• Tidak ada hasil yang ditemukan

HUBUNGAN AKUMULASI SILIKAT DENGAN KETENGGANGAN ALUMINIUM DAN KETAHANAN TERHADAP PENYAKIT BLAS

ABSTRAK

Keracunan Aluminium (Al) dan penyakit blas (Pyricularia grisea (Cooke) Sacc.) merupakan faktor utama yang membatasi produksi padi gogo pada tanah masam. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari konstribusi akumulasi Silikat (Si), Nitrogen (N) dan Al dalam jaringan tanaman terhadap ketenggangan Al dan ketahanan padi gogo terhadap penyakit blas daun. Percobaan disusun dalam rancangan split-split plot dengan 2 ulangan. Perlakuan petak utama adalah blas ras 173, dengan dan tanpa inokulasi, anak petak adalah cekaman Al, dengan kejenuhan Al tinggi (tanpa kapur) dan kejenuhan Al rendah (pengapuran) dan anak-anak petak adalah genotipe yang diuji terdiri atas 4 genotipe. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ketahanan terhadap penya kit blas daun tidak hanya ditentukan olek Si atau N tajuk saja tetapi lebih ditentukan oleh tingginya nisbah Si/N tajuk. Ketenggangan Al dapat dicirikan oleh kurangnya pemendekan akar, kandungan Al di akar dan tajuk rendah, bobot kering tajuk, kandungan Si tajuk, dan nisbah Si/Al akar tinggi.

ABSTRACT

Aluminum (Al) toxicity and blast disease caused by fungus Pyricularia grisea (Cooke) Sacc. are the most important yield-limiting factors for upland rice production in acid soils. The objective of this experiment was to examine the contribution of accumulation of Silicate (Si), Nitrogen (N) and Al in plant tissue on Al tolerance and blast disease resistance in upland rice. The experiment was arranged in a split-split plot design with 2 replications. Main plots were randomly assigned to blast treatment (control and inoculation to blast fungi). Subplots were assigned to control box (lime 1.5 AlEC) and another acid soils (no lime) box and sub-subplots were assigned to the tested genotypes. The result of the experiment showed that leaf blast disease resistance in rice cannot be solely explained by Si or N content in shoot tissue. The resistant to leaf blast disease might be attributed by high ratio Si/N weight in shoot. Al tolerance was ascribed by low reduction in root growth, high shoot dry weight, high Si content in shoot, and as well as high of Si/Al ratio in root.

Keywords: Al tolerance, blast disease, silicon, upland rice, ratio Si/N

PENDAHULUAN

Keracunan Aluminium (Al) dan penyakit blas sering dijumpai pada budidaya padi gogo di lahan kering. Keracunan Al disebabkan oleh tingginya tingkat kelarutan ion Al3+ dalam larutan tanah pada pH kurang dari 5.0 yang dapat beracun bagi tanaman (Matsumoto 2000; Rout et al. 2001; Kochian 1995). Penyakit blas disebabkan oleh cendawan Pyricularia grisea yang dapat menginfeksi daun pada stadia perkembangan vegetatif dan malai pada stadia generatif (Ou 1985).

Tanaman padi yang peka Al yang ditanam pada tanah masam akan mengalami hambatan pemanjangan akar (Khatiwada et al. 1996) dan tajuk (Fageria et al. 1988) sehingga pertumbuhan padi menjadi kerdil, dengan jumlah anakan sedikit, pertumbuhan batang terhambat (Howeler dan Cadavid 1976), jumlah gabah per malai dan bobot 1000 butir rendah (Alluri 1986). Namun demikian, genotipe tanaman tenggang dapat bertahan hidup pada tanam masam karena mempunyai mekanisme untuk menenggang kelebihan Al yang ada dalam media tanam.

Infeksi penyakit blas pada padi dapat menyebabkan luas daun hijau berkurang akibat adanya bercak blas. Serangan blas daun yang tinggi dapat me mpengaruhi pertumbuhan tanaman dan anakan produktif yang me nyebabkan malai kecil dengan sedikit gabah (Filippi dan Prabhu 1997) bahkan dapat menyebabkan seluruh tanaman mati sebelum berbunga. Serangan blas leher dapat menurunkan hasil secara langsung (Kobayashi at al. 2001) karena leher malai busuk dan patah sehingga pengisian biji terganggu (Ahn dan Amir 1986) dan bulir padi menjadi hampa (Ou 1985).

