ANALISIS PENGEMBANGAN
INDUSTRI PENGOLAHAN SURIMI
DALAM PEMANFAATAN
BY-CATCH
PUKAT UDANG
NAZORI DJAZULI
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi “Analisis Pengembangan Industri
Pengolahan Surimi dalam Pemanfaatan By-Catch Pukat Udang” adalah karya saya sendiri
dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun
kepada Perguruan Tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya
yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka pada bagian akhir disertasi ini.
Bogor, Desember 2009
Nazori Djazuli
ABSTRACT
NAZORI DJAZULI. Study on the Development of Surimi Processing Industry through Utilization of Shrimp Trawl By-Catch. Supervised by MITA WAHYUNI, DANIEL R. MONINTJA and ARI PURBAYANTO.
Fishing business of shrimp trawl in Arafura Sea produces by-catch with average ratios of 1 : 12 between main target catch and by-catch. The main constraints of by-catch utilization is the scattered fishing vessels operated in Arafura Sea with limited space of fish hold which prioritized mainly for shrimp, the lower economic value as well as unavailability of suitable processing technology lead to discarding of the majority of by-catch into the sea.
The objectives of this research are to analyze the availability of raw material for developing processing surimi industy; modification of surimi processing technology from mixture of fish species by cut-off surimi production method followed by assessment quality of surimi; to analyze the feasibility of surimi industry; to develop business concept of surimi industry using shrimp trawl by-catch; and to analyze policy of development surimi processing industry in West Papua Province.
The research was carried out using survey and laboratory analysis methods. Survey was done in Pulau Moro-Riau on Januari 2007, Pekalongan – Central Java on February 2007 and Sorong – West Papua on March 2007, while laboratory experiment was done in BBPMHP Muara Baru, Jakarta in April and May 2007.
The result showed that the availability of by-catch was 318 ton/day or about 399,000 ton/year of which 34.25% or 136,685 ton/year fish species were suitable as raw material for surimi or equivalent to 43,739 ton surimi per year. Result of analysis cut-off technology
showed that frozen minced fish could be stored for 5 weeks at temperature -18oC on the
vessels which constantly produced good surimi (folding test of A, teeth-cutting test of 7, and
gel strength of > 500 g/cm2).
Analysis of business feasibility towards A Enterprise which applied semi modern surimi industry in Pulau Moro- Riau and B Enterprise which applied modern surimi industry in Pekalongan – Central Java showed that surimi industry was visible to develop with positive Net Present Value (NPV), of Rp. 22.647.400.670,- and Rp 29.866.797.485,-. Internal Rate of Return (IRR) Value of 49.28% and 56.11% which was higher than Bank Interest. Payback Period (PP) was 25 months and 22 months. Profitability Index (PI) was higher than 1 of which 2.43 and 2.78. Net Benefit Cost (B/C) Ratio was 1.89 and 1.58 for PT. A and PT. B, respectively.
It is concluded that the development of processing surimi industry is feasible to develop in Papua Barat province with available raw material of 128,000 ton/year. Development of surimi processing industry in Sorong – West Papua will give positive NPV of Rp. 20.314. 178.496,- and Rp. 20.686.757.187,- , PI value of 2.06 and 2.08 , IRR value of 41.74% and 42.15%, Payback Period (PP) of 29 months, B/C Ratio of 1.94 an 1.45 for semi modern and modern industry respectively.
RINGKASAN
NAZORI DJAZULI. Analisis Pengembangan Industri Pengolahan Surimi Dalam
Pemanfaatan By-Catch Pukat Udang. Dibawah bimbingan MITA WAHYUNI, DANIEL R.
MONINTJA dan ARI PURBAYANTO.
Usaha penangkapan udang di Laut Arafura menghasilkan hasil tangkapan
sampingan/HTS (by-catch) dengan rata-rata rasio 1 : 12 antara tangkapan udang dan HTS.
Permasalahan utama dalam pemanfaatan HTS diantaranya adalah: 1) wilayah operasi kapal pukat udang umumnya tersebar di wilayah perairan Arafura, 2) kapal pukat udang mempunyai target spesies tangkapan udang dengan volume palka kapal yang terbatas, 3) rendahnya nilai ekonomis, 4) belum ditemukannya teknologi pengolahan yang tepat, serta 5) kendala pengelolaan HTS berakibat HTS yang terdiri atas berbagai jenis dan ukuran ikan dibuang ke laut.
Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengkaji pengembangan industri
surimi dalam pemanfataan by-catch pukat udang di Provinsi Papua. Tujuan khusus penelitian
ini adalah: (1) Mengkaji ketersediaan bahan baku di kawasan Laut Arafura dalam pengembangan industri surimi, (2) Mengkaji tentang teknologi terputus pengolahan surimi
dengan menggunakan campuran jenis ikan “by-catch’ pukat udang yang dominan serta
analisis mutu surimi yang dihasilkan, (3) Menganalisis kelayakan usaha pengolahan industri surimi di Pekalongan – Jawa Tengah dan Pulau Moro – Riau, (4) Menyusun konsep
pengembangan industri surimi dalam pemanfaatan by-catch pukat udang, (5) Menganalisis
kebijakan pengembangan industri surimi di Sorong – Papua Barat.
Penelitian ini dilakukan dengan metode survei dan eksperimen laboratorium. Survei dilakukan di 3 lokasi, yaitu: Pulau Moro-Riau pada bulan Januari 2007, Pekalongan-Jawa Tengah pada bulan Februari 2007 dan Sorong-Papua Barat pada bulan Maret 2007. Eksperimen laboratorium dilakukan di Balai Besar Pengendalian dan Pengolahan Hasil Perikanan (BBP2HP) Muara Baru-Jakarta pada bulan April dan Mei 2007.
Hasil analisis terhadap ketersediaan bahan baku terlihat bahwa tersedia HTS sebanyak sebanyak 399.000 ton/tahun. Dalam pemanfaatannya, hasil tangkap sampingan tersebut dapat dikategorikan menjadi 3 kategori kelaikan pemanfaatan berdasarkan jenis ikan, yaitu jenis ikan ekonomis penting seperti kakap merah, kerapu, bawal, kembung, layur dan tenggiri secara ekonomis dimanfaatkan dalam bentuk utuh atau fillet beku yang jumlahnya diperkirakan mencapai 10,96%; jenis ikan non ekonomis yang tidak laik untuk surimi seperti ikan peperek, cucut, lemuru, bulu ayam dan lain-lain sejumlah 54,79% dan untuk dijadikan ikan asin dan tepung ikan. jenis ikan yang laik untuk dimanfaatkan sebagai surimi, antara lain ikan beloso, gulama, biji nangka dan kurisi berjumlah 34,25% sehingga akan tersedia bahan baku surimi rata-rata sebesar 136.685 ton per tahun atau setara dengan surimi 43.739 ton per tahun (rendemen 32%).
Berdasarkan data hasil penelitian terlihat bahwa masing-masing jenis ikan demersal non ekonomis hasil tangkap sampingan pukat udang yang digunakan dalam penelitian ini
memiliki sifat fisik surimi yang sangat baik dan memiliki nilai gel strength yang bervariasi.
Ikan pisang-pisang memiliki nilai terendah, yaitu sebesar 615,72 g/cm2 sedangkan nilai
tertinggi dimiliki ikan swanggi dan lencam dengan nilai sebesar 1163,51 g/cm2 dan 1118,45
g/cm2. Perbedaan nilai gel strength pada berbagai jenis ikan disebabkan oleh perbedaan
ikatan silang pada MHC (Myosin Heavy Chain) masing-masing ikan. Nilai uji lipat dan uji
gigit berbanding lurus dengan gel strength pada masing-masing jenis ikan. Nilai uji lipat
yang berbeda yaitu perlakuan I merupakan campuran beberapa jenis ikan demersal HTS dengan rasio perbandingan ikan adalah 1 : 1, sedangkan komposisi perlakuan II berdasarkan pada persentase jumlah tangkapan, terlihat bahwa surimi ikan campuran tetap menghasilkan
mutu yang sangat bagus, hal ini terlihat dari gel strength yang dihasilkan dari masing-masing
perlakuan. Perlakuan I memiliki nilai sebesar 775,32 g/cm2 sedangkan perlakuan II memiliki
nilai lebih tinggi yaitu sebesar 918,70 g/cm2 dan berdasarkan pengujian secara subyektif,
nilai uji lipat masing-masing AA. Dari hasil pengamatan tersebut menunjukkan bahwa untuk mendapatkan surimi hasil campuran 1 : 1 dengan kualitas AA maka kapal harus mencapai
daratan maksimal 2 minggu setelah minced disimpan beku sedangkan apabila mencapai
daratan pada minggu ke-3 dan ke-4 akan dihasilkan surimi dengan mutu A sedangkan dengan pencampuran berdasarkan presentase hasil tangkapan hingga minggu ke 5 tetap memiliki kualitas AA. Penempatan meatbone separator di kapal sangat diperlukan untuk memisahkan antara daging dan kulit serta tulang ikan hingga dihasilkan lumatan daging,
selain itu diperlukan juga kapal pengangkut untuk membawa minced fish beku ke darat
untuk selanjutnya diolah menjadi surimi, mengingat keterbatasan palka dan lamanya hari operasi penangkapan.
