• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hasil pengukuran peubah fisika kimia perairan di lokasi penelitian ditampilkan pada Tabel 4 berikut ini.

Tabel 4. Peubah fisika-kimia perairan di lokasi penelitian

Peubah Teluk Banten, Bojonegara* Muara Bama, Panimbang*

Substrat lumpur berpasir** pasir berlempung**

pH 7,03 - 7,5 7,0 – 8,0

Suhu (°C) 29,3 - 31 28 - 32

Salinitas (0/00) 23 - 27 25 - 36

Arus (cm/detik) 0,038 - 0,17 0,03 – 0,1

* dari 3x pengamatan ** hasil analisis segitiga Miller (Brower et al. 1990)

Hasil pengukuran kandungan Pb, Cd, dan Hg dari contoh air dan substrat di lokasi penelitian, ditampilkan pada Tabel 5.

Tabel 5. Kisaran konsentrasi logam berat perairan di lokasi penelitian

Peubah* Teluk Banten, Bojonegara**

(ppm)

Muara Bama, Panimbang** (ppm) Logam di air : Pb 0,005 - 0,053 0,01 - 0,033 Cd 0,001 - 0,023 0,005 - 0,014 Hg 0,0002 - 0,0006 0,0002 - 0,0004 Logam di substrat : Pb 0,56 - 3,88 0,150 - 0,225 Cd 0,50 – 1,30 0,125 - 0,153 Hg 0,02 - 0,06 0,020 - 0,047

*berdasarkan hasil analisis dengan metode AAS. ** dari 3x pengamatan

Kandungan logam berat daging Anadara antiquata

Hasil pengukuran kandungan logam berat pada daging kerang A. antiquata

dari Panimbang dan Bojonegara, ditampilkan pada Tabel 6.

Tabel 6. Kisaran konsentrasi logam berat pada daging A. antiquata

Logam Konsentrasi logam pada daging kerang (ppm)*

Teluk Banten, Bojonegara Muara Bama, Panimbang

Pb 0,50 – 2,50 0,125 – 0,85

Cd 1,70 – 17,60 0,125 – 0,425

Hg 0,03 – 0,05 0,02 – 0,30

*hasil analisis AAS, dari 3x pengamatan

Sebaran ukuran panjang Anadara antiquata

Pengambilan kerang A. antiquata di lokasi penelitian, memperoleh total sampel 799 ekor di Panimbang, dan 45 ekor di Bojonegara, sehingga jumlah keseluruhan (N) mencapai 844 ekor. Kisaran ukuran panjang kerang A. antiquata

di Panimbang yaitu 10,35 – 54,35 mm (rataan 18,696 ± 5,946 mm), adapun di Bojonegara berkisar 16,85 – 51,85 mm (rataan 25,87 ± 8,593 mm). Sebaran ukuran panjang A. antiquata di Panimbang berdasarkan selang ukuran panjang, ditampilkan pada Gambar 29, sedangkan populasi di Bojonegara pada Gambar 30. Secara umum tampak bahwa sampel kerang di Panimbang didominasi oleh individu berukuran kecil sampai sedang, sementara di Bojonegara lebih banyak dijumpai kerang berukuran besar.

Gambar 29. Sebaran ukuran panjang A. antiquata di Panimbang (mm)

Gambar 30. Sebaran ukuran panjang A. antiquata di Bojonegara (mm)

Pola pertumbuhan Anadara antiquata di lokasi penelitian

Hasil analisis pola pertumbuhan A. antiquata di Panimbang (Gambar 31) dan Bojonegara (Gambar 32), menunjukkan pola pertumbuhan alometri negatif karena menghasilkan nilai b < 3. Sampel di Panimbang memiliki nilai b = 2,099; dengan r2 = 0,84; sampel di Bojonegara memiliki nilai b = 1,104 dengan r2 = 0,84.

0 50 100 150 200 250 300 350 400 ju m lah in d iv id u ( e ko r)

selang ukuran panjang (mm)

0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 ju ml ah i n d iv id u ( e ko r)

Gambar 31. Pola pertumbuhan Anadara antiquata di Panimbang (N = 799)

Gambar 32. Pola pertumbuhan Anadara antiquata di Bojonegara (N = 45)

Nilai Meat Yield (MY) Anadara antiquata di lokasi penelitian

Hasil analisis nilai indeks MY sampel kerang A. antiquata dari Panimbang dan Bojonegara, ditampilkan pada Tabel 7.

