.43 3.98 3.08 3.89 4.08 4.98 5.82 0.00 1.00 2.00 3.00 4.00 5.00 6.00 7.00 8.00 0 6 12 18 24 30 36 42 48 Waktu (jam ) Log C FU /g Mie Kontrol

Mie basah matang dengan pengaw et Metil-Paraben 0,05% + Ca-Propionat 0,075 % + Na-Asetat 2,5 %

Mie basah matang dengan pengaw et Monolaurin 0,25% + Metil-Paraben 0,025 % + Ca-Propionat 0,075% + Na-Asetat 2,5 %

Gambar 10. Grafik total plate count (TPC) mie basah matang selama penyimpanan

Pada SNI disebutkan standar TPC untuk mie basah maksimal sebesar 1,0 x 106 cfu/g (log TPC = 6), kapang 1,0 x 104 cfu/g (log kapang = 4) dan E. coli sebesar 10 MPN/g. Mie basah matang kontrol sudah dinyatakan rusak menurut SNI pada jam ke-30 karena pada jam tersebut nilai log TPC mie basah matang kontrol sebesar 6,34 (Gambar 10), nilai log kapang sebesar 3,38 (Gambar 11) dan kandungan E. coli adalah 0.

2.49 3.73 4.04 0 1.9 2.15 2.4 0 0 0 0 4.36 1.00 1.32 1.81 3.2 3.38 0 0 0 0 1.11 0 0 0 0 0 0.00 0.50 1.00 1.50 2.00 2.50 3.00 3.50 4.00 4.50 5.00 0 6 12 18 24 30 36 42 48 Waktu (jam ) L o g CF U/ g Mie Kontrol

Mie basah matang dengan pengaw et Metil-Paraben 0,05% + Ca-Propionat 0,075 % + Na-Asetat 2,5 %

Mie basah matang dengan pengaw et Monolaurin 0,25% + Metil-Paraben 0,025 % + Ca-Propionat 0,075% + Na-Asetat 2,5 %

Gambar 11. Grafik total kapang mie basah matang selama penyimpanan

Penambahan pengawet yang dilakukan cukup efektif dalam menghambat pertumbuhan mikroorganisme, terutama kapang. Hal ini terlihat pada mie dengan pengawet Metil-Paraben 0,05% + Ca-Propionat 0,075% + Na-Asetat 2,5% tidak ada pertumbuhan kapang sampai jam ke- 24, sedangkan mie dengan pengawet Monolaurin 0,25% + Metil-Paraben 0,025% + Ca-Propionat 0,075% + Na-Asetat 2,5% tidak ada pertumbuhan kapang sampai jam ke-48. Penambahan Monolaurin 0,25% ternyata dapat meningkatkan penghambatan terhadap pertumbuhan kapang. Kondisi sanitasi pada proses pembuatan mie juga cukup baik. Hal ini terlihat dari tidak adanya kandungan bakteri E. coli pada mie.

4. Mutu Organoleptik

Mutu organoleptik adalah mutu suatu produk berdasarkan kepekaan alat indera manusia, yaitu indera penglihatan, penciuman, pencicipan, perabaan dan pendengaran. Untuk mengetahui mutu organoleptik suatu produk pangan maka dilakukan uji organoleptik. Uji

organoleptik sangat beragam tergantung pada tujuannya. Pada penelitian ini dilakukan uji skalar garis untuk mengetahui penurunan kualitas mie basah matang menggunakan delapan orang panelis terlatih. Parameter yang diamati adalah bau tepung, bau asam, warna, brightness, tekstur, dan adanya lendir.

a. Bau tepung

Pengujian terhadap bau tepung dilakukan sebagai indikator adanya perubahan bau pada mie. Selama penyimpanan, akan terjadi pertumbuhan mikroorganisme pada mie basah matang yang dapat menyebabkan timbulnya perubahan aroma. Oleh karena itu pengujian terhadap adanya bau tepung pada mie perlu dilakukan. Respon panelis terhadap adanya bau tepung pada sampel yang diuji disajikan pada Gambar 12. 7.37 6.95 5.61 5.15 4.2 3.64 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 A B Sam pel Sk o r 0 jam 24 jam 48 jam Keterangan :