Berdasarkan analisis kelayakan finansial, usaha pengolahan surimi sangat layak dikembangkan baik untuk skala usaha semi moderen seperti halnya PT. A di Pulau Moro – Riau dan PT. B untuk skala moderen di Pekalongan – Jawa Tengah. Hasil analisis kelayakan
finansial menunjukkan Net Present Value (NPV) untuk PT. A sebesar Rp. 22.647.400.670,-
sedangkan PT. B sebesar Rp. 29.866.797.485,-. Nilai Internal Rate of Return (IRR) sebesar
49,28% dan 56,11%. Payback Periode (PP) memerlukan waktu 25 dan 22 bulan.
Profitability Index (PI) sebesar 2,43 dan 2,78. Net Benefit Cost (B/C) Ratio sebesar 1,89 dan
1,58.
Industri pengolahan surimi sangat layak dikembangkan di Sorong - Papua Barat,
sumber bahan baku yang tersedia dari hasil tangkapan sampingan (by-catch) pukat udang
diperkirakan mencapai 318 ton/hari dengan harga yang berkisar Rp. 2.000 per kg. Hasil analisis kelayakan finansial terhadap pengembangan industri pengolahan surimi di Sorong, baik dalam skala semi moderen maupun moderen menunjukkan bahwa nilai NPV positif, untuk skala industri semi moderen sebesar Rp. 20.314.178.496 dan Rp. 20.686.757.187
untuk skala moderen. IRR sebesar 41,74 % dan 42,15 %. Payback Period (PP) memerlukan
waktu selama 29 bulan. Profitability Index (PI) sebesar 2,06 dan 2,08. Net Benefit Cost (B/C)
Ratio sebesar 1,94 dan 1,45.
Adapun alternatif strategi yang dihasilkan adalah diversifikasi surimi (SO),
peningkatan infrastuktur dan ketrampilan SDM (WO), “clean technology” (ST) dan
pemberdayaan masyarakat dan efisiensi serta efektivitas usaha (WT). Urutan prioritas strategi/kebijakan yang dapat direkomedasikan yakni prioritas pertama adalah diversifikasi surimi dengan bobot 0,312, prioritas kedua adalah pemberdayaan masyarakat, efisiensi dan efektivitas usaha dengan bobot 0,281 serta prioritas ketiga dan keempat yakni peningkatan
infrastruktur dan keterampilan SDM dengan bobot 0,279 dan clean technology dengan bobot
0,128.
Berdasarkan analisis terhadap prioritas strategi atau kebijakan yang akan direkomendasikan dalam pengembangan industri, urutan prioritas strategi/kebijakan yang dapat direkomedasikan yakni prioritas pertama adalah diversifikasi surimi dengan bobot 0,312, prioritas kedua adalah pemberdayaan masyarakat, efisiensi dan efektifitas usaha dengan bobot 0,281 serta prioritas ketiga dan keempat yakni peningkatan infrastruktur dan
Diversifikasi surimi sebagai strategi utama yang diprioritaskan dalam
mengembangkan industri surimi melalui pemanfaatan hasil tangkap sampingan (by-catch)
pukat udang di Provinsi Papua Barat, mengindikasikan bahwa ketersediaan bahan baku
berupa ikan by-catch pukat udang tersebut perlu diolah agar tidak lagi dibuang ke laut
dengan percuma tetapi dapat dijadikan suatu produk yang lebih bermanfaat. Inftrastruktur yang masih kurang dalam mendukung pencapaian diversifikasi surimi maka perlu dilakukan pemberdayaan masyarakat, efisiensi dan efektivitas usaha. Pemberdayaan masyarakat dapat dilakukan dengan melibatkan masyarakat lokal dengan tujuan agar dapat mengurangi tingkat pengangguran yang ada di Provinsi Papua Barat dan berdampak pada efisiensi dan efektivitas usaha yakni meminimalkan biaya tenaga kerja. Efisiensi dan efektivitas usaha sangat diperlukan dalam pengembangan industri surimi mengingat bahwa surimi merupakan
komoditas ekspor. Strategi sebagai prioritas terakhir adalah clean technology karena dalam
pengolahan surimi, tidak semua bagian ikan akan dimanfaatkan namun hanya dimanfaatkan (diambil) pada bagian daging, sehingga akan menyisakan bagian tulang, duri dan kulit ikan.
Oleh karena itu, melalui clean technology, ikan-ikan tidak utuh (hancur) dan bagian tulang
ikan yang tidak dapat diolah menjadi surimi dapat diolah lebih lanjut, salah satunya yakni dijadikan bahan baku pembuatan tepung ikan.
Dukungan kebijakan pemerintah dalam pemanfaatan HTS di Laut Arafura perlu diatur dalam regulasi yang lebih spesifik, sehingga HTS pukat udang yang terbuang dapat segera dimanfaatkan. Pemanfaatan HTS pukat udang harus melibatkan semua unsur pemangku kepentingan, baik pemerintah pusat dan daerah, industri penangkapan, industri pengolahan, transportasi serta pemasaran, sehingga diperlukan regulasi pemerintah untuk mendukung pemanfaatan HTS. Regulasi yang spesifik mengatur setidaknya setingkat Peraturan Pemerintah (PP) yang diikuti kebijakan atau aturan pelaksanaan di bawahnya.
Peraturan Pemerintah (PP) yang mengatur tentang pemanfaatan HTS harus ditindak lanjuti dengan Keputusan Presiden dan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan yang secara lebih spesifik mengatur dan menjadi pedoman pelaksanaan dalam pemanfaatan HTS pukat udang di Laut Arafura. Ruang lingkup regulasi harus mencakup pengaturan semua aspek yang terkait pemanfaatan HTS pukat udang di Laut Arafura, yang meliputi: (1) Penanganan dan pengelolaan HTS di atas kapal, (2) Transportasi ke pangkalan pendaratan, (3) Wilayah pengembangan industri pengolahan, (4) Pengembangan sarana, prasarana dan infrastruktur pendukung industri pengolahan, pengangkutan dan transportasi/pemasaran serta (5) Fasilitas pajak dan kemudahan investasi.
Kata Kunci : hasil tangkapan samping/HTS, ikan ekonomis rendah, minced fish, surimi,
© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2009 Hak cipta dilindungi Undang-undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah.
ANALISIS PENGEMBANGAN
INDUSTRI PENGOLAHAN SURIMI
DALAM PEMANFAATAN
BY-CATCH
PUKAT UDANG
NAZORI DJAZULI
Disertasi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada
Program Studi Teknologi Kelautan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
LEMBAR PENGESAHAN
Judul Disertasi : Analisis Pengembangan Industri Pengolahan Surimi Dalam Pemanfaatan By-Catch Pukat Udang
Nama Mahasiswa : Nazori Djazuli
Nomor Pokok : C56.1020084
Program Studi : Teknologi Kelautan
Disetujui
Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Mita Wahyuni, MS
Ketua
Prof. Dr. Ir. Daniel R. Monintja Prof. Dr. Ir. Ari Purbayanto, MSc
Anggota Anggota
Mengetahui
Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana IPB
Teknologi Kelautan
Prof. Dr. Ir. John Haluan, M.Sc Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS
Penguji luar komisi Ujian Tertutup : 1. Prof.Dr.Ir.H.R.M. Aman Wirakartakusumah, M.Sc
2. Dr.Ir. Domu Simbolon, M.Si
Penguji luar komisi Ujian Terbuka : 1. Prof. Dr. Martani Huseini
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kepada Allah SWT atas segala rahmat serta hidayah Nya sehingga
karya ilmiah ini dapat diselesaikan. Disertasi ini disusun sebagai salah satu syarat
penyelesaian program pendidikan Strata 3 dengan judul “Analisis Pengembangan Industri
Pengolahan Surimi Dalam Pemanfaatan By-Catch Pukat Udang” di Sekolah Pascasarjana
IPB Bogor. Sesuai dengan judulnya, disertasi ini diharapkan dapat memberikan salah satu
alternatif bagi kebijakan pemerintah pusat dan daerah dalam pengembangan industri surimi
di Propinsi Papua Barat sehingga hasil tangkapan samping/“by-catch” pukat udang dapat
dimanfaatkan dengan optimal.
Ucapan terimakasih dan penghargaan yang tulus disampaikan kepada Dr. Ir. Mita
Wahyuni, MS selaku Ketua Komisi Pembimbing, serta Prof. Dr. Ir. Daniel R. Monintja dan
Prof. Dr. Ir. Ari Purbayanto, MSc selaku Anggota Komisi Pembimbing yang telah banyak
memberikan saran, arahan dan bimbingan kepada penulis untuk menyelesaikan tulisan ini.
