• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ketahanan terhadap Blas Daun

Gejala penyakit blas daun yang muncul pertama sekali berupa berupa bercak kecil kemudian berkembang menjadi bercak berbentuk elips dengan ujung runcing, bagian tengah berwarna abu-abu atau keputihan yang menandakan bercak sudah mulai bersporulasi. Bagian pinggir bercak berwarna coklat atau coklat kemerahan. Pada genotipe rentan di lapangan, serangan berat sangat merusak (Gambar 8). Gejala penyakit blas pada genotipe peka mulai muncul pada 3 sampai 4 hari setelah inokulasi (HSI). Bercak tersebut terus berkembang menjadi bercak yang lebih besar dan bagian tengah berwarna abu-abu pada 4 sampai 5 HSI (Tabel 12, 13 dan 14). Sebaliknya, pada genotipe tahan hanya memperlihatkan bercak kecil berwarna coklat.

Gambar 8 Gejala blas daun di lapangan (atas genotipe tahan, bawah rentan).

Beberapa genotipe yang diuji memperlihatkan tidak adanya gejala penyakit blas sampai 7 hari setelah inokulasi. Genotipe GRJT33, GRJT49, SGJT13, SGJT16, SGJT29,

dan SGJT34 tidak memperlihatkan gejala penyakit blas ketika diinokulasi dengan ras 173 (Tabel 12) sehingga genotipe tersebut dapat dikatagorikan tahan terhadap ras 173. Genotipe GRJT12, GRJT30, JTGR1, JTGR2, JTGR5, JTGR17, JTGR18, SGGM5, SGGM8, SGJT3, SGJT28, SGJT29 dan SGJT34 tidak memperlihatkan gejala penyakit blas ketika diinokulasi dengan ras 033 (Tabel 13). Ras 001 tidak mampu menyerang 54 genotipe padi gogo yang dicobakan (Tabel 14).

Tabel 12 Periode laten blas daun pada galur haploid ganda padi gogo yang diinokulasi P.grisea ras 173 Periode Laten (HSI) Genotipe Jumlah 3 GMGR2, GMGR3, GMGR5, GMGR6, GRGM3, GRGM4, GRGM5, GRGM7, GRGM10, GRGM11, GRGM14, GRGM25, GRJT1, GRJT7, GRJT14, GRJT16, GRJT17, GRJT19, GRJT29, GRJT36, GRJT47, JTGR7, JTGR15, JTKR2, JTKR3, JTKR5, JTKR7, JTKR8, KRGM2, KRGM3, KRGM4, KRJT1, KRJT3. SGGM9, SGJT2, SGJT5, SGJT10, SGJT21, SGJT23, SGJT26, SGJT31, 41 4 GMGR1, GRGM1, GRGM2, GRGM6, GRGM12, GRJT5, GRJT6, GRJT8, GRJT10, GRJT20, GRJT22, GRJT25, GRJT27, GRJT32, GRJT42, GRJT44, JTGR1, JTGR2, JTGR3, JTGR5, JTGR10, JTGR13, JTGR18, JTGR19, JTKR1, JTKR6, KRGM1, SGJT6, SGJT9, SGJT11, SGJT12, SGJT22, SGJT25, SGJT27, SGJT33, SGJT37 36 5 GRGM15, GRJT2, GRJT4, GRJT18, GRJT24, GRJT28, GRJT31, GRJT39, JTGR4, JTGR16, SGGM2, SGJT18, SGJT19, SGJT30 14 6-7 GRGM9, GRJT11, GRJT12, GRJT23, GRJT30, GRJT34, JTGR17, JTGR20, SGGM5, SGGM8, SGGM10, SGGM13, SGJT3, SGJT17, SGJT28, SGJT36 16 Tidak Terinfeksi GRJT33, GRJT49, SGJT13, SGJT16, SGJT29, SGJT34 6 HSI = hari setelah inokulasi

