KAJIAN PENGELOLAAN HASIL TANGKAPAN SAMPINGAN
PUKAT UDANG: STUDI KASUS DI LAUT ARAFURA
PROVINSI PAPUA
AZMAR MARPAUNG
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
KAJIAN PENGELOLAAN HASIL TANGKAPAN SAMPINGAN
PUKAT UDANG: STUDI KASUS DI LAUT ARAFURA
PROVINSI PAPUA
AZMAR MARPAUNG
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis dengan judul “Kajian Pengelolaan Hasil Tangkapan Sampingan Pukat Udang: Studi Kasus di Laut Arafura Provinsi Papua” adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi dikutip dari karya yang diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Desember 2006
AZMAR MARPAUNG. Kajian Pengelolaan Hasil Tangkapan Sampingan Pukat Udang: Studi Kasus di Laut Arafura Provinsi Papua
Hasil tangkapan sampingan (HTS) menjadi isu perikanan sejak dikembangkannya pemakaian pukat udang pada tahun 1970. Hal ini menimbulkan masalah karena sifat pukat udang itu sendiri tidak selektif. Sejak Keppres No. 85 tahun 1982 membolehkan pukat udang beroperasi di Laut Arafura yang wajib menggunakan by-catch excluder device, permasalahan HTS masih menjadi isu utama pengelolaan perikanan di Laut Arafura. Dengan jumlah armada pukat udang di Laut Arafura 338 kapal pada tahun 2004, diperkirakan HTS yang dihasilkan sebanyak 332.186 ton/tahun, dan sebagian besar HTS tersebut di buang ke laut karena bernilai ekonomi rendah dan tidak tertampung dalam palka kapal. Tujuan penelitian ini adalah mengurangi buangan dan mengoptimalkan pemanfaatan HTS untuk konsumsi pangan dan pakan dengan: (1) merancang pola kebijakan pendaratan HTS, (2) membuat model pemanfaatan HTS dan (3) menyusun strategi pengelolaan HTS. Penelitian ini menggunakan metode survei yang telah dilaksanakan pada bulan Agustus-Nopember 2004. Survei lapangan berlokasi di perairan sepanjang pantai sebelah selatan Papua dan sentra perikanan yang berada di sekitar Laut Arafura. Data yang dikumpulkan dianalisis menggunakan AHP dan analisis SWOT. Hasil analisis, menyimpulkan bahwa mendaratkan HTS seluruhnya adalah pola yang paling optimal sebagai kebijakan pendaratan HTS. Model pemanfaatan HTS yang paling optimal adalah mengumpulkan ikan HTS menggunakan kapal pengumpul khusus, mengolahnya di atas kapal dan mendaratkannya dalam bentuk bubur ikan. Karena belum ada peraturan tentang pengolahan di atas kapal, maka disarankan kepada pemerintah untuk membuat peraturan yang jelas dan tegas tentang pemanfaatan HTS dan pengolahannya di atas kapal.
AZMAR MARPAUNG. Review of Management of Shrimp Trawl By-catch: A Case Study in Arafura Sea Papua Province (Under the direction of ARI PURBAYANTO and MITA WAHYUNI)
By-catch has become an issue in fisheries since shrimp trawl using was developed in 1970s. A problem on it occurred due to the fact that trawl gears work unselectively, resulting big amount of by-catch. Since the presidential decree No. 85, 1982 allowing the use of shrimp trawls in Arafura Sea equipped with by-catch excluder devices was issued, the by-catch problem is still the main issue in fisheries management. With 338 fishing boats of shrimp trawls operated in Arafura Sea in 2004, it can be estimated that approximately 332.186 ton of by-catch were caught yearly and many of the by-catches were discarded due to their low economic value and limited storage capacity that the boat had. The objectives of this research are to minimize the discards and optimize by-catch utilization by: (1) designing a policy for by-catch landing, (2) making a model of by-catch utilization, and (3) preparing strategies for by-catch management. The method used in this research was field survey conducted from August to September 2004 in south Papua waters, fisheries centers at Arafura Sea. Afterwards, the data collected was analyzed using AHP and SWOT analysis. The results, concluded that landing all the utilizable catch as a policy for by-catch landing. Meanwhile, the most optimum model of utilization is collecting the by-catch by special collecting boat used for processing and landing them in the form of minched fish. Since the existing related regulation in Indonesia do not cover the on-boat processing, the government should make a clear and firm regulation on utilization of by-catch and the on-board processing.
adalah hasil tangkapan yang terdiri dari satu atau sejumlah spesies yang merupakan sasaran utama kegiatan penangkapan ikan.
Hasil tangkapan sampingan : Dalam bahasa Inggeris disebut by-catch adalah bagian dari hasil tangkapan yang terdiri dari organisme laut yang bukan merupakan target penangkapan utama, termasuk di dalam-nya organisme yang mati akibat interaksi dengan alat tangkap, meskipun tidak terangkat dari dalam laut.
Ikan buangan : Dalam bahasa Inggeris disebut discarded catch
adalah bagian dari hasil tangkapan yang tidak diinginkan karena berbagai alasan dan tidak dimanfaatkan, kemudian dibuang kembali ke laut baik dalam keadaan hidup atau mati.
Jaring trawl : Adalah alat tangkap yang terbuat dari bahan jaring, berbentuk seperti kantong atau kerucut. Alat tangkap ini terdiri atas dua lembar sayap (wing) yang dihubungkan dengan tali penarik (warp), badan (body) dan kantong (cod-end). Jaring ditarik secara horisontal di dalam air sehingga mulut jaring akan terbuka selama operasi penangkapan
@ Hak cipta milik IPB, tahun 2006 Hak cipta dilindungi undang-undang
KAJIAN PENGELOLAAN HASIL TANGKAPAN SAMPINGAN
PUKAT UDANG: STUDI KASUS DI LAUT ARAFURA
PROVINSI PAPUA
AZMAR MARPAUNG
Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada
Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Pukat Udang : Studi Kasus di Laut Arafura Provinsi Papua
Nama Mahasiswa : Azmar Marpaung
Nomor Pokok : C551020114
Program Studi : Teknologi Kelautan
Disetujui,
Komisi Pembimbing
Dr.
Ir. Ari Purbayanto, M.Sc Dr. Ir. Mita Wahyuni, MSKetua Anggota
Diketahui,
Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana IPB Teknologi Kelautan
Prof. Dr. Ir. John Haluan, M.Sc. Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS.
dan berkah dari-Nya tesis ini penulis selesaikan. Tesis ini merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi untuk memperoleh gelar Magister Sains (S2) Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Judul tesis ini adalah “Kajian Pengelolaan Hasil Tangkapan Sampingan Pukat Udang: Studi Kasus di Laut Arafura Provinsi Papua”
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada Bapak Dr. Ir. Ari Purbayanto, M.Sc. dan Ibu Dr. Ir. Mita Wahyuni, MS. sebagai pembimbing, serta Bapak Prof. Dr. John Haluan, M.Sc. selaku Ketua Program Studi Teknologi Kelautan. Terima kasih juga disampaikan kepada semua pihak yang telah membantu dan memberikan perhatian.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa tesis ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu segala saran dan kritik yang sifatnya membangun, selalu penulis harapkan. Harapan penulis semoga tesis ini bermanfaat bagi kita semua.
Bogor, Desember 2006
Utara pada tanggal 21 Mei 1959. Menikah pada tahun 1982 dan telah dikaruniai 3 orang putri dan 1 orang putra. Lulus sarjana dari Jurusan Teknik Elektro Sekolah Tinggi Teknologi Mandala tahun 1987. Pada tahun 2003 penulis masuk Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Program Studi Teknologi Kelautan. Riwayat pekerjaan penulis, sampai dengan tahun 1998 bekerja di PT. Industri Pesawat Terbang Nusantara (PT. IPTN) dengan posisi terakhir adalah Manejer Quality Engineering Program Pesawat N-250. Berhenti dari PT. IPTN, pada tahun yang sama penulis bergabung dengan PT. SUCOFINDO (Persero), ditempatkan di Bagian Supervisi Proyek SBU. Penilaian dan Pemantauan Proyek Investasi. Pada tahun 2001 PT. SUCOFINDO (Persero) mengadakan program transformasi bisnis dan kepada pegawai diberi peluang untuk memilih posisi dan tempat yang paling sesuai dengan latar belakang, pengalaman dan minat masing-masing pegawai. Penulis memilih sebagai Marine and Fisheries Specialist di SBU. Kehutanan, Kelautan-Perikanan dan Lingkungan. Pengalaman penulis selama bertugas sebagai Marine and Fisheries Specialist diantaranya mendesain Vessel Monitoring System (VMS) Departemen Kelautan dan Perikanan (2001), Project Manager Penyiapan Data Base Sistem Perizinan Perikanan Provinsi Papua (2003), Studi Pemanfaatan Ikan Hasil Tangkapan Sampingan (HTS) Pukat Udang dari Laut Arafura Provinsi Papua (2004) dan Project Manager dalam pekerjaan Desain Pengolahan Ikan Hasil Tangkapan Sampingan (HTS) Pukat Udang dari Laut Arafura (2005).