P. grisea masuk ke dalam tanaman dengan cara penetrasi langsung melalui sel penjaga stomata (Oku 1994). Sebelum mempenetrasi jaringan tanaman padi, konidia berkecambah dengan membentuk apresorium (Howard dan Valent 1996). Namun demikian, apresorium tersebut tidak mampu mempenetrasi jaringan sebagian varietas tahan karena varietas tersebut dapat menghambat pertumbuhan cendawan P. grisea dengan mengakumulasi fitoaleksin (Rodrigues et al. 2004).

Silikat (Si) dapat membantu tanaman untuk mengatasi berbagai cekaman biotik dan abiotik (Epstein 1999; Ma 2005). Silikat dapat mengurangi keracunan Al pada tanaman dengan membentuk komplek Al-Si dalam media tanam sehingga dapat mengurangi konsentrasi Al yang terlarut (Ma et al. 1997c). Beberapa peneliti melaporkan bahwa Si dapat me mulihkan hambatan pertumbuhan akar akibat keracunan Al (Rahman et al. 1998; Ma 2004). Interaksi antara Si dan Al dalam media tanaman membentuk aluminosilikat (AS) dapat menurunkan kelarutan Al dalam media tanam (Hiradate et al. 1998; Cocker et al. 1998a) dan menurunkan pengambilan Al oleh tanaman (Hammond et al. 1995; Epstein 1999).

Pengurangan keracunan Al oleh Si tidak hanya disebabkan oleh penurunan konsentasi Al dalam media tanam, tetapi juga perubahan bentuk kimia Al dalam tanaman oleh Si (Hammond et al. 1995; Hara et al. 1999). Silikat dilaporkan juga dapat

mendetoksifikasi Al dalam apoplas akar dan mengurangi transpor Al ke simplas (Cocker et al. 1998a). Silikat membentuk hidroksialuminosilikat (HAS) dalam apoplas ujung akar sehingga Al menjadi tidak beracun bagi tanaman (Wang et al. 2004). Tingginya kandungan Si dalam daun tanaman sorgum yang ditanam pada tanah masam disertai dengan pengurangan keracunan Al dan Fe (Clark dan Gurley 1988). Pertumbuhan dan produksi biji tanaman pearl millet pada tanah masam sangat baik yang didukung oleh tingginya konsentrasi Si di daun (Clark et al. 1990).

Pemupukan N pada padi cenderung menghasilkan daun yang lunak dan terkulai sehingga lebih rentan terhadap penyakit blas (Sudir et al. 2002), sebaliknya pemberian Si cenderung membantu menjaga kekerasan dan ketegakan daun (Yoshida et al. 1969). Konsentrasi Si pada daun berkorelasi negatif dengan keparahan penyakit blas pada tanaman padi (Seebold et al. 2001; Deren et al. 1994). Hasil pengamatan dengan menggunakan mikroskop elektron menunjukkan bahwa lapisan silikat banyak dijumpai di bawah kutikula pada bagian luar dinding sel epidermis daun padi (Kim et al. 2002). Lapisan silikat tersebut menjadi hambatan fisik bagi penetrasi hifa blas. Silikat dilaporkan juga berperan aktif dalam meningkatkan akumulasi fitoaleksin pada padi sebagai mekanisme ketahanan terhadap penyakit blas (Rodrigues et al. 2004; Rodrigues et al. 2005).

Varietas padi gogo yang ditanam pada lahan tanah masam memperlihatkan adanya perbedaan tingkat ketenggangan Al dan ketahanan terhadap penyakit blas. Ketenggangan Al dan ketahanan terhadap penyakit blas, keduanya dapat disumbangkan oleh Si jaringan tanaman. Berdasarkan hal tersebut di atas maka penelitian ini bertujuan untuk memperoleh informasi tentang keterkaitan antara kandungan Si, N dan Al terhadap ketahanan terhadap penyakit blas dan ketenggangan Al.

