(Genetic × Environment Interaction of IPB Sorghum Breeding Lines in Two Environments)
ABSTRAK
Sorgum merupakan salah satu tanaman pangan yang berpotensi dikembangkan di Indonesia. Fenotipe merupakan hasil dari ekspresi dari genotipe, lingkungan, serta interaksi antara genotipe dan lingkungan. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi interaksi genetik × lingkungan dari galur-galur hasil pemuliaan IPB. Penelitian dilakukan di Gowa Sulawesi Selatan dan Bogor, Jawa Barat. Penelitian menggunakan 16 galur-galur sorgum hasil pemuliaan IPB dan dua varietas nasional sebagai pembanding. Penelitian menggunakan rancangan kelompok lengkap teracak dengan tiga ulangan. Hasil menunjukkan bahwa karakter panjang malai, umur berbunga, bobot 1000 butir, laju pengisian biji, bobot biji per petak, dan produktivitas dipengaruhi oleh interaksi genetik × lingkungan yang bersifat kualitatif. Interaksi genetik × lingkungan kualitatif menyebabkan adanya perubahan peringkat galur di dua lingkungan yang diujikan. UP/N-124-7, UP/N-89-3, UP/N-151-3, UP/N-32-8, UP/N-17-10, UP/N-4-3, UP/N-118-3, dan UP/N-1187-7 mampu beradaptasi baik pada lingkungan lahan kering beriklim kering. UP/N-48-2, UP/N-32-8, UP/N-17-10, UP/N-156-8, UP/N-118-3, and UP/N-139-1 mampu beradaptasi baik pada lingkungan lahan kering beriklim basah.
Kata kunci: Interaksi genetik × lingkungan kualitatif, lahan kering beriklim kering, lahan kering beriklim basah, produktivitas
ABSTRACT
Sorghum is one of potential crops to be developed in Indonesia. The phenotype is a result of expression from genotype, environment, and their interaction. The objective of this study was evaluation of genotype × environment interaction on IPB sorghum breeding lines. Experiment was conducted in Gowa, South Celebes and Bogor, West Java. This experiment used 16 IPB sorghum breeding lines and 2 national varieties as a check. The lines were planted in a randomized complete blocks design with three replications. The results showed that qualitative genetic × environment interaction was effected panicle length, days flowering, 1000 grain weigth, grain filling rate, grain yield, and productivity of sorghum lines. The presence qualitative genetic × environment interaction changed the rank among lines in two environments.UP/N-124-7, UP/N-89-3, UP/N-151-3, UP/N-32-8, UP/N-17-10, UP/N-4-3, UP/N-118-3, and UP/N-1187-7 were well adapted in upland with dry climate. UP/N-48-2, UP/N-32-8, UP/N-17-10, UP/N-156-8, UP/N-118-3, and UP/N-139-1 were well adapted in upland with wet climate.
Key words: Qualitative genotype × environment interaction, upland dry
34
Pendahuluan
Sorgum (Sorghum bicolor (L.) Moench) merupakan tanaman serelia dan menjadi sumber pangan utama di Afrika. Tanaman sorgum sudah dikenal oleh masyarakat Indonesia dan menjadi tanaman pangan pokok untuk beberapa kelompok masyarakat lokal di Jawa, NTB, dan NTT (Kusumawati et al. 2014). Pemanfaatan sorgum masih rendah di Indonesia dibandingkan tanaman pangan lain seperti padi dan jagung. Sorgum mempunyai potensi besar untuk dikembangkan di Indonesia karena dapat dijadikan bahan pangan alternatif dengan kandungan nutrisi tinggi, bahan baku industri, bioenergi, serta mempunyai daya adaptasi yang luas.
Pemuliaan tanaman sorgum saat ini mulai banyak dilakukan di Indonesia dengan tujuan memperoleh varietas sorgum berdaya hasil tinggi dan kualitas biji yang baik. Disamping itu pemuliaan sorgum juga diarahkan pada daya adaptasi terhadap cekaman kekeringan dan cekaman lahan masam (BATAN 2011). Sorgum berpeluang dikembangkan pada lahan kering, baik pada wilayah beriklim basah maupun beriklim kering. Varietas sorgum yang dikembangkan di Indonesia saat ini umumnya ditujukan untuk dibudidayakan di lahan kering beriklim kering. Varietas sorgum yang adaptif di lahan kering beriklim basah belum banyak dikembangkan di Indonesia.