Tabel 7. Nilai Meat Yield (MY) populasi A. antiquata di lokasi penelitian

Kondisi Muara Bama, Panimbang Teluk Banten, Bojonegara

Jumlah (ekor) Proporsi (%) Jumlah (ekor) Proporsi (%)

Kurus 138 17,25 4 10,26 Sedang 467 58,38 21 53,85 Gemuk 194 24,38 14 35,90 Jumlah (ekor) 799 39 y = 2.0987x + 0.0618 R² = 0.8386 0.00 0.10 0.20 0.30 0.40 0.50 0.60 0.70 0.80 0.90 1.00 0.00 0.10 0.20 0.30 0.40 0.50 0.60 0.70 0.80 Lo g p an jan g c an g kan g ( mm)

Log bobot total (g)

y = 1.1041x - 17.852 R² = 0.842 0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 p an jan g c an g kan g ( mm) bobot total (g)

PEMBAHASAN

Kualitas dan karakteristik habitat tidak dapat lepas dari pengaruh aktivitas antropogenik terlebih di kawasan pesisir perairan yang menjadi muara berbagai jenis limbah beracun dan berbahaya. Di sekitar penelitian di Panimbang dan Bojonegara banyak dijumpai aktivitas antropogenik yang berpotensi melepaskan limbah beracun berbahaya ke perairan laut, antara lain industri baja, kimia, PLTU, penyimpanan batu bara, pabrik perakitan perahu fiber, perhotelan, wisata bahari, dan sebagainya. PLTU yang ada di kawasan Panimbang, menggunakan batubara sebagai bahan bakarnya, dan limbah batubara ini merupakan pencemar utama ekosistem perairan (Rochyatun et al. 2005).

Fisika kimia dan logam berat perairan

Hasil pengukuran kondisi fisika kimia perairan di kedua lokasi penelitian, secara umum masih sesuai untuk mendukung kehidupan kerang. Pada umumnya bivalvia menyukai perairan dengan suhu 25–32,80C; pH 7–8,5; salinitas 2-350/00; DO 4–6,6 mg/L, dengan sedimen lumpur atau berpasir (Effendi 2003; Broom 1985). Berbeda dengan kimia fisika perairan yang masih layak untuk kehidupan kerang, kandungan Pb, Cd, dan Hg di kolom air, terlebih di substrat, telah melebihi batas ambang yang ditetapkan. Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No. 51 tahun 2004 tentang Baku Mutu Air Laut, khususnya untuk biota laut (Lampiran III), mencantumkan kandungan maksimal pada air laut untuk Hg 0,001 mg/L, Cd 0,001 mg/L, dan Pb 0,008 mg/L.

Peubah fisika kimia perairan di Panimbang dan Bojonegara secara umum tidak terlalu berbeda, hanya salinitas dan kandungan logam berat yang berbeda di antara kedua lokasi tersebut. Perbedaan kandungan logam berat dapat memengaruhi pertumbuhan tubuh, dan dimensi cangkang. Berdasarkan hasil penelitian ini, ukuran cangkang kerang A. antiquata di Bojonegara lebih panjang dibandingkan kerang di Panimbang. Hal ini merefleksikan pertumbuhan berlangsung dengan baik pada populasi A. antiquata di Bojonegara, walaupun habitatnya tercemar berat oleh logam Pb, Cd, dan Hg. Melewati kurun waktu lama, A. antiquata di kawasan ini dapat menyesuaikan diri terhadap pencemaran logam berat di habitatnya, mampu bertahan hidup, tumbuh, dan berkembang (bereproduksi) dengan baik. Tingginya kandungan logam berat di lingkungan akan memicu strategi adaptif pada setiap species, maupun populasi, sehubungan dengan upaya hewan untuk bertahan hidup. Salah satu bentuk strateginya adalah variasi ketebalan cangkang kerang. Kerang darah Anadara granosa di Bojonegara memiliki cangkang lebih tebal dibandingkan Anadara granosa di Panimbang, hal ini terkait dengan kandungan merkuri yang lebih tinggi di Bojonegara (Butet 2013).