BAHAN DAN METODE

Percobaan dilakukan di rumah kaca BB-BIOGEN Cimanggu, pada bulan Mei 2005 s.d Januari 2007. Analisis tanah dan tanaman dilakukan di Laboratorium Balai Besar Penelitian Sumberdaya Lahan Pertanian, Bogor. Bahan tanaman yang digunakan terdiri atas 8 genotipe yang terdiri atas 4 galur haploid ganda asal kultur antera dan 4 kontrol. Galur haploid ganda terdiri atas SGJT28 (tenggang Al, tahan blas), GRJT19 (tenggang Al, rentan blas), GRJT49 (peka Al, tahan blas) dan GRJT36 (peka Al, rentan blas). Kontrol

yang digunakan adalah Dupa (tenggang Al), ITA131 (peka Al), Asahan (tahan blas) dan Kencana Bali (rentan blas).

Percobaan disusun dalam rancangan split-split plot dengan 2 ulangan. Sebagai peta k utama adalah blas ras 173, terdiri atas dua taraf yaitu kondisi diinokulasi dan tanpa diinokulasi, sebagai anak petak adalah cekaman Al, terdiri dari dua taraf yaitu kondisi Al tinggi (tanpa kapur) dan Al rendah (pengapuran), dan anak-anak petak adalah genotipe yang diuji terdiri dari 8 genotipe yang diuji.

Media tanam yang digunakan ialah tanah PMK yang berasal dari Jasinga Kabupaten Bogor dengan Aldd 3.69 cmol(+)kg-1 dan kejeuhan Al 68% (Tabel Lampiran 7).Tanah untuk media tanam dicampur dan diaduk rata kemudian diayak untuk menjamin keseragaman tanah. Selanjutnya tanah dimasukkan ke dalam bak plastik sebanyak 10 kg tanah per bak. Untuk perlakuan cekaman Al rendah, digunakan tanah yang sama tetapi ditambahkan kapur sebanyak 1.5 x Aldd (setara 5.54 ton CaCO3 ha-1) yang diinkubasi selama empat minggu sebelum tanam. Penggunakan kapur sebanyak 1.5 x Al Aldd diperkirakan dapat menetralkan 85-90% Aldd (Hardjowigeno 2003).

Benih bernas dari setiap genotipe dioven selama 3 x 24 jam pada suhu 450C kemudian disemai dalam barisan dengan jarak tanam 4 x 3 cm dalam bak plastik. Tiap bak ditanami 8 genotipe padi yang diuji, setiap genotipe terdiri atas 15 tanaman dalam satu barisan. Pemupukan dilakukan dua hari sebelum tanam dengan dosis 5 g Urea, 1.5 g SP-36 dan 1.2 g KCl tiap 10 kg tanah kering.

Inokulasi P. grisea ras 173 dilakukan dengan cara menyempotkan suspensi konidia ke tanaman padi yang berumur 18 hari setelah semai secara merata sebanyak 50 ml suspensi konidia/bak. Tanaman yang telah diinokulasi segera dimasukkan ke ruang lembab selama 48 jam dan kelembaban dipertahankan di atas 90% dengan cara mengalirkan air yang dipompa pada dinding ruang lembab. Selanjutnya tanaman dipindahkan ke rumah kaca yang dindingnya dilapisi kain dan kelembabannya dipertahankan di atas 90% dengan cara penyiraman dengan menggunakan sprinkler embun. Untuk perlakuan tanpa inokulasi, bak plastik yang ditanami setiap genotipe yang diuji langsung ditempatkan di rumah kaca tanpa diinokulasi blas. Tanaman yang diinokulasi dan tidak diino kulasi blas ditempatkan pada ruangan yang berbeda dalam rumah kasa untuk menghindari kontaminasi antara kedua perlakuan.

Pengamatan dilakukan terhadap skala penyakit yang diamati satu minggu setelah inokulasi berdasarkan sistem evaluasi standar untuk penya kit blas daun dari IRRI (1996). Daun yang diamati adalah seluruh daun yang telah membuka sempurna. Intensitas serangan (%) dihitung berdasarkan formula : ( )x100%

NxV nixvi

I =

dimana, I = intensitas serangan, ni = jumlah tanaman terserang dengan skala ke-i , vi = skala ke-i masing-masing tanaman terserang, N = Jumlah tanaman total yang diamati dan V = skala tertinggi yang teramati = 9. Setelah pengamatan penyakit, tanaman dibongkar dengan hati-hati kemudian dibersihkan dari sisa tanah dan kotoran lain yang menempel dengan air dan diukur panjang akar dan tajuk. Selanjutnya tanaman dibilas dengan air bebas ion beberapa kali, dipisahkan antara akar dan tajuk, kemudian dimasukkan ke dalam kantong kertas dan dikeringovenkan pada suhu 650C selama 3 x 24 jam. Setelah kering, masing-masing sampel ditimbang bobot keringnya. Kandungan Al, Si dari akar, Al, Si dan N dari tajuk ditentukan dengan metode Yoshida et al. (1976).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Intensitas Serangan Blas Daun