Munculnya gejala penyakit blas pada daun padi dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu daya infeksi patogen yang cukup kuat, tingkat ketahanan tanaman dan lingkungan, terutama suhu dan kelembaban yang mendukung perkembangan penyakit (Ou 1985). Bercak pertama akan muncul 4-5 HSI pada suhu 26-280C dan akan tertunda kemunculannya 13-18 hari jika suhu mencapai 9-110C (Bonman 1992b). Sporulasi berlangsung optimum pada suhu 280C, dengan kelembaban relatif 95% dan kondisi gelap

selama 15 jam (Ou 1985). Sporulasi tidak terjadi pada kelembaban relatif kurang dari 89% (Bonman 1992b). Periode laten berkisar 6.47 sampai 6.77 hari tergantung kultivar (Seebold et al. 2001). Namun demikian, di daerah tropis, periode laten blas relatif pendek, berkisar 4 sampai 5 hari (Ou 1985). Bercak blas mulai bersporulasi 87 jam setelah inokulasi dan 111 jam setelah inokulasi hampir semua bercak sudah bersporulasi (Roumen 1993).

Tabel 13. Periode laten blas daun pada galur haploid ganda padi gogo yang diinokulasi P.grisea ras 033 Periode Laten (HSI) Genotipe Jumlah 3 GMGR2, GMGR3, GMGR6, GRGM1, GRGM3, GRGM5, GRGM6, GRGM14, GRJT1, GRJT5, GRJT10, GRJT17, GRJT19, GRJT36, GRJT44, GRJT47, JTKR7, JTKR8, KRGM2, KRGM4, KRJT3, SGJT2, SGJT6, SGJT10, SGJT18, SGJT23, SGJT31 27 4 GRGM2, GRGM4, GRGM7, GRGM10, GRGM11, GRJT4, GRJT6, GRJT14, GRJT16, GRJT20, GRJT29, GRJT34, GRJT49, JTGR3, JTGR7, JTGR10, JTGR13, JTGR15, JTKR1, JTKR2, JTKR3, JTKR5, KRGM3, SGJT5, SGJT12, SGJT21 SGJT22, SGJT25, SGJT26, SGJT33 30 5 GMGR1, GMGR5, GRGM12, GRGM25, GRJT7, GRJT16, GRJT18, GRJT22, GRJT23, GRJT24, GRJT25, GRJT27, GRJT28, GRJT31, GRJT32, GRJT33, GRJT39, GRJT42, JTGR4, JTKR6, KRGM1, KRJT1, SGGM9, SGGM13, SGJT9, SGJT11, SGJT17, SGJT27 28 6-7 GRGM9, GRGM15, GRJT2, GRJT8, GRJT11, JTGR19, JTGR20, SGGM2, SGGM10, SGJT13, SGJT16, SGJT19, SGJT30, SGJT36, SGJT37, 15 Tidak Terinfeksi GRJT12, GRJT30, JTGR1, JTGR2, JTGR5, JTGR17, JTGR18, SGGM5, SGGM8, SGJT3, SGJT28, SGJT29, SGJT34 13

HSI = hari setelah inokulasi

Genotipe-genotipe yang tidak memperlihatkan gejala blas sampai akhir pengamatan yaitu 7 HSI diduga karena genotipe tersebut memiliki kemampuan untuk membatasi penetrasi apresorium blas. Adanya deposisi senyawa silikat di dalam jaringan epidermis dapat melindungi invasi hifa cendawan secara mekanis (Takahashi 1997; Kim et al. 2002). Disamping itu, varietas padi tahan juga cenderung menghambat pembentukan spora blas (Roumen 1993) dengan memproduksi fitoaleksin tertentu (Dillon at al. 1997; Rodrigues et al. 2004).

Ketahanan tanaman padi terhadap penyakit blas daun ditentukan berdasarkan skala penyakit blas daun yang dikeluarkan oleh IRRI (1996) dan intensitas serangan. Skala ditentukan berdasarkan pengamatan bercak dan luas daun yang terinfeksi (Gambar Lampiran 1). Hasil pengamatan menunjukkan bahwa genotipe yang dicobakan memberikan respon yang berbeda terhadap ketiga ras P. grisea yang digunakan. Kencana Bali sebagai kontrol rentan menunjukkan skala 9 pada ras 173, 033 dan ras 001. Asahan sebagai kontrol tahan menunjukkan skala 0 – 1 pada ketiga ras yang digunakan