Tanah di lahan kering beriklim basah pada umumnya bersifat masam dan merupakan ciri khas sebagian besar wilayah Indonesia (Subagio & Aqil 2014). Departemen Agronomi dan hortikultura melakukan pemuliaan tanaman sorgum dengan melakukan persilangan antara UPCA-S1 X Numbu. Saat ini telah diperoleh 16 galur lanjut yang sudah di seleksi di lahan masam pada generasi awal (Isnaini 2010; Puspitasari 2011). Galur-galur tersebut perlu diuji lanjut pada berbagai kondisi lingkungan untuk mengetahui daya adaptasi dan potensi hasilnya.
Produksi sorgum sangat dipengaruhi oleh faktor genetik, lingkungan, dan interaksi genetik dan lingkungan. Interaksi genetik × lingkungan merupakan perbedaan respon genotipe diberbagai lingkungan pengujian yang berbeda-beda (Roy 2000; Xie 2003). Hasil penelitian sebelumnya pada tanaman sorgum menunjukkan bahwa interaksi genetik × lingkungan berpengaruh terhadap karakter-karakter kuantitatif seperti hasil dan komponen hasil (Delacy et al. 2010a; Delacy et al. 2010b; dan Rao et al. 2011). Interaksi genetik × lingkungan bersifat kompleks serta mempengaruhi proses seleksi dan pengujian galur-galur unggul (Rao et al. 2011).
Interaksi genetik × lingkungan yang bersifat kualitatif lebih menarik bagi pemulia tanaman dibanding interaksi genetik × lingkungan yang bersifat kuantitatif (Voltas et al. 2002). Interaksi genetik × lingkungan kualitatif menyebabkan adanya perubahan rangking genotipe di lingkungan pengujian, sedangkan interaksi genetik × lingkungan kuantitatif tidak menyebabkan adanya perubahan rangking genotipe di lingkungan pengujian (Fehr 1987). Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari interaksi genetik × lingkungan (G × L) pada galur-galur sorgum yang diuji di dua lingkungan.
35 Metode Penelitian
Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilaksanakan di Kebun Percobaan Balitsereal Bajeng, Gowa, Sulawesi Selatan yang mewakili lahan kering beriklim kering pada bulan Juni – Oktober 2014 dan Kebun Percobaan University Farm IPB, Bogor, Jawa Barat yang mewakili lahan kering beriklim basah pada bulan April – Juli 2015.
Rancangan Penelitian dan Bahan Genetik
Bahan genetik yang digunakan adalah 16 galur sorgum generasi F8 hasil persilangan UPCA-S1 (peka Al) X Numbu (toleran Al), yakni UP/N-124-7, UP/N-89-3, UP/N-82-3, UP/N-48-2, UP/N-151-3, UP/N-39-10, UP/N-32-8, UP/N-17-10, UP/N-166-6, UP/N-159-9, UP/N-156-8, UP/N-4-4, UP/N-118-3, UP/N-139-1, UP/N-118-7, UP/N-139-5 dan dua varietas nasional sebagai pembanding (Numbu dan Kawali). Penelitian menggunakan rancangan kelompok lengkap teracak (RKLT) sebanyak tiga ulangan sehingga terdapat 54 satuan percobaan.
Pelaksanaan Penelitian
Pengolahan lahan. Lahan dibersihkan dari gulma kemudian dibajak untuk mengembalikan tanah. Tanah digemburkan dan dibuat petakan dengan ukuran 3 m x 4 m.
Penanaman. Penanaman dilakukan dengan cara ditugal. Setiap galur ditanam sebanyak lima baris per petak. Jarak antar baris adalah 70 cm dan dalam baris 10 cm dengan ukuran plot 3 m x 4 m. Benih ditanam sebanyak tiga benih per lubang dan disisakan hanya satu tanaman per lubang pada saat tanaman berumur satu minggu.
