• Tidak ada hasil yang ditemukan

7.3.1 Identifikasi komponen SWOT

Tahap awal dalam melakukan analisis kebijakan menyangkut pengembangan industri surimi di Provinsi Papua Barat adalah melalui identifikasi komponen SWOT

(Strengths/Kekuatan, Weaknesses/Kelemahan, Opportunities/Peluang, Threaths/Ancaman).

Komponen kekuatan dan kelemahan merupakan hasil analisis lingkungan internal, sedangkan komponen peluang dan ancaman adalah hasil analisa lingkungan eksternal yang sifatnya tidak bisa dikendalikan.

(1) Komponen S (Kekuatan)

1) Kebijakan dan legalitas

Pemanfaatan HTS menjadi Surimi mendapatkan dukungan dari pemerintah yang tertuang dalam UU No.31 Tahun 2004 tentang Perikanan (pasal 24), menyebutkan bahwa pemerintah mendorong peningkatan nilai tambah produksi hasil perikanan dan sekaligus akan membatasi ekspor bahan baku industri pengolahan ikan untuk menjamin ketersediaan bahan baku di dalam negeri. Hasil riset yang dilakukan kerjasama antara Dinas Perikanan dan

Kelautan Provinsi Papua dan Sucofindo yang dituangkan dalam pedoman umum “Perencanaan Pengelolaan dan Pemanfaatan Hasil tangkap sampingan Pukat Udang di Laut Arafura” menggambarkan bahwa urutan prioritas pengembangan jenis pengolahan yang dikaji secara menyeluruh adalah surimi, tepung ikan, fillet beku, ikan segar dan tradisional. Analisis tersebut mengindikasikan bahwa pengolahan ikan HTS menjadi surimi merupakan alternatif terbaik ditinjau dari segi teknologi, pemasaran, bahan baku, investasi dan sumberdaya manusia.

Berdasarkan Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF) article 11

menyebutkan bahwa negara harus mendukung berlangsungnya pengolahan, distribusi dan pemasaran ikan agar dapat meningkatkan pemanfaatan HTS dengan tetap konsisten pada praktek pengelolaan perikanan yang bertanggungjawab. Departemen Kelautan dan Perikanan sebagai institusi nasional yang bertanggung jawab dalam bidang kelautan dan perikanan telah mengeluarkan Peraturan Menteri nomor PER.05/MEN/ 2008 tentang Usaha Perikanan Tangkap. Salah satu pasal pada peraturan tersebut dinyatakan bahwa ijin penangkapan ikan diberikan kepada perusahaan penangkapan ikan yang memiliki unit pengolahan ikan di dalam negeri. Hasil tangkapan yang dihasilkan wajib didaratkan seluruhnya di pelabuhan pangkalan kecuali ikan hidup, tuna untuk sashimi atau ikan lain yang menurut sifatnya tidak memerlukan pengolahan. Peraturan tersebut ditindak lanjuti dengan Keputusan Direktur Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan nomor KEP 033/DJ-P2HP/2008 tentang Jenis Ikan Laut Hasil Tangkapan Yang Menurut Sifatnya Tidak Memerlukan Pengolahan. Pada peraturan tersebut dijelaskan kembali bahwa seluruh ikan hasil tangkapan wajib didaratkan di pelabuhan pangkalan untuk memenuhi kebutuhan bahan baku unit pengolahan ikan atau konsumsi dalam negeri serta wajib mengalami penanganan dan atau pengolahan.

Kedua peraturan tersebut menjadi stimulus bagi pengusaha untuk berinvestasi membangun industri pengolahan ikan, dan secara tidak langsung membuka peluang bagi perkembangan industri surimi yang memanfaatkan hasil tangkap sampingan.