Tabel 14 Periode laten blas daun galur haploid ganda padi gogo yang diinokulasi P.grisea ras 001 Periode Laten (HSI) Genotipe Jumlah 3 GRGM5, GRGM11, GRGM25, JTGR20, JTKR2, KRGM4, SGJT31 7 4 GRJT10, GRJT18, GRJT19, GRJT27, GRJT29, JTGR19, JTKR3, JTKR6, JTKR7, SGJT27 10 5 GMGR2, GMGR3, GMGR6, GRGM7, GRGM10, GRJT1, GRJT14, GRJT16, GRJT25, GRJT30, GRJT34, GRJT39, GRJT47, JTGR18, SGJT3, SGJT13, SGJT18 17 6-7 GMGR5, GRGM3, GRJT11, GRJT22, GRJT23, GRJT36, GRJT44, JTGR5, JTGR15, JTGR16, JTGR17, KRGM2, SGGM2, SGJT2, SGJT9, SGJT11, SGJT12, SGJT17, SGJT19, SGJT23, SGJT25, SGJT29, SGJT33, SGJT34, SGJT37 25 Tidak Terinfeksi GMGR1, GRGM1, GRGM2, GRGM4, GRGM6, GRGM9, GRGM12, GRGM14, GRGM15, GRJT2, GRJR4, GRJR5, GRJR6, GRJR7, GRJR8, GRJT12, GRJT17, GRJT20, GRJR24, GRJT28, GRJT31, GRJR32, GRJR33, GRJR42, GRJR49, JTGR1, JTGR2, JTGR3, JTGR4, JTGR7, JTGR10, JTGR13, JTKR1, JTKR5, JTKR8, KRGM1, KRGM3, KRJT1, KRJT3, SGGM5, SGGM8, SGGM9, SGGM10, SGGM13, SGJT5, SGJT6, SGJT10, SGJT16, SGJT21, SGJT22, SGJT26, SGJT28, SGJT30, SGJT36 54

HSI = hari setelah inokulasi

Tetua yang digunakan memperlihatkan skala yang bervariasi pada ketiga ras (Tabel Lampiran 4). Grogol moderat tahan (skala 3) terhadap ras 173, tahan terhadap ras 033 dan 001. Ketahanan varietas Grogol sama seperti yang dilaporkan Farid (1997), Ramli (2000) dan Santoso (2005). Krowal hanya tahan terhadap ras 001, moderat rentan terhadap ras 033 dan rentan terhadap ras 173. Sigundil moderat tahan (skala 3) terhadap 173, tahan terhadap

ras 033 dan 001. Jatiluhur moderat rentan (skala 5) terhadap ras 173 dan 033 serta tahan terhadap ras 001. Gajah Mungkur tahan terhadap ras 001 tetapi rentan terhadap ras 173 dan 033, konsisten dengan hasil penelitan Santoso (2005). Ketahanan Sigundil, Jatiluhur dan Gajah Mungkur berbeda dengan laporan Ramli (2000) yang menghasilkan Jatiluhur tahan terhadap ras 173 (skala 2), Gajah Mungkur dan Sigundil tahan ras 173 (skala nol).

Berdasarkan skala penyakit pada 7 hari setelah inokulasi, dari 113 genotipe yang berasal dari galur haploid ganda diperoleh 15 galur tahan terhadap ras 173, 23 galur tahan terhadap ras 033 dan 83 galur tahan terhadap ras 001 dan 27 galur rentan terhadap ketiga ras yang dicobakan (Gambar 9; Tabel Lampiran 4). Jumlah genotipe tahan terhadap ras 001 lebih banyak dibandingkan dengan jumlah genotipe yang tahan terhadap ras 173 dan 033 karena ras 001 kurang virulen dibandingkan ras 173 dan 033. Sebaliknya genotipe yang rentan terhadap ras 173 dan 033 lebih banyak dibandingkan dengan jumlah genotipe yang rentan terhadap ras 001. Utami et al. (2000) menyebutkan bahwa ras 001 merupakan isolat yang mempunyai virulensi sangat tendah tetapi penyebarannya luas dan mampu bertahan lama di lapangan.

