• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hasil Penelitian 1. Informan F (31)

HASIL DAN PEMBAHASAN

H. Hasil Penelitian 1. Informan F (31)

Bpk F (31) memaknai perkawinan sebagai beban. Hal ini disebabkan oleh tuntutan yang begitu besar dalam perkawinan masyarakat Manggarai. Tuntutan yang dimaksud ialah nilai paca sebagai mahar pernikahan yang tidak menentu dalam penerapannya. Pergeseran dari pemanfaatan kearifan lokal (ternak sebagai mahar) menuju penggunaan uang memicu perkawinan di Manggarai memberatkan.

Bpk F (31) mengungkapkan dalam beberapa pengalaman, perkawinan memang membutuhkan perjuangan. Membangun rumah tangga tidak begitu saja mudah. Orang yang memilih untuk menikah tentu harus memiliki modal—uang. Dalam adat Manggarai akhir-akhir ini, kebanyakan perjuangan yang terjadi bukan untuk membangun dan mempertahankan eksistensi keluarga barunya. Keluarga baru bekerja untuk mendapatkan uang demi membayar utang-utang pernikahan. Minimnya persiapan modal memaksa calon pengantin meminjam sejumlah uang ke berbagai ragam pihak; bisa keluarga, kenalan, bahkan bank.

Faktor lain yang mempengaruhi perkawinan di Manggarai yang memberatkan adalah tujuan perkawinan yaitu untuk mempersatukan keluarga besar kedua belah pihak yang tentunya bukanlah hal yang gampang. Syarat perkawinan juga sangat

mempengaruhi kehidupan perkawinan di Manggarai. Penerapan paca seperti di atas tidak sejalan dengan syarat perkawinan masyarakat Manggarai saat ini. Bpk F (31) juga mengungkapkan bahwa saat ini orang Manggarai lebih mementingkan upacara yang tidak terlalu mendesak seperti pesta. Pesta ini yang akan mengundang orang banyak akan menambah biaya belis. Makanya belis di Manggarai sangat besar.

2. Informan J (35)

Menurut Bpk J (35), perkawinan di Manggarai merupakan beban yang berat. Bpk J (35) merasa terbebani karena syarat atau tuntutan dan prosesi dalam perkawinan masyarakat Manggarai terhitung panjang dan rumit. Tentunya prosesi yang panjang dan rumit ini menelan anggaran yang banyak dan tenaga yang besar. Tuntutan terberat dalam perkawinan Manggarai tercermin dari paca sebagai seserahan. Paca sudah menjadi momok yang menakutkan karena paca sudah mengalami pergeseran makna dari sebagai simbol ikatan keluarga menuju kalkulasi matematis (uang). Tuntutan inilah yang menyebabkan banyak orang meninggalkan keluarga barunya untuk merantau serta menelantarkan anak dan istri di kampung halamannya.

Selain itu Bpk J (35) menambahkan, sifat perkawinan masyarakat Manggarai memiliki andil yang besar dalam kehidupan keluarga. Terlepas dari keberadaannya yang sangat diimpikan, sifat perkawinan adat masyarakat Manggarai yang mengikat dan monogami membawa petaka bagi sebagian orang. Ikatan perkawinan adat yang monogami bisa menjadi beban, karena tidak membuka ruang bagi orang Manggarai untuk mengakhiri kehidupan rumah

tangganya seandainya terindikasi gagal. Dengan kata lain, orang akan pasrah dengan situasi keluarga barunya. Situasi yang seperti ini membuat perkawinan bukan dilihat sebagai sesuatu yang sakral seperti yang dianut dalam Gereja Katolik. Sebab, situasi yang tidak kondusif dalam keluarga malahan menciptakan banyak masalah baru; seperti penelantaran dan kekerasan dalam rumah tangga. 3. Informan L (25)

Bpk L (25) memaknai perkawinan dalam masyarakat Manggarai sebagai penderitaan. Konteks perkawinan adat masyarakat Manggarai sangat mengedepankan terciptanya hubungan kekerabatan antara kedua belah pihak (hubungan baik antara keluarga besar besanan). Hal ini menjadi tujuan dari perkawinan masyarakat Manggarai selain untuk meneruskan keturunan.