2) Bahan baku (by-catch) melimpah

Rasio HTS yang dihasilkan oleh kapal pukat udang adalah 1 : 12, artinya untuk setiap 1 (satu) ton udang akan menghasilkan 12 (lima) ton HTS. Adapun produksi udang per tahun diperkirakan sebesar 60.000 ton per tahun, sehingga HTS yang dihasilkan diperkirakan sebesar 300.000 ton per tahun. Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa potensi ikan

3) Daya serap tenaga kerja tinggi

Pengolahan HTS menjadi surimi mengindikasikan terbukanya lapangan kerja baru yang merupakan salah satu cara untuk menurunkan tingkat pengangguran di Provinsi Papua Barat dikarenakan industri surimi tergolong industri padat karya, sehingga akan melibatkan banyak tenaga kerja baik pada pengolahan HTS menjadi surimi maupun pada tahap pembuatan produk-produk olahan berbahan baku surimi. Hal ini akan sangat bermanfaat bagi pemerintah provinsi Papua Barat dalam mengurangi tingkat pengangguran yang mencapai 88.165 orang (tahun 2002).

4) Nilai tambah bagi pelaku usaha dan masyarakat

Kendala keterbatasan palka dan rendahnya nilai ekonomis apabila HTS dibawa ke darat menyebabkan pemanfaatan HTS tidak optimal, selama ini HTS yang dimanfaatkan hanya sebesar 3,71%, yang terdiri dari jenis ikan ekonomis penting, yaitu kakap, tenggiri, kerapu, dll, sedangkan selebihnya dibuang ke laut. Pemanfaatan tersebut hanya terbatas sebagai bonus bagi ABK sekaligus dimanfaatkan untuk konsumsi ABK, sehingga tidak memberikan nilai tambah. Melalui pengolahan HTS menjadi surimi, HTS yang sekiranya dibuang ke laut, pada akhirnya memiliki nilai tambah yang dapat menjadi sumber pendapatan baru baik bagi pengusaha maupun masyarakat. Bagi pengusaha pengolahan HTS menjadi surimi merupakan sumber investasi baru yang dapat menghasilkan sumber pendapatan yang baru pula. Peraturan menteri ini didukung oleh keputusan Direktur Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Nomor : KEP.033/DJ-P2HP/2008 tentang jenis ikan laut hasil tangkapan yang menurut sifatnya tidak memerlukan pengolahan, dimana jenis-jenis ikan yang merupakan HTS dan sesuai untuk bahan baku surimi dilarang untuk diekspor dalam bentuk utuh dan harus diolah.

(2) Komponen W (Kelemahan)

1) Infrastruktur lemah

Infrastruktur pendukung masih lemah dan belum sepenuhnya tersedia, seperti kebutuhan energi listrik untuk mesin-mesin industri yang masih kurang termasuk untuk mesin-mesin pengolahan surimi, jalur transportasi masih sangat terbatas yang berpengaruh

dalam proses distribusi dan pemasaran, kurangnya suplai air bersih yang merupakan komponen penting dalam dan lain sebagainya. Infrastruktur tersebut merupakan prasarana pendukung berlangsungnya industri pengolahan HTS menjadi surimi, sehingga apabila ketersediaannya terbatas maka proses industri akan mengalami hambatan.

2) Keterampilan SDM lokal terbatas

Mengingat pengolahan surimi masih tergolong sedikit di Indonesia, sehingga pengetahuan akan hal tersebut juga masih terbatas, terlebih bagi masyarakat di Provinsi Papua Barat yang banyak bermukim di daerah pedalaman.

3) Manajemen pengumpulan bahan baku terbatas

HTS yang pada umumnya dibuang ke laut disebabkan oleh terbatasnya palka kapal sebagai tempat penyimpanan di atas kapal sehingga pengusaha pada umumnya memerintahkan kepada ABK untuk membuang HTS di laut. Hal ini mengindikasikan bahwa

manajemen pengumpulan HTS sebagai supply bahan baku akan terhambat.

4) Teknologi pengolahan surimi terbatas

Pengolahan surimi yang umum dilakukan saat ini adalah untuk bahan baku yang terdiri dari satu jenis ikan (HTS) saja, sehingga untuk pengolahan lebih dari 1 (satu) jenis ikan belum dilakukan dikarenakan teknologi yang masih terbatas. Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa HTS terdiri atas campuran antara ikan ekonomis dan non ekonomis baik yang dalam keadaan utuh maupun yang tidak utuh.