Beberapa genotipe tahan terhadap ketiga ras, sedangkan genotipe lainnya tahan terhadap dua ras dan satu ras saja (Gambar 9). Genotipe SGJT3, SGJT16, SGJT28, SGJT29, SGJT34, SGGM5, SGGM8, GRGM9, dan GRJT12, tahan terhadap ketiga ras. Genotipe tersebut merupakan galur haploid ganda dari persilangan dengan menggunakan salah satu tetua yang memiliki tingkat ketahanan yang tinggi terhadap ketiga ras yaitu Sigundil atau Grogol. Genotipe yang tahan terhadap ketiga ras diduga memiliki gen ketahanan yang bersesuaian dengan gen avirulen yang ada pada ketiga ras patogen. Hal ini sesuai dengan sistem gene for gene (Silue et al. 1992).

Genotipe JTGR20 tahan terhadap ras 173 dan 033, tetapi rentan terhadap ras 001. Genotipe SGJT17, GRJT33, GRJT34 dan GRJT49 tahan terhadap ras 173 dan 001, tetapi moderat rentan terhadap ras 033. Genotipe SGJT19, SGJT30, SGJT36, JTGR17, SGGM10, GRJT2, GRJT8, GRJT11, JTGR1, JTGR2, JTGR5, dan JTGR18 tahan terhadap ras 033 dan 001. Genotipe tersebut moderat tahan sampai moderat rentan terhadap ras 173 kecuali JTGR2 dan JTGR5 rentan terhadap ras 173.

Genotipe SGJT13 hanya tahan terhadap ras 173 dan moderat tahan terhadap ras 033 dan 001. Genotipe GRJT30 hanya tahan terhadap ras 033 tetapi moderat tahan terhadap ras 173 dan 001. Genotipe yang hanya tahan terhadap ras 001 saja terdiri atas 58 galur haploid ganda. Genotipe yang tahan terhadap satu ras mempunyai ketahanan vertikal (van der Plank 1963) dan spesifik terhadap ras patogen tertentu saja (Howard dan Valent 1996).

Intensitas serangan menggambarkan besarnya tingkat serangan penyakit pada populasi genotipe tertentu. Tingkat kerusakan daun semakin tinggi dengan meningkatnya intensitas serangan. Intensitas serangan penyakit blas daun ras 173 dan ras 033 berkisar dari 0 sampai 100%, ras 001 dari 0% sampai 83%. Rata-rata intensitas serangan ras 173 dan 033 hampir sama yaitu masing-masing 43% dan 44%, sebaliknya, rata-rata intensitas serangan ras 001 hanya mencapai 9% (Tabel Lampiran 5). Hal ini menunjukkan bahwa tingkat keganasan ras 001 jauh lebih rendah dibandingkan ras 173 dan 033 konsiten dengan laporan Utami et al. (2000) tetapi pada penelitian ini tingkat keganasan ras 173 setara dengan ras 033.

Intensitas serangan ras 173 dan 033 pada varietas kontrol peka (Kencana Bali) mencapai 100% tetapi serangan ras 001 hanya 75%. Sebaliknya varietas kontrol tahan (Asahan) masih dapat diserang oleh ras 173 dan 033 dengan intensitas serangan 7% pada ras 173 dan 6% pada ras 033 tetapi tidak dapat diserang oleh ras 001 (Tabel Lampiran 5). Dengan demikian, kondisi lingkungan, ras dan varietas kontrol yang digunakan sangat mendukung pelaksanaan pengujian ketahanan terhadap penyakit blas daun.

Varietas-varietas tetua yang digunakan memperlihatkan intensitas serangan yang bervariasi pada ketiga ras. Intensitas serangan ras 173 pada Grogol mencapai 14% Sigundil 21%, Jatiluhur 46%, Krowal 64% dan Gajah Mungkur mencapai 81%. Intensitas serangan ras 173 terhadap Gajah Mungkur dan Grogol pada penelitian ini konsisten dengan yang dilaporkan oleh Santoso (2005) tetapi berbeda dengan laporan Ramli (2000). Perbedaan ini dapat terjadi karena tingkat keganasan ras 173 yang digunakan kemungkinan

berbeda dengan yang digunakan Ramli (2000), walaupun reaksi ras tersebut terhadap varietas diferensial sama.