Halaman
DAFTAR TABEL... xii
DAFTAR GAMBAR ... xiv
DAFTAR LAMPIRAN ... xvi
1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1
1.2 Perumusan Masalah ... 3
1.3 Tujuan Penelitian ... 4
1.4 Manfaat Penelitian ... 5
2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi... 6
2.2 Dampak Negatif Hasil Tangkapan Sampingan ... 7
2.3 Alat Tangkap Pukat Udang ... 8
2.4 Pengelolaan Sumberdaya Ikan ... 12
2.5 Pengelolaan Hasil Tangkapan Sampingan Pukat Udang ... 13
2.6 Aspek Ekonomi dalam Pengelolaan Hasil Tangkapan Sampingan ... 17
2.7 Proses Hirarki Analitik (Analytical Hierarchy Process)... 18
2.8 Analisis SWOT ... 21
3 METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian... 22
3.2 Ruang Lingkup Penelitian ... 22
3.3 Metode Penelitian ... 22
3.4 Metode Pengumpulan Data ... 25
3.4.1 Pengumpulan data dan informasi pengelolaan ikan hasil tangkapan sampingan ... 25
3.4.2 Pengumpulan data potensi hasil tangkapan sampingan... 26
3.5 Analisis Data ... 27
3.5.1 Analisis data potensi hasil tangkapan sampingan... 28
3.5.2 Analisis sistem pengelolaan hasil tangkapan sampingan ... 28
3.5.3 Analisis strategi pengelolaan ikan hasil tangkapan sampingan ... 32
4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Letak Geografis ... 34
4.2 Demografi... 35
4.3 Laut Arafura ... 35
4.4 Kondisi Perikanan Pukat Udang di Laut Arafura ... 36
4.4.1 Daerah dan musim penangkapan... 36
4.4.2 Sumberdaya ikan ... 38
4.4.3 Alat tangkap, armada dan perusahaan penangkapan ... 39
4.4.4 Operasi penangkapan ... 41
4.5 Pelabuhan Perikanan... 49
4.6 Kelembagaan Perikanan (Dinas Perikanan dan Kelautan) ... 50
4.7 Lembaga Pengawasan Perikanan... 51
4.8 Asosiasi Penangkapan Udang ... 52
5 HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Pengelolaan Hasil Tangkapan Sampingan Pukat Udang di Laut Arafura... 54
5.1.1 Status kini pemanfaatan ikan hasil tangkapan sampingan ... 55
5.1.2 Kendala pengelolaan hasil tangkapan sampingan ... 57
5.2 Perencanaan Pengelolaan Hasil Tangkapan Sampingan di Laut Arafura... 58
5.2.1 Analisis kebijakan pemerintah di bidang perikanan sebagai pendukung pengelolaan hasil tangkapan sampingan pukat udang... 59
5.3 Pola dan Model Pemanfaatan Ikan Hasil Tangkapan Sampingan ... 68
5.3.1 Pola kebijakan pendaratan hasil tangkapan sampingan ... 68
5.3.2 Model pemanfaatan hasil tangkapan sampingan ... 72
5.4 Strategi Pemanfaatan Ikan Hasil Tangkapan Sampingan di Laut Arafura... 79
6 KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan ... 90
6.2 Saran. ... 91
DAFTAR PUSTAKA ... 92
Halaman
1. Skala banding secara berpasangan (Saaty, 1993) ... 19
2. Matriks SWOT ... 21
3. Daftar responden... 25
4. Matriks perbandingan elemen-elemen antara pelaku dalam menentukan alternatif kebijakan dengan kriteria 1-n ... 31
5. Matriks perbandingan elemen-elemen antara pelaku dalam menentukan alternatif pengelolaan dengan kriteria 1-n ... 31
6. Potensi sumberdaya ikan di Laut Arafura... 39
7. Potensi sumberdaya ikan di Laut Arafura (ZEEI) ... 39
8. Perkembangan pukat udang yang beroperasi di Laut Arafura ... 40
9. Keragaan unit penangkapan udang di Laut Arafura ... 40
10. Kapal penangkapan ikan dan udang yang mendapat izin beroperasi di Laut Arafura, Provinsi Papua ... 41
11. Perusahaan penangkapan udang yang mendapat izin beroperasi di Laut Arafura, Provinsi Papua ... 41
12. Estimasi potensi ikan hasil tangkapan sampingan pukat udang di Laut Arafura ... 42
13. Nama udang yang biasa tertangkap pukat udang di Laut Arafura ... 44
14. Jenis-jenis hasil tangkapan sampingan pukat udang di Laut Arafura,sekitar Perairan Dolak, pada bulan Agustus 2004 ... 44
15. Jenis dan ukuran ikan hasil tangkapan sampingan dominan di perairan sekitar Kepulauan Aru, pada November 2004 ... 45
16. Analisis peraturan dan perundang-undangan di bidang perikanan, pendukung kebijakan pemerintah tentang pengelolaan hasil tangkapan sampingan pukat udang... 61
17. Susunan bobot prioritas pola pendaratan hasil tangkapan sampingan, hasil pengolahan data horizontal pada tingkat 2 ... 69
18. Susunan bobot prioritas pola pendaratan hasil tangkapan sampingan, hasil pengolahan data horizontal pada tingkat 3 . ... 70
21. Susunan bobot prioritas model pemanfaatan hasil tangkapan sampingan,
hasil pengolahan data horizontal pada tingkat 2 ... 77
22. Susunan bobot prioritas model pemanfaatan hasil tangkapan sampingan, hasil pengolahan data horizontal pada tingkat 3 ... 77
23 Susunan bobot prioritas model pemanfaatan hasil tangkapan sampingan, hasil pengolahan data vertikal pada tingkat 2 ... 78
24. Susunan bobot prioritas model pemanfaatan hasil tangkapan sampingan, hasil pengolahan data vertikal pada tingkat 3 ... 78
25. Hasil analisis faktor-faktor strategi internal ... 80
26. Hasil analisis faktor-faktor strategi eksternal ... 81
27. Matriks SWOT ... 82
Halaman
1. Bagian bagian pukat udang ... 9
2. (a) Turtle excluder device, (b) By-catch excluder device ... 12
3. Pukat udang sedang hauling, hasil tangkapan sampingan yang dihasilkan dan proses pemisahan ... 12
4. Kerangka kegiatan penelitian... 23
5. Aliran proses kegiatan penyusunan konsep dan strategi pengelolaan hasil tangkapan sampingan pukat udang, kasus di Laut Arafura, Provinsi Papua ... 24
6. Hierarki menentukan kebijakan pengelolaan hasil tangkapan sampingan pukat udang... 29
7. Hierarki menentukan model pengelolaan pukat udang di Laut Arafura .... 30
8. Diagram analisis SWOT ... 33
9. Peta Provinsi Papua... 34
10. Laut Arafura (Wilayah Pengelolaan Perikanan VI) ... 36
11. Daerah penangkapan udang ... 38
12. Persentasi kehadiran hasil tangkapan sampingan KM Komoron 09 di Laut Arafura bagian barat (32 kali hauling), bulan Oktober-November 2004) ... 46
13. Proporsi hasil tangkapan sampingan terhadap hasil tangkapan udang di Perairan Dolak ... 47
14. Proporsi hasil tangkapan sampingan terhadap hasil tangkapan udang di Perairan Avona ... 48
15. Proporsi hasil tangkapan sampingan terhadap hasil tangkapan udang di Perairan Kaimana ... 48
16. Lokasi PPP dan PPI di Provinsi Papua ... 50
17. Struktur organisasi Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Papua ... 50
18. Proses hierarki analisis untuk pemilihan pola terbaik pendaratan hasil tangkapan sampingan di Laut Arafura ... 69
19. Diagram model pemanfaatan ikan hasil tangkapan sampingan pukat udang di Laut Arafura ... 74
Halaman
1. Foto kegiatan penelitian ... 95
2. Runningprogram expert choice untuk pemilihan pola
pendaratan HTS ... 98
3. Runningprogramexpert choice untuk pemilihan model
pemanfaatan HTS .. ... 105
1.1 Latar Belakang
Hasil tangkap sampingan atau disingkat dengan HTS telah menjadi permasalahan dan isu perikanan terpenting dunia sejak tahun 1990-an. Hal ini dikarenakan peningkatan jumlah hasil tangkapan sampingan menjadi salah satu penyebab penurunan stok ikan yang dapat mengancam keberlanjutan perikanan dunia. Secara umum diketahui hampir semua kegiatan perikanan tangkap menghasilkan hasil tangkapan sampingan, namun beberapa jenis alat tangkap khususnya pukat udang (shrimp trawl), diketahui memberikan kontribusi hasil tangkapan sampingan yang lebih besar dibandingkan alat tangkap lainnya. Hal ini terjadi karena udang dan ikan menghuni habitat yang sama dan sifat pukat udang itu sendiri yang memang tidak selektif. Pukat udang menggunakan mata jaring di bagian kantong (cod-end) yang relatif kecil sehingga banyak jenis-jenis organisme laut lainnya ikut tertangkap termasuk ikan-ikan juvenil. Organisme-organisme lainnya dan ikan-ikan juvenil tersebut tidak termasuk kedalam tujuan penangkapan utama (non-targeted species), disebut dengan by-catch.
Menurut Alverson et al. (1994), diperkirakan hampir 10% dari total tangkapan ikan di dunia merupakan hasil tangkapan sampingan. Pada perikanan udang (shrimp trawl), hasil tangkapan sampingan dapat mencapai 5-10 kali berat hasil tangkapan utama yaitu udang. Sebanyak 27 juta metriks ton (dengan kisaran 17,9-39,5 juta metriks ton) ikan-ikan hasil tangkapan sampingan dibuang kelaut. Estimasi jumlah hasil tangkapan sampingan ini umumnya didasarkan pada asumsi bahwa rasio berat hasil tangkapan sampingan terhadap udang adalah 5 : 1 untuk daerah sub-tropis dan 10 : 1 untuk daerah tropis.