A : Mie basah matang dengan pengawet Metil-Paraben 0,05% + Ca-Propionat 0,075% + Na-Asetat 2,5%

B : Mie basah matang dengan pengawet Monolaurin 0,25% + Metil-Paraben 0,025% + Ca-Propionat 0,075% + Na-Asetat 2,5%

Gambar 12. Histogram uji skalar garis terhadap bau tepung mie basah matang selama penyimpanan

Dari Gambar 12. diketahui bahwa penambahan pengawet tidak berpengaruh terhadap aroma mie basah matang. Berdasarkan hasil pengamatan, sampel A mengalami penurunan intensitas bau tepung dan perbedaan bau tepung jam ke-0 dan jam ke-48 cukup signifikan (Lampiran 26). Begitupun halnya dengan sampel B yang mengalami penurunan intensitas bau tepung yang cukup signifikan (Lampiran 27). Berdasarkan analisis ragam dapat disimpukan bahwa masing-masing sampel mempunyai intensitas bau tepung yang berbeda nyata antara jam ke-0 sampai jam ke-48 (p<0,05).

Terciumnya bau tepung pada awal penyimpanan disebabkan perlakuan pengukusan tidak menghilangkan semua senyawa volatil pembentuk aroma tepung terigu. Senyawa volatil ini akan menguap dan mungkin juga tertutupi oleh aroma asam yang terbentuk selama penyimpanan akibat aktivitas mikroorganisme, sehingga intensitasnya menurun.

5. Bau asam

Pengujian terhadap bau asam dilakukan untuk mengetahui adanya pertumbuhan mikroorganisme pembentuk asam pada mie basah matang. Menurut Fardiaz (1992), jika tumbuh pada bahan pangan, bakteri dapat menyebabkan berbagai perubahan pada penampakan maupun komposisi kimia dan cita rasa bahan pengan tersebut, antara lain pembentukan bau asam.

Respon panelis terhadap bau asam sampel mie basah matang yang diuji disajikan pada Gambar 13. Berdasarkan hasil uji, sampel A dan Sampel B mengalami peningkatan bau asam yang dideteksi panelis selama penyimpanan. Hal ini sesuai dengan hasil pengukuran pH (Gambar 8) dan TAT (Gambar 9), yaitu dengan terbentuknya asam akan menurunkan pH dan meningkatkan TAT. Pada Sampel A jam ke- 0, panelis memberikan skor 1,21 dan meningkat menjadi 3,51 pada jam ke-48 dan peningkatannya cukup signifikan (Lampiran 28). Begitupun halnya dengan sampel B pada jam ke-0 panelis memberikan skor 1,19

1.21 1.19 2.65 2.13 3.51 2.66 0 0.5 1 1.5 2 2.5 3 3.5 4 A B Sam pel Sk o r 0 jam 24 jam 48 jam Keterangan :

A : Mie basah matang dengan pengawet Metil-Paraben 0,05% + Ca-Propionat 0,075 + Na-Asetat 2,5%

B : Mie basah matang dengan pengawet Monolaurin 0,25% + Metil-Paraben 0,025% + Ca-Propionat 0,075 + Na-Asetat 2,5%

Gambar 13. Histogram uji skalar garis terhadap bau asam mie basah matang selama penyimpanan

dan meningkat menjadi 2,66 pada jam ke-48 dan peningkatannya juga cukup signifikan (Lampiran 29). Dari hasil analisis ragam, dapat disimpulkan bahwa ada perbedaan intensitas bau asam yang nyata dari masing-masing sampel selama penyimpanan (p<0,05).

Pemberian skor yang kecil ini menunjukkan bahwa selama penyimpanan intensitas bau asam yang dideteksi panelis hanya sedikit. Dari hasil ini terlihat bahwa intensitas bau asam sampel B lebih kecil daripada sampel A atau dapat dikatakan penambahan pengawet pada sampel B lebih efektif daripada pengawet pada sampel A.