Sigundil dan Grogol tahan terhadap ras 033 karena Sigundil tidak terserang oleh ras 033, tetapi Grogol masih dapat diserang dengan intensitas serangan mencapai 10%. Hal ini sejalan dengan yang dilaporkan Santoso (2005) bahwa Grogol termasuk tahan terhadap ras 033. Intensitas serangan ras 033 terhadap Jatiluhur mencapai 24%, Krowal mencapai 46% dan Gajah Mungkur mencapai 50%. Dengan demikian Jatiluhur, Krowal dan Gajah Mungkur mempunyai reaksi rentan terhadap ras 033. Ras 001 hanya menyerang Krowal dengan intensitas serangan sekitar 2%, tetapi varietas lainnya tidak terserang oleh ras 001.

Berdasarkan intensitas serangan penyakit, dari 113 genotipe yang berasal dari galur haploid ganda yang memperlihatkan intensitas serangan 10% pada ras 173 sebanyak 15 genotipe, terdiri atas SGJT3, SGJT13, SGJT16, SGJT17, SGJT28, SGJT29, SGJT34, SGGM5, SGGM8, GRGM9, GRJT12, GRJT33, GRJT34, GRJT49 dan JTGR20. Galur haploid ganda yang memperlihatkan intensitas serangan 10% pada ras 033 sebanyak 23 galur terdiri atas SGJT3, SGJT16, SGJT19, SGJT28, SGJT29, SGJT30, SGJT34, SGJT36, SGGM5, SGGM8, SGGM10, GRGM9, GRJT2, GRJT8, GRJT11, GRJT12, GRJT30, JTGR1, JTGR2, JTGR5, JTGR17, JTGR18 dan JTGR20. Galur haploid ganda yang memperlihatkan intensitas serangan 10% pada 001 sebanyak 83 galur (Tabel Lampiran 5).

Secara umum, genotipe yang memiliki intensitas serangan 10% ke bawah memperlihatkan periode laten lebih lama (Tabel 12, 13 dan 14) dan skala penyakit rendah (Tabel Lampiran 5) sehingga dapat dimasukkan ke dalam kelompok tahan. Dengan demikian untuk menentukan tingkat ketahanan suatu genotipe harus diperhatikan periode laten, skala penyakit dan intensitas serangan penyakit. Roumen (1993) melaporkan periode laten bukan merupakan komponen penting dari ketahanan parsial terhadap blas daun, tetapi beberapa peneliti tetap mengamati periode laten sebagai bagian dari komponen ketahanan padi terhadap penyakit blas (Ramli 2000; Seebold et al. 2001; Santoso 2005).

Ketahanan terhadap Blas Leher Malai

Gejala awal penyakit blas leher malai sangat mirip dengan gejala blas daun, berupa bercak coklat keabu-abuan di sekitar leher malai. Bercak tersebut terus berkembang menjadi lebih besar, mengelilingi leher malai akhirnya busuk dan malai menjadi kering dan patah. (Gambar 10). Adanya bercak blas pada leher malai menyebabkan terganggunya

proses pengangkutan fotosintat ke malai, akibatnya gabah menjadi hampa dan akhirnya dapat menyebabkan kehilangan hasil.

Gambar 10 Gejala blas leher malai.

Sidik ragam menunjukkan bahwa ras, genotipe dan interaksi antara genotipe dan ras berpengaruh nyata terhadap intensitas serangan blas leher (Tabel Lampiran 6). Interaksi antara genotipe dan ras blas yang nyata menunjukkan bahwa intensitas serangan blas leher malai pada setiap genotipe sangat tergantung pada ras yang menyerang tanaman. Kombinasi ras yang virulen dengan genotipe rentan akan meningkatkan intensitas serangan blas, sebaliknya kombinasi ras virulen dengan genotipe tahan akan memperlihatkan intensitas serangan rendah karena memiliki gen ketahanan terhadap penyakit blas.