Ketentuan penggunaan alat pemisah ikan (API) pada perikanan pukat udang di Indonesia telah diatur dalam Surat Keputusan Menteri Pertanian No. 930/Kpts/Um/12/1982 tentang pelaksanaan keputusan presiden Nomor 85 Tahun 1982 tentang penggunaan pukat udang dan Surat Keputusan Direktur Jenderal Perikanan No. IK.010/S3.8075/82K yang mengatur tentang konstruksi pukat udang. Selanjutnya Surat Keputusan Direktur Jenderal Perikanan No. IK.010/S3.8063/82K mengatur tentang pelaksanaan pemanfaatan hasil tangkapan sampingan. Meskipun pengoperasian pukat udang sudah diatur, penggunaan API disyaratkan, tetapi upaya meminimalkan hasil tangkapan sampingan belum berhasil sepenuhnya karena API itu sendiri kurang efektif serta rendahnya tingkat kesadaran anak buah kapal (ABK) maupun pengusaha penangkapan udang juga karena lemahnya sistem pengawasan penangkapan ikan di laut.
Sejak dikeluarkannya Keputusan Presiden No. 39 tahun 1980 tentang penghapusan pengoperasian jaring trawl yang berlaku di seluruh perairan Indonesia, menyebabkan jumlah kapal perikanan yang menggunakan trawl terus berkurang, hingga dikeluarkan Keputusan Presiden No. 85 tahun 1982 yang membolehkan perikanan pukat udang yang dilengkapi dengan alat penyaring hasil tangkapan sampingan (by-catch excluder device) beroperasi hanya di wilayah timur Indonesia dalam hal ini di Laut Arafura dan sekitarnya. Meskipun pukat udang yang beroperasi di perairan Laut Arafura dan sekitarnya telah dilengkapi dengan alat penyaring hasil tangkapan sampingan, namun permasalahan hasil tangkapan sampingan masih menjadi salah satu isu utama pengelolaan perikanan di Provinsi Papua khususnya di Laut Arafura.
Sampai bulan Agustus 2004 jumlah armada pukat udang yang beroperasi di Laut Arafura dan sekitarnya sebanyak 338 kapal, dengan jumlah armada yang demikian banyak maka hasil tangkapan sampingan yang dihasilkan diduga sangat besar (Ditjen Perikanan Tangkap - DKP, 2004). Potensi ikan hasil tangkapan sampingan di Laut Arafura dari armada penangkapan udang yang memiliki izin beroperasi diperkirakan sebesar 332.168 ton pertahun (Purbayanto
et al, 2004)
Volume hasil tangkapan sampingan yang besar ini umumnya di buang ke laut karena tidak tertampung di dalam palka kapal, dan hanya sebagian kecil dari ikan-ikan ekonomis yang dimanfaatkan oleh awak kapal. Disamping itu hampir sebagian besar hasil tangkapan sampingan yang jumlahnya 90,9% dari total tangkapan pukat udang tersebut bernilai ekonomi rendah, dan memakan waktu untuk penyortiran. Kondisi tersebut sangat ironis terjadi di Provinsi Papua dimana penduduknya masih hidup dengan keterbatasan bahan pangan khususnya bahan pangan bergizi tinggi yang sangat diperlukan. Oleh sebab itu pengelolaan hasil tangkapan sampingan perlu mendapat perhatian sehingga hasil tangkapan sampingan yang jumlahnya demikian banyak dapat dibawa ke darat untuk dimanfaatkan.
1.2 Perumusan Masalah
Hasil tangkapan sampingan merupakan permasalahan pengelolaan
(management) kegiatan perikanan tangkap. Oleh sebab itu, apabila data tentang
hasil tangkapan sampingan dan buangan tidak diketahui, maka pengelolaan akan sulit dilakukan. Hasil tangkapan sampingan dan buangan yang terus meningkat, sangat berpengaruh terhadap kegiatan pengelolaan sumberdaya perikanan. Pengaruh atau dampak negatif hasil tangkapan sampingan tersebut bukan hanya terhadap komunitas dan habitat benthic serta dampak biologi dan ekologi, tetapi juga dampak ekonomi yang pada gilirannya dapat mengimbas pada permasalahan sosial.
(1) Sebanyak-banyaknya ikan hasil tangkapan sampingan pukat udang dari Laut Arafura dapat didaratkan di Provinsi Papua untuk dimanfaatkan untuk konsumsi pangan dan pakan.
(2) Dapat mengembangkan potensi sumberdaya ikan di Provinsi Papua, meningkatkan produksi hasil perikanan, membangun dan mengembangkan industri pengolahan ikan termasuk yang berbasis masyarakat.
(3) Dapat mengurangi buangan hasil tangkapan sampingan pukat udang, sehingga mewujudkan suatu kegiatan perikanan yang bertanggung jawab. (4) Mengurangi interaksi negatif antar kegiatan perikanan, karena pada
beberapa kasus, hasil tangkapan sampingan dari suatu kegiatan perikanan merupakan hasil tangkapan utama bagi kegiatan perikanan yang lain. Dalam aktivitas penangkapan dengan menggunakan pukat udang akan mempengaruhi hasil tangkapan bagi nelayan tradisional.
Dari seluruh uraian di atas, maka penulis dapat merumuskan permasalahan yaitu; bagaimana melakukan pengelolaan hasil tangkapan sampingan di Laut Arafura yang sesuai dengan kebijakan pemerintah Provinsi Papua dan keinginan
stakeholders, dengan:
(1) Mendaratkan ikan hasil tangkapan sampingan sebanyak-banyaknya untuk dimanfaatkan sebagai konsumsi pangan ataupun pakan.
(2) Memanfaatkan ikan hasil tangkapan sampingan melalui pengembangan industri pengolahan ikan termasuk industri yang berbasis masyarakat sehingga memberi peluang masuknya investasi, transfer teknologi, peluang bekerja dan berusaha yang pada gilirannya akan dapat meningkatkan pendapatan daerah.
(3) Menjaga kelestarian sumberdaya dan kelangsungan usaha perikanan tangkap.
1.3 Tujuan Penelitian
Mendaratkan dan memanfaatkan ikan hasil tangkapan sampingan secara optimal dari Laut Arafura memerlukan konsep dan strategi pengelolaan. Konsep dapat divisualisasikan dalam bentuk pola dan model. Tujuan penelitian ini adalah :
(1) Merancang pola kebijakan pendaratan hasil tangkapan sampingan (2) Membuat model pemanfaatan hasil tangkapan sampingan
1.4 Manfaat Penelitian
Keluaran yang dihasilkan dari penelitian ini adalah konsep dan strategi pengelolaan hasil tangkapan sampingan pukat udang yang paling optimal, berupa alternatif teknis penanganannya. Hasil penelitian ini diharapkan menjadi salah satu rujukan bagi:
(1) Pengusaha penangkapan udang yang menggunakan alat pukat udang di Laut Arafura dan pengusaha pengolahan ikan yang memanfaatkan ikan hasil tangkapan sampingan pukat udang sebagai bahan bakunya.
(2) Pemerintah Provinsi Papua dalam pengelolaan sumberdaya ikan, khususnya sebagai solusi atas permasalahan hasil tangkapan sampingan pukat udang, yang sekaligus merupakan bagian dari pengelolaan perikanan yang bertanggung jawab.
(3) Pemerintah pusat untuk meninjau kembali dan merevisi kebijakan dan peraturan yang ada saat ini sehingga hasil tangkapan sampingan yang dihasilkan oleh perikanan pukat udang dapat dimanfaatkan dengan optimal. (4) Masyarakat lokal dalam upaya peningkatan ekonomi dan bahan pangan
2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
By-catch diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia berarti hasil tangkap
sampingan (HTS). Beberapa orang peneliti dan penulis di dalam tulisannya menggunakan definisi yang berbeda-beda terhadap by-catch. Dalam tesis ini penulis menggunakan definisi by-catch, discards dan insidental catch mengacu pada FAO Fisheries Technical Paper 339, (1996) dan untuk lebih memperjelas, penulis juga mengutip dari Marine Fisheries By-catch and Discards, Published by
Marine Work Group and Friend of the Irish Environment, Ireland (2002) berikut:
(1)
Dalam FAO Fisheries Technical Paper 339 (1996), didefinisikan:1) Target Catch adalah hasil tangkapan yang terdiri dari satu atau sejumlah spesies yang merupakan sasaran tangkapan utama kegiatan penangkapan ikan.
2) Incidental Catch adalah tangkapan sampingan yang dimanfaatkan 3) Discarded Catch adalah tangkapan sampingan yang dikembalikan ke
laut karena pertimbangan ekonomi, peraturan, atau pertimbangan pribadi.
4) By-catch, adalah discarded catch ditambah incidental catch.
(2)
Dalam Marine Work Group and Friend of the Irish Environment, Ireland (2002), didefinisikan:1) By-catch, adalah bagian dari hasil tangkapan yang terdiri dari organisme laut yang bukan merupakan target penangkapan utama. Termasuk di dalamnya organisme yang mati akibat interaksi dengan alat tangkap, meskipun tidak terangkat dari dalam laut. Hasil tangkapan sampingan yang terangkat ke atas kapal terdiri dari ikan-ikan yang disimpan atau dapat dimanfaatkan atau laku dijual dan ikan-ikan yang dibuang (discarded). Hasil tangkapan sampingan dapat terdiri dari satu jenis atau beberapa jenis spesies yang berukuran kecil atau yang berukuran besar tapi bukan merupakan target tangkapan, maupun binatang atau organisme lainnya seperti burung laut, kura-kura, mamalia laut dan lain-lain.
mati. Buangan ini tidak termasuk bagian dari sisa hasil pengolahan terhadap hasil tangkapan yang dibuang ke laut, misalnya kepala ikan yang dipotong sebelum dimasukkan ke dalam kamar pendingin.