Intensitas serangan blas daun dipengaruhi oleh genotipe, inokulasi blas, interaksi genotipe dan blas, dan interaksi antara ketiganya (Gambar 12 A dan B). Intensitas serangan blas daun pada genotipe tahan blas (SGJT28 dan GRJT49) yang diinokulasi blas kurang dari 10 %. Intensitas serangan blas daun pada genotipe rentan blas (GRJT19 dan GRJT36) yang diinokulasi blas mencapai 60% lebih (Gambar 12A). Intensitas serangan penyakit blas daun pada genotipe tahan blas (SGJT28 dan GRJT49) nyata lebih rendah dibandingkan dengan genotipe rentan blas (GRJT19 dan GRJT36) baik pada keadaan bercekaman Al maupun pada tanpa cekaman Al (Gambar 12B). Hal ini menunjukkan bahwa cekaman Al tidak mengubah urutan tingkat ketahanan genotipe padi gogo terhadap penyakit blas dan genotipe tenggang Al tidak selalu tahan blas atau sebaliknya. Genotipe tahan blas akan tetap tahan walaupun ditanam pada tanah bercekaman Al.

Cekaman Al menurunkan serangan penyakit blas daun pada semua genotipe yang diuji dengan tingkat penurunan yang berbeda beda antar genotipe. Intensitas serangan pada genotipe tahan blas (SGJT28 dan GRJT49) pada keadaan bercekaman Al dan tanpa cekaman Al hanya sedikit berbeda. Sebaliknya intensitas serangan pada genotipe GRJT19

(rentan blas-tenggang Al) pada keadaan tanpa cekaman Al sekitar 80% tetapi pada keadaan bercekaman turun menjadi 51%. Intensitas serangan pada genotipe GRJT36 (rentan blas-peka Al) pada keadaan tanpa cekaman Al sekitar 70% dan pada keadaan bercekaman Al turun menjadi 63% (Gambar 12B). Intensitas serangan blas daun pada keadaan tanpa cekama n sedikit lebih tinggi dibandingkan pada keadaan bercekaman karena pada keadaan tanpa cekaman pertumbuhan tanaman lebih subur dibandingkan pada keadaan bercekaman Al sehingga sangat sesuai bagi perkembangan blas.

0 10 20 30 40 50 60 70 80 SGJT28 GRJT19 GRJT49 GRJT36 Intensitas serangan blas daun (%) 0 10 20 30 40 50 60 70 80 SGJT28 GRJT49 GRJR49 GRJT36 Intensitas serangan blas daun (%) Al tinggi Al rendah

Gambar 12 Intensitas serangan penyakit blas daun ras 173 pada setiap genotipe (A) dan pada perlakuan cekaman Al (B).

Pertumbuhan Tanaman

Genotipe, cekaman Al dan interaksi genotipe dan cekaman Al berpengaruh nyata terhadap panjang akar, sedangkan perlakuan inokulasi blas, interaksi genotipe dan inokulasi blas, interaksi cekaman Al dan inokulasi blas serta interaksi ketiganya tidak berpengaruh nyata terhadap panjang akar. Pemanjangan akar semua genotipe padi gogo yang diuji pada tana h bercekaman Al terhambat. Urutan hambatan pemanjangan akar adalah pada genotipe padi yang diuji pada tanah bercekaman Al adalah GRJT19 < SGJT28 < GRJT49 < GRJT36, sehingga urutan ketenggangan Al makin ke kanan makin peka.

Akar genotipe GRJT19 dan SGJT28 (tenggang Al) nyata lebih panjang dibandingkan genotipe GRJT49 dan GRJT36 pada tanah bercekaman Al. Sebaliknya pada tanah tanpa cekaman Al, panjang akar genotipe peka (GRJT49 dan GRJT36) lebih panjang dibandingkan genotipe tenggang (GRJT19 dan SGJT28) (Ga mbar 13). Penurunan panjang akar akibat cekaman Al pada genotipe GRJT49 dan GRJT36 mencapai lebih dari 50%, sedangkan pada genotipe GRJT19 dan SGJT28 hanya mencapai 7 – 13% (Gambar 13).