(3) Komponen O (Peluang)

1) Potensi pasar luas

Perkembangan surimi saat ini sangat pesat, mengingat surimi merupakan bahan baku

untuk olahan fish jelly seperti seperti imitation crab meat, fish ball, fish cake dan bentuk

olahan lainnya. Surimi sudah merupakan produk internasional dengan tingkat permintaan yang setiap tahun mengalami peningkatan. Adapun negara-negara pengimpor surimi adalah

permintaan tertinggi adalah Eropa terutama Perancis dan Spanyol dengan jumlah permintaan mencapai 18.000 hingga 20.000 ton per tahun. Permintaan tersebut tidak hanya terbatas pada surimi saja tetapi juga pada produk lanjutan/turunan dari surimi.

2) Peningkatan devisa ekspor

Potensi pasar surimi yang masih didominasi oleh pasar luar negeri sangat memungkinkan untuk dilakukannya ekspor ke negara pengimpor. Hal ini berarti pemanfaatan HTS untuk memproduksi surimi merupakan peluang besar untuk menambah devisa negara.

3) Kebiasaan konsumsi masyarakat lokal

Masyarakat Papua Barat merupakan masyarakat yang memiliki kebiasaan mengkonsumsi ikan-ikan ekonomis dari kelompok udang, tuna, tongkol dan cakalang, sedangkan ikan-ikan ekonomis lainnya cenderung kurang diminati terlebih lagi ikan rucah, sehingga kebutuhan konsumsi masyarakat lokal Papua Barat bukan merupakan pesaing bagi industri surimi.

(4) Komponen T (Ancaman)

1) Investasi teknologi relatif mahal

Selain padat karya, industri surimi juga tergolong padat modal yakni untuk membangun teknologi pengolahannya dibutuhkan modal atau imvestasi yang besar. Hal ini merupakan ancaman dikarenakan alternatif pengolahan HTS yang lain seperti ikan asin tidak memerlukan modal yang besar. Faktor penyebab mahalnya teknologi adalah teknologi pengolahan surimi masih harus diimpor dan belum diproduksi di dalam negeri. Mahalnya teknologi pengolahan surimi dapat mengakibatkan kurangnya minat investor untuk bergabung dalam usaha surimi tersebut.

2) Kebiasaan resistensi pelaku usaha dan masyarakat

Resistensi yang dimaksud adalah kecenderungan pelaku usaha dan masyarakat untuk bertahan pada satu bidang usaha saja yang selama ini dirasakan cukup menguntungkan, dan akan menimbulkan kesan tertutup pada usaha lain. Hal ini merupakan ancaman karena akan menimbulkan efek kurang diminatinya usaha pengolahan surimi oleh pelaku usaha. Dengan

kata lain, akan ada kemungkinan industri surimi tidak diminati sebagai akibat kurangnya informasi dan pengetahuan tentang surimi.

3) Kompetitor pengolah surimi

Produsen surimi terbesar adalah Thailand yang secara teknologi dan kualitas surimi yang dihasilkan adalah berstandar internasional. Selain Thailand, beberapa negara penghasil surimi lainnya adalah Singapura. Di Indonesia, baru terdapat 5 (lima) industri surimi dengan dengan kegiatan berada di Indonesia barat 4 (empat) buah dan Indonesia timur 1 (satu) buah. Keberadaan pelaku usaha tersebut merupakan ancaman bagi pengembangan industri surimi apabila tidak diiringi dengan kemampuan bersaing.

7.3.2 Penentuan alternatif strategi

Berdasarkan hasil identifikasi komponen SWOT, diperoleh beberapa alternatif strategi terkait dengan upaya pengembangan industri surimi yakni sebegai berikut:

(1) Diversifikasi surimi (SO)

Strategi diversifikasi surimi merupakan strategi yang dihasilkan dalam upaya

memanfaatkan kekuatan (strengths) yang dimiliki guna mengisi peluang (opportunities) yang

ada. Strategi ini memanfaatkan bahan baku dan kebijakan pemerintah serta potensi pasar dalam rangka meningkatkan penyerapan tenaga kerja, peningkatan konsumsi dan nilai tambah bagi pelaku usaha. Diversifikasi surimi adalah upaya dalam proses pengolahan baik secara horizontal maupun vertikal. Secara horizontal berarti diversifikasi dilakukan dalam hal proses pembuatan surimi dilakukan dengan memanfaatkan bahan baku yang berasal dari berbagai

jenis ikan terutama ikan-ikan hasil tangkap sampingan (by-catch) pukat udang, yang

komersial maupun non komersil. Adapun diversifikasi secara vertikal berarti pengolahan surimi menjadi berbagai macam produk olahan seperti baso, sosis dan lain sebagainya.