2.2 Dampak Negatif Hasil Tangkapan Sampingan
Alverson et al. (1994) menjelaskan, hampir semua kegiatan perikanan tangkap menghasilkan tangkapan sampingan. Beberapa jenis alat tangkap khususnya pukat udang (shrimp trawl), memberikan kontribusi hasil tangkapan sampingan yang lebih besar dibandingkan alat tangkap lainnya. Kondisi ini dikarenakan shrimp trawl menggunakan mata jaring di bagian kantong (cod-end) yang relatif kecil sehingga banyak jenis-jenis organisme laut lainnya ikut tertangkap termasuk ikan juvenil. Organisme-organisme lainnya dan ikan-ikan juvenil tersebut tidak termasuk kedalam tujuan penangkapan utama (
non-targeted species).
Marine Work Group and Friend of the Irish Environment, Ireland (2002),
memberikan penjelasan, untuk mengantisipasi permasalahan hasil tangkapan sampingan dan buangan, beberapa negara telah menerapkan aturan penggunaan ukuran mata jaring (mesh size) yang lebih besar, dan berbagai jenis alat pemisah atau penyaring hasil tangkapan sampingan yang dipasang dibagian kantong jaring trawl. Hal ini dimaksudkan untuk meminimalisasi hasil tangkapan sampingan sebagaimana yang telah dianjurkan dalam kode tindak perikanan bertanggung jawab (code of conduct for responsible fisheries), butir 8.4 dan 8.5, yaitu meminimalkan buangan (discards) dan memaksimalkan pemanfaatan ikan hasil tangkapan sampingan.
Dijelaskan di dalam FAO Fisheries Technical Paper 339 (1996), pengaruh atau dampak negatif hasil tangkapan sampingan dan buangan bukan hanya terhadap komunitas dan habitat benthic serta dampak biologi dan ekologi, tetapi juga dampak ekonomi yang pada gilirannya dapat mengimbas pada permasalahan sosial. Dampak negatif dari hasil tangkapan sampingan adalah sebagai berikut :
Ketika spesies benthic yang bukan target tangkapan terangkat ke atas permukaan lalu dibuang kembali, sering sekali buangan tersebut dimakan oleh spesies predator yang ada di kolom dan dasar laut. Akibatnya struktur komunitas benthic menjadi berubah, komposisi struktur komunitas tersebut lebih banyak diisi oleh spesies predator, dan pemakan bangkai juga akan berdatangan.
(2) Dampak Terhadap Biologi dan Ekologi. Hasil tangkapan sampingan
dan buangan juga memberikan kontribusi terhadap kondisi over fishing dan ketidak seimbangan ekosistem laut. Pengaruh biologi dan ekologi yang disebabkan oleh buangan bervariasi pada masing-masing spesies dan sangat tergantung terhadap jumlah hasil tangkapan sampingan, tingkat buangan yang mati dan yang hidup serta sifat-sifat populasi spesies tersebut.
(3) Dampak Terhadap Ekonomi. Hasil tangkapan sampingan dan buangan
dapat menyebabkan kerugian secara ekonomi. Ikan-ikan yang dibuang oleh kapal pukat udang adalah bukan merupakan target utama, tetapi ikan buangan tersebut adalah ikan bernilai ekonomis bagi nelayan lainnya, akibatnya mengurangi dan bahkan menghilangkan kesempatan bagi nelayan lain untuk memanfaatkan ikan yang bagi mereka bernilai ekonomis. Bagi pengusaha pukat udang sesungguhnya juga terjadi tambahan biaya dan waktu untuk penyortiran. Disamping itu kerugian ekonomi juga ditanggung oleh pemerintah karena harus mengeluarkan sejumlah dana untuk pengelolaan termasuk pengawasan hasil tangkapan sampingan dan buangan.
2.3 Alat Tangkap Pukat Udang
Jaring trawl adalah alat tangkap yang terbuat dari bahan jaring, berbentuk seperti kantong atau kerucut. Alat tangkap ini terdiri atas dua lembar sayap (wing) yang dihubungkan dengan tali penarik (warp), badan (body) dan kantong
(cod-end). Jaring ditarik secara horisontal di dalam air sehingga mulut jaring
Inggris telah memakai alat tangkap ini di perairan Sungai Themmes (Nomura dan Yamazaki, 1977).
Diniah (2001) menjelaskan, alat penangkap udang yang paling efektif saat ini masih diakui adalah trawl. Trawl dasar menurut Nedelec and Prado (1990) didefinisikan sebagai sebuah jaring yang mempunyai bentuk kerucut (
cone-shaped net), terdiri dari sayap (wing) yang membentuk mulut atau bukaan
(opening) melebar ke depan, badan (body) yang berbentuk kerucut di tengah dan
kantong (cod-end) yang tetutup di bagian belakang, ditarik dengan kecepatan dan selama waktu tertentu di sepanjang dasar perairan. Mulut jaring terbuka melebar (horizontal) oleh papan pembuka-siwakan (otter-boards) yang diikatkan pada sayap, sedangkan mulut jaring terbuka tegak (vertical) oleh pelampung yang diikatkan pada tali pelampung (float rope) di bagian atas dan pemberat pada tali pemberat (ground rope) di bagian bawah. Karena konstruksi dan cara penangkapannya, trawl merupakan alat tangkap yang tidak selektif, dimana saat jaring dioperasikan akan menelan semua benda yang dilewatinya.
Pukat udang merupakan modifikasi dari trawl yang menurut Subani dan Barus (1988) didefinisikan sebagai alat penangkap ikan, udang dan biota lainnya yang terbuat dari jaring kantong besar, melebar, mulut jaring yang terbuka pada kedua sayap jaring yang terbaring di bagian depan pada masing-masing sisinya, meruncing pada akhir jaring dan menuntun hasil tangkapan ke bagian kantong. Di antara badan jaring dan kantong (cod-end) terdapat by-catch excluder device
(BED) yang digunakan untuk menyaring ikan-ikan masuk ke dalam kantong.
Sumber: Sainsburry (1986)
Pukat udang pada prinsipnya terdiri dari jaring, tali ris atas (head rope) dan tali ris bawah (ground rope), pelampung dan pemberat, otter board, tali penarik (warp), bridle line dan BED (lihat Gambar 1).
(1) Jaring, jaring pukat udang terbagi menjadi badan jaring (square, baitting
dan belly), sayap (wing) dan kantong (cod-end). Ukuran mata jaring dari
masing-masing bagian tersebut tidak sama. Mata jaring terkecil terdapat pada kantong dan terbesar pada bagian sayap. Badan Jaring adalah bagian tengah jaring, bagian badan jaring terbagi atas square, baiting dan
belly. Square adalah bagian depan dari sisi atas badan pukat udang yang
membuat mulut di sebelah atas lebih menjorok ke depan. Belly dan baiting
adalah bagian tengah badan jaring dimana belly terletak di bawah sedangkan baitting di atas.
1) Sayap terdiri dari dua bagian, yaitu bagian kanan dan kiri. Masing-masing bagian tersebut terdiri dari dua bagian, yaitu atas dan bawah. Pada bagian atas dan bawah tersebut terdapat tali ris atas dan tali ris bawah. Pada tali ris atas dipasang pelampung (float) agar sayap bagian atas terangkat pada saat jaring dioperasikan. Ujung tali ris atas dan bawah dihubungkan dengan otter board. Ujung sayap bagian atas belakang dihubungkan dengan square, sedangkan ujung sayap belakang bawah dihubungkan dengan belly.
2) Kantong adalah bagian paling belakang jaring. Kantong merupakan tempat terkumpulnya hasil tangkapan. Kantong ini memiliki ukuran mata jaring kecil dimaksudkan agar ikan hasil tangkapan tidak terlepas kembali dan juga agar lebih kuat menahan tekanan yang besar sehingga tidak mudah rusak.
(3) Pelampung dan pemberat, fungsi dari pelampung dan pemberat ini adalah untuk membantu terbukanya mulut jaring secara vertikal. Pelampung menarik atau mengangkat tali ris atas sedangkan pemberat menarik jaring agar turun ke dasar perairan sesuai yang diinginkan. Pelampung biasanya terbuat dari logam, kaca tebal, plastik, kayu dan gabus.
(4) Otter board, otter board berfungsi untuk membuka mulut jaring secara
horizontal. Bentuk otter board bermacam-macam dan banyak yang digunakan adalah tipe rectanguler.
(5) Tali penarik (warp), tali ini merupakan tali yang digunakan untuk menarik jaring yang menghubungkan otter board bagian depan winch di kapal. Tali penarik ini biasanya terbuat dari serat-serat baja yang berbentuk cabled yarn. Adapun maksud menggunakan tali dari baja adalah untuk menahan tegangan yang besar pada saat penarikan jaring sehingga tidak mudah terputus.
(6) Bridle line, merupakan tali yang menghubungkan otter board dengan jaring.
Dengan adanya bridle line ini mulut jaring akan terbuka lebar. Selain itu juga, bridle line berfungsi sebagai penggiring ikan atau udang.
(7) AIat pereduksi ikan, alat pereduksi ikan (API) merupakan alat yang wajib dipasang pada pukat udang. API biasa disebut juga BED yang awalnya ditujukan untuk meloloskan penyu yang tertangkap trawl, sehinga disebut
turtel excluder devices (TED). Alat ini ditemukan dan dikembangkan oleh
(a) (b)
[image:30.595.102.497.217.565.2]Sumber: NOAA Library Centre (2004).