Keragaman genetik intensitas serangan blas leher malai pada populasi yang diuji lebih tinggi dibandingkan ragam lingkungan. Heritabilitas intensitas serangan blas leher malai pada populasi yang diuji cukup tinggi (Tabel 15) sehingga peran faktor genetik lebih besar dalam menentukan keragaman ketahanan terhadap penyakit blas leher malai populasi galur haploid ganda padi gogo yang dicobakan. Keragaman genetik cukup tinggi memungkinkan seleksi ketahanan terhadap penyakit blas leher malai dapat dilakukan pada galur yang diuji.

Tabel 15 Komponen ragam dan heritabilitas dari intensitas serangan blas leher

Komponen Nilai

Ragam lingkungan (Ve) 15.061

Ragam genotipe x lingkungan (Vge) 47.830

Ragam genotipe (Vg) 444.869

Ragam fenotipe (Vf) 507.760

Koefisien keragaman genotipe (KKG) 150.739 Koefisien keragaman fenotipe (KKF) 161.042 Heritabilitas dalam arti luas (Hbs) 0.876

Intensitas serangan penyakit blas leher malai ras 173 dan 033 berkisar 0 sampai 100% (Tabel 16). Serangan ras 173 lebih ganas terhadap leher malai dibandingkan ras 033, dengan rata-rata intensitas serangan ras 173 sekitar 32% dan ras 033 sekitar 22%. Hal berbeda dengan intensitas serangan pada daun, dimana rata-rata intensitas serangan kedua ras tersebut sebanding. Hal ini mengindikasikan bahwa pada kondisi percobaan rumah kasa, ras 173 lebih berperan dalam menyerang leher malai dibandingkan daun.

Tabel 16 Intensitas Serangan (%), skala dan reaksi genotipe padi gogo terhadap blas leher malai ras 173 dan 033

Genotipe Ras 173 Ras 033

I Skala Reaksi I Skala Reaksi

SGGM8 0.0 0 T 0.0 0 T SGGM5 0.0 0 T 0.0 0 T SGJT36 0.0 0 T 0.0 0 T SGJT34 0.0 0 T 0.0 0 T SGJT19 0.0 0 T 0.0 0 T SGJT3 0.0 0 T 0.0 0 T SGJT28 2.3 1 T 0.0 0 T GRJT14 4.8 1 T 4.7 1 T GRJT18 5.1 3 MT 3.6 1 T GRGM12 9.8 5 MR 0.0 0 T GRJT23 9.5 5 MR 4.5 1 T JTKR7 56.5 9 R 24.4 5 MR JTGR18 57.5 9 R 23.0 5 MR GRJT19 62.0 9 R 37.5 7 R JTGR17 77.7 9 R 69.1 9 R GRGM9 100.0 9 R 100.0 9 R SGJT29 100.0 9 R 100.0 9 R Grogol 0.0 0 T 0.0 0 T Sigundil 2.8 1 T 0.0 0 T Krowal 16.6 5 MR 6.7 3 MT Jatiluhur 35.9 7 R 23.3 5 MR G. Mungkur 65.4 9 R 15.2 5 MR Asahan 17.1 5 MR 9.3 3 MT Limboto 7.3 3 MT 4.4 1 T Cirata 86.9 9 R 29.5 7 R

I = intensitas serangan , T = tahan, MT = moderat tahan, MR = moderat rentan, R = rentan.

Intensitas serangan ras 173 pada varietas kontrol peka Cirata cukup tinggi mencapai 86% dan ras 033 sekitar 30% dan dapat digolongkan sebagai rentan (Tabel 16). Hal ini konsisten dengan laporan Sudir et al. (2002) dan Nasution et al. (2004) pada percobaan di lapangan. Sebaliknya varietas kontrol tahan Limboto memperlihatkan reaksi tahan

terhadap kedua ras yang dicobakan, walaupun masih dapat diserang dengan intensitas ringan (sekitar 7% pada ras 173 dan 4% pada ras 033). Sudir et al. (2002) melaporkan bahwa intensitas serangan blas leher malai terhadap varietas Limboto pada percobaan di lapangan mencapai 13.5%. Pada percobaan ini, intensitas serangan blas leher malai ras 173 terhadap varietas Asahan (kontrol tahan pada blas daun) mencapai 17% yang menunjukkan reaksi rentan, walaupun tidak berbeda nyata dengan Limboto. Dengan demikian Asahan tidak dapat digunakan sebagai kontrol tahan pada pengujian blas leher malai.