(2) Peningkatan infrastuktur dan ketrampilan SDM (WO)

Strategi peningkatan infrastruktur dan keterampilan sumberdaya manusia merupakan strategi yang digunakan dalam menyiasati kelemahan yang dimiliki agar tetap dapat mengisi

lemah serta ketrampilan SDM lokal, manajemen pengumpulan bahan baku dan teknologi pengolahan yang juga masih terbatas harus dapat dimanfaatkan sedemikian rupa agar dapat mengisi potensi pasar yang ada sekaligus guna meningkatkan devisa. Selain itu, peluang lain yang dapat dimanfaatkan adalah adanya kebiasaan masyarakat lokal yang memiliki kecenderungan menyukai ikan ekonomis penting, sedangkan ikan non ekonomis penting kurang diminati. Mengingat peralatan mesin yang masih diimpor dengan harga yang sangat tinggi, maka pengembangan permesinanan surimi dalam negeri harus dipacu untuk mengurangi bagian investasi yang besar.

(3) Clean technology (ST)

Clean technology adalah upaya pemanfaatan ikan secara keseluruhan dalam bentuk

bahan baku atau seluruh bagian dari ikan termasuk daging dan tulang sehingga dapat dijadikan komoditi yang bernilai tambah.

Strategi clean technology merupakan strategi yang dilakukan dalam upaya mengatasi

ancaman yang ada melalui pengoptimalan kekuatan yang ada. Hal ini berarti perlu adanya pemanfaatan bahan baku, dukungan kebijakan dan legalitas serta adanya perolehan nilai tambah guna mengatasi tingginya nilai investasi teknologi, adanya kompetitor pengolah surimi serta kecenderungan resistensi pelaku usaha.

(4) Pemberdayaan masyarakat, efisiensi serta efektivitas usaha (WT)

Pemberdayaan masyarakat lokal yang pada umumnya masih minim pengetahuan tentang pengolahan surimi serta membangun etos kerja yang bertujuan meningkatkan ketrampilan dan bermuara pada efisiensi dan efektifitas usaha merupakan strategi yang perlu dilakukan dalam mengelola kelemahan yang dimiliki guna mengatasi berbagai ancaman yang dihadapi.

7.4Pembahasan

Hasil identifikasi komponen SWOT yang selanjutnya menghasilkan 4 (empat) strategi yang tersusun dalam suatu hirarki strategi pengembangan industri surimi dalam rangka

pemanfaatan by-catch pukat Udang di Provinsi Papua Barat seperti yang terlihat pada Gambar

7.4.1 Analisis prioritas faktor

Hasil AHP memperlihatkan bahwa dari keempat komponen SWOT, komponen kekuatan dengan bobot 0, 490 merupakan prioritas utama yang dipilih oleh responden dalam

upaya pengembangan industri surimi melalui pemanfaatan by-catch pukat Udang di Provinsi

Papua Barat. Prioritas berikutnya adalah komponen kelemahan dengan bobot 0, 292 yang kemudian diikuti oleh komponen peluang dan ancaman, masing-masing dengan bobot 0, 117 dan 0, 101 (Gambar 18).

Gambar 18 Analisis prioritas faktor terhadap fokus.

Hal ini menunjukkan bahwa dalam upaya pengembangan industri surimi di Provinsi Papua Barat, komponen kekuatan merupakan faktor yang dinilai paling sesuai dengan tujuan/fokus yang diinginkan yakni kekuatan berupa adanya dukungan kebijakan dari pemerintah dan legalitas berupa peraturan perundang-undangan, besarnya kuantitas bahan

baku berupa by-catch pukat udang, kemungkinan tingginya daya serap tenaga kerja serta

adanya nilai tambah yang dapat diperoleh pelaku usaha dan masyarakat.