Pemupukan. Pupuk yang diberikan adalah Urea, SP-18, dan KCl dengan dosis sebesar 150 kg/ha, 200 kg/ha, dan 100 kg/ha.Pemupukan diberikan dua kali yaitu pemupukan pertama pada saat tanam dengan dosis 100 kg/ha Urea, 200 kg/ha SP-18, dan 100 kg/ha KCl. Pemupukan kedua pada umur 3 MST dengan dosis 50 kg/ha Urea.
Pemeliharaan. Pemeliharaan meliputi penyiangan dan pengendalian hama penyakit. Intensitas penyiangan gulma dilakukan tergantung dari kecepatan perkembangan gulma disekitar pertanaman. Penyiangan dilakukan secara manual menggunakan cangkul. Penyiangan pertama dilakukan sebelum pemupukan selanjutnya dilakukan pada saat tanaman memasuki fase generatif. Pengendalian hama dilakukan dengan menggunakan insektisida untuk menghilangkan belalang, walang sangit, dan aphids.
Pengamatan. Pengamatan dilakukan terhadap karakter agronomi tanaman sorgum. Pengamatan dilakukan dengan menggunakan 10 tanaman contoh pada setiap galur di setiap ulangan. Karakter-karakter yang diamati yaitu:
1. Tinggi tanaman (cm), diukur pada batang utama mulai dari permukaan tanah sampai ujung malai
2. Panjang malai (cm), diukur mulai dari pangkal hingga ujung malai
3. Umur berbunga (hst), dihitung dari tanggal tumbuh hingga 50% tanaman berbunga
36
4. Umur panen (hst), ditentukan saat 80% tanaman dalam satu satuan percobaan sudah masak
5. Bobot biji per malai (g), yaitu bobot seluruh biji yang terdapat pada setiap malai tanaman yang terdapat pada batang utama
6. Periode pengisian biji (hari), yaitu selisih umur panen dan umur berbunga 7. Laju pengisisan biji (hari/g), yaitu perbandingan antara bobot biji per malai
dan periode pengisian biji 8. Bobot biji 1000 butir (g) 9. Bobot biji per petak (kg) 10. Produktivitas (ton/ha) Analisis Data
Data yang telah direkapitulasi kemudian dianalisis menggunakan software
SAS dengan tahapan berikut:
1. Analisis ragam pada masing-masing lokasi
Analisis ragam tiap karakter genotipe sorgum pada masing-masing lokasi (Tabel 14). Jika terdapat beda nyata maka akan dilakukan uji Dunnet pada taraf α 0,05 (5%). Model Linier untuk RKLT faktor tunggal adalah sebagai berikut:
Yij = μ + Gi + βj + εij; Keterangan:
Yij : nilai pengamatan pada perlakuan ke-i dan ulangan ke-j μ : nilai rata-rata umum
Gi : pengaruh genotipe ke-i, (i = 1,2,3,..., 18) βj : pengaruh ulangan ke-j, (j = 1,2,3)
εij : pengaruh acak pada genotipe ke-i, ulangan ke-j
Tabel 14 Analisis ragam dan kuadrat tengah harapan galur-galur sorgum pada masing-masing lingkungan
Sumber keragaman
Derajat
bebas Kuadrat tengah
Kuadrat tengah harapan Ulangan r-1 Genotipe g-1 M1 σ2 + rσ2 g Galat (g-1) (r-1) M2 σ2
Keterangan: r = ulangan, g = genotipe, σ2
g =ragam genotipe, σ2
= ragam galat 2. Uji kehomogenan ragam
Ragam galat semua percobaan tunggal di tiap lingkungan dianalisis kehomogenannya menggunakan uji Bartlett sebelum dilakukan analisis ragam gabungan. Hanya ragam-ragam yang homogen yang dapat digabungkan untuk analisis ragam gabungan.