Ungkapan terimakasih juga disampaikan kepada istri Rachmatia dan anak-anak
tercinta (Yoga dan Sari), atas dukungan dan doa. Kepada seluruh staf Direktorat
Standardisasi dan Akreditasi – Direktorat Jenderal P2HP dan Bagian Program – Direktorat
Jenderal Perikanan Tangkap khususnya Yeni, Sukma dan Saiful, atas segala bantuan dan
kerjasamanya penulis sampaikan terimakasih yang sebesar-besarnya serta kepada semua
pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu yang telah membantu baik langsung atau
tidak langsung. Penulis menyadari bahwa disertasi ini masih belum sempurna dan masih
harus ditindak lanjuti dengan penelitian-penelitian lanjutan. Semoga tulisan ini dapat
bermanfaat baik bagi insan akademis, para pengambil kebijakan dan investor industri
pengolahan serta bagi mereka yang membacanya.
Bogor, Desember 2009
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Jakarta tanggal 13 Agustus 1956 dari pasangan RM. Djanim dan Siti Zubaidah. Pendidikan dari Akademi Usaha Perikanan (Sekolah Tinggi Perikanan) dan melanjutkan Strata – 1 pada Fakultas Perikanan di Universitas Pattimura. Strata – 2 ditempuh di University of The Philiphines, Philipine. Pada tahun 2002 penulis mendapat kesempatan untuk melanjutkan ke program Doktor (S3) pada Program Studi Teknlogi KelautanProgram Perencanaan Pembangunan Kelautan dan Perikanan IPB.
Pengalaman kerja penulis yaitu : Kepala Balai Pengembangan dan Pengujian Mutu Hasil Perikanan, tahun 2001 – 2004; Kepala Sub Direktorat Pengendalian Mutu pada Direktorat Mutu dan Pengolahan Hasil, Departemen Kelautan dan Perikanan, tahun 2003 – 2005; Kepala Bagian Program pada Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap, Departemen Kelautan dan Perikanan, tahun 2005 – 2006; Kepala Sub Direktorat Kelembagaan Usaha pada Direktorat Pengembangan Usaha Perikanan, Departemen Kelautan dan Perikanan, tahun 2006 - 2007; Direktur Standardisasi dan Akreditasi, Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan, Departemen Kelautan dan Perikanan, tahun 2007 sampai sekarang.
Selama bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil, pernah mendapatkan Piagam Penghargaan Satya Lencana Wirakarya tahun 1998 dan Satya Lencana Karyasatya Dua Puluh Tahun tahun 2007 dari Presiden Republik Indonesia.
Karya berkaitan dengan disertasi, diantaranya telah diterbitkan dalam Jurnal Pengolahan Hasil Perikanan Indonesia dengan judul “Analisis Finansial Pengolahan Surimi dengan Skala modern dan Semi modern, Volume XI Nomor 1 Tahun 2009 dan Modifikasi Teknologi
Pengolahan Surimi dalam Pemanfaatan By-catch Pukat udang di Laut Arafura, Volume XII
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ………. v
DAFTAR GAMBAR ………... vii
DAFTAR LAMPIRAN ……… ix
DAFTAR ISTILAH ……….……….... x
1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ……… 1
1.2 Tujuan Penelitian ……… 5
1.3 Manfaat Penelitian ………. 5
1.4 Hipotesis Penelitian ………... 6
1.5 Perumusan Masalah ………... 7
1.6 Kerangka Penelitian ………... 8
2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Surimi ……… 11
2.1.1 Pengertian surimi dan penggunaannya ……… 11
2.1.2 Sifat-sifat surimi ………... 12
2.1.3 Bahan utama surimi ………... 15
2.2 Industri Pengolahan Surimi ……… 15
2.2.1 Penanganan bahan baku ……….. 16
2.2.2 Sortasi ………. 19
2.2.3 Pemfilletan ……… 19
2.2.4 Pemisahan daging ikan ……… 20
2.2.5 Pembilasan (leaching) ……….. 21
2.2.6 Pengepresan ……….. 24
2.2.7 Penyaringan ……….. 25
2.2.8 Pencampuran bahan tambahan ………. 26
2.2.9 Pengepakan dan pembekuan ……… 26
2.2.10 Rendemen surimi ……….. 27
2.3 Sumber Bahan Baku ……… 28
2.4 Hasil Tangkap Sampingan (“By-catch”) ………. 32
2.5 Alat Tangkap Pukat Udang ……… 33
2.6 Pengelolaan By-catch ……… 38
2.7 Pemasaran Surimi ………. 38
2.8 Teori Sistem ………. 40
2.9 Sistem Penunjang Keputusan ………... 41
2.10 Proses Hirarki Analitik ………... 44
2.11 Analisis Kelayakan Finansial ………. 47
2.12 Konsep Strategi ……….. 51
3 METODOLOGI UMUM 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ………. 54
3.2 Responden ………. 54
3.3 Pengumpulan Data ………. 55
4 ANALISIS KETERSEDIAAN BAHAN BAKU SURIMI
4.1 Pendahuluan ………. 58
4.2 Metode Penelitian ……… 59
4.2.1 Pengumpulan data ………... 59
Analisis data ……… 59
4.3 Hasil Penelitian ………. 60
4.3.1 Hasil tangkapan utama ………... 60
4.3.2 Hasil tangkap sampingan ………... 62
4.3 Pembahasan ………... 65
5 ANALISIS TEKNOLOGI PENGOLAHAN SURIMI 5.1 Pendahuluan ………. 69
5.2 Metode Penelitian ……… 70
5.2.1 Pengumpulan data ………... 70
5.2.2 Analisis data ………... 70
5.3 Hasil Penelitian ………. 75
5.4 Pembahasan ………... 78
6 ANALISIS TEKNOLOGI PENGOLAHAN SURIMI 6.1 Pendahuluan ………. 83
6.2 Metode Penelitian ……… 84
6.2.1 Pengumpulan data ………... 84
6.2.2 Analisis data ………... 84
6.3 Hasil Penelitian ………. 89
6.4 Pembahasan ………... 93
7 ANALISIS KEBIJAKAN PENGEMBANGAN INDUSTRI SURIMI 7.1 Pendahuluan ………... 97
7.2 Metode Penelitian ……… 98
7.2.1 Pengumpulan data ………... 98
7.2.2 Analisis data ……….. 98
7.3 Hasil Penelitian ………. 102
7.3.1 Indentifikasi komponen SWOT ……… 102
7.3.2 Penentuan alternatif strategi ……….. 107
7.4 Pembahasan ……….. 109
7.4.1 Analisis prioritas faktor ……….. 109
7.4.2 Analisis prioritas subfaktor ……… 110
7.4.3 Analisis dan rekomendasi prioritas strategi/kebijakan ……….. 116
8 PEMBAHASAN UMUM PENGEMBANGAN INDUSTRI SURIMI 118 9 KESIMPULAN DAN SARAN 9.1 Kesimpulan ………. 125
9.2 Saran ……….. 126
DAFTAR TABEL
Halaman
1 Komposisi proksimat surimi beku dari beberapa jenis ikan …..…………. 12
2 Kelompok ikan yang didaratkan di Maluku dan Papua ………... 30
3 Jenis dan jumlah ikan dari hasil tangkapan pukat ikan/hauling ………… 31
4 Rasio HTS terhadap udang di Laut Arafura ………... 32
5 Hasil penangkapan udang dan HTS (kg) di Laut Arafura oleh kapal
trawl yang berbasis di Sorong ……….………... 32
6 Volume impor surimi beberapa negara tahun 2001-2005 (Ton) ………... 39
7 Komparasi penilaian berdasarkan skala Saaty ………….………... 46
8 Data rata-rata hasil tangkapan kapal pukat udang
dalam 1 trip tahun 2006 ……….. 60
9 Perbandingan rata-rata hasil tangkapan kapal pukat udang
dalam 1 trip tahun 2006 ……….……….. 61
10 Produksi ikan dan jumlah armada di Papua Barat
periode tahun 1997-2004 ……….………... 61
11 Spesifikasi kapal dan alat tangkap pukat udang dari perusahaan
penangkapan yang berpangkalan di Sorong – Provinsi Papua Barat …….. 62
12 Jenis dan persentase by-cacth serta alternatif pemanfaatan ………... 63
13 Komposisi rasio perbandingan ikan ……….. 72
14 Nilai mutu uji lipat …...………... 73
15 Nilai mutu uji gigit ……...……….. 73
16 Rendemen surimi beberapa jenis HTS ………... 75
17 Data hasil pengujian parameter uji fisik surimi bahan baku ……….. 76
18 Komposisi proksimat bahan baku beberapa jenis ikan HTS ……… 76
19 Komposisi proksimat surimi selama penyimpanan beku ……… 77
20 Sifat fisik dan kimia surimi dari bahan baku “minced” ikan
campuran selama penyimpanan beku ………. 77
12
21 Net present value (NPV) pada PT. A dan B Selama 10 Tahun …………. 92
13
22 Internal rate of return (IRR) pada PT. A dan B selama 10 Tahun ………. 92
14
23 Kriteria kelayakan finansial industri surimi di Sorong, Papua Barat …….. 95
15
DAFTAR ISTILAH
ABK Anak buah kapal
AHP Analytical Hierarchy Process (hirarki proses analisis)
AKFE Alfa Kurnia Fish Enterprise
API Alat pereduksi ikan
Armada Kelompok kapal perikanan dalam satu kesatuan system operasi
penangkapan
ASEAN Association of South East Asian Nation
Ashi Gejala terbentuknya gel yang terjadi setelah melewati zona suhu suwari
dan modori
BBP2HP Balai Besar Pengujian dan Pengendalian Mutu Hasil Perikanan
DBU Dwi Bina Utama
BED By-catch Excluder Device, yaitu alat yang digunakan untuk menyaring
ikan-ikan yang masuk ke dalam kantong
BEP Break Even Point, suatu keadaan dimana dalam suatu operasi, perusahaan
tidak mendapatkan untung maupun rugi (impas)
