• Tidak ada hasil yang ditemukan

Strategi Pemanfaatan Ikan Hasil Tangkapan Sampingan di Laut Arafura Arafura

ambar 6. S del pengelo

5.4 Strategi Pemanfaatan Ikan Hasil Tangkapan Sampingan di Laut Arafura Arafura

Berdasarkan hasil analisis terhadap efektivitas penerapan kebijakan pengelolaan ikan hasil tangkapan sampingan di atas, bahwa masih sangat banyaknya permasalahan dalam pengelolaan ikan hasil tangkapan sampingan dari Laut Arafura yang diantaranya kurangnya infrastruktur yang mendukung kegiatan perikanan yang memanfaatkan ikan hasil tangkapan sampingan, aturan hukum dan perundangan yang kurang jelas dan kurang tegas serta pengawasan dan penegakan hukum terhadap kegiatan perikanan pukat udang belum mencukupi. Beragamnya permasalahan tersebut mendorong diperlukannya perumusan strategi dalam menerapkan kebijakan pemanfaatan ikan hasil tangkapan sampingan dari Laut Arafura.

Mengacu pada hasil identifikasi tentang peluang dan ancaman, kekuatan dan kelemahan, maka dapat dibuat dalam bentuk tabel dan matriks SWOT untuk menentukan strategi pemanfaatan ikan hasil tangkapan sampingan seperti pada Tabel 25 dan Tabel 26 berikut ini:

Tabel 25. Hasil analisis faktor-faktor strategi internal

Faktor-Faktor Strategi Internal Bobot Rating Nilai Kekuatan

Potensi ikan hasil tangkapan sampingan sangat besar 332.186,40

ton/tahun 0.15 4 0,6

Kebijakan pemerintah Provinsi Papua tentang pemanfaatan ikan hasil tangkapan sampingan untuk bahan pangan dan pakan (PERDA)

0,10 4 0,4 Dukungan dari pemerintah dalam pemanfaatan hasil tangkapan

sampingan dalam upaya peningkatan gizi masyarakat Papua 0,10 4 0,4

Kualitas lingkungan perairan masih baik 0,05 3 0,15

Sebagian besar ikan hasil tangkapan sampingan memiliki nilai

ekonomis penting 0,05 2 0,1

Kelemahan

Hasil tangkapan sampingan di Laut Arafura belum dimanfaatkan

secara optimal 0,15 1 0,15

Kualitas dan kuantitas SDM di Provinsi Papua dalam kegiatan

pengelolaan hasil tangkapan sampingan masih rendah 0,10 1 0,1

Lokasi daerah penangkapan cukup jauh ke pangkalan pendaratan ikan sehingga biaya pengangkutan ikan hasil tangkapan sampingan ataupun produk olahan hasil tangkapan sampingan dari daerah penangkapan mahal

0,05 2 0,1 Prasarana dan sarana pendukung yang disediakan pemerintah

untuk menunjang dalam kegiatan usaha pemanfaatan ikan hasil

tangkapan sampingan masih kurang 0,15 1 0,15

Preferensi masyarakat terhadap konsumsi olahan hasil tangkapan sampingan masih rendah, dan lebih menyukai produk ikan segar

dibandingkan produk olahan 0,05 2 0,01

Belum ada peraturan perundangan yang tegas tentang pemanfaatan ikan hasil tangkapan sampingan serta masih lemahnya pengawasan dari instansi terkait menyebabkan banyaknya terjadi pembuangan ikan hasil tangkapan sampingan di tengah laut.