A

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 SGJT28 GRJT19 GRJT49 GRJT36 Panjang akar (cm) Al tinggi Al rendah

Gambar 13 Panjang akar empat genotipe padi pada kejenuhan Al yang berbeda.

Hambatan pemanjangan akar pada tanah bercekaman Al disebabkan tingginya kelarutan Al dalam larutan tanah pada pH kurang dari 5.0 sampai pada konsentrasi beracun bagi tanaman (Matsumoto 2000; Rout et al. 2001; Kochian 1995). Al tinggi dalam larutan tanah dapat menginduksi kahat Ca atau mengurangi transpor Ca (Rout et al. 2001). Keracunan Al menyebabkan penurunan viskositas dan elastisitas dinding sel akar pada genotipe peka dan terlibat dalam penghambatan pertumbuhan akar (Ma et al. 2004) sehingga hambatan pemanjangan akar pada genotipe peka lebih besar dibandingkan genotipe tenggang (Khatiwada et al. 1996; Rusdiansyah et al. 2001).

Pemberian kapur 1.5 Aldd pada tanah bercekaman Al dapat meningkatkan panjang akar terutama pada genotipe peka dibandingkan genotipe tenggang (Gambar 13). Hal ini menunjukkan bahwa genotipe tenggang (SGJT28 dan GRJT19) kurang responsif terhadap pemberian kapur dibandingkan genotipe peka (GRJT49 dan GRJT36). Keadaan yang sama diperoleh Ganesan et al. (1993) yang melaporkan pada padi genotipe peka, pengurangan keracunan Al sebanding dengan konsentrasi Ca dalam media tanam tetapi pada genotipe tenggang, Ca hanya sedikit berpengaruh terhadap pertumbuhan akar. Watanabe dan Okada (2005b) melaporkan bahwa Ca dapat memulihkan hambatan pertumbuhan akar yang diinduksi oleh Al dengan tingkat pemulihan lebih tinggi pada padi kultivar peka Al. Peningkatan pemanjangan akar pada tanah masam yang diberi kapur akibat terjadinya peningkatan pH tanah yang dapat mengurangi kelarutan Al dalam larutan tanah dan mengurangi keracunan H+ (Kinraide et al. 1994;Marschner 1995).

Genotipe dan cekaman Al berpengaruh nyata terhadap panjang tajuk, tetapi inokulasi blas dan interaksinya tidak berpengaruh terhadap panjang tajuk Penurunan panjang tajuk

akibat cekaman Al sekitar 10 cm. Hal ini menunjukkan bahwa walaupun terdapat perbedaan yang nyata antara panjang tajuk pada keadaan bercekaman dan tanpa cekaman tetapi penurunannya hanya 25%. Rusdiansyah et al (2001) melaporkan bahwa cekaman Al kurang berpengaruh terhadap panjang tajuk dibandingkan panjang akar. Kerusakan bagian tajuk baru terjadi setelah kehilangan fungsi akar (Rout et al. 2001), sehingga gejala keracunan Al pada tajuk sulit diamati sebelum gejala pada akar berkembang (Gupta 1997). Penurunan panjang tajuk pada keadaan bercekaman Al kurang dari 50% menyebabkan panjang tajuk tidak dapat membedakan genotipe tenggang dan peka Al. Gambar 14 menunjukkan bahwa panjang tajuk GRJT19 dan SGJT28 (tenggang Al) tidak berbeda nyata dengan GRJT49 (peka tahan blas) dan hanya genotipe GRJT36 (peka Al-rentan blas) yang memiliki panjang tajuk lebih rendah dibandingkan tiga genotipe lainnya. Panjang tajuk genotipe GRJT36 lebih rendah akibat cekaman Al diperparah dengan adanya kerentanan genotipe tersebut terhadap penyakit blas.

0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 SGJT28 GRJT19 GRJT49 GRJT36 Panjang tajuk (cm)

Gambar 14 Panjang tajuk setiap genotipe pada cekaman Al.