Biaya Tetap Biaya yang dalam periode tertentu jumlahnya tetap dan tidak tergantung
pada jumlah produksi
Biaya Variabel Biaya produksi yang jumlahnya berubah sesuai dengan jumlah produksi
yang dihasilkan
By-catch Hasil tangkap sampingan
B/C ratio Ratio benefit dan cost, angka perbandingan antara present value total
bersih dari hasil keuntungan bersih terhadap present value dari biaya
bersih
CCRF Code of Conduct for Responsible Fisheries
Cybernetic berorientasi pada tujuan
DSS Decision support system
EDP Electronic data processing
Effectiveness prinsip yang lebih mementingkan hasil guna yang operasional serta dapat
dilaksanakan daripada pendalaman teoritis untuk mencapai efisiensi keputusan
ES Expert system
Fish Jelly Produk olahan yang menggunakan bahan baku surimi
Fishing ground Daerah penangkapan ikan
Fragile Kondisi dimana gel tidak elastis
Fully exploited Kondisi sumber daya perikanan dimana produksi tahun terakhir mendekati
atau sekitar nilai hasil tangkapan maksimum lestari
Gelstrength Kekuatan gel
GST General System Theory, yaitu sistem yang didefinisikan sebagai totalitas
Holistic cara pandang yang utuh terhadap keutuhan sistem
Fishingbase Pangkalan pendaratan
HTS Hasil tangkap sampingan
IMPD Irian Marine Product Development
Interface Interaksi antar subsistem yang terjadi karena luaran dari subsistem dapat
menjadi salah satu masukan bagi subsistem yang lain
IRR Internal rate of return, suatu investasi adalah suatu nilai tingkat bunga
yang menunjukkan bahwa nilai sekarang netto sama dengan jumlah seluruh ongkos investasi kegiatan
JBT Jumlah tangkapan yang diperbolehkankapan maksimum lestari
Kapal carrier Kapal pengangkut/pembawa
KM Kapal Motor
Leaching tank Tanki tempat pencucian “minced fish” untuk membuang protein larut
dalam air, darah dan kotoran lainnya
Meatbone separator Alat pemisah daging ikan dari tulang dan duri
Minced fish Hancuran daging ikan
MIS Management information system
Modori Gejala degradasi gel yang terjadi pada suhu kurang dari 60 - 65oC, dimana
gel menjadi tidak elastis lagi
MSY Maximum sustainable yield (hasil tangkapan maksimum lestari)
MT Motor Tempel
NOOA National Oceanic and Atmospheric Administration (United State of
America)
NPV Net present value, perbedaan antara nilai sekarang dari benefit
(keuntungan) dengan nilai sekarang biaya
Otter board Alat untuk membuka mulut jaring yang dilengkapi dengan pelampung
pada bagian atas mulut jaring
Over exploited Kondisi sumber daya perikanan dimana produksi tahun terakhir sudah
melebih hasil tang
PP Payback Period, jumlah periode (tahun) yang diperlukan untuk
mengembalikan (menutup) ongkos investasi awal dengan tingkat pengembalian tertentu
PI Profitability Index, perbandingan antara nilai sekarang dari kas masuk
dengankas keluar
PLG Protein larut garam
PTM Perahu Tanpa Motor
Refiner Alat yang digunakan menghilangkan sisa-sisa sisik, jaringan ikat,
membran dan duri-duri halus yang masih terdapat dalam minced fish
Rotary sieve Alat yang digunakan untuk mengurangi kadar air minced fish pada proses
RSW Refrigerated sea water
Screw press Alat pengepres minced fish yang terdiri dari screw yang berputar
dan screen yang berbentuk silinder
Silent cutter Alat yang digunakan untuk mencampur adonan dengan bahan-bahan
tambahan
SPK Sistem penunjang keputusan
Stakeholder Pihak-pihak yang terkait dengan pengambilan keputusan
Suwari Gejala terbentuknya gel yang terjadi pada suhu kurang dari 50oC, dimana
sol perlahan berubah menjadi gel yang elastis
System approach pendekatan sistem
SWOT Suatu bentuk analisa situasi dan kondisi yang bersifat deskriftif
(memberikan gambaran)
TED Turtle Excluder Device, yaitu alat pereduksi ikan yang dipasang pada
pukat udang yang awalnya ditujukan untuk meloloskan penyu yang
tertangkap trawl
Tekstur analyzer Alat untuk mengukur kekuatan gel
USA United State of America
Water soluble
component
Zat/bahan yang larut dalam air
WHC Water holding capacity (daya ikat air)
WIFI West Irian Fishing Industries
WPP Wilayah Pengelolaan Perikanan
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran Halaman
1 Keragaan armada penangkapan pukat udang yang berpangkalan
di Sorong – Provinsi Papua Barat ... 134
2 Proyeksi cash flow usaha pengolahan surimi teknologi semi moderen yang ada saat ini ... 135
3 Proyeksi cash flow usaha pengolahan surimi teknologi moderen yang ada saat ini ... 136
4 Proyeksi cash flow usaha pengolahan surimi teknologi semi moderen di Sorong ... 137
5 Proyeksi cash flow usaha pengolahan surimi teknologi moderen di Sorong ... 138
6 Analisis prioritas komponen kekuatan terhadap strategi ... 139
7 Analisis prioritas komponen kelemahan terhadap strategi ... 141
8 Analisis prioritas komponen ancaman terhadap strategi ... 143
1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki lebih dari 17.500
pulau dengan garis pantai sepanjang 81.000 km. Sekitar tiga per empat dari
wilayah Indonesia adalah perairan dengan potensi sumberdaya ikan yang
melimpah, baik dari sisi kuantitas maupun diversitas. Potensi lestari (MSY,
maximum sustainable yield) sumberdaya ikan laut Indonesia diperkirakan sebesar
6,26 juta ton per tahun yang terdiri dari potensi di perairan wilayah Indonesia
sekitar 4,40 juta ton per tahun dan perairan ZEEI sekitar 1,86 juta to per tahun.
Potensi sumber daya ikan tersebut, apabila dikelompokkan berdasarkan jenis ikan
terdiri dari pelagis besar 1,05 juta ton, pelagis kecil 3,24 juta ton, demersal 1,79
juta ton, udang 0,08 juta ton, cumi-cumi 0,03 juta ton, dan ikan karang 0,08 juta
ton (DJPT 2004). Produksi perikanan laut, saat ini hampir mendekati titik jenuh.
Dengan jumlah tangkapan yang diperbolehkan (JBT) sebesar 80 % dari potensi
lestari (5,01 juta ton), maka dengan produksi perikanan laut sebesar 4,4 juta ton,
perikanan laut telah di eksplotasi sebesar 70,29 % (DKP 2007).
Perairan Indonesia bagian timur merupakan wilayah yang memiliki
potensi perikanan yang sangat besar, terutama dalam jumlah dan jenis. Perairan
tersebut diantaranya meliputi perairan Papua Barat yang merupakan wilayah
penangkapan udang yang diusahakan secara komersial untuk kepentingan ekspor
dengan menggunakan alat tangkap pukat udang. Berdasarkan Keputusan Presiden
No. 85 tahun 1982, mengijinkan pengoperasian alat tangkap pukat udang yang
dilengkapi dengan alat penyaring hasil tangkapan atau BED (by-catch excluder
device) dan hanya diperkenankan beroperasi di wilayah timur Indonesia, dalam
hal ini di Laut Arafura dan sekitarnya.
Luas Laut Arafura sekitar 150.000 km2 merupakan wilayah perairan
potensial penangkapan udang dengan luas intensif daerah penangkapan sekitar
73.500 km2. Perairan ini memiliki kedalaman berkisar antara 5-60 m atau
rata-rata 30 m dengan hasil tangkapan utama udang yang lebih dari 17 spesies udang
penaid dan lebih dari 30 jenis ikan hasil tangkap sampingan (HTS) yang
al. 2003). Di Laut Arafura terdapat 502 armada pukat udang yang melakukan
penangkapan dengan alat tangkap pukat udang dan diperkirakan HTS yang hasil
tangkapan yang melimpah ini umumnya dibuang ke laut karena tidak tertampung
di dalam palka dan hanya sebagian kecil dari jenis ikan-ikan ekonomis yang
dimanfaatkan oleh awak kapal. Potensi ikan hasil tangkap sampingan di Laut
Arafura dari armada penangkapan udang yang memiliki izin operasi diperkirakan
sebesar 332.168 ton per tahun (Purbayanto et al. 2004). Sentra perikanan di
sekitar Laut Arafura meliputi Merauke, Mimika, Kaimana dan Sorong namun
pengelolaan industri perikanan pukat udang di wilayah ini didominasi oleh 4
perusahaan besar yang berpangkalan di Sorong (Papua Barat), yaitu PT. Alfa
Kurnia Fish Enterprise (AKFE), PT. Dwi Bina Utama (DBU), PT. Irian Marine
Product Development (IMPD) dan PT. West Irian Fishing Industries (WIFI).