0,10 1 0,1

Perusahaan penangkapan udang melarang ABK untuk

mengumpulkan dan mendaratkan ikan hasil tangkapan sampingan 0,10 2 0,2

Tabel 26. Hasil analisis faktor-faktor strategi eksternal

Faktor-Faktor Strategi Eksternal Bobot Rating Nilai Peluang

Permintaan terhadap produk perikanan masih sangat tinggi

0,10 4 0,4

Keinginan pengusaha nasional maupun internasional membangun industri pengolahan ikan di Provinsi Papua

0,10 3 0,3

Penyerapan tenaga kerja dibidang penangkapan ikan, pengolahan, dan pemasaran

0,15 4 0,6

Terbukanya peluang pasar baik dalam negeri maupun luar negeri bagi produk olahan berbahan baku ikan hasil tangkapan sampingan

0,15 2 0,3

Ancaman

Persepsi Pengusaha pukat udang bahwa ikan hasil tangkapan sampingan tidak menguntungkan (nilai ekonomis ikan hasil tangkapan sampingan jauh lebih rendah dibandingkan tangkapan utama udang)

0,10 1 0,1

Pelaksanaan peraturan perundangan dan himbauan dirasakan belum efektif dan disinyalir banyak terjadi pelanggaran dan dapat menyebabkan konflik

0,15 1 0,15

Tidak saling terintegrasi aturan-aturan yang berhubungan dengan hasil tangkapan sampingan dan aturan-aturan yang mendukung pelaksanaannya.

0,10 4 0,4

Pengoperasian kapal pukat udang di isobath < 10 m menyebabkan degradasi lingkungan.

0,10 2 0,2

Maraknya kegiatan IUU fishing di Laut Arafura 0,05 1 0,05

Berdasarkan matriks analisis SWOT di atas, maka dapat dibuatkan prioritas strategi pemanfaatan ikan hasil tangkapan sampingan di Laut Arafura seperti pada Tabel 28 dibawah ini.

Tabel 28. Prioritas strategi pemanfaatan ikan hasil tangkapan sampingan

No. Strategi Skor

1. Mendaratkan dan memanfaatkan ikan hasil tangkapan

sampingan sebanyak-banyaknya untuk konsumsi pangan dan

pakan (S-O) S1+S2+S3+O1 1,80

2. Membangun industri pengolahan ikan di kota/daerah yang terdekat dengan daerah penangkapan (S-O)

S4+S5+O2+O3+O4 1,55

3. Membangun dan meningkatkan sarana dan prasarana (infrastruktur) untuk mendukung kegiatan pemanfaatan hasil tangkapan sampingan (W-O)

W1+W3+W4+W6+W7+O1+O2+O4

1,70

4. Peningkatan kualitas SDM masyarakat Papua melalui kegiatan pelatihan dan pendampingan serta pemberdayaan ekonomi masyarakat pesisir melalui kegiatan pengolahan hasil

tangkapan sampingan di Provinsi Papua (W-O) W2+W5+O1

0,60

5. Membuat aturan perundangan dan meningkatkan pengawasan dan penegakan hukum terhadap kegiatan kapal pukat udang

di Laut Arafura (W-T) W2+W3+W6+W7+T2+T3+T4+T5 1,10 6. Penguatan sistem kelembagaan pengelolaan ikan HTS di Laut

Arafura (S-T) S2+S4+S5+T2+T3+T4+T5 1,40

7. Mengembangkan/melaksanakan proyek percontohan pemanfaatan ikan hasil tangkapan sampingan (S-T) S1+S3+T1

1,10

Hambatan utama dalam upaya pengelolaan ikan hasil tangkapan sampingan agar dapat didaratkan dan dimanfaatkan adalah keuntungan yang tidak menjanjikan bagi pengusaha penangkapan (termasuk ABK) dan pengusaha pengolahan. Bagi pengusaha penangkapan, volume ikan hasil tangkapan sampingan, variasi spesies dan ikan-ikan bernilai ekonomi rendah merupakan kombinasi yang menyebabkan pengumpulan dan pendaratan ikan hasil tangkapan sampingan menjadi tidak menguntungkan. Untuk dapat mengelola ikan yang berasal dari hasil tangkapan sampingan secara ekonomis, pengusaha penangkapan dan industri pengolahan harus dapat bekerja-sama dalam mendaratkan dan mengolah ikan hasil tangkapan sampingan menjadi produk yang laku dipasar dengan harga kompetitif, disamping itu untuk menjaga kelangsungan pasokan bahan baku, maka harga ikan hasil tangkapan

