• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengelolaan Hasil Tangkapan Sampingan Pukat Udang

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.5 Pengelolaan Hasil Tangkapan Sampingan Pukat Udang

Slavin (1981) menjelaskan, pengelolaan hasil tangkapan sampingan sangat dipengaruhi oleh kondisi dan struktur kegiatan perikanan tangkap setempat serta kemampuan industri pengolahan ikan dalam menciptakan dan mengembangkan produk perikanan yang sesuai dengan permintaan pasar.

Menurut Alverson et al. (1994), jumlah hasil tangkapan sampingan dan perbandingan hasil tangkapan sampingan dengan target utama udang sangat tergantung pada geografi, wilayah penangkapan dan musim, untuk lebih memudahkan perhitungan digunakan perbandingan antara hasil tangkapan

sampingan dan target utama udang di daerah sub-tropis adalah 5 : 1 dan di daerah tropis adalah 10 : 1, yang terdiri dari bermacam-macam spesies maupun ukuran. Ikan-ikan besar pada umumnya banyak diminati dan harganya relatif tinggi, sedangkan ikan-ikan kecil, berduri kurang banyak diminati dan bernilai ekonomi rendah.

Selanjutnya yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana mengelola ikan hasil tangkapan sampingan secara efisien dan ekonomis agar tidak terbuang sia-sia.

Slavin (1981) dalam Report of a Technical Consultation on Shrimp

By-catch Utilization di Georgetown, Guyana, tahun 1981, menjelaskan pengelolaan

hasil tangkapan sampingan di Meksiko. Di Meksiko, kapal pukat udang dilengkapi dengan fasilitas untuk pengawetan seperti fasilitas pembekuan yang mampu menjaga kondisi kesegaran ikan sampai 2 bulan, dan ada yang hanya menggunakan es ataupun refrigerator yang mampu menahan kesegaran ikan sampai 2 minggu.

Perbandingan antara hasil tangkapan sampingan dan udang di Meksiko adalah 5 – 10 ton hasil tangkapan sampingan untuk setiap ton udang, dan setiap tahun sebanyak 700x103 ton ikan hasil tangkapan sampingan dihasilkan dari pengoperasian pukat udang. Jumlah ini setara dengan setengah dari seluruh produksi perikanan tangkap Meksiko.

Pemerintah Meksiko, melalui Departemen Perikanan memiliki program untuk menganjurkan dan mendorong agar ikan hasil tangkapan sampingan dibawa ke darat dan dimanfaatkan sebanyak-banyaknya untuk konsumsi pangan. Pada tahun 1980, telah diawali dengan membangun suatu fasilitas pengolahan skala proyek percontohan (pilot project) dengan nama Productos

Pesqueros Mexicanos (PPM) di Xochimilco yang memproduksi ikan lumat yang

disebut dengan Pepepez.

Spesies ikan-ikan besar dari ikan hasil tangkapan sampingan disalurkan ke pabrik pengolahan PPM yang berada di pelabuhan pendaratan utama, di wilayah Guaymas dan Campeche. Sementara itu ikan-ikan kecil belum dimanfaatkan seluruhnya dan sebagian dibuang ke laut (discarded). Ikan-ikan yang dimanfaatkan ditangani dengan berbagai cara, ada yang dibekukan langsung di atas kapal, ada yang dipaket dengan es, selanjutnya dibawa dan didaratkan bersama udang (tangkapan utama), dan ada yang didaratkan sebagai ikan segar untuk pangan.

Dikutip dari Productos Pesqueros Mexicanos (1981), pengolahan dan pemanfaatan hasil tangkapan sampingan di Meksiko sudah menjadi industri. Jenis produkpun terus dikembangkan, selain memproduksi pepepez, khusus untuk kebutuhan pangan lokal PPM memproduksi ikan tanpa tulang (deboned fish), ikan kering dan daging ikan lumat asin (salted mince). Disamping itu juga diproduksi ikan kaleng, kue ikan dan snack ikan. Pemerintah Meksiko terus membantu dan mengembangkan pengolahan dan pemanfaatan hasil tangkapan sampingan, dengan membangun fasilitas-fasilitas pengolahan serta memberikan insentif serta kemudahan kepada pengusaha dan ABK kapal pukat udang.

Saisithi (1981) menjelaskan, negara Thailand telah lama memanfaatkan ikan hasil tangkapan sampingan, yaitu sejak dideklarasikannya Zona Ekonomi Eksklusif 200 mil (ZEE), berawal dari deklarasi tersebut operasi armada-armada perikanan Thailand di perairan negara tetangga menjadi dibatasi. Untuk tetap dapat memenuhi permintaan pasar industri pengolahan ikan, Thailand meningkatkan pemanfaatan ikan hasil tangkapan sampingan dari perikanan pukat udang khususnya untuk konsumsi manusia.

Kungsuwan (1996) mengemukakan bahwa, di Gulf of Thailand hasil tangkapan pukat udang dikumpulkan oleh kapal pengumpul di laut. Pengusaha penangkapan udang mengatur jadwal dan lokasi pertemuan antara kapal penangkap dan pengumpul. Disamping mengumpulkan hasil tangkapan, kapal pengumpul juga membawa perbekalan dan es untuk diserahkan kepada kapal-kapal pukat udang yang berada di laut lebih lama. Hasil tangkapan utama udang dipindahkan ke kapal pengumpul, bila masih tersedia ruang maka ikan hasil tangkapan sampingan juga dipindahkan dan dibawa ke darat untuk dipasarkan.