3. Warna

Warna mie basah matang tidak mengalami perubahan karena enzim polifenoloksidase menjadi inaktif akibat pemasakan. Walaupun demikian, mie basah matang mengalami peningkatan kecerahan selama penyimpanan. Peningkatan kecerahan ini akan berpengaruh

terhadap penampakkan mie, sehingga panelis menganggap ada peningkatan intensitas warna. Hasil uji organoleptik terhadap warna mie basah matang disajikan pada Gambar 14.

6.16 8.46 7.32 8.65 8.34 9.84 0 2 4 6 8 10 12 A B Sam pel Sk o r 0 jam 24 jam 48 jam Keterangan :

A : Mie basah matang dengan pengawet Metil-Paraben 0,05% + Ca-Propionat 0,075 + Na-Asetat 2,5%

B : Mie basah matang dengan pengawet Monolaurin 0,25% + Metil-Paraben 0,025% + Ca-Propionat 0,075 + Na-Asetat 2,5%

Gambar 14. Histogram uji skalar garis terhadap warna mie basah matang selama penyimpanan

Dari Gambar 14., panelis menyatakan bahwa Sampel A mengalami peningkatan intensitas warna akibat peningkatan kecerahan selama penyimpanan. Begitupun halnya dengan Sampel B mengalami peningkatan intensitas warna selama penyimpanan. Hal ini sesuai dengan hasil pengukuran menggunakan chromameter bahwa mie mengalami peningkatan kecerahan selama penyimpanan (Tabel 12).

Berdasarkan hasil pengamatan (Gambar 14), sampel A mengalami peningkatan intensitas kecerahan yang cukup signifikan (Lampiran 30), begitupun halnya dengan sampel B yang mengalami peningkatan intensitas kecerahan, tetapi tidak signifikan (Lampiran

31). Berdasarkan analisis ragam tidak ada perbedaan warna yang nyata (p>0,05) dari masing-masing sampel selama penyimpanan.

4. Kecerahan (Brightness)

Kecerahan (brightness) merupakan parameter yang juga berpengaruh terhadap kualitas mie basah matang. Kecerahan secara umum akan mempengaruhi penampakan mie basah matang tersebut secara visual. Hasil respon panelis terhadap kecerahan mie basah matang yang diuji disajikan pada Gambar 15.

6.59 8.97 8.3 9.09 8.7 10.36 0 2 4 6 8 10 12 A B Sam pel Sk o r 0 jam 24 jam 48 jam Keterangan :

A : Mie basah matang dengan pengawet Metil-Paraben 0,05% + Ca-Propionat 0,075 + Na-Asetat 2,5%

B : Mie basah matang dengan pengawet Monolaurin 0,25% + Metil-Paraben 0,025% + Ca-Propionat 0,075 + Na-Asetat 2,5%

Gambar 15. Histogram uji skalar garis terhadap brightness mie basah matang selama penyimpanan

Dari Gambar 15., terlihat bahwa kecerahan Sampel A mengalami peningkatan selama penyimpanan. Demikian pula dengan Sampel B mengalami peningkatan kecerahan selama penyimpanan.

Berdasarkan hasil pengamatan (Gambar 15), diketahui bahwa sampel A mengalami peningkatan kecerahan yang cukup signifikan

(Lampiran 32) selama penyimpanan. Hasil ini sesuai dengan uji terhadap warna mie (Gambar 14) dengan skor yang relatif sama. Sampel B juga mengalami peningkatan kecerahan, tetapi tidak signifikan (Lampiran 33). Hasil ini juga sesuai dengan uji terhadap warna mie (Gambar 14) dengan skor yang relatif sama pula.