sampingan harus menarik bagi pengusaha penangkapan. Tentunya tidak mudah mencapai kondisi tersebut, karena di satu sisiharga produk olahan harus “murah” (competitive) di sisi lainnya harga ikan hasil tangkapan sampingan harus “mahal” (attractive), oleh sebab itu untuk memulai pengelolaan ikan hasil tangkapan sampingan dari Laut Arafura kepedulian dan intervensi pemerintah menjadi sangat vital dan sangat diperlukan.

Setelah diketahui prioritas strategi pemanfaatan ikan hasil tangkapan sampingan di Laut Arafura seperti dijelaskan di atas, maka untuk merealisasikan strategi tersebut diantaranya dilaksanakan melalui program-program sebagai berikut:

1. Program untuk strategi pertama, mendaratkan dan memanfaatkan ikan hasil tangkapan sampingan yaitu :

(1) Pemberian insentif dan kemudahan seperti pengurangan pungutan hasil perikanan (PHP) bagi pengusaha/perusahaan kapal pukat udang yang beroperasi di Laut Arafura yang mendaratkan dan memanfaatkan ikan hasil tangkapan samp ingan. Dengan pemberian insentif ini diharapkan para pelaku penangkapan kapal pukat udang menjadi terangsang untuk mendaratkan ikan hasil tangkapan sampingannya.

(2) Sesuai dengan model pengelolaan ikan hasil tangkapan sampingan yang paling cocok untuk dikembangkan di Laut Arafura yaitu pemanfaatan hasil tangkapan sampingan dilakukan dengan kapal penampung khusus yang dilengkapi dengan sarana pengolah ikan di atas kapal, maka pada tahap awal pengembangan dibutuhkan inisiatif pemerintah untuk menyediakan kapal pengumpul sehingga dapat mendorong percepatan realisasi strategi ini. Seperti penjelasan Slavin dalam Report of a Technical Consultation on

Shrimp By-catch Utilization di Georgetown, Guyana (Slavin, 1981),

program pengumpulan ikan hasil tangkapan sampingan seperti ini telah berhasil dilaksanakan oleh pelaku penangkapan dengan pukat udang bersama-sama dengan pemerintah di Meksiko.

2. Program untuk strategi kedua, membangun dan meningkatkan sarana dan prasarana (infrastruktur) untuk mendukung kegiatan perikanan yang memanfaatkan ikan hasil tangkapan sampingan. Untuk melaksanakan strategi ini dilaksanakan program sebagai berikut:

(1) Pembangunan fasilitas (seperti pelabuhan pendaratan ikan dibangun pada lokasi yang tepat, pembangunan cold storage, pabrik es, sumber air bersih dan tenaga listrik). Pembangunan dapat menggunakan dana dekonsentrasi maupun APBD Pemerintah Provinsi Papua yang tersedia relatif cukup besar. Dengan tersedianya fasilitas-fasilitas tersebut diharapkan akan menarik investor untuk ikut mengembangkan dan menanamkan modalnya dalam bisnis pengolahan ikan khususnya yang memanfaatkan hasil tangkapan sampingan dari Laut Arafura.

(2) Rehabilitasi dan rasionalisasi pengelolaan fasilitas dan infrastruktur perikanan yang ada di Provinsi Papua saat ini. Di masa kejayaan kegiatan perikanan di Papua, banyak perusahaan perikanan yang memiliki fasilitas dan infrastruktur sendiri, tidak termasuk milik pemerintah seperti fasilitas dan infrastruktur miliki PT. (Persero) Usaha Mina di Kota Sorong. Karena berbagai problema, menyebabkan perusahaan-perusahaan tersebut “bangkrut” (tidak beroperasi) sehingga aset berupa fasilitas menjadi terlantar dan kondisinya rusak. Melalui program ini Pemerintah Provinsi Papua dapat memanfaatkan fasilitas-fasilitas tersebut dengan merancang program perbaikan, namun demikian, sebelum pelaksanaan perbaikan terlebih dahulu perlu memperjelas status pengelolaannya nanti pada saat masuk tahap operasional.