Sifat toksik, maupun terurainya suatu logam di perairan, ditentukan oleh karakteristik fisika-kimia logam, maupun oleh faktor lingkungan. Faktor lingkungan yang memengaruhi toksisitas logam berat, antara lain suhu, salinitas, pH, dan DO. Salinitas lebih rendah menyebabkan toksisitas logam meningkat (Darmono 2008). Mengacu pada Tabel 2, fisika kimia perairan kedua lokasi penelitian tidak terlalu berbeda, kecuali pada salinitasnya. Salinitas perairan Bojonegara lebih rendah daripada Panimbang, hal ini memengaruhi kandungan logam berat di air maupun substrat, sebagaimana tampak pada Tabel 3. Salinitas

lebih rendah akan menyebabkan kelarutan logam-logam berat menjadi lebih tinggi, sehingga bioavailabilitas logam ke dalam tubuh kerang juga meningkat. Akibatnya kerang akan menghadapi cekaman (stress) toksisitas logam yang lebih tinggi, dan harus menyesuaikan diri dengan kondisi tersebut. Secara umum, kisaran konsentrasi Pb, Cd, dan Hg pada kolom air dan substrat di Bojonegara, lebih tinggi dibandingkan di Panimbang. Ketiga jenis logam tersebut dikenal sebagai big three heavy metals, karena sering mencemari perairan, dan memiliki toksisitas tinggi terhadap hewan maupun manusia (Chapman et al. 1998; Monperrus et al. 2005; Darmono 2008).

Bioakumulasi logam berat pada biota dipengaruhi antara lain oleh jenis logam, dan biovailibilitas logam. Logam berat di eksosistem perairan umumnya dijumpai dalam bentuk ion-ion terlarut yang mudah masuk ke sistem tubuh organisme karena memiliki bioavailabilitas tinggi (Guzman-Garcia 2009). Dibandingkan logam Pb dan Cd, logam Hg bersifat lebih toksik karena memiliki bioavailabilitas tinggi, yang memungkinnya lebih cepat masuk, dan terakumulasi di tubuh biota, selanjutnya mengalami biomagnifikasi pada tingkat trofik lebih tinggi sesuai dengan rantai makanan di ekosistem (Otchere 2003; Ravichandran 2004). Merkuri anorganik di ekosistem perairan mudah mengalami biometilasi oleh aktivitas mikroorganisme perairan yang menyebabkan spesi ini berubah menjadi merkuri organik, misalnya berupa metil merkuri (CH3Hg) yang memiliki toksisitas, afinitas, dan tingkat kelarutan lebih tinggi, terutama dalam tubuh hewan air (Suseno & Panggabean 2007; Gupta & Singh 2011).

Sebaran ukuran panjang A. antiquata

Meskipun kandungan logam Pb, Cd, dan Hg di habitat, maupun di tubuh kerang A. antiquata tergolong tinggi, namun mereka mampu bertahan hidup dengan baik di lokasi penelitian. Hal ini didasarkan pada banyaknya jumlah kerang yang terambil dalam kegiatan sampling, dan beragamnya ukuran kerang yang dijumpai. Sampel A. antiquata di Panimbang mencapai 799 ekor, sementara di Bojonegara hanya 45 ekor. Sedikitnya jumlah sampel yang diperoleh di Bojonegara, terutama disebabkan oleh keterbatasan cara pengambilan kerang yang dilakukan dengan tangan kosong (manual), sementara di Panimbang pengambilan kerang dilakukan dengan alat garok dari kapal nelayan.

Meskipun habitat A. antiquata di Bojonegara mengandung Pb, Cd, dan Hg lebih tinggi dibandingkan perairan Panimbang, namun populasi Bojonegara terlihat mampu tumbuh dan berkembang dengan baik. Hal ini didasarkan pada kisaran panjang tubuh, dan sebaran individu berdasarkan ukuran panjang. Pada bivalvia, ukuran panjang cangkang secara umum identik dengan umur hewan tersebut (Broom 1985). Sebanyak 82,22% individu A. antiquata di Bojonegara termasuk dalam kelas ukuran besar (34,35 – 54,35 mm). Hal ini menunjukkan bahwa A. antiquata dapat menyesuaikan diri dengan tingginya kandungan logam Pb, Cd, dan Hg di lingkungan, serta mampu melangsungkan pertumbuhan, sehingga menjadi individu-individu dewasa.

Pada A. antiquata di Panimbang, sebanyak 65,83% individu berada dalam kelas ukuran kecil sampai sedang (10,35 – 22,35 mm). Sebaran kelas ukuran ini merefleksikan pertumbuhan populasi tetap berlangsung, meskipun habitatnya telah tercemar Pb, Cd, dan Hg melebihi batas ambang. Indikasi hal ini adalah

banyaknya jumlah kerang muda yang menjelang masuk ukuran matang gonad pertama. Kerang bulu A. antiquata diketahui mengalami matang gonad pertama kali pada kisaran ukuran panjang 20,7–22,1 mm (Affiati 2007a).