Hasil uji kecerhan ini juga sesuai dengan hasil pengukuran nilai L menggunakan chromameter (Tabel 13) yang menunjukkan adanya peningkatan kecerahan mie selama penyimpanan. Dari analisis ragam dapat disimpulkan bahwa ada perbedaan kecerahan yang nyata (p<0,05) dari masing-masing sampel mie selama penyimpanan. Berdasarkan hasil ini ternyata penambahan pengawet tidak berpengaruh terhadap kecerahan mie.

5. Tekstur

Tekstur merupakan salah satu parameter yang juga digunakan untuk mengukur kualitas mie basah matang. Adanya pertumbuhan bakteri heterotropik pada mie basah matang dapat menyebabkan perubahan tekstur mie tersebut. Bakteri tersebut dapat menggunakan protein, karbohidrat, lemak dan komponen makanan lainnya untuk pertumbuhannya (Fardiaz, 1992). Protein gluten mempunyai peranan yang penting dalam pembentukan tekstur mie, sehingga apabila ada pertumbuhan bakteri yang memecah protein maka kualitas tekstur mie menurun. Respon panelis terhadap tekstur mie basah yang diuji disajikan pada Gambar 16.

Berdasarkan hasil pengamatan dapat dilihat bahwa pada Sampel A terjadi penurunan tekstur selama penyimpanan. Begitupun halnya dengan Sampel B mengalami penurunan tekstur selama penyimpanan. Hal ini sesuai dengan hasil pengukuran menggunakan

texture analyzer bahwa mie mengalami penurunan tekstur selama

8.09 8.36 6.55 6.92 5.62 6.02 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 A B Sam pel Sk o r 0 jam 24 jam 48 jam Keterangan :

A : Mie basah matang dengan pengawet Metil-Paraben 0,05% + Ca-Propionat 0,075 + Na-Asetat 2,5%

B : Mie basah matang dengan pengawet Monolaurin 0,25% + Metil-Paraben 0,025% + Ca-Propionat 0,075 + Na-Asetat 2,5%

Gambar 16. Histogram uji skalar garis terhadap tekstur mie basah matang selama penyimpanan

Dari Gambar 16. terlihat bahwa sampel A dan sampel B pada awalnya mempunyai tekstur yang hampir sama. Hal ini tidak sesuai dengan hasil pengukuran (Tabel 14) yang disebabkan respon panelis yang beragam terhadap sampel. Sampel A mengalami penurunan tekstur yang cukup signifikan (Lampiran 34), begitupun halnya dengan sampel B (Lampiran 35). Berdasarkan analisis ragam, dapat disimpulkan bahwa tekstur sampel A dan B mengalami penurunan yang nyata (p<0,05) selama penyimpanan dan hal ini sesuai dengan hasil pengukuran menggunakan textureanalyzer (Tabel 14).

6. Adanya lendir

Adanya lendir pada mie basah matang menunjukkan aktivitas mikroorganisme telah terjadi pada mie tersebut. Pembentukan lendir menandakan adanya pertumbuhan bakteri dan diikuti dengan timbulnya bau asam (Hoseney, 1998).

Jumlah mikroba pada saat terbentuknya lendir berkisar antara 3,0 x 106 – 3,0 x 108 cfu/g (Frazier dan Westhoff, 1978). Lendir tersebut dibentuk oleh bakteri pembentuk kapsul. Menurut Fardiaz (1992), bakteri pembentuk kapsul jika tumbuh pada makanan menyebabkan makanan menjadi berlendir. Respon panelis terhadap adanya lendir pada sampel mie basah matang yang diuji disajikan pada Gambar 17. 0.38 0.27 1.77 0.79 3.1 1.99 0 0.5 1 1.5 2 2.5 3 3.5 A B Sam pel Sk o r 0 jam 24 jam 48 jam Keterangan :

A : Mie basah matang dengan pengawet Metil-Paraben 0,05% + Ca-Propionat 0,075 + Na-Asetat 2,5%

B : Mie basah matang dengan pengawet Monolaurin 0,25% + Metil-Paraben 0,025% + Ca-Propionat 0,075 + Na-Asetat 2,5%