Varietas-varietas tetua yang digunakan memperlihatkan intensitas serangan yang bervariasi pada kedua ras. Variasi tersebut mengindikasikan bahwa antar varietas tetua memiliki gen ketahanan yang berbeda terhadap ras 173 dan 033. Grogol tidak terserang oleh ras 173 sama dengan yang dilaporkan Ramli (2000) dan juga tidak terserang oleh ras 033. Sigundil terserang ras 173 dengan intensitas ringan 2.8%, tetapi tidak dapat diserang oleh ras 033. Intensitas serangan ras 173 pada Jatiluhur 36%, Krowal 17% dan Gajah Mungkur mencapai 66%. Hasil penelitian ini sedikit berbeda dengan hasil Ramli (2000) yang melaporkan Gajah Mungkur tidak terserang blas leher ras 173 dan Sigundil terserang dengan intensitas 26.5%. Perbedaan ini kemungkinan disebabkan oleh tingkat keganasan ras 173 yang digunakan berbeda walaupun reaksi ras tersebut terhadap varietas diferensial sama dan kondisi lingkungan percobaan mungkin berbeda.

Berdasarkan intensitas serangan blas leher malai, dari 17 genotipe yang berasal dari galur haploid ganda diperoleh 8 galur tahan terhadap ras 173 dan 11 galur tahan terhadap ras 033. Galur tahan ras 173 adalah SGGM5, SGGM8, SGJT3, SGJT19, SGJT28, SGJT34, SGJT36 dan GRJT14. Galur tahan ras 033 adalah SGGM5, SGGM8, SGJT3, SGJT19, SGJT28, SGJT34, SGJT36, GRJT14, GRJT18, GRJT23 dan GRGM12 (Tabel 16). Salah satu tetua dari galur-galur tersebut adalah Sigundil atau Grogol yang keduanya memperlihatkan reaksi tahan terhadap penyakit blas leher malai ras 173 dan 033. Genotipe tahan mampu membatasi jumlah dan ukuran bercak yang mempunyai kemampuan untuk bersporulasi rendah (Notteghem 1993; Seebold et al. 2001). Salah satu faktor yang menentuka n tingkat ketahanan terhadap penyakit blas adalah adanya deposisi Si dalam jaringan sehingga dapat menghalangi invasi cendawan (Takahashi 1997; Epstein 1999). Dengan demikian, intensitas serangan pada genotipe tahan lebih rendah dibandingkan genotipe renta n.

Korelasi antara blas daun dan blas leher malai

Hasil pengujian diperoleh beberapa galur yang tahan blas leher malai diantaranya adalah SGJT3, SGJT19, SGJT34, SGJT36, SGGM5 dan SGGM8 yang tidak terinfeksi blas leher malai ras 173 ras 033. Galur tersebut sangat tahan dan melebihi ketahanan varietas pembanding tahan walaupun secara statistik tidak berbeda nyata dengan Limboto. Galur SGJT28 dan GRGM12 tidak terinfeksi blas leher ras 033, tetapi masih dapat terinfeksi oleh ras 173 dengan intensitas yang rendah (Tabel 16).

Ras 173 y = 0.1843x + 25.028 R2 = 0.0411 0 20 40 60 80 100 0 20 40 60 80 100

Intensitas serangan blas daun (%)

Intensitas serangan blas leher (%) y = -0.0481x + 25.214 R2 = 0.0029 0 20 40 60 80 100 0 20 40 60 80 100

Intensitas serangan blas daun (%)

Intensitas serangan

blas leher (%)