Bostock dan Ryder (1995) menjelaskan kondisi perikanan pukat udang di pantai timur India. Sejumlah kapal pukat udang dengan berbagai ukuran beroperasi di wilayah penangkapan yang berbeda-beda di Teluk Benggala, itu berarti untuk mendaratkan ikan hasil tangkapan sampingan diperlukan fasilitas preservasi di atas kapal. Ikan-ikan hasil tangkapan sampingan yang besar dan berkualitas dikumpulkan dan dibekukan bersama-sama tangkapan utama, sementara hasil tangkapan sampingan yang terdiri dari bermacam-macam ikan kecil umumnya dibuang ke laut, hanya diakhir waktu melaut sebagian ikan-ikan kecil dipilih dan didaratkan. Kapal pukat udang di India mayoritas dimiliki oleh badan usaha milik pemerintah. Pemasaran dan penjualan ikan hasil tangkapan

sampingan dilakukan bekerjasama dengan koperasi-koperasi dan koperasilah yang menampung dan menjual ikan hasil tangkapan sampingan ke pasaran.

Allsopp (1981) menerangkan, penanganan dan preservasi di atas kapal merupakan hal yang paling kritis diantara permasalahan penanganan ikan hasil tangkapan sampingan. Volume ikan hasil tangkapan sampingan, variasi spesies dan ikan-ikan bernilai ekonomi rendah merupakan kombinasi yang menyebabkan pengumpulan ikan hasil tangkapan sampingan di laut menjadi tidak menguntungkan. Selama belum ditemukan jalan keluar bagi permasalahan keekonomisan dan efesiensi operasional pukat udang maka ikan hasil tangkapan sampingan tetap tidak menarik untuk dikelola secara komersial.

Allsopp (1981) melanjutkan, penelitian tentang pengelolaan hasil tangkapan sampingan secara ekonomis terus dilaksanakan, menggunakan BED untuk mengurangi jumlah hasil tangkapan sampingan yang dinaikkan ke atas kapal maupun membawa ikan hasil tangkapan sampingan ke darat dan memanfaatkannya. Bila pilihan adalah tidak mengurangi hasil tangkapan sampingan (tidak menggunakan BED), maka penyortiran hasil tangkapan sampingan dilakukan diatas kapal, selanjutnya mengolah ikan-ikan berkualitas di atas kapal atau didaratkan meggunakan kapal pengumpul ataupun didaratkan bersama-sama tangkapan utama udang.

Dalam Report of Technical Consultation on Shrimp By-catch Utilization ,

Guyana (Allsopp, 1981), Allsopp menjelaskan tentang beberapa negara yang mengoperasikan pukat udang dan mengelola hasil tangkapan sampingan secara komersial sebagai berikut:

Penangkapan udang di North Sea, pemisahan hasil tangkapan sampingan dilakukan di atas kapal menggunakan alat rotating shieve drum, ikan-ikan dipisahkan berdasarkan bentuk dan ukurannya. Dengan alat ini sangat memudahkan ABK dalam penyortiran dan penyimpanan. Di Baja California Mexico, penyortiran dilakukan oleh ABK, ruang palka dan ruang pendingin disediakan cukup luas. Cara ini tentunya memerlukan jumlah ABK lebih banyak dan biaya operasi lebih besar, tetapi paling tidak ikan hasil tangkapan sampingan yang didaratkan lebih banyak. Di Suriname dan Mozambique, hasil tangkapan sampingan dibuang ke laut, hanya pada hari-hari terakhir kegiatan penangkapan hasil tangkapan sampingan disortir dan ikan ikan bernilai ekonomis dibawa ke darat. Di Sri Langka dan Malaysia pada umumnya waktu melaut lebih singkat. Hasil tangkapan sampingan ditampung di dalam kantong-kantong jaring yang

terbuat dari bahan nylon. Kantong-kantong yang berisi ikan hasil tangkapan sampingan dikaitkan dikapal selanjutnya dibawa ke darat dan penyortiran dilakukan di darat yang selanjutnya dipasarkan di pasar tradisional ataupun untuk industri.

Menurut Allsopp (1981), sesungguhnya belum ada metode yang baku ataupun desain standar untuk menangani hasil tangkapan sampingan di laut, karena masing-masing tempat penangkapan memiliki karakteristik dan struktur perikanan yang berbeda-beda, ada yang menggunakan alat mekanis untuk penyortiran, ada yang menyediakan volume palka dan ruang pendingin yang lebih besar dan ada yang memanfaatkan hanya sebagaian ikan hasil tangkapan sampingan, oleh sebab itu dengan mengkombinasikan contoh-contoh di atas diharapkan diperoleh metode yang paling sesuai untuk menangani hasil tangkapan sampingan di laut.

2.6 Aspek Ekonomi dalam Pengelolaan Hasil Tangkapan Sampingan