Bobot kering akar dan bobot kering tajuk dipengaruhi oleh cekaman Al, genotipe, interaksi genotipe dan cekaman Al serta interaksi antara blas, cekaman Al dan genotipe. Cekaman Al menyebabkan bobot kering akar semua genotipe menurun dengan tingkatan yang berbeda beda antar genotipe (Gambar 15). Cekaman Al menyebabkan penurunan bobot kering akar genotipe peka (GRJT49 dan GRJT36) lebih besar dibandingkan genotipe tenggang (SGJT28 dan GRJT19). Penurunan bobot kering akar pada genotipe tenggang hanya 10% dan penurunan bobot kering akar genotipe peka (GRJT36) mencapai 62%, tetapi genotipe GRJT49 hanya mencapai 37% (Gambar 15). Fageria et al. (1988) menyatakan bahwa cekaman Al dapat menurunkan 58-70% bobot kering akar.

Bobot kering akar genotipe peka lebih rendah dibandingkan genotipe tenggang pada keadaan tanpa cekaman Al. Bobot kering akar genotipe tenggang (SGJT28 dan GRJT19) tidak berbeda antara kedua perlakuan (tidak mendapat cekaman Al dan bercekaman Al). Sebaliknya bobot kering akar genotipe peka (GRJT36 dan GRJT49) sangat berbeda antara yang tidak bercekaman dan bercekaman Al. Pada keadaan bercekaman Al, bobot kering genotipe tenggang lebih tinggi dibandingkan genotipe peka (Gambar 15). Hal ini disebabkan tidak terganggunya penyerapan hara dan air yang diperlukan untuk pertumbuhan genotipe tenggang. Hal yang sama dilaporkan Clark dan Gourley (1988) pada beberapa genotipe sorgum yang tenggang Al menghasilkan bobot kering akar lebih tinggi pada tanah bercekaman Al dibandingkan genotipe peka.

0 2 4 6 8 10 12 14 SGJT28 GRJT19 GRJT49 GRJT36

Bobot kering akar (mg)

Al tinggi Al rendah

Gambar 15 Bobot kering akar setiap genotipe pada kejenuhan Al yang berbeda. 0 5 10 15 20 25 30 35 SGJT28 GRJT19 GRJT49 GRJT36

Bobot kering tajuk (mg)

Al tinggi Al rendah

Gambar 16 Bobot kering tajuk setiap genotipe pada kejenuhan Al yang berbeda.

Genotipe tenggang memiliki bobot kering tajuk lebih tinggi baik pada keadaan tanpa cekaman Al maupun pada cekaman Al dibandingkan dengan bobot kering tajuk genotipe peka (Gambar 16). Cekaman Al menyebabkan bobot kering tajuk semua genotipe menurun

dengan tingkatan yang berbeda antar genotipe (Gambar 16). Penurunan bobot tajuk pada kedua genotipe tenggang hanya mencapai 9% (GRJT19) dan 18% (SGJT28). Penurunan bobot kering tajuk pada genotipe peka (GRJT36 dan GRJT49) lebih dari 50%, masing-masing 52 % dan 68% (Gambar 16). Hal ini menunjukkan bahwa bobot kering tajuk lebih dapat dijadikan sebagai indikator ketenggangan Al pada penapisan dengan menggunakan media tanah masam. Umumnya panjang akar digunakan sebagai indikator seleksi ketenggangan Al, tetapi pemisahan akar dari tanah sangat sulit dilakukan dan memerlukan banyak waktu dan tenaga pada penapisan dengan menggunakan media tanah (Fageria et al. 1988). 0 2 4 6 8 10 12 14 SGJT28 GRJT19 GRJT49 GRJT36

Bobot kering akar (mg)

-Al -Blas +Al -Blas -Al +Blas +Al +Blas

0 5 10 15 20 25 30 35 SGJT28 GRJT19 GRJT49 GRJT36

Bobot kering tajuk (mg)

-Al -Blas +Al -Blas -Al +Blas +Al +Blas

Gambar 17 Bobot kering akar (A) dan tajuk (B) setiap genotipe pada kejenuhan Al dan inokulasi blas yang berbeda

Pada kondisi bercekaman Al, bobot kering akar genotipe yang diuji tidak berbeda antara yang mendapat perlakukan inokulasi dan tanpa inokulasi blas kecuali pada SGJT28 (tenggang Al-tahan blas). Bobot kering akar genotipe peka Al-rentan blas (GRJT36) lebih rendah jika diinokulasi blas pada kondisi tidak bercekaman dibandingkan pada kondisi bercekaman Al. Sebaliknya bobot kering akar genotipe tenggang Al-tahan blas (SGJT28) yang mendapat inokulasi blas sedikit lebih tinggi, baik pada kondisi bercekaman maupun tanpa cekaman Al. Pada kondisi bercekaman Al, perlakuan inokulasi blas terhadap genotipe peka Al rentan blas (GRJT36) menyebabkan penurunan bobot kering akar secara drastis (Gambar 17A).