Gambar 2. (a) Turtle excluder device, (b)By-catch excluder device
.
(a)
(b)
(c)
Sumber: NOAA Library Centre (2004)
Gambar 3. Pukat udang sedang hauling, hasil tangkapan sampingan yang dihasilkan dan proses pemisahan
2.4 Pengelolaan Sumberdaya Ikan
menyebabkan kerusakan permanen. Oleh sebab itu pengelolaan atau dalam terminologi yang lebih umum disebut dengan manajemen sumberdaya perikanan patut dilakukan supaya pembangunan perikanan dapat dilaksanakan dengan baik dan tujuan pembangunan perikanan dapat tercapai.
Dilanjutkan oleh Nikijuluw (2002), setiap negara menetapkan tujuan dan prioritas pengelolaan sumberdaya perikanan yang berbeda-beda tergantung pada latar belakang ekonomi, sosial budaya, teknologi dan tidak jarang karena politik. Indonesia menempatkan pengelolaan sumberdaya perikanan dalam visi “Mewujudkan usaha perikanan produktif dan efisien berdasarkan pengelolaan perikanan secara bertanggung jawab”.
Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF) article 7,
merekomendasikan agar pendekatan pengelolaan sumberdaya perikanan diarahkan untuk menjadi solusi permasalahan-permasalahan sebagai berikut: (1) kelebihan kapasitas penangkapan ikan,
(2) ketidak-seimbangan antara kepentingan berbagai pihak dalam memanfaatkan sumberdaya,
(3) kerusakan habitat, kecenderungan kepunahan jenis ikan tertentu dan turunnya keanekaragaman hayati, serta
(4) kerusakan dan kemunduran mutu lingkungan yang diakibatkan oleh polusi, sampah dan buangan ikan-ikan yang tidak ekonomis padahal penting nilai biologinya.
CCRF juga menyarankan agar setiap negara mempromosikan kegiatan pengelolaan sumberdaya ikan menjamin pendekatan dan kebijakan setiap negara didukung hukum dan undang-undang yang secara baik didesiminasikan kepada masyarakat.
2.5 Pengelolaan Hasil Tangkapan Sampingan Pukat Udang
Slavin (1981) menjelaskan, pengelolaan hasil tangkapan sampingan sangat dipengaruhi oleh kondisi dan struktur kegiatan perikanan tangkap setempat serta kemampuan industri pengolahan ikan dalam menciptakan dan mengembangkan produk perikanan yang sesuai dengan permintaan pasar.
sampingan dan target utama udang di daerah sub-tropis adalah 5 : 1 dan di daerah tropis adalah 10 : 1, yang terdiri dari bermacam-macam spesies maupun ukuran. Ikan-ikan besar pada umumnya banyak diminati dan harganya relatif tinggi, sedangkan ikan-ikan kecil, berduri kurang banyak diminati dan bernilai ekonomi rendah.
Selanjutnya yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana mengelola ikan hasil tangkapan sampingan secara efisien dan ekonomis agar tidak terbuang sia-sia.
Slavin (1981) dalam Report of a Technical Consultation on Shrimp
By-catch Utilization di Georgetown, Guyana, tahun 1981, menjelaskan pengelolaan
hasil tangkapan sampingan di Meksiko. Di Meksiko, kapal pukat udang dilengkapi dengan fasilitas untuk pengawetan seperti fasilitas pembekuan yang mampu menjaga kondisi kesegaran ikan sampai 2 bulan, dan ada yang hanya menggunakan es ataupun refrigerator yang mampu menahan kesegaran ikan sampai 2 minggu.
Perbandingan antara hasil tangkapan sampingan dan udang di Meksiko adalah 5 – 10 ton hasil tangkapan sampingan untuk setiap ton udang, dan setiap tahun sebanyak 700x103 ton ikan hasil tangkapan sampingan dihasilkan dari pengoperasian pukat udang. Jumlah ini setara dengan setengah dari seluruh produksi perikanan tangkap Meksiko.
Pemerintah Meksiko, melalui Departemen Perikanan memiliki program untuk menganjurkan dan mendorong agar ikan hasil tangkapan sampingan dibawa ke darat dan dimanfaatkan sebanyak-banyaknya untuk konsumsi pangan. Pada tahun 1980, telah diawali dengan membangun suatu fasilitas pengolahan skala proyek percontohan (pilot project) dengan nama Productos
Pesqueros Mexicanos (PPM) di Xochimilco yang memproduksi ikan lumat yang
disebut dengan Pepepez.
Dikutip dari Productos Pesqueros Mexicanos (1981), pengolahan dan pemanfaatan hasil tangkapan sampingan di Meksiko sudah menjadi industri. Jenis produkpun terus dikembangkan, selain memproduksi pepepez, khusus untuk kebutuhan pangan lokal PPM memproduksi ikan tanpa tulang (deboned fish), ikan kering dan daging ikan lumat asin (salted mince). Disamping itu juga diproduksi ikan kaleng, kue ikan dan snack ikan. Pemerintah Meksiko terus membantu dan mengembangkan pengolahan dan pemanfaatan hasil tangkapan sampingan, dengan membangun fasilitas-fasilitas pengolahan serta memberikan insentif serta kemudahan kepada pengusaha dan ABK kapal pukat udang.
Saisithi (1981) menjelaskan, negara Thailand telah lama memanfaatkan ikan hasil tangkapan sampingan, yaitu sejak dideklarasikannya Zona Ekonomi Eksklusif 200 mil (ZEE), berawal dari deklarasi tersebut operasi armada-armada perikanan Thailand di perairan negara tetangga menjadi dibatasi. Untuk tetap dapat memenuhi permintaan pasar industri pengolahan ikan, Thailand meningkatkan pemanfaatan ikan hasil tangkapan sampingan dari perikanan pukat udang khususnya untuk konsumsi manusia.
Kungsuwan (1996) mengemukakan bahwa, di Gulf of Thailand hasil tangkapan pukat udang dikumpulkan oleh kapal pengumpul di laut. Pengusaha penangkapan udang mengatur jadwal dan lokasi pertemuan antara kapal penangkap dan pengumpul. Disamping mengumpulkan hasil tangkapan, kapal pengumpul juga membawa perbekalan dan es untuk diserahkan kepada kapal-kapal pukat udang yang berada di laut lebih lama. Hasil tangkapan utama udang dipindahkan ke kapal pengumpul, bila masih tersedia ruang maka ikan hasil tangkapan sampingan juga dipindahkan dan dibawa ke darat untuk dipasarkan.
sampingan dilakukan bekerjasama dengan koperasi-koperasi dan koperasilah yang menampung dan menjual ikan hasil tangkapan sampingan ke pasaran.
Allsopp (1981) menerangkan, penanganan dan preservasi di atas kapal merupakan hal yang paling kritis diantara permasalahan penanganan ikan hasil tangkapan sampingan. Volume ikan hasil tangkapan sampingan, variasi spesies dan ikan-ikan bernilai ekonomi rendah merupakan kombinasi yang menyebabkan pengumpulan ikan hasil tangkapan sampingan di laut menjadi tidak menguntungkan. Selama belum ditemukan jalan keluar bagi permasalahan keekonomisan dan efesiensi operasional pukat udang maka ikan hasil tangkapan sampingan tetap tidak menarik untuk dikelola secara komersial.
Allsopp (1981) melanjutkan, penelitian tentang pengelolaan hasil tangkapan sampingan secara ekonomis terus dilaksanakan, menggunakan BED untuk mengurangi jumlah hasil tangkapan sampingan yang dinaikkan ke atas kapal maupun membawa ikan hasil tangkapan sampingan ke darat dan memanfaatkannya. Bila pilihan adalah tidak mengurangi hasil tangkapan sampingan (tidak menggunakan BED), maka penyortiran hasil tangkapan sampingan dilakukan diatas kapal, selanjutnya mengolah ikan-ikan berkualitas di atas kapal atau didaratkan meggunakan kapal pengumpul ataupun didaratkan bersama-sama tangkapan utama udang.
Dalam Report of Technical Consultation on Shrimp By-catch Utilization ,
Guyana (Allsopp, 1981), Allsopp menjelaskan tentang beberapa negara yang mengoperasikan pukat udang dan mengelola hasil tangkapan sampingan secara komersial sebagai berikut:
terbuat dari bahan nylon. Kantong-kantong yang berisi ikan hasil tangkapan sampingan dikaitkan dikapal selanjutnya dibawa ke darat dan penyortiran dilakukan di darat yang selanjutnya dipasarkan di pasar tradisional ataupun untuk industri.
Menurut Allsopp (1981), sesungguhnya belum ada metode yang baku ataupun desain standar untuk menangani hasil tangkapan sampingan di laut, karena masing-masing tempat penangkapan memiliki karakteristik dan struktur perikanan yang berbeda-beda, ada yang menggunakan alat mekanis untuk penyortiran, ada yang menyediakan volume palka dan ruang pendingin yang lebih besar dan ada yang memanfaatkan hanya sebagaian ikan hasil tangkapan sampingan, oleh sebab itu dengan mengkombinasikan contoh-contoh di atas diharapkan diperoleh metode yang paling sesuai untuk menangani hasil tangkapan sampingan di laut.
2.6 Aspek Ekonomi dalam Pengelolaan Hasil Tangkapan Sampingan
Nikijuluw (2002) mengemukakan, perikanan adalah suatu kegiatan ekonomi, masalah perikanan adalah masalah manusia yang merupakan sentral kegiatan ekonomi. Oleh karena itu tujuan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya perikanan harus didasarkan pada memaksimumkan manfaat ekonomi dan sosial.