3. Program untuk strategi ketiga, yaitu mengembangkan dan membangun industri pengolahan ikan di kota/daerah yang terdekat dengan lokasi penangkapan dengan program sebagai berikut :

(1) Inisiatif pemerintah untuk membangun industri pengolahan ikan berskala kecil (rumah tangga) maupun skala menengah melalui proyek percontohan (pilot project). Setelah sukses dengan proyek percontohan tersebut selanjutnya dikembangkan menjadi industri utama yang memanfaatkan ikan hasil tangkapan sampingan. Pemerintah Meksiko, melalui Departemen Perikanan telah berhasil melaksanakan program ini yaitu diawali pada tahun 1980 telah membangun suatu fasilitas pengolahan skala proyek percontohan dengan nama Productos Pesqueros Mexicanos (PPM) di Xochimilco yang memproduksi ikan lumat yang disebut dengan Pepepez.

(2) Promosi investasi yaitu pemerintah Provinsi Papua mempromosikan dan mengundang para investor (melalui safari investasi, pameran nasional ataupun internasional) untuk membangun industri pengolahan ikan dengan menyedikan berbagai fasilitas infrastruktur dan kemudahan prosedur investasi. Dengan promosi dan ketersediaan informasi yang lengkap diharapkan para investor mengetahui dan tertarik dengan adanya potensi dan peluang bisnis memanfaatkan ikan hasil tangkapan sampingan di Provinsi Papua. 4. Program untuk strategi keempat, penguatan sistem kelembagaan

pengelolaan ikan hasil tangkapan sampingan di Laut Arafura. Kegiatan-kegiatan yang dapat mendukung program tersebut dapat berupa:

(1) Merintis sebuah lembaga yang mampu mengakomodasi kompleksitas pengelolaan ikan hasil tangkapan sampingan pukat udang di Laut Ararfura. Sejauh ini belum ada satu lembaga yang telah benar-benar menjadi figur dalam permasalahan pengelolaan ikan hasil tangkapan sampingan, kalaupun ada lembaga tersebut masih terlalu kecil untuk menghadapi kompleksitas permasalahan pengelolaan ikan hasil tangkapan sampingan, khususnya hasil tangkapan sampingan pukat udang di Laut Arafura.

(2) Mempermudah birokrasi perizinan bagi pihak-pihak yang akan masuk dalam bidang pengelolaan ikan hasil tangkapan sampingan pukat udang di Laut Arafura. Hampir semua kelembagaan perikanan di Indonesia menerapkan birokrasi yang panjang dan rumit untuk sebuah perizinan. Hal tersebut akan berdampak pada lambatnya pembangunan perikanan khususnya dalam pengelolalaan ikan hasil tangkapan sampingan.

5. Program untuk strategi kelima adalah membuat aturan perundangan yang jelas, tegas dan kuat serta meningkatkan pengawasan dan penegakan hukum terhadap kegiatan penangkapan di Laut Arafura. Cukup banyak kegiatan yang harus dilaksanakan dalam program ini, diantaranya :

(1) Meng-identifikasi peraturan dan perundangan yang tidak saling terintegrasi selanjutnya disempurnakan sehingga menjadi peraturan dan perundangan yang memiliki pasal-pasal ataupun klausal yang tegas dan rinci tentang pengelolaan hasil tangkapan sampingan serta sanksi hukum yang dapat dijadikan dasar hukum untuk

pengelolaan maupun pemberian sanksi terhadap pelanggaran peraturan pengelolaan ikan hasil tangkapan sampingan.