Ras 033

Genotipe tahan terhadap blas daun tidak menjamin akan tahan terhadap blas leher malai (Zhu et al. 2005). Menurut Ou (1985) sifat ketahanan atau kerentanan suatu varietas terhadap blas daun dan blas leher malai dikendalikan oleh gen yang berbeda. Analisis korelasi antara intensitas serangan penyakit blas daun dan blas leher malai baik pada ras 173 (Gambar 11A) maupun pada ras 033 (Gambar 11B) menunjukkan bahwa tidak ada korelasi yang nyata antara ketahanan blas daun dan blas leher malai. Hasil ini sejalan Gambar 11 Korelasi antara ketahanan terhadap blas daun dan blas leher malai pada ras

173 (A) dan ras 033 (B) berdasarkan intensitas serangan A

dengan penelitian sebelumnya bahwa varietas tahan blas daun belum tentu tahan terhadap blas leher malai dan sebaliknya (Bonman 1992b; Bonman et al. 1989; Amir et al. 1999).

Galur GRGM12, GRJT14, GRJT18 dan GRJT23 rentan blas daun (Tabel Lampiran 4) tetapi agak tahan blas leher malai dengan intensitas serangan kurang dari 10%. Sebaliknya, galur JTGR17, JTGR18 dan GRJT19 tahan blas daun tetapi peka blas leher malai (Tabel 16). Hal ini diduga karena gen tahan blas daun dan blas leher malai pada galur tersebut berbeda (Kiyosawa 1982). Fenomena yang sama dilaporkan Bonman (1992b) bahwa IR25604 lebih rentan terhadap blas daun dari IR36, tetapi lebih tahan terhadap blas leher malai dari IR36.

Sebagian besar galur tenggang Al (Percobaan 1) ternyata rentan terhadap blas daun, terutama ras 173 dan 033. Galur tenggang Al seperti KRGM4, GRGM14, GRGM25, GRGM6, GRGM4, SGJT27, JTKR5, JTKR1 dan JTGR13 ternyata rentan terhadap blas daun. Sebaliknya galur GRJT33, GRJT49, GRJT34 dan SGJT17 tahan terhadap ras 173 dan 001 tetapi peka Al. Adanya perbedaan tersebut menunjukkan bahwa gen pengendali ketahanan blas daun dan ketenggangan Al terletak pada kromosom yang beda sehingga segregasinya saling bebas.

SIMPULAN

Dari hasil pengujian ini diperoleh galur haploid ganda padi gogo hasil kultur antera SGJT3, SGJT16, SGJT28, SGJT29, SGJT34, SGGM5, SGGM8, GRGM9, dan GRJT12 tahan terhadap blas daun ras 173, 033 dan 001. Galur JTGR20 tahan terhadap ras 173 dan 033. Galur SGJT17, GRJT33, GRJT34 dan GRJT49 tahan terhadap ras 173 dan 001. Galur SGJT19, SGJT30, SGJT36, JTGR17, SGGM10, GRJT2, GRJT8, GRJT11, JTGR1, JTGR2, JTGR5, dan JTGR18 tahan terhadap ras 033 dan 001. Galur SGJT13 hanya tahan terhadap ras 173, GRJT30 hanya tahan terhadap ras 033 dan 58 galur haploid ganda lainnya tahan terhadap ras 001.

Periode laten penyakit blas daun ras 173, 033 dan 001 adalah tiga sampai empat hari setelah inokulasi. Tingkat virulensi ras 173 sama dengan ras 033 dan keduanya lebih virulen dibandingkan ras 001 pada pengujian blas daun. Tingkat virulensi ras 173 lebih tinggi dari pada ras 033 pada pengujian blas leher malai.

Galur SGGM5, SGGM8, SGJT3, SGJT19, SGJT28, SGJT34, SGJT36 dan GRJT14 tahan terhadap penyakit blas leher malai ras 173 dan 033. Galur GRJT18, GRJT23 dan

GRGM12 hanya tahan terhadap penyakit blas daun ras 033. Tidak ada korelasi antara ketahanan terhadap penyakit blas daun dan blas leher malai. Genotipe tahan terhadap blas daun tidak menjamin juga akan tahan terhadap blas leher malai. Sigundil dapat dijadikan sebagai tetua sumber ketahanan terhadap penyakit blas dalam program pemuliaan tanaman padi gogo.

HUBUNGAN AKUMULASI SILIKAT DENGAN KETENGGANGAN

Dokumen terkait