Lanjut Allsopp (1981), oleh sebab itu mengelola ikan dari hasil tangkapan sampingan perlu dilakukan secara bertahap melalui proyek percontohan (pilot
project). Penanganan dan preservasi di atas kapal, transportasi dari kapal ke
darat, pengolahan dan preservasi di darat, studi pasar dan promosi serta pengembangan produk-produk komersial dilakukan dalam skala percontohan. Setelah sukses dengan skala percontohan, selanjutnya dapat dikembangkan menjadi skala industri.
2.7 Proses Hirarki Analitik (Analytical Hierarchy Process)
Analytical Hierarchy Process (AHP) adalah salah satu alat analisis dalam
pengambilan keputusan yang baik dan fleksibel. Metode ini berdasarkan pada pengalaman dan penilaian dari pelaku atau pengambil keputusan. Metode yang dikembangkan oleh Thomas L. Saaty dua puluh tahun yang lalu, terutama sekali membantu mengambil keputusan untuk menentukan kebijakan yang akan diambil dengan menetapkan prioritas dan membuat keputusan yang paling baik ketika aspek kualitatif dan kuantitatif dibutuhkan untuk dipertimbangkan.
Saaty menjelaskan (1993), AHP banyak digunakan pada pengambilan keputusan untuk banyak kriteria, perencanaan, alokasi sumber daya dan penentuan prioritas dari strategi-strategi atau keadaan yang dimiliki pelaku dalam situasi konflik.
Desain AHP pada dasarnya untuk menangkap persepsi orang yang berhubungan sangat erat dengan permasalahan tertentu melalui prosedur yang disusun untuk sampai kepada suatu skala preferensi di antara berbagai set alternatif. Dengan demikian dapat dianggap sebagai model multi objektif dan multi kriteria. Untuk menggunakan alat analisis ini, suatu masalah yang rumit dan tak berstruktur perlu terlebih dahulu dipecah ke dalam berbagai komponennya. Setelah menyusun komponen-komponen ini ke dalam sebuah urutan hierarki, maka diberikan nilai dalam bentuk angka pada setiap bagian yang menunjukkan penilaian terhadap relatif pentingnya setiap bagian itu. Untuk sampai kepada hasil akhir, penilaian tersebut disintesiskan (melalui penggunaan eigen vektor) guna menentukan variabel mana yang mempunyai prioritas tertinggi.
Selanjutnya Mulyono (1996) menjelaskan bahwa dalam menyelesaikan persoalan AHP ada beberapa prinsip yang harus dipahami, diantaranya adalah :
(1) Decomposition (dekomposisi), merupakan langkah untuk menguraikan
persoalan menjadi unsur-unsur yang tidak mungkin diuraikan lagi. Akhirnya akan diperoleh beberapa tingkatan persoalan yang disusun terstruktur sebagai suatu hierarki.
(2) Comparative judgement (perbandingan berpasangan), melakukan
perbandingan kepentingan relatif antar dua elemen pada tingkat tertentu dengan tingkat di atasnya.
(3) Synthesis of priority (sintesa dan prioritas), merupakan langkah untuk
mencari vector eigen pada setiap matrik berpasangan untuk mendapatkan nilai prioritas lokal. Berdasarkan nilai prioritas lokal dari berbagai matrik perbandingan berpasangan itu akan dapat diperoleh nilai prioritas global. Dengan demikian prosedur menentukan sintesis berbeda menurut hierarki.
(4) Logical consistency (konsistensi), mengandung dua arti, yaitu : pertama
konsistensi yang menyangkut pengelompokan obyek-obyek berdasarkan keseragaman dan relevansinya. Kedua, menyangkut hubungan antar obyek yang didasarkan pada kriteria tertentu. Jika penilaian tidak konsisten maka proses harus diulang untuk memperoleh nilai yang tepat.
Pendekatan AHP menggunakan skala Saaty (Saaty, 1993) mulai dari bobot 1 (satu) sampai 9 (sembilan). Nilai bobot satu menggambarkan sama penting, ini berarti bahwa atribut yang sama skalanya, nilai bobotnya satu, sedangkan nilai bobot sembilan menggambarkan kasus atribut yang penting absolut dibandingkan lainnya. Tabel 1 dibawah ini menyajikan skala banding secara berpasangan.
Tabel 1. Skala banding secara berpasangan (Saaty, 1993)
Intensitas
Pentingnya Definisi Penjelasan
1 Kedua elemen sama pentingnya Dua elemen menyumbangnya sama besar pada sifat itu
3 Elemen yang satu sedikit lebih penting ketimbang yang lainnya
Pengalaman dan pertimbangan sedikit menyokong satu elemen atas yang lainnya
5 Elemen yang satu esensial atau sangat penting ketimbang elemen yang lainnya
Pengalaman dan pertimbangan dengan kuat menyokong satu elemen atas elemen yang lainnya
7 Satu elemen jelas lebih penting dari elemen yang lainnya
Intensitas
Pentingnya Definisi Penjelasan
9 Satu elemen mutlak lebih penting ketimbang elemen lainnya
Bukti yang menyokong elemen yang satu atas yang lainnya memiliki tingkat penegasan ter tinggi yang mungkin menguat 2, 4, 6, 8 Nilai-nilai antara di antara dua
pertimbanagan yang berdekatan
Kompromi diperlukan antara dua pertimbangan
Kebalikan Jika untuk aktivitas i mendapat angka 1 bila dibanding aktivitas j, maka j mempunyai nilai kebalikannya bila dibandingkan dengan i
Menurut Saaty (1993) beberapa keuntungan menggunakan AHP sebagai alat analisis adalah :
(1) AHP memberikan suatu model tunggal yang mudah dimengerti, luwes untuk aneka ragam persoalan yang tak terstruktur.
(2) AHP memadukan ancangan deduktif dan ancangan berdasarkan sistem dalam memecahkan persoalan kompleks.
(3) AHP dapat menangani saling ketergantungan elemen-elemen dalam satu sistem dan tidak memaksakan pemikiran linier.
(4) AHP mencerminkan kecenderungan alami pikiran untuk memilah-milah elemen-elemen suatu sistem dalam berbagai tingkat berlainan dan mengelompokkan unsur yang serupa dalam setiap tingkat.
(5) AHP memberi suatu skala dalam mengukur hal-hal yang tidak terwujud untuk mendapatkan prioritas.
(6) AHP melacak konsistensi logis dari pertimbangan-pertimbangan yang digunakan dalam menetapkan berbagai prioritas.
(7) AHP menuntun ke suatu taksiran menyeluruh tentang kebaikan setiap alternatif.
(8) AHP mempertimbangkan prioritas-prioritas relatif dari berbagai faktor sistem dan memungkinkan orang memilih alternatif terbaik berdasarkan tujuan-tujuan mereka.
(9) AHP tidak memaksakan konsensus tetapi mensintesis suatu hasil yang representatif dari penilaian yang berbeda-beda.
2.8 Analisis SWOT
Analisis SWOT (strength, weakness, opportunity and threat) adalah identifikasi secara sistematik atas kekuatan dan kelemahan dari faktor internal serta kesempatan dan ancaman dari faktor eksternal yang dihadapkan suatu sektor (Rangkuti, 2000). Analisis SWOT digunakan untuk menentukan prioritas strategi alternatif yang paling tepat dilaksanakan pada pelaksanaan suatu kebijakan seperti kebijakan dalam pengelolaan hasil tangkapan sampingan pukat udang di Laut Arafura.
Analisis ini didasarkan pada logika yang dapat memaksimalkan kekuatan
(strength) dan peluang (opportunity) namun secara bersamaan dapat
meminimalkan kelemahan (weakness) dan ancaman (threat). Berdasarkan pengaruhnya terhadap pencapaian suatu tujuan, strength dan opportunity
merupakan faktor pendorong (positif) sedangkan weakness dan threat adalah faktor penghambat (negatif).
Analisis SWOT diawali dengan mengidentifikasi faktor-faktor kekuatan dan kelemahan internal sistem, serta faktor-faktor peluang dan ancaman eksternal sistem. Selanjutnya faktor-faktor tersebut dikombinasikan dalam sebuah matriks SWOT. Analisis matrik akan menghasilkan prioritas strategi berdasarkan kekuatan, kelamahan, peluang dan ancaman yang ada.
Tabel 2. Matriks SWOT
Internal
Eksternal Strength (kekuatan) Weakness (kelemahan)
Opportunity (kesempatan) Strategi SO Strategi WO
Threat (ancaman) Strategi ST Strategi WT
Sumber: Rangkuti (2000)
Matriks SWOT dapat menghasilkan 4 kemungkinan strategi, yaitu:
1. Strategi SO (Strength- Opportunity) yaitu menggunakan kekuatan yang dimiliki untuk mengambil peluang yang ada.
2. Strategi ST (Strength-Threat) yaitu menggunakan kekuatan yang dimiliki untuk mengatasi ancaman yang dihadapi.
3. Strategi WO (Weakness-Opportunity) yaitu berusaha untuk mendapatkan keuntungan dari peluang yang ada dengan mengatasi kelemahan yang ada 4. Strategi WT (Weakness-Threat) yaitu berusaha meminimumkan kelamahan
3.1 Waktu dan Tempat Penelitian
Kegiatan penelitian dimulai pada bulan Juni 2006 yaitu mulai dari studi
literatur serta persiapan pelaksanaan penelitian lapangan. Pengumpulan data
lapangan dilaksanakan selama empat bulan, mulai Agustus 2004 sampai dengan
November 2004. Penelitian lapangan dilakukan di Laut Arafura yang menjadi
wewenang Pemerintah Provinsi Papua berdasarkan Undang-undang Otonomi
Daerah, Nomor 21, tahun 1999, di perairan sepanjang pantai sebelah selatan
Papua, serta sentra-sentra perikanan yang berada di sekitar Laut Arafura,
meliputi Merauke, Mimika, Kaimana dan Sorong.