3. Analisis ragam gabungan
Analisis ragam gabungan dilakukan untuk mengetahui pengaruh lingkungan terhadap percobaan. Galur bersifat tetap sedangkan lingkungan bersifat acak sehingga model analisis ragam gabungan yang digunakan merupakan model campuran. Model linier untuk RKLT yang digunakan adalah sebagai berikut:
37 Keterangan :
Yijk : nilai pengamatan dari ulangan ke-i, genotipe ke-j, lingkungan ke-k Μ : nilai rataan umum
Lk : pengaruh lingkungan ke-k (k = 1,2)
βi/Lk : pengaruh ulangan ke-i dalam lingkungan ke-k Gj : pengaruh genotipe ke-j (j = 1,2,3,..., 18)
(LG)kj : pengaruh interaksi lingkungan ke-k dengan genotipe ke-j
Εijk : pengaruh galat percobaan pada lingkungan ke-k, genotipe ke j, ulangan ke-i (i = 1,2,3)
Tabel 15 Analisis ragam gabungan (model campuran) (Roy 2000) Sumber
keragaman Derajat bebas
Kuadrat
Tengah Kuadrat tengah harapan
Lingkungan (L) (l-1) M5 σ2 + rgσ2 E Ulangan/L 1(r-1) M4 σ2+ g σ2 r/l Galur (G) (g-1) M3 σ2 + rσ2gl+ rlσ2 g G x L (l-1)(g-1) M2 σ2+ rσ2 gl Galat (g-1) (r-1) ml M1 σ2
Keterangan: r = ulangan, l = lokasi, g = genotipe, σ2
g= ragam galur, σ2 gl = ragam interaksi, σ2
= ragam galat Hasil dan Pembahasan
Keragaan Karakter Agronomi Galur-Galur Sorgum Hasil Pemuliaan IPB di Dua Lingkungan
Galur-galur yang diuji merupakan generasi lanjut dari persilangan antara UPCA-S1 (peka cekaman Al) dan Numbu (toleran cekaman Al). Hasil penelitian Isnaini (2010) menunjukkan bahwa terdapat variasi yang tinggi pada generasi F2 galur-galur sorgum hasil persilangan UPCA-S1 dan Numbu. Galur-galur diseleksi di lahan masam pada generasi F2 dengan karakter seleksi bobot biji per tanaman dan tinggi tanaman. Tinggi tanaman mempunyai aksi gen aditif dan bobot biji per tanaman mempunyai aksi gen aditif+epistasis komplementer (Isnaini 2010).
Seleksi galur sorgum di lahan masam dilanjutkan oleh Puspitasari (2011) pada generasi F4 dan F5 menggunakan karakter seleksi bobot biji per tanaman dan bobot biomassa yang mempunyai aksi gen aditif+epistasis komplementer. Seleksi individu dengan gen aditif pada generasi awal akan lebih efektif dibandingkan seleksi individu dengan pengaruh gen dominan/overdominan. Hal tersebut disebabkan karena pengaruh gen aditif dapat diwariskan, sedangkan pengaruh gen dominan/overdominan tidak diwariskan (Goodnight & Stevens 1997; Habib & Khan 2003).
Hasil analisis ragam pada masing-masing lingkungan menunjukkan bahwa genotipe tidak berpengaruh nyata pada seluruh karakter yang diamati di Gowa, tetapi genotipe berpengaruh nyata pada seluruh karakter yang diamati di Bogor (Tabel 16). Hasil analisis kehomogenan ragam menunjukkan bahwa ragam pada kedua lingkungan homogen sehingga dapat dilakukan analisis ragam gabungan (data tidak ditampilkan).