Komponen kelemahan sebagai prioritas kedua mengindikasikan bahwa infrastruktur yang lemah serta keterampilan SDM lokal, manajemen pengumpulan bahan baku dan teknologi pengolahan surimi yang terbatas, harus mendapatkan perhatian lebih bagi pengembangan industri surimi di Provinsi Papua Barat. Hal ini dapat dilakukan apabila faktor kekuatan yang dijadikan faktor utama, telah dapat diakomodir dengan baik. Demikian pula dengan faktor peluang yang menduduki prioritas ketiga, pengisian peluang berupa pemenuhan permintaan pasar sesuai dengan potensi pasar yang ada dan diharapkan dapat meningkatkan devisa ekspor.

Adapun ancaman faktor sebagai prioritas keempat atau terakhir, mengindikasikan bahwa setelah faktor kekuatan, kelemahan dan peluang dilakukan upaya-upaya

Ancaman .101 Kekuatan .490 Kelemahan .292 Peluang .117 I nconsistency = 0.03

ada yakni mahalnya nilai investasi teknologi, resistennya pelaku usaha serta adanya kompetitor surimi.

7.4.2 Analisis prioritas subfaktor

Selain prioritas faktor terhadap fokus, maka terdapat pula prioritas subfaktor terhadap keempat faktor/komponen SWOT yang ada. Subfaktor pada faktor/komponen kekuatan

(Gambar 19) memperlihatkan bahwa dari keempat subfaktor, maka subfaktor bahan baku (by-

catch) melimpah menjadi prioritas utama dengan bobot 0,456 dalam memanfaatkan kekuatan

guna pengembangan industri surimi di Provinsi Papua Barat. Prioritas berikutnya adalah subfaktor nilai tambah bagi pelaku usaha (bobot 0.243), daya serap tenaga kerja tinggi

(bobot 0,151) serta kebijakan dan legalitas dengan bobot 0,149. Bahan baku (by-catch)

yang melimpah dijadikan sebagai subfaktor utama dikarenakan adanya fakta

Gambar 19 Analisis prioritas subfaktor terhadap faktor kekuatan.

bahwa kurang lebih 300.000 ton per tahun hasil tangkap sampingan (by-catch) alat tangkap

pukat udang di perairan Arafura, belum termanfaatkan dan sebagian besar dibuang kembali ke laut.

Oleh karena itu, besarnya kuantitas hasil tangkap sampingan (by-catch) tersebut telah

membuka jalan bagi pengembangan industri surimi. Hal ini dikarenakan pengembangan awal suatu industri surimi juga bergantung pada ada atau tidaknya bahan baku yang akan diolah menjadi surimi dan dapat menjamin keberlangsungan industri surimi dalam hal bahan baku.

Selain itu, ikan-ikan yang merupakan hasil tangkap sampingan (by-catch) pukat udang

merupakan ikan-ikan yang dapat diolah menjadi surimi seperti ikan kurisi, swanggi, pisang- pisang, bambangan, beloso, biji nangka dan beberapa jenis ikan lainnya.

Adanya nilai tambah bagi pelaku usaha menjadi kekuatan kedua dalam pengembangan

industri surimi, dikarenakan pengolahan ikan-ikan by-catch menjadi surimi,

Kebijakan dan Legalitas .149

Bahan Baku (by-catch) Melimpah .456

Daya Serap Tenaga Kerja Tinggi .151

Nilai Tambah Bagi Pelaku Usaha .243 I nconsistency = 0.01

terbuang percuma menjadi surimi yang diminati pasar domestik dan internasional. Adapun daya serap tenaga kerja yang tinggi merupakan dampak yang diharapkan dari pemanfaatan bahan baku yang melimpah serta adanya nilai tambah bagi pelaku usaha. Kebijakan dan legalitas merupakan pendukung dari pengembangan industri surimi di Provinsi Papua Barat sebagai payung hukum dalam mengatur segala hal yang terkait dengan industri surimi.

Selanjutnya, Gambar 20 memperlihatkan bahwa prioritas utama subfaktor pada faktor kelemahan yang perlu dibenahi adalah infrastruktur yang lemah atau kurang dengan bobot 0,604. Prioritas kedua yakni subfaktor manajemen pengumpulan bahan baku yang terbatas dengan bobot 0,225 dan prioritas ketiga serta keempat adalah subfaktor keterampilan SDM lokal dan teknologi pengolahan surimi yang terbatas dengan masing-masing bobot sebesar 0,095 dan 0,076.