Gambar 17. Histogram uji skalar garis terhadap adanya lendir mie basah matang selama penyimpanan

Dari hasil uji (Gambar 17) dapat dilihat bahwa panelis menyatakan adanya lendir sangat sedikit pada jam ke-0 sampai pada jam ke-48. Panelis untuk sampel A memberikan skor 0,38 pada jam ke-0 dan 3,1 pada jam ke-48, tetapi peningkatan skor ini tidak signifikan (Lampiran 36). Untuk Sampel B skor yang diberikan adalah 0,27 pada jam ke-0 dan 1,99 pada jam ke-48 dan peningkatan skor ini juga tidak signifikan (Lampiran 37). Hal ini disebabkan kecilnya skor yang diberikan yang menandakan selama penyimpanan hanya sedikit

lendir yang dapat dideteksi oleh panelis. Hasil ini sesuai dengan pengukuran terhadap kelengketan mie (Tabel 15) yang menunjukkan ada peningkatan lendir, tetapi jumlahnya sedikit. Dari analisis ragam diketahui bahwa tidak ada perbedaan jumlah lendir yang nyata (p>0,05) pada masing-masing sampel selama penyimpanan.

V. KESIMPULAN DAN SARAN

A. KESIMPULAN

Mie basah matang merupakan bahan pangan yang mempunyai nilai Aw dan kadar air yang cukup tinggi. Nilai Aw mie basah matang berada pada

kisaran 0,95-0,97, sedangkan kadar air mie basah matang berkisar antara 50 – 52 % (bb). Dengan kondisi tersebut, mie basah matang rentan terhadap serangan mikroorganisme yang akan menurunkan kualitas dan umur simpannya. Upaya untuk meningkatkan umur simpan dan mempertahankan kualitas mie basah matang tersebut mempunyai hambatan besar berupa tingginya nilai pH mie basah matang tersebut. Nilai pH mie basah matang berkisar antara 8 – 9. Jarang ditemukan pengawet kimia yang mempunyai aktivitas antimikroba pada kisaran pH tersebut.

Mie basah matang yang diproduksi dengan perlakuan pengukusan selama 13 menit yang diikuti pelumuran dengan minyak kelapa menghasilkan mie yang terbaik secara visual, dengan waktu pengukusan optimumnya antara 10 – 15 menit. Mie basah matang yang diproduksi menggunakan kombinasi pengawet Monolaurin 0,25% + Metil-paraben 0,025% + Ca-propionat 0,075 % + Na-asetat 2,5 % merupakan hasil terbaik yang diperoleh pada penelitian ini. Secara visual, pada jam ke-56 mie tersebut sudah dinyatakan rusak. Berdasarkan analisis mikrobiologis, pada jam ke-48 mie tersebut masih memenuhi standar nasional Indonesia dari nilai total plate count (TPC)-nya maupun total kapangnya. Nilai TPC mie tersebut adalah sebesar 5,82 (log cfu/g) dan total kapangnya 0, dan bakteri E. coli tidak ditemukan pada pengujian. Dilakukan pula analisis mie basah matang dengan pengawet Metil- paraben 0,05% + Ca-Propionat 0,075% + Na-asetat 2,5%. Mie tersebut sudah dinyatakan rusak pada jam ke-36 karena nilai TPC sudah melebihi standar yang ditetapkan, yaitu sebesar 6,11 (log cfu/g) dengan nilai total kapang pada jam ke-36 tersebut sebesar 1,9 (log cfu/g).