Pada populasi Panimbang, individu berukuran kecil lebih dominan dijumpai. Intensitas penangkapan yang tinggi dengan memakai alat garok di kawasan ini, menyebabkan individu-individu berukuran kecil (kerang muda) tidak sempat tumbuh dewasa, karena terbawa oleh garok nelayan. Fenomena berbeda dijumpai di Bojonegara, dimana penangkapan kerang dilakukan dengan tangan kosong karena perairan relatif dangkal, sehingga individu-individu kerang lebih memiliki kesempatan lebih besar untuk tumbuh menjadi dewasa.

Meskipun demikian, tekanan penangkapan bukan merupakan faktor utama perbedaan ukuran morfologis A. antiquata di Panimbang dan Bojonegara. Perbedaan keragaan ukuran kerang di kedua lokasi, diduga sebagai bentuk penyesuaian diri terhadap kandungan logam berat di lingkungan masing-masing. Laju pertumbuhan dipengaruhi oleh intensitas metabolisme, termasuk dalam meregulasi logam berat. Kandungan logam berat yang lebih tinggi di Bojonegara direspon oleh A. antiquata di lokasi tersebut melalui mekanisme growth dilution

(Rainbow 2006; Balckmore & Wang 2004), yaitu terencerkannya konsentrasi logam di tubuh akibat pertambahan volume dan cairan tubuh, sehingga dapat mengurangi efek toksik logam sementara kerang bertumbuh.

Tekstur substrat lumpur berpasir yang dijumpai di Bojonegara, diduga juga lebih sesuai untuk mendukung cara hidup A. antiquata, yang membenamkan sebagian besar tubuhnya ke dalam substrat. Tekstur substrat lumpur berpasir di Bojonegara mampu mengikat logam-logam dengan lebih erat, sehingga endapan logam lebih banyak tertahan di dalam partikel susbtrat, bukan terlarut bebas di kolom air, sehingga kondisi ini akan mengurangi masuknya logam ke dalam tubuh kerang. Pola pertumbuhan alometri negatif memengaruhi dimensi cangkang kerang A. antiquata, sehingga substrat lumpur berpasir yang dijumpai di Bojonegara dapat lebih erat menahan tubuh kerang di substrat, dengan demikian kerang di kawasan ini dapat melangsungkan pertumbuhan dengan lebih baik.

Kandungan logam berat daging A. antiquata

Ion-ion logam Pb, Cd, dan Hg dapat masuk ke tubuh kerang A. antiquata

secara langsung melalui organ respirasi (insang), maupun secara tidak langsung melalui pakan yang dimakan. Mekanisme filter feeding oleh A. antiquata

menyebabkan terjadinya bioakumulasi logam-logam berat, oleh karena itu keberadaan dan kandungan logam berat dalam tubuh kerang dapat mengindikasikan kondisi pencemar di ekosistem (Hunt 2002). Mengacu pada Tabel 5, terlihat bahwa konsentrasi Pb, Cd, dan Hg dalam daging A. antiquata di Bojonegara lebih tinggi dibandingkan kerang Panimbang, terlebih pada kandungan Cd yang sangat tinggi. Temuan ini menunjukkan bahwa meskipun habitatnya tercemar berat oleh logam Pb, Hg, Cd, namun A. antiquata dapat bertahan terhadap pengaruh toksik akumulasi logam di tubuhnya, dan masih mampu melangsungkan pertumbuhan maupun reproduksi, terbukti dari beragamnya ukuran kerang A. antiquata yang diperoleh. Di lain pihak, daging kerang A. antiquata dari kedua lokasi tersebut berbahaya untuk dikonsumsi, karena tingginya kandungan logam di dagingnya. Mengacu pada SNI 01-3460-

1994, yang menyebutkan persyaratan maksimum kandungan Pb dan Hg dalam daging kerang konsumsi adalah 0,5 ppm, maka daging A. antiquata yang berasal dari hasil sampling di Panimbang dan Bojonegara telah mengandung Pb dan Cd melebihi batas ambang, sementara kandungan Hg masih di bawah batas ambang.