Hasil tangkap sampingan (by-catch) adalah ikan yang ikut tertangkap
dalam suatu operasi penangkapan namun bukan merupakan target utama dari
operasi tersebut. Pada usaha penangkapan pukat udang, hasil tangkap sampingan
yaitu berbagai jenis ikan demersal yang pada umumnya kurang memiliki nilai
ekonomis penting sehingga seringkali tidak dibawa ke pelabuhan untuk
didaratkan. Menurut Pauly dan Neal (1985), masalah utama penangkapan udang
secara komersial di Asia Tenggara adalah banyaknya ikan demersal yang
tertangkap. Sebagian besar ikan-ikan demersal tersebut tidak termanfaatkan
dengan baik karena secara ekonomis tidak menguntungkan sehingga sebagian
besar dibuang kembali ke laut. Letelay dan Malawat (1995) menyatakan HTS
yang dibuang kembali ke laut dapat mencapai 65,56 persen dari total tangkapan
ikan HTS setiap tahun dan yang dibawa ke darat hanya 34,44 persen. Menurut
Widodo (1998) jumlah ikan HTS bervariasi antara 8 – 13 kali hasil tangkapan
udang dan 65 persen dari HTS dibuang ke laut dan sisanya dimanfaatkan untuk
konsumsi segar dan dikeringkan (ikan asin). Mangunsong dan Djazuli (2001)
menyatakan bahwa jumlah ikan HTS dapat mencapai 300.000 ton setiap tahun.
Kecenderungan hasil tangkap sampingan belum termanfaatkan antara lain
disebabkan adanya kebijakan dari setiap manajemen industri penangkapan pukat
udang bahwa yang menjadi target dari suatu operasi penangkapan adalah udang
sampingan khususnya jenis non ekonomis sebagian besar dibuang kembali ke laut
karena tidak tersedia waktu dan tenaga untuk menanganinya. Selain itu, biaya
pengangkutan yang mahal dan tidak sebanding dengan nilai ekonomis yang
dihasilkan, serta kurangnya industri pengolahan yang menampung dan
memanfaatkan ikan HTS yang dekat dengan daerah penangkapan.
Kendala lain yang dihadapi dalam rangka pemanfaatan HTS adalah HTS
yang dihasilkan terdiri atas berbagai jenis dan ukuran ikan yang kurang memiliki
nilai ekonomis sehingga diperlukan industri pengolahan dalam pemanfaatannya.
Oleh karena itu, dalam rangka pemanfaatan HTS, diperlukan adanya suatu
upaya/alternatif solusi yang ditujukan untuk mengurangi kendala yang ada, seperti
pengurangan volume dan berat hasil tangkapan yang disimpan dalam palka,
pemanfaatan kapal angkut ikan (kapal carrier), dilakukan penelitian mengenai
teknologi pengolahan HTS ikan serta mencari langkah dalam upaya efisiensi
produksi agar hasil olahan HTS ikan memiliki daya saing untuk skala ekspor.
Hasil yang diharapkan adalah produk hasil olahan HTS ikan yang dapat diterima
oleh konsumen dan memberikan nilai tambah secara ekonomis. Ketersediaan
bahan baku HTS yang selama ini belum termanfaatkan, mendorong perlu
dikembangkannya teknologi pengolahan surimi dengan teknologi terputus sebagai
upaya memberikan solusi terhadap beberapa kendala yang dihadapi dalam
pemanfaatan HTS.
Hingga saat ini, sebagian kecil ikan HTS ekonomis yang didaratkan
dipasarkan untuk konsumsi lokal atau diekspor dalam bentuk utuh beku,
sedangkan untuk ikan non ekonomis diolah menjadi bahan baku tepung ikan. Hal
ini antara lain karena belum adanya kesiapan industri pengolahan di darat untuk
pemanfaatan HTS non ekonomis dengan jenis dan ukuran yang sangat beragam
tersebut, baik dalam hal teknologi maupun jenis olahan yang sesuai sehingga
dapat memberikan nilai tambah terhadap bahan baku (Latelay dan Malawat 1995).
Berdasarkan “Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF)
FAO/WHO”, bahwa setiap negara harus memanfaatkan sebaik-baiknya sumber
daya ikan dan produksi ikan, maka Departemen Kelautan dan Perikanan
dan teknologi pengolahan melalui peningkatan mutu dan pengembangan produk
bernilai tambah yang mencakup beberapa hal sebagai berikut :
(1) Mengurangi penyusutan (losses) yang sekaligus meningkatkan nilai dan
pemanfaatannya;
(2) Mengoptimalkan pemanfaatan ikan hasil tangkapan (ikan non ekonomis,
hasil tangkap sampingan dan hasil samping proses industri) melalui
pengembangan produk bernilai tambah.
Dalam rangka mengoptimalkan pemanfaatan ikan-ikan hasil tangkapan di
Indonesia dan sekaligus sesuai dengan yang diamanatkan CCRF-FAO, maka salah
satu bentuk usaha yang dapat dilakukan adalah dengan mengembangkan surimi
dan produk lanjutannya. Menurut Okada (1992), surimi adalah suatu lumatan
daging ikan yang telah mengalami proses leaching, penambahan bahan anti
dehidrasi dan pembekuan sehingga dihasilkan produk yang mempunyai elastisitas
(kekuatan gel) yang dapat memenuhi kriteria sebagai bahan baku produk fish jelly
dengan daya simpan yang panjang. Produk surimi sangat tepat untuk pemanfaatan
produksi perikanan, dikarenakan keterkaitan dengan hal-hal sebagai berikut:
(1) Jenis ikan di wilayah tropis terdiri dari berbagai jenis (spesies), namun untuk
setiap jenis mempunyai populasi sedikit.
(2) Hampir semua jenis dan ukuran ikan dapat dibuat surimi atau “minced”.
(3) Surimi dapat disimpan dalam jangka panjang sebagai bahan baku produk
fish jelly.
(4) Surimi dan minced dapat diolah lebih lanjut dalam berbagai bentuk sesuai
keinginan.
(5) Surimi, dan produk fish jelly dapat memberikan nilai tambah untuk nelayan,
bagi pengolah, gizi bagi masyarakat dan devisa bagi negara.
Negara Thailand, Malaysia dan Singapura, memiliki industri surimi yang
berkembang dengan pesat melalui pemanfaatan ikan non ekonomis (Gapindo
2000), sedangkan di Indonesia hanya terdapat 5 (lima) industri surimi dengan
kapasitas produksi 3 – 5 ton per hari, dan 90 persen dari produksi adalah untuk
diekspor (Budiyanto dan Djazuli 2003).
Pekalongan – Jawa Tengah dan Pulau Moro – Riau merupakan dua
yang berbeda yang dapat dijadikan sampel dalam menganalisis kelayakan usaha.
Pengolahan surimi di Pekalongan digolongkan dalam usaha moderen sedangkan
pengolahan surimi di Pulau Moro digolongkan dalam semi moderen yang dapat
dijadikan acuan guna mendapatkan gambaran besarnya investasi dan biaya yang
harus dikeluarkan dalam membangun usaha pengolahan surimi. Berdasarkan hasil
analisis tersebut diharapkan dapat dijadikan acuan bagi analisis kelayakan usaha
pengolahan surimi di Sorong, Papua Barat dalam memanfaatkan ikan hasil
tangkap sampingan dari area penangkapan Laut Arafura.
1.2 Tujuan Penelitian
Secara umum penelitian ini ditujukan untuk mengkaji pengembangan
industri surimi dalam pemanfataan by-catch pukat udang, dan secara khusus
tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:
(1) Menganalisis ketersediaan HTS di Laut Arafura sebagai bahan baku industri
surimi
(2) Menganalisis tentang teknologi terputus pengolahan surimi dengan
menggunakan campuran jenis ikan “by-catch’ pukat udang yang dominan
serta analisis mutu surimi yang dihasilkan.
(3) Menganalisis kelayakan usaha pengolahan industri surimi di Pekalongan –
Jawa Tengah dan Pulau Moro – Riau dan asumsi kelayakan usaha pengolahan
surimi di Sorong – Papua Barat.
(4) Menganalisis kebijakan pengembangan industri surimi di Sorong – Papua
Barat.
(5) Menyusun konsep pengembangan industri surimi dalam pemanfaatan by-catch
pukat udang.
1.3 Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini adalah untuk menyusun konsep dan strategi
kebijakan pemanfaatan hasil tangkap sampingan sebagai bahan baku industri
surimi serta analisis finansial pengembangan usaha pengolahan surimi di Sorong,
(1) Ilmu pengetahuan dan teknologi dalam upaya mencari solusi permasalahan
tingginya potensi hasil tangkap sampingan non ekonomis yang sebagian
besar dibuang kembali ke laut
(2) Pengusaha dan investor mengenai ketersediaan bahan baku HTS pukat udang
serta analisis kelayakan usaha pengembangan industri pengolahan surimi
dengan metode terputus di Provinsi Papua Barat sehingga dapat dijadikan
model dalam pengembangan industri pengolahan surimi.