Analisis lain yang dilakukan berupa analisis kadar air, pH, total asam tertitrasi (TAT), warna, tekstur dan organoleptik. Kadar air sampel mie basah

matang dengan pengawet Monolaurin 0,25% + Metil-paraben 0,025% + Ca- propionat 0,075% + Na-asetat 2,5% dari jam ke-0 sampai jam ke-48 berkisar antara 50,30 – 51,24 % (bb) dengan nilai Aw sebesar 0,96. Derajat keasaman

(pH) mengalami penurunan, dari 9,06 pada jam ke-0 menjadi 8,23 pada jam ke-48, nilai TAT mengalami kenaikan dari 4,73 ml NaOH 0,1 N/100 g sampel pada jam ke-0 menjadi 7,46 ml NaOH 0,1 N/100 g sampel pada jam ke-48. Warna mie tersebut adalah yellow dengan nilai oHue dari jam ke-0 sampai jam ke-48 berkisar antara 84,1823o – 86,1045o. Pengujian tekstur menunjukkan adanya penurunan kekerasan (firmness) dan peningkatan kelengketan (adhesiveness) selama penyimpanan.

Kadar air sampel mie basah matang dengan pengawet Metil-paraben 0,05% + Ca-Propionat 0,075% + Na-asetat 2,5% dari jam ke-0 sampai jam ke- 48 berkisar antara 50,79 – 51,59 % (bb) dengan nilai Aw sebesar 0,95.

Derajat keasaman (pH) mengalami penurunan, dari 9,10 pada jam ke-0 menjadi 5,99 pada jam ke-48, dan nilai TAT naik dari 5,64 ml NaOH 0,1 N/100 g sampel pada jam ke-0 menjadi 11,16 ml NaOH 0,1 N/100 g sampel pada jam ke-48. Warna mie tersebut adalah yellow dengan nilai oHue dari jam ke-0 sampai jam ke-48 berkisar antara 84,9000o – 87,0132o. Pengujian tekstur menunjukkan adalah penurunan kekerasan (firmness) dan peningkatan kelengketan (adhesiveness) selama penyimpanan.

Uji organoleptik yang dilakukan meliputi parameter bau tepung, bau asam, warna, kecerahan, tekstur, dan adanya lendir. Bau tepung, bau asam, warna, kecerahan dan tekstur mie basah matang dengan pengawet Monolaurin 0,25%+Metil-paraben 0,025%+Ca-propionat 0,075%+Na-asetat 2,5% selama penyimpanan mengalami perubahan yang signifikan (p<0,05), sedangkan adanya lendir tidak mengalami perubahan yang signifikan (p>0,05). Begitupun halnya dengan bau tepung, bau asam, warna, kecerahan dan tekstur mie basah matang dengan pengawet Metil-paraben 0,05%+Ca-Propionat 0,075%+Na-asetat 2,5% selama penyimpanan mengalami perubahan yang signifikan (p<0,05) dan adanya lendir tidak mengalami perubahan yang signifikan (p>0,05).

Berdasarkan hasil penelitian ini maka harus dilakukan publikasi dan pengenalan kepada masyarakat, khususnya produsen mie basah matang mengenai cara memproduksi mie basah matang dengan perlakuan pengukusan. Pemasakan mie dengan pengukusan ternyata menghasilkan mie yang lebih baik dari segi warna dan teksturnya dibandingkan dengan perebusan. Selain itu, harus diperkenalkan dan dipublikasikan pula pengawet yang didapatkan. Untuk itu perlu dibuat suatu ”trademark” dari pengawet yang didapatkan, yang kemudian dikemas sudah dalam bentuk formula dalam suatu wadah agar mudah dipasarkan.

A. SARAN

Dari hasil penelitian ini perlu dikaji lebih lanjut mengenai aspek finansial penggunaan pengawet. Penggunaan pengawet harus diperhitungkan secara ekonomis karena akan diaplikasikan pada usaha kecil menengah (UKM). Penggunaan natrium asetat yang pure analyse (PA) akan sangat berkontribusi terhadap biaya produksi. Oleh karena itu, harus digunakan natrium asetat teknis yang kini sudah ada di pasaran. Penggunaan natrium asetat teknis ini perlu dilakukan uji coba dalam skala laboratorium karena tentunya aktivitasnya akan berbeda dengan natrium asetat PA dalam konsentrasi yang sama.

Penggunaan monolaurin yang masih diimpor juga akan sangat menyulitkan. Oleh karena itu, perlu dilakukan penggunaan monolaurin komersial yang kini juga sudah tersedia di pasaran walaupun dalam jumlah yang terbatas.