Gambar 20 Analisis prioritas subfaktor terhadap faktor kelemahan.

Infrastruktur yang lemah dijadikan prioritas pertama dikarenakan sarana dan prasarana pendukung pengembangan industri surimi di Provinsi Papua Barat masih tergolong kurang seperti kebutuhan energi listrik untuk mesin-mesin industri yang masih kurang termasuk untuk mesin-mesin pengolahan surimi, jalur transportasi masih sangat terbatas yang berpengaruh dalam proses distribusi dan pemasaran, kurangnya suplai air bersih yang merupakan komponen penting dalam industri surimi, serta prasarana pelabuhan yang masih kurang memadai. Infrastruktur tersebut merupakan prasarana pendukung berlangsungnya industri pengolahan HTS menjadi surimi, sehingga apabila ketersediaannya terbatas maka proses industri akan mengalami hambatan.

I nfrastruktur Lemah .604

Keterampilan SDM Lokal Terbata .095

Manajemen Pengumpulan Bahan Ba .225

Teknologi Pengolahan Surimi Te .076

I nconsistency = 0.02 w ith 0 missing judgments.

Gambar 21 Struktur strategi pengembangan industri surimi di Sorong – Provinsi Papua Barat. Fokus

Faktor

Subfaktor

Alternatif Strategi

Strategi Pengembangan Industri Surimi Dalam Rangka Pemanfaatan By-catch Pukat Udang di Provinsi Papua Barat

Kekuatan (L:0,490)

1.Kebijakan dan Legalitas (L:0,149)

2.Bahan Baku Melimpah (L:0,456)

3.Daya Serap Tenaga Kerja Tinggi (L:0,151)

4.Nilai Tambah Bagi Pelaku Usaha dan Masyarakat (L:0,243)

Diversifikasi Surimi

1.Potensi Pasar Luas (L:0,671) 2.Peningkatan Devisa Ekspor (L:0,230) 3.Kebiasaan Konsumsi Masyarakat Lokal (L:0,098)

1.Investasi Teknologi Relatif Mahal (L:0,484)

2.Kebiasaan Resistensi Pelaku Usaha dan Masyarakat (L:0,407) 3.Kompetitor Pengolah Surimi (L:0,109) 1.Infrastruktur Lemah (L:0,604) 2.Keterampilan SDM Lokal Terbatas (L:0,0,95) 3.Manajemen Pengumpulan

Bahan Baku Terbatas (L:0,225)

4.Teknologi Pengolahan Surimi Terbatas (L:0,076) Peningkatan Infrastruktur dan Keterampilan SDM Pemberdayaan Masyarakat, efisiensi dan efektifitas Usaha

Kelemahan (L:0,292) Peluang (L:0,117) Ancaman (L:0,101) Clean technology

Manajemen pengumpulan bahan baku yang terbatas merupakan kelemahan yang harus

segera dicarikan solusi dikarenakan selama ini, bahan baku surimi yang berasal dari by-catch

pukat udang tersebut hanya dibuang ke laut karena adanya keterbatasan kapasitas palka kapal. Adapun keterampilan SDM lokal yang terbatas menjadi prioritas ketiga dikarenakan apabila infrastruktur telah dibenahi dan manajemen pengumpulan bahan baku telah dilakukan, maka tahap selanjutnya adalah pemberdayaan SDM lokal melalui pemberian pengetahuan (pelatihan) tentang pengolahan ikan menjadi surimi. Kelemahan yang menjadi prioritas terakhir adalah teknologi pengolahan surimi yang masih terbatas, namun keterbatasan ini bukanlah tidak teratasi, dikarenakan teknologi tersebut dapat dibeli dan sudah merupakan wacana umum, bahkan telah dapat dilakukan dalam skala kecil. Oleh karena itu, keterbatasan teknologi dikategorikan kelemahan pada prioritas keempat.