(3) Pemerintah Provinsi Papua dalam pengelolaan sumberdaya ikan sebagai
solusi dari permasalahan hasil tangkap sampingan yang selama ini tidak
termanfaatkan, yang merupakan bagian dari pengelolaan perikanan yang
bertanggung jawab.
(4) Sebagai masukan kepada pemerintah pusat untuk meninjau kembali kebijakan
dan peraturan yang mengatur tentang hasil tangkap sampingan pukat udang
sehingga dapat dimanfaatkan secara optimal.
(5) Membuka peluang lapangan kerja baru bagi masyarakat lokal yang
berdampak pada peningkatan pendapatan dan gizi dengan berkembangnya
industri pengolahan surimi.
(6) Penelitian selanjutnya guna pengembangan ilmu pengetahuan yang berkaitan
dengan teknologi pengolahan hasil perikanan.
1.4 Hipotesis Penelitian
Adapun hipotesis atau dugaan-dugaan pada penelitian ini adalah sebagai
berikut:
(1) Bahan baku hasil tangkap sampingan industri pukat udang di Laut Arafura
cukup untuk dimanfaatkan sebagai bahan baku surimi
(2) Teknologi pengolahan surimi metode terputus, yaitu pengolahan minced
fish di atas kapal dan dilanjutkan dengan pengolahan surimi di darat dapat
menghasilkan surimi dengan mutu yang sangat baik.
(3) Usaha pengolahan surimi di Pekalongan – Jawa Tengah dan Pulau Moro –
Riau layak secara finansial (keuangan)
(4) Konsep pengembangan industri surimi dalam pemanfaatan by-catch pukat
melakukan kerjasama antara pengusaha penangkapan dan pengolahan
dapat dilaksanakan dan menguntungkan.
(5) Strategi kebijakan pengembangan industri surimi di Sorong – Papua Barat
dapat dilakukan dengan pengolahan HTS menjadi surimi yang disertai
dengan pemberdayaan masyarakat dan peningkatan infrastruktur.
1.5 Perumusan Masalah
Industri penangkapan pukat udang menghasilkan tangkapan utama berupa
udang dan tangkapan sampingan berupa ikan dengan spesies yang beragam. Hasil
tangkap sampingan diperkirakan memiliki volume yang lebih besar dibandingkan
dengan hasil tangkapan utama dengan estimasi rasio udang dan ikan 1 : 8-13.
Pemanfaatan HTS menghadapi beberapa kendala seperti daerah operasi
kapal-kapal pukat di Indonesia tersebar di beberapa wilayah di perairan Indonesia
bagian timur. Kendala tersebut diperburuk lagi dengan keterbatasan volume palka
kapal yang dikhususkan untuk menyimpan tangkapan udang. Selain itu,
pengangkutan HTS ke Tempat Pelelangan Ikan (TPI) atau ke darat memerlukan
biaya yang cukup besar sedangkan ikan yang dibawa kurang mempunyai nilai
ekonomis (low economic return) sehingga sebagian besar HTS dibuang kembali
ke laut. Kendala lain yang dihadapi dalam rangka pemanfaatan HTS adalah HTS
yang dihasilkan terdiri atas berbagai jenis dan ukuran ikan yang yang beragam
dan kurang memiliki nilai ekonomis sehingga diperlukan industri pengolahan
dalam pemanfaatannya. Jenis dan ukuran ikan yang beragam dan kurang memiliki
nilai ekonomis dan jumlah yang besar tidak memberikan keuntungan yang
menjanjikan bagi pengusaha, menjadi permasalahan tersendiri dalam mencari
teknologi yang tepat dalam pemanfaatan HTS (Marpaung 2006).
Oleh karena itu, dalam rangka pemanfaatan HTS, diperlukan adanya suatu
upaya/alternatif solusi yang ditujukan untuk mengurangi kendala yang ada, seperti
pengurangan volume dan berat hasil tangkapan yang disimpan dalam palka,
pemanfaatan kapal angkut ikan (kapal carrier), dilakukan penelitian mengenai
teknologi pengolahan HTS ikan serta mencari langkah dalam upaya efisiensi
produksi agar hasil olahan HTS ikan memiliki daya saing untuk skala ekspor.
oleh konsumen dan memberikan nilai tambah secara ekonomis. Ketersediaan
bahan baku HTS yang selama ini belum dimanfaatkan secara optimal, mendorong
perlu dikembangkannya teknologi pengolahan surimi dengan teknologi terputus
sebagai upaya memberikan solusi terhadap beberapa kendala yang dihadapi dalam
pemanfaatan HTS.
Analisis kelayakan usaha pengolahan surimi perlu dilakukan guna
mendapatkan gambaran besarnya investasi dan biaya yang harus dikeluarkan
dalam membangun usaha pengolahan serta besarnya manfaat yang dapat diperoleh
oleh stakeholder dari usaha pengolahan surimi tersebut. Analisis kelayakan
finansial usaha pengolahan surimi dilakukan terhadap usaha pengolahan surimi
yang sudah ada saat ini, untuk mendapatkan gambaran besarnya biaya yang telah
dikeluarkan dan dibandingkan dengan besarnya mnafaat yang telah diperoleh serta
gambaran biaya-manfaat di masa akan datang.
Berdasarkan penjelasan pemasalahan di atas, maka perlu dicari solusi
bagaimana strategi dan cara untuk mengumpulkan hasil tangkap sampingan (HTS)
tersebut secara efektif dan efisien serta teknologi pengolahan surimi yang tepat
untuk HTS dan menghasilkan produk surimi yang baik dengan segala
keterbatasan/infrastuktur khususnya di wilayah Provinsi Papua Barat. Pemilihan
lokasi Provinsi Papua Barat didasarkan atas beroperasinya kapal dengan alat
tangkap pukat udang dalam jumlah banyak, sehingga memiliki kemungkinan
menghasilkan HTS dalam jumlah besar.
1.6 Kerangka Pemikiran
Kerangka penelitian yang terdiri atas input, proses dan output secara
skematik dapat dilihat pada Gambar 1. Input merupakan usaha penangkapan pukat
udang di Laut Arafura. Kegiatan usaha penangkapan tersebut menghasilkan ikan
sebagai hasil tangkap sampingan. Hingga saat ini hasil tangkap sampingan belum
dimanfaatkan secara optimal, hal ini disebabkan adanya berbagai permasalahan
yang dihadapi baik secara internal maupun eksternal. Secara internal,
permasalahan yang dihadapi adalah keterbatasan volume palka kapal yang hanya
dikhususkan untuk menyimpan hasil tangkapan udang, kondisi kapal yang
memiliki nilai ekonomis yang sangat rendah apabila dibawa ke darat serta
kebijakan dari pihak manajemen perusahaan penangkapan udang yang tidak
memperbolehkan by-catch dibawa ke darat. Permasalahan eksternal yang dihadapi
adalah kebijakan pemerintah yang belum mengatur tentang pemanfaatan by-catch.
Bagian proses merupakan ruang lingkup penelitian yang mencari solusi
dan upaya mengoptimalkan pemanfaatan by-catch melalui beberapa analisis, yaitu
analisis ketersediaan bahan baku, analisis teknologi pengolahan surimi dengan
memanfaatkan campuran jenis ikan by-catch pukat udang, analisis kelayakan
usaha pengolahan industri surimi dan analisis kebijakan dalam menyusun konsep
pengembangan industri surimi dalam pemanfaatan by-catch. Ketersediaan bahan
baku yang dikaji adalah data perusahaan penangkapan pukat udang, jumlah kapal
yang beroperasi di Laut Arafura serta jumlah hasil tangkapan utama untuk
mengetahui total by-catch yang dihasilkan dengan perbandingan antara udang dan
by-catch sebesar 1: 12 (Purbayanto et al. 2004 dan Widodo 1998).
Teknologi pengolahan surimi dilakukan dengan mencampur ikan-ikan
HTS dan menggunakan teknologi pengolahan terputus, yaitu pengolahan yang
dilakukan di atas kapal terbatas hanya pada proses menghasilkan lumatan daging
ikan (minced fish) beku sedangkan pengolahan lanjutan hingga menjadi surimi
dilakukan setelah minced fish sampai di darat. Analisis laboratorium terhadap
mutu surimi, meliputi analisis kimia yang terdiri dari protein larut garam (PLG)
dan Water Holding Capacity (WHC) dan fisik untuk menguji gel strength yang
terdiri dari uji lipat, uji gigit dan menggunakan tekstur meter (g/cm2).
Analisa kelayakan finansial dilakukan terhadap Payback Period (PP), Net
Present Value (NPV), Internal Rate of Return (IRR), Profitability Index (PI) serta
Net B/C serta Break Even Point (BEP). Penyusunan konsep pengembangan
industri surimi dilakukan dengan analisis kebijakan menggunakan analisis SWOT
dan Analytical Hierarchy Process (AHP).