DAFTAR PUSTAKA

Alcamo, I.E. 1983. Fundamentals of Microbiology. Addison-Wesley Publishing Company Inc., Massachusetts.

Anonim. 1982. Encyclopedia of Science and Technology. Mc. Graw-Hill Book Company, New Delhi.

Anonim. 1996. Undang-Undang RI No. 7 tahun 1996 tentang Pangan.

Anonim. 2003. Penuntun Praktikum Teknologi Pengolahan Pangan. Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi. FATETA, IPB. Bogor.

AOAC. 1984. Official Methods of Analysis of The Association of Official Analytical Chemist. AOAC Int., Washington.

AOAC. 1995. Official Methods of Analysis of The Association of Official Analytical Chemist. AOAC Int., Washington.

Apriyantono, A., Fardiaz, D., Puspitasari, N. L., Sedarnawati, Budijanto, S. 1989. Petunjuk Laboratorium Analisis Pangan. Penerbit IPB Press. Bogor. Astawan, M. 1999. Membuat Mie dan Bihun. Penebar Swadaya. Jakarta. Badrudin, C. 1994. Modifikasi Tepung Ubi Kayu (Manihot esculenta Crantz)

sebagai bahan pembuat Mie Kering. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian, IPB, Bogor.

Belitz, H. D. dan Grosch, W. 1999. Food Chemistry. Springer. Berlin.

Beuchat, L. R. 1981. Water Activity of Some Foods and Susceptibility to Spoilage by Microorganisms. Di dalam : www.foodproductiondaily.com

Bogasari. 2005. Manual Produksi Mie. Departement Research and Development Bogasari. Jakarta.

Chamdani. 2005. Pemilihan Bahan Pengawet yang Sesuai pada Produk Mie Basah. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian, IPB, Bogor.

Chaplin, M. 2005. Water Structure and Behaviour. Di dalam : http://www.lsbu.ac.uk/water.htm

Charley, H. 1982. Food Science. 2nd ed. John Willey and Sons. New York.

Christensen, C. M. 1974. Storage The Cereal Grains and Their Products. Minnesota. American Association of Cereal Chemists.

Davidson, P. M. 2001. Chemical Preservatives and Natural Antimirobial Compounds. Di dalam: Food Microbiology: Fundamentals and Frontiers, ed. M. P. Doyle, L. R. Beuchat dan T. J. Montville, 2nd ed., pp. 593-627. ASM Press, Washington, D.C.

Davidson, P.M. dan A.L. Branen. 1994. Antimicrobial in Food (ed.). Marcel Dekker Inc. New York.

Departemen Kesehatan RI. 1988. Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 722/ Menkes/ Per/ IX/ 1988, tentang Bahan Tambahan Makanan. Departemen Kesehatan RI, Jakarta.

Dewan Standarisasi Nasional. 1992. SNI-01 2987-1992. Badan Standarisasi Nasional, Jakarta.

Doores, S. 1983. Organic Acids. Di dalam : Antimicrobial in Food. P.M. Davidson dan A.L. Branen (ed.). Marcel Dekker Inc. New York.

Effendi, W. 1990. Masalah Teknologi Hasil Pertanian di PT. Sarimi Asli Jaya, Tangerang. Skripsi. FATETA, IPB. Bogor.

Egan, H., R. Kirk dan Sawyer. 1981. Pearson’s Chemical Analysis of Foods. Churchill Livingstone. Edinburg, London, and New York.

Europe Commission of Scientific Committe for Food (SCF). 1994. Opinion of the Scientific Panel on Food Additives, Flavourings, Procesing Aids and Materials in Contact with food on a request from the Commission related to para-hydoxybenzoates (E 214-219). Di dalam : The EFSA Journal (2004) 83, 1-26.