Pada penelitian ini, akumulasi Cd lebih banyak dijumpai pada A. antiquata

berukuran kecil. Pada Anadara scapha, akumulasi Cd lebih banyak pada individu ukuran besar (Aunurohim et al. 2006), sementara pada kerang hijau Perna viridis

dijumpi kecenderungan sama dengan A. antiquata, yaitu akumulasi Cd lebih banyak dijumpai pada individu berukuran kecil (Yap et al. 2003). Perbedaan ketahanan suatu species terhadap toksisitas logam berat, selain dipengaruhi oleh

species-specific capacity dalam merregulasi logam berat, juga ditentukan oleh bioavailabilitas dari logam itu sendiri (Yap et al. 2011; Gagne et al. 2007). Logam Pb, Cd, dan Hg besifat sangat toksik, karena sangat efektif berikatan dengan gugus sulfuhidril (SH) sistem enzim, membentuk metaloenzim dan metaloprotein, sehingga aktivitas enzim dalam sel tidak dapat berlangsung (Amiard et al. 2008; Metian et al. 2008). Species-specific capacity menunjukkan variasi khas species, meskipun pada species-species yang berkerabat dekat. Diduga hal ini terkait dengan penggunaan relung (niche), agar species dapat survive di habitatnya (Priya

et al. 2011; Gochfeld 2003).

Pola pertumbuhan A. antiquata di lokasi penelitian

Pertambahan bobot total kerang yang dikaitkan dengan pertambahan panjang cangkang, merupakan gambaran pola pertumbuhan kerang. Hasil analisis menunjukkan bahwa pertumbuhan A. antiquata di kedua lokasi penelitian memiliki pola alometri negatif, yaitu pertambahan panjang cangkang lebih cepat dibandingkan pertambahan bobot total kerang (Effendie 2003). Hasil dari penelitian ini berbeda dengan karakteristik umum genus Anadara, yang memiliki pola pertumbuhan isometri, yaitu pertambahan panjang sejalan dengan pertambahan bobot (Broom 1985). Pola pertumbuhan alometri negatif menyebabkan dimensi cangkang cenderung kurus, dan hal ini sesuai untuk jenis substrat di lokasi penelitian yang berupa lumpur berpasir (Bojonegara), sampai dengn pasir berlempung (Panimbang). Dimensi cangkang ini memudahkan kerang A. antiquata membenamkan sebagian tubuhnya ke dalam substrat, untuk mendapatkan oksigen, dan pakan, sekaligus perlindungan terhadap predator dan arus air. Kerang bulu A. antiquata memiliki byssus untuk membantu memegang substrat (Mzighani 2005).

Kandungan logam berat yang lebih tinggi di Bojonegara dibandingkan Panimbang, memengaruhi pola pertumbuhan A. antiquata di kedua lokasi tersebut. Meskipun keduanya memiliki pola pertumbuhan alometri negatif, namun koefisien regresi (nilai b) yang merefleksikan pertumbuhan relatif pada kerang di Bojonegara (b = 1,10) lebih besar dibandingkan kerang di Panimbang (b = 2,10). Hal ini mencerminkan kemampuan adaptif A. antiquata terhadap perbedaan cekaman logam berat lingkungannya.

Nilai Meat Yield (MY) A. antiquata di lokasi penelitian

Indeks MY merupakan salah satu alat ukur ekofisiologi pada kerang, dan species moluska lain, yang dieksploitasi secara komersil. Nilai MY yang baik mengindikasikan cadangan nutrien yang memadai, khususnya senyawa glikogen dan protein, serta berlangsungnya perkembangan organisme (Otchere 2003; Yildiz

et al. 2011). Hasil analisis MY populasi A. antiquata di Panimbang, menunjukkan bahwa sebagian besar sampel kerang di Panimbang dan Bojonegara memiliki nilai MY pada kategori sedang sampai gemuk (Tabel 6). Hasil ini secara umum menunjukkan bahwa A. antiquata di kedua lokasi penelitian mampu bertahan terhadap toksisitas logam berat. Metabolisme tubuh A. antiquata mampu meregulasi logam dari lingkungan yang masuk dan terkumulasi dalam tubuhnya, sehingga A. antiquata dapat menyimpan cadangan senyawa organik (terutama protein dan glikogen) yang diperlukan untuk pertumbuhan, dan melangsungkan reproduksi (Yildiz et al. 2011).