38
Tabel 16 Hasil analisis ragam karakter agronomi galur-galur sorgum hasil pemuliaan IPB di masing-masing lingkungan
Karakter agronomi Kuadrat tengah
Gowa Bogor
Tinggi tanaman 232.1 484.1*
Panjang malai 6.1 7.0**
Umur berbunga 8.8 25.2**
Umur panen 54.8 5.2* Bobot biji per malai 143.9 114.5**
Bobot 1000 butir 25.7 95.3**
Periode pengisian biji 27.5 15.3** Laju pengisian biji 0.8 0.1**
Bobot per petak 0.7 0.8**
Produktivitas 1.9 2.1**
Keterangan: *= berpengaruh nyata pada taraf 5%, **= berpengaruh nyata pada taraf 1%
Tabel 17 Hasil analisis ragam gabungan pengaruh genotipe (G), lingkungan (L), dan interaksi G × L pada karakter agronomi galur-galur sorgum hasil pemuliaan IPB di dua lingkungan
Karakter agronomi Kuadrat tengah
Lingkungan (L) Genotipe (G) G × L
Tinggi tanaman 3087.5 449.1 267.0
Panjang malai 0.7 153.6 4.1*
Umur berbunga 1302.0** 20.0 14.0*
Umur panen 9111.7** 32.1 27.8
Bobot biji per malai 6808.0 104.5 153.9
Bobot 1000 butir 78.7 75.2 45.8*
Laju pengisian biji 42.5** 0.4 0.5* Periode pengisian biji 3524.9** 23.8 19.1 Bobot per petak 5.8 0.9 0.6* Produktivitas 0.4 2.4 1.6* Keterangan: *= berpengaruh nyata pada taraf 5%, **= berpengaruh nyata pada
taraf 1%
Hasil analisis ragam gabungan pada dua lingkungan pengujian menunjukkan bahwa lingkungan berpengaruh nyata pada karakter umur berbunga, umur panen, bobot biji per malai, laju pengisian biji, dan periode pengisian biji. Genotipe tidak berpengaruh nyata pada seluruh karakter yang diamati, sedangkan interaksi genetik × lingkungan berpengaruh pada karakter panjang malai, umur berbunga, bobot 1000 butir, laju pengisian biji, bobot per petak, dan produktivitas (Tabel 17). Faktor genotipe tidak berpengaruh nyata pada semua karakter agronomi yang diamati, hal tersebut mengartikan bahwa galur-galur sorgum yang diuji mempunyai penampilan yang sama. Kondisi tersebut terjadi karena galur-galur yang diuji telah melalui proses seleksi. Seleksi dilakukan dengan memilih galur-galur yang mempunyai nilai bobot biji yang lebih tinggi dibandingkan kedua tetua dan tinggi tanaman diantara kedua tetua.
39 Hal tersebut mengakibatkan semua galur-galur sorgum pada generasi lanjut mempunyai penampilan yang sama baiknya.
Secara umum pertumbuhan galur-galur sorgum di Gowa lebih baik dibanding pertumbuhan galur sorgum di Bogor. Galur-galur sorgum yang diuji di Gowa mempunyai tinggi tanaman, bobot biji per malai, dan panjang malai yang lebih tinggi dibanding galur-galur sorgum yang diuji di Bogor. Galur-galur yang diuji di Gowa mempunyai umur berbunga, umur panen, periode pengisian biji, dan laju pengisian biji yang lebih cepat dibanding di Bogor. Pertumbuhan galur sorgum yang lebih baik di Gowa disebabkan karena curah hujan yang lebih rendah dibanding curah hujan di Bogor. Curah hujan yang relatif tinggi hingga akhir fase vegetatif di Bogor mengakibatkan tanaman sorgum rebah dan mempengaruhi karakter-karakter agronomi yang diamati. Disamping itu, pertumbuhan sorgum lebih baik di Gowa dibanding di Bogor karena Gowa merupakan daerah kering dengan suhu harian dan unit panas yang lebih tinggi dibanding di Bogor sehingga lebih sesuai dengan habitat asli sorgum.
Tinggi Tanaman
Galur-galur sorgum yang diuji mempunyai tinggi tanaman kategori sedang yang berkisar antara 180-210 cm. Rata-rata tinggi tanaman di dua lingkungan menunjukkan bahwa galur-galur yang diuji mempunyai tinggi tanaman yang sama dengan kedua varietas pembanding (Tabel 18). Disamping daya hasil, karakter tinggi tanaman merupakan kriteria seleksi dalam program pemuliaan sorgum karena menentukan tingkat kerebahan tanaman (Dillon et al. 2007).
Tanaman yang terlalu tinggi tidak diinginkan oleh pemulia karena tanaman akan lebih mudah rebah sehingga menurunkan produksi biji (Indradewa et al. 2005). Disamping itu, tanaman yang tinggi menyebabkan alokasi fotosintat lebih banyak ke batang dibanding ke biji (Indradewa et al. 2005). Tinggi tanaman merupakan salah satu karakter seleksi galur-galur sorgum pada generasi F2. Galur-galur sorgum yang diseleksi mempunyai tinggi tanaman diantara kedua tetua (Isnaini 2010).