Adapun untuk prioritas subfaktor terhadap faktor ancaman dalam pengembangan

industri surimi melalui pemanfaatan by-catch di Provinsi Papua Barat yaitu investasi

teknologi yang relatif mahal adalah prioritas pertama dengan bobot 0,484, diikuti subfaktor kebiasaan resistensi pelaku usaha (bobot 0,407) dan kompetitor pengolah surimi diurutan ketiga dengan bobot 0,109 (Gambar 22).

Gambar 22 Analisis prioritas subfaktor terhadap faktor ancaman.

Mahalnya investasi dalam bidang teknologi pengolahan surimi merupakan subfaktor ancaman yang harus diatasi terlebih dahulu dikarenakan untuk mengembangkan industri surimi, teknologi merupakan syarat mutlak yang harus dimiliki karena sangat terkait dengan

kualitas pengolahan ikan-ikan by-catch menjadi surimi. Selain itu, teknologi pengolahan

surimi erat kaitannya dengan daya kreasi seseorang atau sebuah perusahaan dalam menciptakan suatu bentuk olahan termasuk didalamnya pengolahan surimi. Oleh karena itu,

I nvestasi Teknologi Relatif Ma .484

Kebiasaan Resistensi Pelaku Us .407

Kompetitor Pengolah Surimi .109 I nconsistency = 0.00

Ancaman prioritas berikutnya yakni kebiasaan resistensi pelaku usaha, jelas akan menghambat pengembangan industri surimi dikarenakan kecenderungan pelaku usaha untuk melakukan pengolahan ikan yang lebih sederhana seperti ikan asin, pindang dan lain sebagainya dan memiliki kecenderungan untuk menutup diri dari bentuk usaha olahan yang lain. Hal ini dapat disebabkan kurangnya informasi mengenai pengolahan ikan terutama informasi pengolahan ikan menjadi surimi yang meliputi teknologi dan cara pengolahan. Selain itu, minimnya informasi mengenai potensi pasar surimi juga akan menjadi ancaman dalam pengembangan industri surimi. Hingga saat ini, usaha pengolahan ikan di Provinsi Papua Barat hanya terbatas pada produk ikan beku dan itu pun hanya untuk ikan-ikan ekonomis penting yang memiliki pasar ekspor seperti udang dan tuna. Adapun untuk ancaman dalam hal kompetitor pengolah surimi menjadi subfaktor prioritas ketiga dikarenakan pengolah surimi masih dalam jumlah kecil yakni di Indonesia hanya ada 5 (lima) pengolah, dan dari kelima pengolah tersebut hanya ada 1 (satu) di kawasan timur Indonesia, sedangkan 4 (empat) lainnya di kawasan barat Indonesia.

Selanjutnya, urutan prioritas subfaktor terhadap faktor peluang pengembangan industri

surimi dengan memanfaatkan hasil tangkap sampingan (by-catch) di Provinsi Papua Barat

yakni prioritas pertama dengan bobot 0,671 adalah subfaktor potensi pasar yang luas, diikuti peningkatan devisa ekspor dengan bobot 0,230 dan yang terakhir adalah subfaktor kebiasaan konsumsi masyarakat dengan komposisi bobot 0,098 seperti yang terlihat pada Gambar 23. Potensi pasar yang luas dijadikan prioritas pertama dikarenakan langkah pertama dalam melakukan suatu usaha dalam bidang apapun adalah melihat potensi pasar yang ada, dan hal ini berlaku pula pada upaya pengembangan industri surimi di Provinsi Papua Barat. Potensi pasar surimi saat ini sangat terbuka mengingat surimi merupakan bahan baku untuk olahan

fish jelly seperti seperti imitation crab meat, fish ball, fish cake dan bentuk olahan lainnya.

Surimi sudah merupakan produk internasional dengan tingkat permintaan yang setiap tahun mengalami peningkatan dan tidak hanya terbatas pada surimi saja tetapi juga pada produk lanjutan/turunan dari surimi. Adapun negara-negara pengimpor surimi adalah Jepang, Amerika Serikat, Eropa, Korea Selatan, Taiwan, Asia Tenggara dan Rusia. Namun permintaan tertinggi adalah Eropa terutama Perancis dan Spanyol dengan jumlah permintaan mencapai 18.000 hingga 20.000 ton per tahun (FAO 2007).

Dokumen terkait