3.2 Ruang Lingkup Penelitian
Penentuan obyek dalam penelitian ini dilandasi oleh pertimbangan utama
yaitu teknis operasional dimana kemungkinan untuk dapat mengakses data dan
mengkaji lebih mendalam dipastikan dapat dilakukan. Dengan pertimbangan
tersebut, selanjutnya pelaksanaan penelitian diarahkan sesuai dengan tujuan
penelitian yang telah dirumuskan, yaitu isu tentang permasalahan perikanan
pukat udang di Laut Arafura, Provinsi Papua.
Tahap pertama pelaksanaan penelitian mulai dari mengidentifikasi dan
mengkuantifikasi ikan hasil tangkapan sampingan pukat udang untuk mengetahui
potensi ikan hasil tangkapan sampingan yang selama ini menjadi permasalahan.
Tahap kedua, melakukan analisis terhadap sistem pengelolaan yang
dilaksanakan saat ini yang menyebabkan pengelolaan ikan hasil tangkapan
sampingan pukat udang tidak optimal. Tahap ketiga menyusun alternatif konsep
dan strategi pengelolaan yang dianggap paling optimal bagi pengelolaan ikan
hasil tangkapan sampingan di Laut Arafura. Pada tahap ketiga ini akan dibuat
suatu perencanaan mata rantai pengelolaan dengan mempertimbangkan
ketersediaan sumberdaya (potensi ikan hasil tangkapan sampingan saat ini dan
masa mendatang, teknologi, tenaga kerja), ke-ekonomisan, konservasi,
kebijakan yang ada, dan keinginan para stakeholder.
3.3 Metode Penelitian
Agar penelitian fokus pada tujuan dan untuk memperoleh hasil penelitian
t
m
terstruktur s
mencermink
seperti diper
kan tahapan
Gam
rlihatkan pad
kegiatan ya
mbar 4. Ke
da Gambar
ang telah dila
rangka kegi
4. Dalam k
alui dan dilak
atan peneliti
kerangka pe
kukan.
ian
Untuk menentukan satu model pengelolaan ikan hasil tangkapan
sampingan yang paling optimal, digunakan metode analytical hierarchy process
(AHP) dan untuk menyusun strategi pelaksanaanya menggunakan analisis
SWOT. Aliran proses kegiatan penyusunan konsep dan strategi pengelolaan
hasil tangkapan sampingan pukat udang dalam kasus di Laut Arafura, Provinsi
Papua ditunjukkan pada Gambar 5.
Gambar 5. Aliran proses kegiatan penyusunan konsep dan strategi
3.4 Metode Pengumpulan Data
Untuk memperoleh data yang cukup dan akurat, dilakukan pendekatan
dengan metode survei dengan data obyek penelitian yaitu; fakta, proses, histori,
persepsi tentang perikanan pukat udang, potensi ikan hasil tangkapan
sampingan, infrastruktur, hukum dan kelembagaan, mekanisme serta sumber
daya manusia dalam pengelolaan perikanan pukat udang di Laut Arafura.
3.4.1 Pengumpulan data dan informasi pengelolaan ikan hasil tangkapan
sampingan
Kebutuhan data untuk bahan analisis dalam penyusunan alternatif
pengelolaan diperoleh melalui kuesioner, wawancara, pertemuan dan diskusi
dengan para stakeholder. Para stakeholder tersebut adalah responden yang
mewakili pihak pemerintah atau regulator yaitu Dinas Kelautan dan Perikanan
Provinsi, sebagian Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten yang ada di Papua
dan Departemen Kelautan dan Perikanan, mewakili pengusaha atau operator
yaitu pengusaha perikanan pukat udang serta asosiasinya (HPPI) dan mewakili
[image:43.612.122.506.413.709.2]pemerhati perikanan pukat udang yaitu dari Akademi Perikanan Sorong.
Tabel 3. menyajikan daftar nama instansi dan jabatan responden yang disurvei.
Tabel 3. Daftar responden
No. N a m a Instansi Jabatan
1 Ir. Astiler Maharaja Dinas Kanla Provinsi Papua
Kepala Dinas
2 Ngatno Handoko, BE Dinas Kanla
Kabupaten Merauke
Kasubdin Prod. Perikanan 3 Benhur Okoseray, S.ST.Pi Dinas Pertanian
Kabupaten Kaimana
Kasubdin Kanla
4 Ir. Joko Martoyo, MM Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP)
Kasubdit
Pengawasan SDI 5 Hadi Darsuki PT. Bintuni Mina Raya Manejer
6 Mahditiara Artini CV. Bintang Mas Kepala Kantor Sorong 7 Achmad Kassim KM. Kurnia 11 – Jkt Nahoda
8 Bambang Wasito HPPI Perwakilan Sorong
Ketua
9 Inda Lusiana, S.Pi. HPPI Pusat – Jkt Wakil Sekjen
10 Ir. Zulkifli Bugis Akademi Perikanan Sorong
Prosedur penelitian dimulai dengan melakukan identifikasi dan
inventarisasi berbagai produk kebijakan yang diberlakukan dalam mendukung
pengelolaan ikan hasil tangkapan sampingan. Hasil identifikasi digunakan untuk
melakukan analisis dan penilaian apakah kebijakan atau produk hukum yang ada
dapat mendukung pengelolaan ikan hasil tangkapan sampingan secara optimal.
Dalam penelitian kualitatif terdapat tiga metode pengumpulan data yang
bersifat fundamental dan sering digunakan bersama-sama (Mulyana, 2002),
yaitu:
(1) Pengamatan berperan serta
Pengamatan berperan serta adalah pengamatan yang dilakukan sambil
sedikit banyak berperan serta dalam kehidupan orang yang sedang diteliti.
Pengamat terlibat mengikuti orang-orang yang diteliti, melihat apa yang
mereka lakukan, kapan, dengan siapa, dalam keadaan apa dan tindakan
mereka.
(2) Wawancara mendalam
Wawancara adalah bentuk komunikasi, dimana seseorang yang ingin
memperoleh informasi dari seorang lainnya dengan mengajukan
pertanyaan-pertanyaan, berdasarkan tujuan tertentu. Wawancara
mendalam sering disebut sebagai wawancara tak terstruktur atau
wawancara terbuka, dimana susunan pertanyaan dan kata-kata dalam
setiap pertanyaan dapat diubah saat wawancara, disesuaikan dengan
kebutuhan dan kondisi saat wawancara.
(3) Analisis dokumen
Pengamatan berperan serta dan wawancara mendalam (termasuk
wawancara sejarah) dapat pula dilengkapi dengan analisis dokumen seperti
otobiografi, memoar, catatan harian, surat-surat keputusan, catatan
pengadilan, berita koran, artikel majalah, brosur, buletin dan foto-foto.
(4) Focus Group Discussion (FGD)
Selain beberapa metode pengumpulan data di atas untuk mendukung agar
data yang diperlukan dapat dikumpulkan lebih sempurna sehingga hasil
akhir penelitian mampu menyajikan informasi yang valid dan reliable, maka
juga digunakan teknik FGD. Teknik ini digunakan untuk mengungkapkan
pemaknaan dari suatu kelompok atau komunitas tertentu berdasarkan hasil
dimaksudkan untuk menghindari pemaknaan yang salah dari peneliti
terhadap fokus masalah yang sedang diteliti.
3.4.2 Pengumpulan data potensi hasil tangkapan sampingan
Untuk mengetahui potensi ikan hasil tangkapan sampingan, dilakukan
kegiatan identifikasi dan kuantifikasi melalui data sekunder yang tersedia, studi
literatur dan observasi langsung di Laut Arafura dengan mengikuti kapal
penelitian (on board). Observasi langsung telah dilaksanakan untuk
mengidentifikasi spesies, menghitung volume serta mengestimasi potensi hasil
tangkapan sampingan termasuk spesies dan jumlah ikan hasil tangkapan
sampingan yang dimanfaatkan maupun yang dibuang sebagai discrards. Secara
umum data yang telah dikumpulkan dari data sekunder, studi literatur dan
observasi langsung meliputi :
(1) Jenis spesies dan volume ikan hasil tangkapan sampingan;
(2) Estimasi potensi dan komposisi ikan hasil tangkapan sampingan yang
dominan;
(3) Jenis dan estimasi ikan hasil tangkapan sampingan yang dapat
dimanfaatkan;
(4) Jenis dan estimasi hasil tangkapan yang tidak dapat dimanfaatkan
(dibuang ke laut); dan
(5) Persentase jumlah ikan hasil tangkapan sampingan yang dimanfaatkan
dan tidak dimanfaatkan.
3.5 Analisis Data
Dalam penelitian ini terdapat beberapa analisis, tetapi menganalisis
selengkap mungkin data relevan yang diperoleh di lapangan merupakan
keharusan agar tujuan yang telah dirumuskan dapat mendekati keberhasilan.
Karena penelitian ini berpijak pada realitas atau peristiwa yang sebenarnya
berlangsung di lapangan, data dan informasi tentang pengelolaan hasil
tangkapan sampingan diperoleh dari berbagai pihak yang tentunya mengandung
kepentingan berbeda-beda yang menyebabkan permasalahan pengelolaan hasil
tangkapan sampingan menjadi kompleks.