Bobot Biji per Malai
Galur-galur sorgum yang diuji mempunyai bobot biji per malai berkisar 40-59 g. Hasil pengujian di dua lingkungan menunjukkan bahwa bobot biji per malai galur sorgum yang diuji tidak berbeda nyata dengan dua varietas pembanding.
Bobot biji per malai merupakan salah satu karakter seleksi galur-galur sorgum pada generasi F2, F4, dan F5 karena merupakan komponen hasil yang berhubungan dengan potensi hasil tanaman (Isnaini 2010; Puspitasari 2011). Galur-galur sorgum yang diseleksi mempunyai bobot biji per malai yang lebih tinggi dibanding kedua tetua. Ali et al. (2011) menyatakan bahwa bobot biji per malai mempunyai korelasi positif dengan lebar malai dan produktivitas.
40
Tabel 18 Nilai tengah tinggi tanaman dan bobot biji per malai galur-galur sorgum hasil pemuliaan IPB
No Galur
Tinggi tanaman
(cm) Rata-
rata
Bobot biji per
malai (g) Rata-rata
Gowa Bogor Gowa Bogor
1 UP/N-124-7 203.07 190.6b 196.8 64.6 40.3 52.4 2 UP/N -89-3 211.15 183.6b 197.3 59.3 40.7 40.7 3 UP/N -82-3 203.15 186.9b 195.0 56.1 43.0 49.5 4 UP/N -48-2 210.48 204.0 207.2 59.3 43.9 51.6 5 UP/N -151-3 214.59 193.4b 203.9 64.6 32.0b 48.3 6 UP/N -39-10 219.00 206.9 212.9 62.6 47.8 55.2 7 UP/N -32-8 217.85 215.5 216.6 67.6 49.0 58.3 8 UP/N -17-10 215.52 213.2 214.3 64.5 54.8a 59.6 9 UP/N -166-6 197.15 177.3b 187.2 49.0 37.0b 43.0 10 UP/N -159-9 199.93 200.4 200.1 70.1 39.8 54.9 11 UP/N -156-8 214.96 220.3 217.6 65.0 47.6 56.3 12 UP/N -4-3 200.74 189.1b 194.9 64.0 46.2 55.1 13 UP/N -118-3 204.74 206.2 205.4 58.0 48.1 53.0 14 UP/N -139-1 225.00 205.4 215.2 47.0 56.6a 51.8 15 UP/N -118-7 219.56 188.0b 204.2 58.3 42.0 50.1 16 UP/N -139-5 209.15 198.9 204.0 51.5 47.7 49.6 17 Kawali 224.04 198.9 211.4 73.1 42.2 57.6 18 Numbu 199.52 220.7 210.1 61.6 51.9 56.7 Keterangan: a = berbeda nyata dengan Kawali pada uji Dunnet taraf 5%, b =
berbeda nyata dengan Numbu pada uji Dunnet taraf 5%. Umur Berbunga dan Umur Panen
Galur-galur sorgum yang diuji di dua lingkungan mempunyai umur berbunga berkisar 53-65 hari dan termasuk kedalam kategori genjah. Galur-galur sorgum yang di uji di Gowa mempunyai umur berbunga yang tidak berbeda nyata dengan dua varietas pembanding. Hasil pengujian di Bogor menunjukkan bahwa galur UP/N-124-7, UP/N-89-3, UP/N-151-3, UP/N-166-6 mempunyai umur berbunga yang nyata lebih cepat dibanding dua varietas pembanding (Tabel 20).
Galur-galur sorgum yang diuji di dua lingkungan mempunyai umur panen berkisar 74-101 hari. Hasil pengujian di dua lingkungan menunjukkan bahwa umur panen galur sorgum yang diuji tidak berbeda nyata dengan dua varietas pembanding (Tabel 19). Galur yang memiliki kriteria umur berbunga genjah merupakan galur yang dikehendaki oleh pemulia tanaman karena berkaitan dengan umur panen yang umumnya lebih cepat (Poespodarsono 1988).