Protein, lemak, dan karbohidrat merupakan bangunan dasar tubuh organisme. Senyawaan organik tersebut senantiasa mengalami perubahan dan dihgunakan dalam metabolism organisme, untuk menghasulkan energy, dan sintesis produk-produk spesifik. Makromolekul ini, dan penilaian MY, dalam budidaya tiram perlu dipantau secara teratur, untuk menjamin keberhasilan usaha. Nilai MY pada species bivalvia dipengaruhi oleh faktor endogen (misal siklus gametogenesis), dan faktor lingkungan seperti suhu, salinitas, pH, DO dan ketersediaan pakan (Gullian & Aguirre-Macedo 2009; Yildiz et al. 2011).

SIMPULAN

1. Kolom air dan substrat di lokasi penelitian, yaitu di Muara Bama Panimbang dan Teluk Banten Bojonegara, telah tercemar logam Pb, Cd, dan Hg melebihi batas ambang yang ditetapkan. Kandungan Pb, Cd, dan Hg pada kolom air, substrat, dan daging kerang Anadara antiquata di Bojonegara, lebih tinggi dibandingkan di Panimbang.

2. Kerang Anadara antiquata di kedua lokasi penelitian memiliki pola pertumbuhan alometri negatif, berbeda dengan Anadara pada umumnya yang berupa isometri. Hal ini terkait dengan strategi adaptif Anadara antiquata pada substrat berlumpur dan berpasir, di perairan yang tercemar logam berat.

3. Secara keseluruhan, Anadara antiquata di lokasi penelitian dijumpai dalam beragam ukuran panjang tubuh. Sebanyak 65,83% individu A. antiquata di Panimbang berukuran kecil dan sedang (10,35–22,35 mm), sementara di Bojonegara sebanyak 51,11% individu berukuran besar (41,85–51,85 mm). Hal ini merefleksikan Anadara antiquata mampu melangsungkan pertumbuhan meskipun dalam cekaman pencemaran logam berat di habitatnya.

4. Kandungan Pb dan Cd pada daging Anadara antiquata di kedua lokasi telah melebihi batas ambang, sementara kandungan Hg pada daging masih di bawah batas ambang aman untuk konsumsi.

5. Sebagian besar individu Anadara antiquata di kedua lokasi penelitian memiliki nilai Meat Yields kategori sedang, mencerminkan kemampuan A. antiquata

melangsungkan metabolisme untuk pertumbuhan dan reproduksi. Walaupun mendapat cekaman logam berat, namun setelah kurun waktu lama A. antiquata

4. KARAKTERISASI PROTEIN DAN GEN METALLOTHIONEIN Anadara antiquata DENGAN INDUKSI MERKURI

ABSTRAK

Anadara antiquata yang hidup di perairan intertidal mengalami berbagai perubahan di lingkungannya, terutama berupa limbah antropogenik beracun berbahaya. Kondisi ini menimbulkan stres, yang akan dikendalikan oleh tubuh melalui sintesis seperangkat protein stres. Salah satu protein pengendali stres adalah metallothionein (MT), yaitu protein endogen yang menjerap logam berat dalam tubuh biota. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi protein MT pada A. antiquata dari perairan tercemar, serta mengkarakterisasi gen MT pada

A.antiquata yang diinduksi merkuri. Penelitian ini telah berhasil memperoleh isoform protein MT-I berukuran 5, 10, dan 25 kDa dari organ hepatopankreas, serta house-keeping gene GAPDH dan gen MT dari organ insang A.antiquata. Isolat RNA total yang diperoleh menunjukkan kuantitas baik (196 – 521 ng/µl), dengan tingkat kemurnian baik (1,884 – 2,139).

Kata kunci: metallothionein, Anadara antiquata, RNA, protein MT.

ABSTRACT

Anadara antiquata that live in intertidal area experienced various changes in its environment, especially in the form of toxic hazardous anthropogenic waste. This condition leads to stres, which will be controlled by a set of stress protein. One of the stress protein is metallothionein (MT), an endogenous proteins which able to bind heavy metals that accumulated in the body. This study aimed to identified the MT protein of A. antiquata from contaminated area, and to characterized the MT gene in A. antiquata by mercury induction. The research had succsefully identified the isoform MT-I protein (5, 10, and 25 kDa) from hepatopancreas of

A.antiquatata. The author also could amplified the house-keeping gene GAPDH and MT gene from the gills of A. antiquata. The quantity of total RNA (196–521 ng/µl), and its purity were good (1,884 – 2,139).

Keywords: metallothionein, heavy metal, Anadara antiquata, reverse transcription.

PENDAHULUAN