AHP adalah suatu proses ”rasionalitas sistemik”, metode analisis ini
merupakan suatu pendekatan sebuah hierarki fungsional dengan input utama
persepsi orang. Hierarki suatu masalah kompleks dan tidak terstruktur
dipecahkan ke dalam kelompok-kelompok berjenjang yang membentuk hierarki
penulis untuk menganalisis sistem pengelolaan hasil tangkapan sampingan
dalam rangka menyusun konsep pengelolaan hasil tangkapan sampingan pukat
udang di Laut Arafura, Provinsi Papua. Pilihan tersebut berdasarkan
pertimbangan bahwa pengelolaan hasil tangkapan sampingan pukat udang di
Laut Arafura adalah permasalahan yang kompleks dan konsep pengelolaan hasil
tangkapan sampingan adalah suatu proses pengambilan keputusan yang pada
dasarnya adalah memilih suatu alternatif.
3.5.1 Analisis data potensi hasil tangkapan sampingan
Jenis ikan hasil tangkapan sampingan akan diidentifikasi spesies maupun
jumlahnya. Selanjutnya dibagi dalam dua kelompok utama yaitu jenis hasil
tangkapan sampingan yang dimanfaatkan dan yang tidak dimanfaatkan
(discards). Dari kelompok ikan hasil tangkapan sampingan yang dimanfaatkan
dipilah-pilah berdasarkan tingkat keekonomisan dan pemanfaatannya.
Selanjutnya hasil pemilahan ditabulasikan untuk digunakan dalam analisis
pengelolaan
3.5.2 Analisis sistem pengelolaan hasil tangkapan sampingan
Dalam analisis ini ditentukan alternatif pola dan model pengelolaan ikan
hasil tangkapan sampingan pukat udang dari armada penangkapan pukat udang
yang beroperasi di Laut Arafura. Dari beberapa alternatif yang ada, dengan
menggunakan metode AHP akan ditentukan prioritas pola dan model yang paling
optimal dan memungkinkan untuk dilaksanakan.
Menggunakan AHP dimulai dengan menata elemen-elemen persoalan
dalam bentuk hierarki, membuat pembandingan berpasangan antar elemen,
selanjutnya dari perbandingan akan menghasilkan prioritas, setelah melalui
sintesis maka diperoleh prioritas menyeluruh dan pada akhir kajian, diukur
konsistensi dan penyelesaian elemen-elemen yang interdependensi. Adapun
tahapan proses analisisnya penulis lakukan sebagai berikut:
(1) Mendefinisikan masalah dan menentukan solusi yang paling optimal.
(2) Menyusun struktur hierarki yang diawali dengan tujuan umum, dilanjutkan
dengan sub-sub tujuan, kriteria dan kemungkinan alternatif pada tingkatan
yang paling bawah.
(3) Membuat matriks perbandingan berpasangan yang menggambarkan
pengaruh relatif atau pengaruh setiap elemen terhadap masing-masing
( ( h t s t d judgem elemen (4) Melaku (5) Mengh vektor (eigen konsis denga Beriku
hierarkis AH
tangkapan s
suatu prose
tangkapan
diperlihatkan
Gambar
ment dari s
n dibandingk
ukan perban
hitung matrik
prioritas at
value) m
tensinya.
n cara mela
t ini disaji
HP. Hasil pr
sampingan p
es balik di
sampingan
n pada Gam
r 6. Hierark sampin
stakeholder,
kan dengan
ndingan berp
ks pendapat
tau vektor c
maksimum,
Jika tidak k
kukan revisi kan gamba roses pertam pukat udang ilakukan un pukat uda mbar 7. ki menentuka ngan pukat u
dengan m
elemen lain
pasangan.
t individu da
ciri (eigen v
mengolah
konsisten, m
pendapat.
ar
langkah-ma, berupa p
g diperlihatka
ntuk menen
ang. Hasi
an kebijakan udang
menilai tingk
nnya.
n gabungan
vector), aka
vertikal d
maka penga
-langkah, s
pilihan kebija
an pada Ga
ntukan mod
il proses p
n pengelolaa
kat kepenti
n, mengolah
ar ciri atau
dan mengu
ambilan dat
susunan ele
akan pengel
ambar 6. S
del pengelo
proses balik
an hasil tang
G ( m u d b b m l t k b d m e T Gambar 7. Menen (mensintesis masing-mas untuk mem
dilakukan d
berpasanga berdasarkan memberikan lainnya. Pen tingkat tertin kuesioner berkepenting
di Laut Ara
menentukan
elemen-elem
Tabel 5.
Hierarki m
Arafura
ntukan prior
s), menggam
sing tujuan d
buat data
dalam men
n terhadap
n persepsi
n penilaian t
nilaian dilaku
nggi sampai
maupun w
gan serta m
afura. Matr
n kebijakan
men Pelaku
menentukan
ritas dan m
mbarkan kon
dan kriteria y
kualitatif m
nentukan pr
suatu kriter
dan judgem
tingkat kepe
ukan dengan
i yang teren
wawancara
memahami pe
riks perband
disajikan p
dalam men
n model pe
membuat m
ntribusi atau
yang seting
menjadi kuan
rioritas yait
ria yang dite
ment orang
entingan sua
n pembobot
ndah. Tekn
dengan
ermasalahan
dingan elem
pada Tabel
entukan alte
ngelolaan p
atrik perba
pengaruh s
kat di atasn
ntitatif. La
tu elemen-e
entukan. Pe
yang mem
atu elemen
an berpasan
nis penilaian
pihak-pihak
n ikan hasil
men-elemen
l 4, serta
ernatif penge
pukat udang
ndingan be
etiap eleme
ya. Proses
angkah pert
elemen dib
erbandingan
miliki kompet
dengan ele
ngan yang d
n dilaksanak yang te tangkapan s antara pela matriks per elolaan disa
g di Laut
erpasangan
n terhadap
s ini adalah
Tabel 4. Matriks perbandingan elemen-elemen antara pelaku dalam menentukan alternatif kebijakan dengan kriteria1-n
Kriteria 1 – n
(n>1) Pelaku 1 Pelaku 2 Pelaku 3
Pelaku 1 1 P11-n/P21-n P11-n/P31-n
Pelaku 2 P21-n/P11-n 1 P21-n / P31-n
Pelaku 3 P31-n/P11-n P31-n/P21-n 1
Tabel 5. Matriks perbandingan elemen-elemen antara pelaku dalam menentukan alternatif pengelolaan dengan kriteria1-n
Kriteria 1 – n
(n>1) Pelaku 1 Pelaku2 Pelaku 3 Pelaku 4
Pelaku 1 1 P11-n/P21-n P11-n/P31-n P11-n/P41-n
Pelaku 2 P21-n/P11-n 1 P21-n/P31-n P21-n/Pj1-n
Pelaku 3 P31-n/P11-n P31-n/P21-n 1 P31-n/Pj1-n
Pelaku j Pj1-n/P11-n Pj1-n/P21-n Pj1-n/P31-n 1
Bila vektor pembobotan elemen-elemen operasi Pelaku 1, Pelaku 2 dan
Pelaku 3 dinyatakan sebagai vektor P = (P1, P2,... Pj), maka P11-n/P21-n diartikan
sebagai nilai intensitas kepentingan elemen operasi Pelaku 1 terhadap Pelaku 2
pada kriteria yang sama dinyatakan sebagai perbandingan bobot elemen operasi
P1 terhadap P2 dan seterusnya. Selanjutnya dengan memanfaatkan perangkat
lunak Expert Choice dan memasukkan data yang diperoleh dari kuesioner
maupun wawancara langsung sesuai prosedur pengolahan data maka pada akhir
perhitungan akan diperoleh pola pilihan kebijakan yang optimal.
Menghitung konsistensi dalam analisis menggunakan metode AHP
merupakan keharusan, consistensy index (CI) merupakan indikator yang
menyatakan penyimpangan konsistensi, sedangkan consistency ratio (CR)
adalah indikator untuk menyatakan ukuran tentang konsisten tidaknya suatu
penilaian atau pembobotan perbandingan berpasangan. Kedua indikator
Pada keadaan yang sebenarnya akan terjadi beberapa penyimpangan dari
hubungan faktor yang dibandingkan, sehingga matriks yang dibuat tidak
konsisten. Hal ini terjadi karena ketidak konsistenan dalam preferensi seseorang.
Penyimpangan dari konsistensi dinyatakan dengan indeks konsistensi
menggunakan persamaan :
1
−
−
=
n
n
CI
λ
maksdimana λmaks = akar ciri maksimum
n = ukuran matriks
Indeks Konsistensi (IK) adalah matrix random dengan skala penilaian 9 (1 – 9)
beserta kebalikannya sebagai random index (RI)
RI
CI
CR
=
Untuk mengetahui konsistensi secara menyeluruh dari berbagai
pertimbangan dapat diukur dari nilai consistency ratio (CR). Consistency ratio
adalah perbandingan antara consistency index (CI) dengan random index (RI),
dimana nilai RI telah ditentukan. Matriks perbandingan dapat diterima jika nilai
CR ≤ 0,1 dan bila CR > 0,1, maka langkah-langkah sebelumnya harus diulangi
lagi dengan mengoreksi masukan data (data input) demikian seterusnya sampai
diperoleh nilai CR ≤ 0,1.
3.5.3 Analisis strategi pengelolaan ikan hasil tangkapan sampingan
Setelah dilakukan analisis untuk