Karakter waktu berbunga merupakan karakter kompleks yang melibatkan adaptasi tanaman terhadap lingkungannya, terutama panjang hari dan suhu (Mace et al. 2013). Suhu optimum untuk pertumbuhan sorgum berkisar antara 20oC-30oC. Suhu lingkungan diatas 30oC berpengaruh negatif terhadap fase pembentukan malai dan menyebabkan aborsi embrio pada floret, suhu lingkungan 40oC akan menyebabkan terhambatnya proses pemanjangan malai, dan suhu lingkungan diatas 44oC menyebabkan pertumbuhan tanaman sorgum sangat terhambat (Prassad et al. 2006; Prassad et al. 2008).
41 Tabel 19 Nilai tengah umur panen dan periode pengisian biji galur-galur
sorgum hasil pemuliaan IPB No Galur
Umur
panen (hst) Rata- rata
Periode pengisian
biji (hari) Rata-rata
Gowa Bogor Gowa Bogor
1 UP/N-124-7 74 99 86.5 21 39a 30.0 2 UP/N -89-3 81 98 89.5 27 43ab 35.0a 3 UP/N -82-3 81 100 90.5 28 39a 33.5 4 UP/N -48-2 78 101a 89.5 25 36 30.5 5 UP/N -151-3 79 97b 88.0 24 39a 31.5 6 UP/N -39-10 82 101a 91.5 25 36 30.5 7 UP/N -32-8 87 99 93.0 30 34 32.0 8 UP/N -17-10 86 101a 93.5 28 36 32.0 9 UP/N -166-6 83 99 91.0 29 40a 34.5a 10 UP/N -159-9 83 100 91.5 26 37 31.5 11 UP/N -156-8 78 100 89.0 23 35 29.0 12 UP/N -4-3 83 99 91.0 27 39a 33.0 13 UP/N -118-3 79 99 89.0 24 36 30.0 14 UP/N -139-1 86 99 92.5 30 35 32.5 15 UP/N -118-7 83 98 90.5 27 38 32.5 16 UP/N -139-5 86 99 92.5 27 37 32.0 17 Kawali 84 97 90.5 20 34 27.0 18 Numbu 74 101 87.5 21 36 28.5
Keterangan: a = berbeda nyata dengan Kawali pada uji Dunnet taraf 5%, b = berbeda nyata dengan Numbu pada uji Dunnet taraf 5%.
Data dari tahun 1982-2012 menunjukkan bahwa suhu rata-rata di Gowa dan Bogor masing-masing sebesar 29oC dan 26oC (www.climate.org 2015). Berdasarkan data tersebut, kondisi di dua lingkungan mempunyai rata-rata suhu yang optimal untuk pertumbuhan sorgum. Galur-galur sorgum yang diuji di Gowa mempunyai umur berbunga dan umur panen yang lebih genjah dibandingkan di Bogor. Galur-galur sorgum yang diuji di Gowa memiliki umur berbunga dan umur panen masing-masing berkisar 53-58 hari dan 74-84 hari, sedangkan galur-galur sorgum yang diuji di Gowa memiliki umur berbunga dan umur panen masing-masing berkisar 58-65 hari dan 98-101 hari. Hal tersebut terjadi karena Gowa mempunyai suhu udara dan radiasi matahari relatif lebih tinggi dibanding Bogor. Adanya suhu udara dan radiasi matahari yang tinggi akan mengakibatkan total unit panas yang diperoleh setiap hari menjadi lebih tinggi sehingga mempercepat proses pembungaan dan pemasakan tanaman (Sumantra et al. 2015). Disamping itu, suhu juga akan berpengaruh terhadap tanaman saat memasuki fase berbunga sehingga waktu berbunga akan semakin genjah dengan semakin tingginya suhu (Pollo 2003).
Panjang Malai
Karakter panjang malai di lingkungan Gowa dan Bogor ditampilkan pada Tabel 20. Galur-galur sorgum yang diuji di Gowa mempunyai malai yang lebih panjang dibandingkan di Bogor. Hasil pengujian di Gowa menunjukkan bahwa
42
galur-galur sorgum yang diuji mempunyai panjang malai yang sama dengan Kawali dan Numbu.
Tabel 20 Nilai tengah umur berbunga, laju pengisian biji, dan panjang malai galur-galur sorgum hasil pemuliaan IPB
Keterangan: a = berbeda nyata dengan Kawali pada uji Dunnet taraf 5%, b = berbeda nyata dengan Numbu pada uji Dunnet taraf 5%.