(2) Meng-identifikasi Lembaga-lembaga yang terlibat dalam pengawasan pengelolaan sumberdaya perikanan yang ada pada saat ini. Menyempurnakan sehingga tidak terjadi tumpang tindih

(overlaping) tugas dan kewenangan diantara lembaga. Dengan

penyempurnaan tersebut diharapkan kewenangan yang tersebar di berbagai lembaga selama ini dapat menjadi lebih fokus sehingga mengurangi peluang konflik antar lembaga dan memperlancar penegakan hukum.

(3) Meningkatkan pelaksanaan surveillance dan monitoring (patroli perairan dan inspeksi ke atas kapal pukat udang dan di pendaratan ikan hasil tangkapan sampingan) di perairan Laut Arafura serta mengefektifkan laporan kegiatan penangkapan termasuk pendaratan ikan-ikan hasil tangkapan sampingan.

(4) Menindak tegas para perusahaan dan anak buah kapal yang melakukan pelanggaran seperti penahanan atau bahkan pencabutan ijin usaha penangkapan dan hukuman badan/denda material bagi para anak buah kapal.

6. Program untuk strategi keenam, mengembangkan dan melaksanakan proyek percontohan pemanfaatan ikan hasil tangkapan sampingan. Program ini dilaksanakan dengan kegiatan-kegiatan sebagai berikut: (1) Diawali oleh pemerintah mengembangkan jenis dan jumlah

produk-produk perikanan yang memanfaatan ikan hasil tangkapan sampingan. Dilaksanakan melalui proyek percontohan dalam bentuk koperasi kerjasama pemerintah dengan masyarakat ataupun BUMD. Proyek seperti ini telah berhasil dilaksanakan di Meksiko melaui perusahaan yang dibangun oleh Pemerintah yaitu Productos Pesqueros Mexicanos (1981), pengolahan dan pemanfaatan ikan hasil tangkapan sampingan pukat udang di Meksiko sudah menjadi industri. Jenis produk pun terus dikembangkan, selain memproduksi

pepepez, khusus untuk kebutuhan pangan lokal PPM memproduksi

ikan tanpa tulang (deboned fish), ikan kering dan daging ikan lumat asin (salted mince). Disamping itu juga diproduksi ikan kaleng, kue ikan, dan snack ikan. Pemerintah Meksiko terus membantu dan

mengembangkan pengolahan dan pemanfaatan HTS, dengan membangun fasilitas-fasilitas pengolahan serta memberikan insentif serta kemudahan kepada pengusaha dan anak buah kapal pukat udang.

(2) Kerjasama pemerintah dengan pihak swasta mengembangkan produk-produk perikanan dan membangun industri yang memanfaatan ikan hasil tangkapan sampingan. Produk-produk perikanan yang dihasilkan dapat berupa ikan olahan hasil industri maupun hasil olahan rumah tangga seperti ikan asin, ikan asap, terasi, kecap ikan dan ikan pindang. Negara Thailand telah berhasil melaksanakan program kerjasama seperti ini. Dikutip dari Kungsuwan (1996) menjelaskan, negara Thailand telah lama memanfaatkan hasil tangkapan sampingan, yaitu sejak dideklarasikannya Zona Ekonomi Eksklusif 200 mil (ZEE), berawal dari deklarasi tersebut operasi armada-armada perikanan Thailand di perairan negara tentangga menjadi dibatasi. Untuk tetap dapat memenuhi permintaan pasar industri pengolahan ikan, Thailand meningkatkan pemanfaatan hasil tangkapan sampingan dari perikanan pukat udang khususnya untuk konsumsi manusia.