Fardiaz, S. 1992. Mikrobiologi Pangan 1. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Fife, B. 2003. The Healing Miracles of Coconut Oil. Di dalam :

www.NaturalHealthWeb.com

Food and Drug Administration (FDA). 2001. The Miscellaneous Food Additives Regulations. Washington, D.C.

Food and Drug Administration (FDA). 2000. sodium diacetate, sodium acetate, sodium lactate and pottassium lactate; Use as food additives. Food and Drug Administration, Washington, D.C.

Frazier, W. C. dan Westhoff, D. C. 1978. Food Microbiology. Mc Graw-Hill Book Company. New York.

Gracecia, D. 2005. Profil Mie Basah yang Diperdagangkan di Bogor dan Jakarta. Skripsi. FATETA, IPB. Bogor.

Hatcher, P. W. 2001. Asian Noodle Processing. Di dalam : Cereal Processing Technology 2nd edition. G. Owens (ed.). Woodhead Publishing Ltd., Cambridge. England.

Heck, H. d’A., M. C. Schmitz, P.B. Dodd, E.N. Schachter, T.J. Witek, dan T. Tosun. 1985. Formaldehyde (CH2O) Concentration in The Blood of Humans and Fischer-344 Rats Exposed to CH2O under Controlled Conditions. J. Am. Ind. Hyg. Assoc. 46(1):1-3.

Hoseney, R. C. 1998. Principles Cereal Science and Technology. Second Edition. American Association of Cereal Chemists, Inc. St. Paul. Minnesota. USA.

Hou, G. Dan Kruk, M. 1998. Asian Noodle Technology. Technical Bulletin of Asian Noodle Vol. 20.

http://edis.ifas.ufl.edu/. http://infoventures.com/e-hlth/pestcide/borax.html http://webmineral.com/chem/Chem-Ca.shtml http://www.ams.usda.gov/nop/NationalList/TAPReviews/CalciumPropionate.pdf http://www.efsa.eu.int/science/afc/afcopinions/630/opinion_afc16_ej83_parabens v2_en1.pdf. http://www.chemicalland21.com/arokorhi/ industrialchem/organic/CALCIUM% 20PROPIONATE.htm http://www.chemicalland21.com/lifescience/foco/PARABENS%20(METHYL,% 20ETHYL,%20PROPYL,%20BUTYL).htm http://www.chemicalland21.com/arokorhi/industrialchem/organic/SODIUM%20 ACETATE.htm http:// www.dprin.go.id/regulasi/1999/07/pp6999.htm http://www.inchem.org/documents/jecfa/jecmono/40abcj06.htm http://www.inchem.org/documents/jecfa/jecmono/40abcj13.htm http://www.inchem.org/documents/jecfa/jecmono/v05je05.htm http://www.inchem.org/documents/jecfa/jecmono/v05je44.htm http:// www.kedaulatan-rakyat.com/article.php

http://www.kompas.com/kompas-cetak/0204/30/daerah/. http://www.kompas.com/kompas-cetak/0303/06/daerah/. http:// www.mediaindo.co.id/berita.asp

http://www.nad.go.id/index.php

http://www.republika.co.id/koran_detail.asp

International Agency for Research on Cancer (IARC). 1982. Some Industrials Chemicals and Drystuffs. IARC Monograph.

Indrawan, I. 2005. Survai Manufaktur dalam rangka Meningkatkan Kualitas Mie Basah di Jabotabek. Skripsi. FATETA, IPB. Bogor.

Ingram et al., 1956. Antimicrobial Agents. Di dalam : Antimicrobial in Food. P.M. Davidson dan A.L. Branen (ed.). Marcel Dekker Inc. New York. Kabara, J.J. 1984. Antimicrobial Agents Derived from Fatty Acids. J. American

Oil Chemistry Society. 61: 397-403.

Kato, N. 1981. Antimicrobial Activity of Fatty Acid and Their Esters Againts a Film Forming Yeast in Soy Souce. J. Food Safety. 3: 121-126.

Kristianingsih. 1998. Analisis Produksi Mie Kering Sebagai Sarana Pendukung

Dokumen terkait