Hasil pengujian di Bogor menunjukkan bahwa galur UP/N-159-9 memiliki panjang malai yang tidak berbeda dengan Kawali dan Numbu, sedangkan galur lainnya mempunyai panjang malai yang nyata lebih pendek dibanding Kawali. Panjang malai berkolerasi positif dengan lebar malai dan panjang cabang malai tetapi berkolerasi negatif dengan jumlah cabang malai (Ayana & Bekele 2000). Panjang malai juga mempunyai korelasi yang rendah dengan karakter hasil (Ezeaku & Mohammed 2006).
Periode Pengisian Biji dan Laju Pengisian Biji
Hasil pengujian di dua lingkungan menunjukkan bahwa galur UP/N-89-3 dan UP/N-166-6 mempunyai periode pengisian biji yang nyata lebih lama dibandingkan varietas Kawali, sedangkan galur lainnya mempunyai periode pengisian biji yang tidak berbeda nyata dengan kedua varietas pembanding (Tabel 19). Periode pengisian biji galur-galur sorgum di Gowa lebih cepat 4-18 hari dibanding periode pengisian biji galur-galur sorgum di Bogor. Hal ini disebabkan karena Gowa mempunyai suhu rata-rata 3oC lebih tinggi dibanding suhu di Bogor (www.climate.org 2015). Suhu tinggi akan meningkatkan laju pengisisan biji dan pendeknya periode pengisan biji (Dias & Lidon 2009). Yang
et al. (2003) menyatakan bahwa semakin peka tanaman terhadap suhu tinggi, No Galur Umur berbunga (hst) Panjang malai (cm) Laju pengisian biji (g/hari) Gowa Bogor Gowa Bogor Gowa Bogor 1 UP/N-124-7 53 60ab 29.6 14.7 ab 3.10 1.04b 2 UP/N -89-3 54 56ab 30.5 14.5 ab 2.30 0.95b 3 UP/N -82-3 53 61b 28.0 16.7 a 2.17 1.10 4 UP/N -48-2 53 65a 17.0 16.9 a 2.42 1.23 5 UP/N -151-3 55 58ab 31.0 16.4 a 2.83 0.82ab 6 UP/N -39-10 57 65 34.0 15.7a 2.51 1.31 7 UP/N -32-8 58 65 16.0 15.2a 2.28 1.44 8 UP/N -17-10 58 65 15.0 16.5a 2.30 1.53 9 UP/N -166-6 55 59ab 33.0 17.2a 1.62 0.93b 10 UP/N -159-9 58 62 29.6 18.2 2.73 1.06 11 UP/N -156-8 54 65 29.6 16.5a 2.99 1.37 12 UP/N -4-3 55 60b 15.0 15.2a 2.33 1.20 13 UP/N -118-3 55 63 31.3 16.7a 2.35 1.34 14 UP/N -139-1 56 64 33.0 15.7a 1.49 1.64a 15 UP/N -118-7 57 60b 31.0 15.2a 2.20 1.11 16 UP/N -139-5 57 62 25.8 14.8ab 2.15 1.29 17 Kawali 54 62 35.8 20.8 3.70 1.27 18 Numbu 52 65 34.8 17.8 3.09 1.45
43 maka waktu pengisian biji menjadi lebih pendek dan bobot biji yang dihasilkan menjadi berkurang. Nur (2013) juga menambahkan bahwa suhu tinggi yang disertai ketersediaan air yang kurang dapat mempercepat terjadinya proses pematangan biji.
Karakter periode pengisian biji merupakan salah satu karakter seleksi penting dalam pemuliaan tanaman karena berhubungan dengan karakter hasil (Sourour et al. 2010). Brisson et al. (2001) menyatakan bahwa periode pengisian biji berhubungan dengan indeks panen dan berkorelasi positif dengan karakter produksi. Hammer dan Board (2006) juga menyatakan bahwa adanya perbedaan hasil panen antar genotipe sorgum dapat disebabkan oleh adanya perbedaan dalam mobilisasi asimilat pada periode pengisian biji. Disamping itu diperlukan pula karakter stay green untuk tanaman sorghum terutama pada kondisi kurang