Output atau keluaran dari penelitian mengenai pemanfaatan HTS adalah
rekomendasi strategi kebijakan terhadap pengembangan industri pengolah surimi
yaitu data ketersediaan bahan baku untuk mensuplai industri pengolahan surimi,
teknologi pengolahan surimi dengan metode terputus dan analisa surimi dalam
Keterangan :
: input : proses
[image:30.595.45.560.81.555.2]: output
Gambar 1 Kerangka penelitian.
Permasalahan pemanfaatan HTS pukat udang Hasil tangkap sampingan (HTS)
Analisis
REKOMENDASI STRATEGI KEBIJAKAN INDUSTRI PENGOLAHAN SURIMI DALAM PEMANFAATAN BY-CATCH
Analisis Kebijakan : 1. SWOT
2. AHP Analisis
Teknologi Pengolahan
Surimi
Analisis Kelayakan Finansial :
(NPV, IRR, PP, PI, B/C Ratio)
Analisis Ketersediaan HTS sebagai bahan baku industri surimi
aku
Tersedia bahan baku HTS
Teknologi Terputus
Industri surimi layak dikembangkan
Strategi Pengembangan INTERNAL
1. Palka terbatas 2. Kapal tersebar
3. Low economic return
4. Kebijakan perusahaan terhadap HTS
EKSTERNAL Kebijakan pemerintah tentang pemanfaatan HTS belum mendukung
2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi Surimi
Surimi merupakan konsentrat dari protein myofibrilar yang diperoleh dari
daging ikan. Sifat-sifat utamanya adalah membentuk gel yang elastis dan kuat
melalui perlakuan panas. Selain itu, disamping sebagai bahan gel, sifat-sifat
protein surimi yang baik yaitu sebagai bahan pengikat, dan bahan pengemulsi.
Oleh karena itu, surimi terutama digunakan sebagai ingredient structural dalam
formulasi seafood analog (Suzuki 1981).
2.1.1 Pengertian surimi dan penggunaannya
Menurut Okada (1992), surimi merupakan istilah Jepang yang
menunjukkan pasta dari gilingan daging ikan yang dibentuk selama proses
pembuatan kamaboko yakni suatu produk tradisional Jepang berbasis surimi. Saat
daging ikan dipisahkan dari kulit dan duri secara mekanis dinamakan hancuran
daging ikan yang merupakan bahan awal untuk produksi surimi. Apabila hancuran
daging ikan dicuci dengan air, untuk menghilangkan lemak dan
komponen-komponen larut air, ini akan dihasilkan surimi. Surimi merupakan konsentrat dari
protein miofibrilar ikan dan mempunyai kemampuan dan pembentukan gel,
pengikatan air, pengikatan lemak dan sifat-sifat fungsional dibandingkan hancuran
daging ikan. Perkembangan produk baru yang berbasis surimi yaitu produk analog
seperti analog daging, analog kepiting dan surimi kering.
Surimi beku adalah daging ikan yang dihaluskan yang telah dicuci dengan
air, dicampur dengan gula dan polifosfat, dan kemudian dibekukan. Selanjutnya
dari surimi beku dapat dibuat berbagai macam produk lanjutan diantaranya adalah
baso, sosis, siomay, fish cake, mie ikan, burger dan sebagainya, yang
spesifikasinya menuntut kemampuan dalam pembentukan gel. Menurut Ramirez
et al. (1999), surimi adalah konsentrat protein miofibrilar yang bermutu tinggi
yang diperoleh dari otot ikan. Aplikasi dari protein surimi terutama karena
sifat-sifat yang lebih baik sebagai bahan pengikat, gel dan pengemulsi, dibandingkan
digunakan sebagai ingredient structural dalam formulasi produk analog,
sedangkan surimi yang dikeringbekukan berfungsi sebagai bahan pengemulsi
pada produk sosis.
Menurut Suzuki (1981), terdapat 3 (tiga) tipe surimi yaitu : (1) Mu-en
Surimi yaitu surimi yang dibuat dengan cara menggiling hancuran daging ikan
yang telah dicuci dan dicampur dengan gula dan fosfat, tanpa penambahan garam
dan telah mengalami pembekuan; (2) Ka-en Surimi yaitu surimi yang dibuat
dengan cara menggiling hancuran daging ikan, yang telah dicuci dan dicampur
dengan gula dan garam tanpa penambahan fosfat dan telah mengalami proses
pembekuan; (3) Na-ma Surimi yaitu surimi yang tidak mengalami pembekuan.
Surimi komersial mempunyai kadar air 75 persen, protein 18 persen, lemak
kurang dari 0,5 persen dan bahan-bahan lain 6,5 persen (Park et al. 1996).
Komposisi proksimat surimi dari beberapa jenis ikan disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1 Komposisi proksimat surimi beku dari beberapa
jenis ikan
Surimi Beku Air (%) Abu (%) Protein (%)
Lemak (%)
Bahan dari ikan nila merah
(Oreochromis nilotica)* 78 0,42 15,1 0,48
Bahan dari ikan fat sleeper
(Dormitator maculatus)* 75 0,35 18,1 0,57
Bahan dari ikan Layang
(Decopterus sp)** 82,36 0,58 12,18 3,82
Bahan dari ikan Marlin
(Makaira sp)** 81,66 0,53 11,82 3,53
Keterangan:
* : Ramirez et al., 1999 ** : BPPMHP 2004
2.1.2 Sifat-sifat surimi
Ramirez et al. (2002), mengatakan bahwa salah satu sifat surimi adalah
membentuk gel yang elastis dan kuat dengan perlakuan panas. Gel yang fleksibel
dan elastis tersebut terbentuk jika Surimi dicampur dengan garam, yang melalui
proses pelumatan akan terbentuk sol, dan dengan pembentukan dan pemanasan
selama proses dengan panas terutama berperan pada stablisasi lemak dan air,
pengikatan hancuran daging ikan, kemudian membentuk kembali produk
(McCord et al. 1998). Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan gel
adalah bahan baku, kekuatan ion, pH, suhu dan laju pemanasan, serta jenis ikan
(Lan et al. 1995).
Penggunaan garam pada proses pembentukan gel yaitu sebagai bahan
pelarut myofibril. Untuk kosentrasi kurang dari 2 persen miofobril tidak dapat
terlarut, sementara pada konsentrasi lebih dari 12 persen myofibril terhidrasi yang
disebabkan efek salting-out dari garam. Untuk konsentrasi 2 - 3 persen merupakan
penggunaan yang umum pada beberapa spesies ikan dan jenis produk, karena
pada kisaran yang lebih tinggi akan memberikan rasa asin (Tan et al. 1988;
Shimizu dan Toyohara 1994).
Gelasi termal dari otot ikan terjadi dalam tiga tahapan proses yaitu:
(1) disosiasi dari struktur myofibril oleh kelarutan protein dengan adanya garam;
(2) terbukanya sabagian struktur protein yang disebabkan perlakuan panas;
(3) agregasi dari protein yang terbuka melalui ikatan kovalen dan non kovalen
untuk membentuk jaringan tiga dimensi (Stone and Stanley 1992 yang diacu
dalam Benjakul et al. 2001).
Perubahan dari sol menjadi gel tersebut melewati tiga tahap proses, yaitu
suwari, modori, dan ashi. Suwari (setting) terjadi pada suhu kurang dari 50°C,
merupakan gejala dimana sol yang terbentuk secara perlahan-lahan berubah
menjadi gel yang elastis (Tan et al. 1988; Roussel dan Cheftel 1988). Fenomena
ini menurut Ramirez et al. (2002), berkaitan dengan endogenous
calcium-dependent transglutaminase. Mexican flounder tidak menunjukan fenomena
setting ini; yang kemungkinan disebabkan rendahnya level kalsium akibat tahap
pencucian pada saat proses pembuatan surimi (Ramirez et al. 2002).
Modori merupakan gejala degradasi gel, dimana gel menjadi tidak elastis
dan fragile. Modori berarti ”kembali” yaitu kembali ke tekstur awal daging ikan.
Gejala modori biasanya terjadi pada suhu 60-65°C (Roussel dan Cheftel 1990;
Ramirez et al. 2002). Gejala modori bervariasi tergantung kondisi biologi yaitu
kesegaran, umur, lokasi penangkapan dan musim. Ou et al. (2000), menemukan
(Polydon spathula), dimana degradasi miosin tersebut dapat dikurangi dengan
menambahkan plasma sapi. Pada pembentukan gel surimi dari sardin, gejala
modori terjadi pada pemanasan pada suhu 50- 60°C (Alvarez et al. 1999). Gejala
modori tersebut berkaitan dengan adanya aktivasi dengan panas terhadap protein
otot, terutama cathepsin (Ramirez et al. 2002), cathepsin-cysteine proteinase (An
et al. 1996); dan serine-proteinase (Cao et al. 2000). Ramirez et al. (2002),
menemukan bahwa ekstrak biji legume mengandung protease inhibitir yang
spesifik terhadap serine-proteinase, yang dapat menghambat aktivitas proteolitik
pada gel surimi dari Mexican flounder dan Atlantic croacker, sehingga
mengurangi hidrolisis miosin dan aktin. Oleh karena itu, kisaran suhu tersebut
harus dilewati agar gel yang mulai terbentuk pada tahap setting tidak mengalami
kerusakan atau degradasi.