7. Program untuk strategi ketujuh yaitu Peningkatan kualitas SDM masyarakat Papua melalui kegiatan pelatihan dan pendampingan serta pemberdayaan ekonomi masyarakat pesisir melalui kegiatan pengolahan ikan hasil tangkapan sampingan di Provinsi Papua. Program ini dilaksanakan dengan

(1) Memberikan bantuan dengan menempatan tenaga ahli dan tenaga teknis perikanan di sentra-sentra perikanan tangkap di Papua. Melalui pendampingan tenaga ahli dan tenaga teknis secara terus menerus dalam kurun waktu tertentu diharapkan terjadi transfer of

knowledge, perubahan attitude dan paradigma. Namun demikian,

perlu perhatian khusus dari pemerintah bila menempatkan tenaga ahli dan tenaga teknis, agar para tenaga ahli tersebut siap bekerja dengan terjun langsung ke lapangan dan dapat bertahan sesuai waktu yang ditetapkan.

(2) Pelaksanaan pelatihan teknis perikanan terutama pengolahan ikan hasil tangkapan sampingan sehingga menjadi produk yang memiliki nilai tambah (added value). Meskipun sudah pernah dilaksanakan, akan tetapi frekuensi dan jumlah personil yang dilatih masih sangat sedikit. Oleh sebab itu program pelatihan seperti ini dapat dijadikan program rutin tahunan dengan materi yang berbeda-beda. Teknis pelaksanaan dapat dilakukan dengan program Training of Trainers

(TOT) yaitu beberapa kelompok pengolah atau individu yang diberikan pelatihan khusus untuk selanjutnya dapat melatih anggota kelompok pengolah tersebut.

6.1 Kesimpulan

1.

Diantara 3 pola kebijkan pendaratan ikan hasil tangkapan sampingan di Laut Arafura yang dirancang, terpilih pola 1 sebagai pola kebijakan yang paling optimum dan sebagai prioritas kebijakan pendaratan ikan hasil tangkapan sampingan, yaitu mendaratkan ikan-ikan hasil tangkapan sampingan yang dapat dimanfaatkan seluruhnya (100%).

2.

Dari 4 model alternatif pemanfaatan hasil tangkapan sampingan yang dibuat, terpilih model 2 sebagai model yang paling optimum dan sebagai prioritas model pemanfaatan ikan hasil tangkapan sampingan di Laut Arafura, yaitu ikan hasil tangkapan sampingan dari pukat udang ditampung oleh kapal pengumpul khusus yang dioperasikan untuk menampung sekaligus melakukan pengolahan di atas kapal. Selanjutnya ikan hasil tangkapan sampingan yang sudah diolah dibawa ke darat dalam bentuk bubur ikan (minched fish).

3.

Mendukung penerapan kebijakan pemanfaatan hasil tangkapan sampingan disusun strategi sebagai berikut: (1) Mendaratkan dan memanfaatkan ikan hasil tangkapan sampingan sebanyak-banyaknya untuk konsumsi pangan dan pakan, (2) Membangun dan meningkatkan fasilitas (infrastruktur) untuk mendukung kegiatan pemanfaatan hasil tangkapan sampingan, (3) Membangun industri pengolahan ikan di kota/daerah yang terdekat dengan daerah penangkapan, (4) Penguatan sistem kelembagaan pengelolaan ikan hasil tangkapan sampingan di Laut Arafura, (5) Membuat aturan perundangan dan meningkatkan pengawasan dan penegakan hukum terhadap kegiatan kapal pukat udang di Laut Arafura, (6) Mengembangkan/melaksanakan proyek percontohan pemanfaatan ikan hasil tangkapan sampingan, (7) Peningkatan kualitas SDM masyarakat Papua melalui kegiatan pelatihan dan pendampingan serta pemberdayaan ekonomi masyarakat pesisir melalui kegiatan pengolahan hasil tangkapan sampingan khususnya di Provinsi Papua

6.2 Saran

1. Penelitian ini perlu dilanjutkan untuk meneliti jenis produk, pasar, distribusi dan teknologi serta lokasi industri yang memanfaatkan ikan hasil tangkapan sampingan dari Laut Arafura, sehingga jumlah ikan hasil tangkapan sampingan yang demikian besar benar-benar dapat dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan pangan masyarakat khususnya masyarakat di Provinsi Papua serta sekaligus memenuhi Code of Conduct for Responsible Fisheries.