Pada kondisi tanah bercekaman Al, inokulasi blas menurunkan bobot kering tajuk genotipe yang diuji dibandingkan tanpa cekaman Al, kecuali genotipe tenggang Al-tahan blas (SGJT28). Sebaliknya pada kondisi tanah tanpa cekaman Al, bobot kering tajuk genotipe peka Al-rentan blas (GRJT36) yang diinokulasi blas nyata lebih rendah

dibandingkan pada kondisi bercekaman Al. Pada kondisi tanpa cekaman Al pertumbuhan tajuk genotipe GRJT36 lebih subur dan intensitas serangan blas lebih tinggi (Gambar 17B), sehingga kerusakan bagian daun genotipe GRJT36 sangat parah yang menyebabkan akumulasi bahan kering daun genotipe tersebut menurun.

Kandungan Nitrogen Tajuk

Kandungan N tajuk berbeda antar genotipe dan interaksi genotipe dan inokulasi blas mempengaruhi kandungan N tajuk. Genotipe SGJT28 dan GRJT19 memiliki kandungan N tajuk lebih tinggi dibandingkan genotipe GRJT49 dan GRJT36 baik diinokulasi maupun tanpa inokulasi blas (Gambar 18). Hal ini menunjukkan bahwa genotipe tenggang Al cenderung memiliki kandungan N daun lebih tinggi dibandingkan genotipe peka. Rendahnya kandungan N pada daun genotipe peka Al karena genotipe peka memiliki hambatan pengambilan N yang besar pada keadaan tercekam Al (Sivaguru dan Paliwal 1993). 0 20 40 60 80 100 SGJT28 GRJT19 GRJT49 GRJT36 Kandungan N tajuk (mg/tanaman) -Blas +Blas

Gambar 18 Kandungan N tajuk padi gogo pada perlakuan blas.

Kandungan N tajuk antara genotipe tahan dan rentan blas tergantung pada tingkat ketenggangan Al (Gambar 18). Genotipe GRJT19 cenderung menyerap N lebih banyak sehingga menyebabkan kerentanan terhadap penyakit blas. Tingginya kandungan N dalam jaringan tanaman menyebabkan tanaman menjadi lebih lunak sehingga lebih rentan terhadap penyakit blas (Ou 1985). Sebaliknya genotipe GRJT36 juga rentan terhadap blas walaupun serapan N lebih rendah dibandingkan genotipe lain. Rendahnya serapan N pada genotipe GRJT36 karena genotipe tersebut juga peka terhadap cekaman Al. Dengan

demikian pada penelitian ini kandungan N tajuk tidak dapat membedakan genotipe tahan dan rentan blas.

Inokulasi blas menyebabkan penurunan kandungan N tajuk kecuali pada genotipe SGJT28 (tenggang Al-tahan blas). Penurunan kandungan N tajuk pada genotipe GRJT36 (peka Al rentan blas) akibat inokulasi blas lebih besar dibandingkan genotipe lainnya (Gambar 18). Penurunan kandungan N tajuk pada tanaman yang diinokulasi blas disebabkan kerusakan daun akibat timbulnya bercak blas yang dapat mengurangi luas daun hijau yang dapat mengganggu metabolisme tanaman.

Kandungan N tajuk semua genotipe yang diuji lebih rendah pada keadaan bercekaman dibandingkan tanpa cekaman Al (Gambar 19). Pemberian kapur 1.5 Aldd pada tanah masam menyebabkan peningkatan serapan N oleh tanaman. Hal ini disebabkan oleh peningkatan ketersediaan N pada tanah yang diberi kapur sehingga serapan N juga meningkat. Pada keadaan tanpa cekaman Al, serapan N oleh genotipe GRJT19, GRJT36 dan GRJT49 lebih tinggi dibandingkan pada keadaan bercekaman Al. Pada genotipe SGJT28 (tenggang Al-tahan blas), hanya terlihat sedikit peningkatan serapan N pada tanah tanpa cekaman Al dibandingkan pada tanah bercekaman Al.

Dokumen terkait