Gel ashi terbentuk setelah melewati dua zone suhu tersebut. Oleh karena
itu jika sol dipertahankan dalam waktu yang cukup lama pada zona suhu
terjadinya gel suwari atau dengan cepat melewati zona suhu terjadinya gel
modori, akan terbentuk gel yang kuat dan elastis. Tan et al. (1988), melakukan
prinsip pemanasan dua tahap yaitu setting pada suhu 40°C selama 20 menit
dilanjutkan dengan pemanasan pada 90°C selama 20 menit; dimana pada
pemanasan 90°C bertujuan untuk pemasakan dan sterilisasi. Ou et al. (2000),
menemukan bahwa maksimum kekuatan gel dapat dicapai dengan pre-inkubasi
pada 70°C diikuti dengan pemasakan pada 90°C.
Gel surimi yang terbentuk dapat diuji kekuatan gelnya dengan tekstur
analyzer, atau diuji dengan Texture Profile Analysis atau secara subyektif dapat
dilakukan dengan melakukan uji lipat dan uji gigit. Selain itu juga ditentukan dari
warna yang menunjukan derajat putih, yang secara obyektif dapat diukur dengan
Whitenessmeter atau Chromameter. Menurut Tan et al. (1988), surimi komersial
yang bermutu baik mempunyai nilai uji lipat AA dan masih dapat diterima jika
2.1.3 Bahan utama surimi
Bahan utama yang digunakan pada pembuatan surimi adalah daging ikan,
sehingga perlu diperhatikan beberapa hal yang berkaitan dengan ikan segar
sebagai bahan baku surimi. Awalnya surimi diolah dari ikan Alaska Pollack yang
merupakan sumber bahan baku terbesar di Jepang dan mempunyai sifat fungsional
yang baik (Suzuki 1981; Tan et al. 1988; Okada 1992).
Secara teknis semua jenis ikan dapat dijadikan surimi. Meskipun begitu,
ikan yang berdaging putih, tidak berbau lumpur dan mempunyai kemampuan
pembentukan gel yang bagus yang akan memberikan hasil surimi yang lebih baik.
Miyake et al. (1985), menyatakan bahwa surimi dapat dibuat dari berbagai jenis
ikan, asalkan ikan tersebut mempunyai kemampuan membentuk gel, rasa dan
penampakan yang baik. Umumnya ikan berdaging putih mempunyai kemampuan
membentuk gel yang lebih baik dibandingkan dengan ikan berdaging merah. Ikan
marlin dan mackerel mempunyai kemampuan pembentukan gel baik. Ikan air
tawar biasanya mempunyai kemampuan pembentukan gel yang kurang baik,
demikian juga udang dan keong (Shimizu dan Toyohara 1994). Ikan berdaging
merah seperti sardin dan bonito biasanya mempunyai gel yang kurang baik (Yu
1993). Untuk mendapatkan tekstur gel yang baik, ikan sardin yang pada saat mati
mempunyai pH 5,6 – 5,8 perlu ditingkatkan menjadi pH 6,4 – 8,4 (Roussel dan
Cheftel 1990).
Jenis ikan yang digunakan untuk pembuatan surimi harus mempunyai nilai
kesegaran yang tinggi, sebab tidak mungkin akan diperoleh mutu yang baik dari
ikan yang tidak segar (Tan et al. 1988). Dengan berbagai alternatif jenis yang
digunakan tersebut maka dimungkinkan untuk mencampur berbagai spesies ikan
yang berbeda untuk mendapatkan sifat-sifat yang baik (Suzuki 1981; Shimizu dan
Toyohara 1994).
2.2 Industri Pengolahan Surimi
Sejak dimulainya industri surimi beku di Jepang tahun 1960, penelitian,
teknologi pengolahan dan peralatan mulai dikembangkan (Noguchi 1984).
adalah teknologi dengan metode rotary rinser/screw press. Secara umum alir
proses pengolahan surimi terdiri dari persiapan bahan baku, penghilangan tulang,
pencucian daging lumat, pengurangan kadar air (pengepresan), penapisan
(straining), penambahan bahan tambahan dan pembekuan (Gambar 2). Skema
proses pengolahan dan peralatan yang digunakan pada industri surimi beku
dijelaskan pada Gambar 3.
2.2.1 Penanganan bahan baku
Selain jenis, kesegaran bahan baku merupakan hal penting dalam proses
pengolahan surimi. Surimi dengan mutu tinggi tidak akan dihasilkan bila
digunakan bahan baku yang kurang segar, meskipun diolah dengan teknologi
tinggi (Uno dan Nakamura 1958). Selain itu, protein ikan (aktin dan miosin)
masih tinggi sehingga kemampuan mengikat air pun tinggi.
Pada umumnya, ikan di kapal trawl memiliki kesegaran yang sangat tinggi
(ditangani < 24 jam setelah ditangkap), yang dapat diolah menjadi surimi dengan
kualitas yang lebih baik dibandingkan dengan bahan baku yang digunakan di
kapal pengumpul atau di industri surimi di darat karena telah mengalami
penyimpanan beberapa hari setelah penangkapan. Untuk kapal pengolah dapat
dengan mudah berpindah tempat dari satu fishing ground ke fishing ground
lainnya, maka kebutuhan bahan baku dapat diatur sesuai dengan kapasitas
produksi sehingga ikan yang digunakan selalu dalam kondisi sangat segar, karena
ikan langsung diolah tidak lebih dari 12 jam setelah ditangkap (Lee 1986).
Jika ikan tidak langsung diolah maka harus disimpan pada suhu di bawah
5oC. Untuk penanganan ikan di atas kapal, refrigerated sea water (RSW)
merupakan metode penyimpanan ikan yang sangat baik untuk mempertahankan
mutu bahan baku surimi karena metode ini mampu mendinginkan ikan secara
cepat dengan distribusi suhu yang merata dan tidak merusak ikan. Namun metode
ini disarankan tidak lebih dari 2 hari karena garam yang terkandung dalam larutan
akan masuk ke dalam daging ikan dan menyebabkan denaturasi protein (Lee
PROSES TUJUAN METODE
SEMI MODERN
MODERN
IKAN SEGAR
Pencucian Cuci dalam air
es
Mendinginkan ikan Rotary fish
washer
Rotary fish washer
Penyiangan Membuang kepala dan
isi perut
Pisau Mesin
Cuci dalam air es Menghilangkan sisik dan darah Rotary fish washer Rotary fish washer
Pemisahan daging Memisahkan daging
dari tulang, duri dan kulit
Meat-bone separator
Meat-bone separator
HANCURAN / LUMATAN DAGING (MINCED MEAT)
Leaching Air es (1 : 4) +
0,3% garam (2 kali)
Menghilangkan protein larut air, darah, lemak dan bau
Tanki leaching Tanki leaching
Pengepresan Membuang air
Mengepres
Membuang air cucian Mengatur kadar air
Rotary sieve Rotary sieve
kelebihan air Sampai 80-82% Hidraulic press Screw press
LUMATAN DAGING YANG TELAH DICUCI (LEACHED MEAT)
Straining Menghilangkan sisa
kulit, duri dan sisik
Strainer
Pencampuran 3-5% gula halus 0,2% poliposfat
Mengurangi freeze-denaturation dan meningkatkan WHC
Mixer silent cutter
Pengepakan Dalam plastik
PE
Pengemasan Manual Filling machine
Pembekuan - 30oC Suhu pusat –20oC
dalam waktu 4-6 jam
Contact/air blast freezer
SURIMI BEKU
Kotak karton –(18oC –20oC)
Mengurangi dehidrasi selama penyimpanan beku
[image:37.595.106.535.65.751.2]Cold storage
Gambar
Dokumen terkait
Judul Tesis Kajian Pengembangan Tambak Udang Intensif Dalam Rangka Pemanfaatan Lahan Pesisir Secara Berkelanjutan (Studi Kasus di Kabupaten Situbondo - Jawa Timur) Nama Mahasiswa
Judul Tesis Kajian Pengembangan Tambak Udang Intensif Dalam Rangka Pemanfaatan Lahan Pesisir Secara Berkelanjutan (Studi Kasus di Kabupaten Situbondo - Jawa Timur) Nama Mahasiswa
Nilai pemanfaatan protein (rasio efisiensi protein dan retensi protein) yang lebih tinggi pada pakan kontrol dan pakan yang mengandung tepung kepala udang
Adapun untuk prioritas subfaktor terhadap faktor ancaman dalam pengembangan industri surimi melalui pemanfaatan by-catch di Provinsi Papua Barat yaitu investasi
lanjut dengan menganalisis pemanfaatan dolomit dalam pakan buatan terhadap periode molting udang vaname (Litopenaeus vannamei) di tambak dengan kondisi yang berbeda dari
hanya 8,25 ton, sedangkan catch per unit of effort per bongkar sekitar 25,1 ton (Gambar 4). Pengamatan bongkar hasil tangkapan dari kapal contoh, aktivitas bongkar dilakukan dari
29 96,7 1 3,3 6 Pemanfaatan pemasaran di whatsApp mempermudah konsumen untuk berkomunikasi dengan umkm 28 93,3 2 6,7 7 Pemanfaatan pemasaran di whatsApp