2. Diperlukan aturan perundangan yang jelas dan tegas yang membolehkan pemanfaatan ikan hasil tangkapan sampingan kapal pukat udang serta mengatur pengumpulan dan pengolahan ikan hasil tangkapan sampingan dengan kapal khusus pengumpul (special boat).

Allsopp W.H.L. 1981. Use of Fish By-Catch from Shrimp Trawling; Future Development, Report of a Technical Consultation on Shrimp By-catch Utilization in Georgetown, Guyana, 1981, Hlm. 7 – 36.

Alverson D.L., Murawski M.H., Pope J.G. 1994. Fisheries Technical Paper 339. A Global Assesment of Fisheries By-catch and Discards, Rome. 233 hlm. Ayodhyoa AU. 1981. Metode Penangkapan Ikan. Bogor. Institut Pertanian Bogor.

Fakultas Perikanan.Yayasan Dewi Sri, Bogor. 97 hlm.

Bostock T and Ryder J (1995) By-catch usage in India: an NRI/ODA BOBP project experience. In Report and Proceedings of TCDC Workshop - Utilisation of by-catch from Shrimp Trawlers, 6 - 8 June 1995. Nose Bé, Madagascar. Govt of Madagascar/UNDO/FAO 1995, Hlm. 17 – 20.

Departemen Pertanian. 1999. Surat Keputusan Menteri Pertanian. Nomor: 995/Kpts/IK.210/9/99, tahun 1999, tentang Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP). Jakarta, 12 hlm.

Dinas Perikanan dan Kelautan, Provinsi Papua. 2003. Papua Dalam Angka 1988 - 2002. Statistik Perikanan Provinsi Papua, Jayapura. Hlm. 4 – 57.

Dinas Perikanan dan Kelautan, Pemerintah Provinsi Papua. 2003. Potensi dan Peluang Usaha Perikanan Provinsi Papua, Jayapura. 24 hlm.

Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Merauke, Provinsi Papua. 2004. Buku Tahunan Statistik Perikanan Tangkap Kabupaten Merauke Tahun 2003, Merauke, 74 hlm.

Diniah. 2001. TRAWL : Suatu Tinjauan Terhadap Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1980. Makalah Falsafah Sains (PPs 702). Program Pasca Sarjana/S3 Institut Pertanian Bogor, Bogor. 10 hlm. Ditjen Perikanan Tangkap. DKP. 2004. Daftar Surat Izin Usaha Perikanan (SIUP)

dan Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI). Agustus 2004, Jakarta. 122 hlm. Ditjen Perikanan Tangkap. DKP. 2005. Daftar Surat Izin Usaha Perikanan (SIUP)

dan Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI). Desember 2005, Jakarta. 122 hlm. DKP (Departemen Kelautan dan Perikanan). www. dkp. go. Id. 23 November

2006, Jakarta. Hlm. 9.

(FAO) Food and Agricultural Organization. 2002. Code of Conduct for Responsible Fisheries, Article 7, 46 hlm.

(FAO) Food and Agricultural Organization, Fisheries Technical Paper 339. 1996. A Global Assesment of Fisheries By-catch and Discards, Rome. 233 hlm.

Kungsawan, 1996. The Thai shrimp industry, A report prepared for FAO , Hlm. 20 – 27.

Mansoben. 2003. Konservasi Sumberdaya Alam Ditinjau dari Aspek Budaya, Universitas Cendrawasih, 2003. Jayapura, 9 hlm.

Marine Work Group, Friend of the Irish Environment, Ireland. 2002. Marine Fisheries By-catch and Discards, 30 hlm.

Mulyana. 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif, PT. Remaja Rosdakarya. Januari 2002. Bandung, 78 hlm.

Mulyono S. 1996. Teori Pengambilan Keputusan. Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta. 137 hlm.

Nedelec J. C. and Prado J. 1990. Definition and Classification of Fishing Gear (Categories). FAO Fisheries Technical Paper, no. 222 Rev 1, Hlm. 41 – 55. Nikijuluw Victor P.M. 2002. Rezim Pengelolaan Sumberdaya Perikanan, Pusat Pengembangan dan Pembangunan Regional dengan PT Pustaka Cidesindo, Jakarta. 253 hlm.

(NOAA) National Oceanic and Atmospheric Administration, Library Centre. 2004. Managing the Nation's Bycatch. Priorities, Programs and Actions for The Marine and Fisheries Service. Washington, D.C. 187 hlm.

Nomura M and Yamazaki T. 1977. Fishing Techniques (1). Tokyo. Japan International Cooperation Agency, 206 hlm.

Productos Pesqueros Mexicanos. 1981. Pepepez - A New Frozen Minced Product, Report of a Technical Consultation on Shrimp By-catch Utilization in Georgetown, Guyana, 1981, Hlm. 101 – 103.

Purbayanto A. SH. Wisudo, J Santoso, RI Wahyu, Dinarwan, Zulkarnain, Sarmintohadi, AD Nugraha, DA Soeboer, B Pramono dan A Marpaung, M Riyanto. 2004. Pedoman Umum Perencanaan, Pengelolaan dan Pemanfaatan Hasil Tangkap Sampingan Pukat Udang di Laut Arafura Provinsi Papua. Jakarta. Dinas Perikanan Dan Kelautan Provinsi Papua dan PT. Sucofindo. 68 hlm.

Purbayanto A. dan Riyanto M. 2005. Pengaruh Pengoperasian Pukat Udang pada Siang dan Malam Hari terhadap Hasil Tangkapan Sampingan di Laut Arafura. Maritek, vol 5, Maret 2005. Bogor, Hlm. 16 – 21

Rangkuti, F. 2000. Analisis SWOT Teknis Membedah Kasus Bisnis. Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta, 188 hlm.

Saaty TL.1993. Pengambilan Keputusan Bagi Para Pemimpin (Proses Hierarki Analitik Untuk Pengambilan Keputusan Dalam Situasi Kompleks). (Terjemahan). PT. Pustaka Binaman Pressindo, Jakarta, 268 hlm.

Sadhotomo, B. P. Raharjo dan Wedjatmiko. 2003. Pengkajian Kelimpahan dan Distribusi Sumberdaya Demersal dan Udang di Perairan Laut Arafura. Presiding Forum Pengkajian Stok Ikan Laut. DKP. Jakarta, Hlm. 33 – 43. Sainsburry, J. C. 1986. Commercial Fishing Methods. An Introduction to Vessels

and gears. Second edition. Fishing News Books Ltd. Farnham, Surrey, England, 359 hlm.

Saisithi. 1981. Regional and Country Developments (Thailand), Report of a Technical Consultation on Shrimp By-catch Utilization in Georgetown, Guyana, 1981, hlm 143 – 146.

Slavin J.W. 1981. Utilization of the Shrimp By-Catch, Report of a Technical Consultation on Shrimp Bycatch Utilization in Georgetown, Guyana, 1981, Hlm. 21 – 28.

Subani dan Barus. 1988. Alat Penangkap Ikan Laut dan Udang di Perairan Indonesia. Jakarta. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Perikanan Laut No. 50. Departemen Pertanian, Hlm. 1 – 3.

Suhardiman, I. 2005. Atlas Indonesia dan Dunia Edisi 33 Provinsi. Penerbit Lintas Media. 2005. Jombang, 65 hlm.

Sumiono, B dan B. Sadhotomo. 1985. Perbedaan Hasil Tangkapan Pukat Udang dan Trawl di Perairan Teluk Bintuni, Irian Jaya. Jurnal Perikanan Laut No.