Bpk L (25) menambahkan, idealnya sebuah perkawinan harus dilandaskan pada kedewasaan pola pikir. Perkawinan di Manggarai tidaklah terlalu memperhatikan faktor ekonomi dan psikologis diri saat hendak menikah. Kebanyakan, masyarakat lebih menilai segi kematangan fisik semata. Masyarakat Manggarai tidak melihat bahwa kematangan secara ekonomi sebagai salah satu indikator keharmonisan keluarga. Ketidakharmonisan ini berekses pada tindakan lain seperti kekerasan dalam rumah tangga. Jika dirujuk lagi ke depan, permintaan paca yang terlampau besar menjadi faktor utama yang dapat dijadikan alasan degradasi ekonomi keluarga-keluarga baru. Paca yang begitu besar berangkat dari budaya pesta masyarakat Manggarai saat ini.

I. Analisis

Menganalisis hasil wawancara ini, peneliti bersandar pada penelusuran fenomena menurut Heidegger seperti yang dijelaskan pada bab-bab sebelumnya. Kekuatan analisis fenomena Heidegger terletak pada kemampuannya untuk menelusuri perihal yang paling esensial dari kenampakkan suatu fenomena. Kenampakkan yang dimaksud Heidegger ialah “penampakkan penampilan” seperti yang telah diulas panjang lebar pada bab tiga. Langkah-langkah yang dipakai peneliti juga diperkuat dengan teknik analisis data Creswell. Kekuatan teknik analisis Creswell terletak pada usaha peneliti untuk membedakan wilayah data dan interpretasi peneliti. Kesadaran peneliti akan usaha Creswell mengamini cita-cita fenomenologi Heidegger maka penggabungan kedua teknik analisis data ini mampu melahirkan sebuah analisis yang tajam tentang fenomena yang diteliti.

Atas dasar seperti di atas maka peneliti menganalisis fenomena seperti berikut. Paca dalam tradisi masyarakat Manggarai jaman dahulu diterapkan pada perkawinan cangkang. Perkawinan cangkang lazim dipraktikkan oleh kaum bangsawan atau kaum dengan kondisi ekonomi sangat kuat (Bagul, 1996). Adanya penetrasi budaya (Ihromi, 2006) dari ilmu pengetahuan barat dan agama barat turut mempengaruhi pola pikir masyarakat terutama tentang perkawinan yang sehat secara genetis. Sehingga relatif pada saat ini praktik perkawinan cangkang sudah dilakukan secara luas bagi masyarakat Manggarai. Boleh dikatakan bahwa perkawinan cangkang berlaku bagi semua lapisan masyarakat adat Manggarai saat ini.

Persoalan yang muncul kemudian adalah, perspeksi paca gaya lama seperti yang diungkapkan Bagul pada bukunya tetapi tidak sejalan dengan kondisi ekonomi saat ini yang rata-rata masyarakatnya masih berada di bawah garis kemiskinan. Penetapan nilai paca berbanding terbalik dengan kondisi ekonomi calon suami. Masyarakat pada umumnya hampir bersikap abai terhadap fenomena dan kondisi ekonomi para calon suami.

Fenomena semacam ini juga diterima begitu saja oleh para calon suami. Para calon suami membentuk mindset bahwa memang seperti itulah yang harus mereka terima. Perkawinan, kemudian, dimaknai sebagai beban berat yang harus ditanggung di kemudian hari. Faktor lain yang turut memperkeruh pola pikir masyarakat Manggarai adalah gengsi (paca dilihat sebagai indikator status sosial).

Pola pikir semacam ini menciderai makna agung paca itu sendiri, yang mana dianggap sebagai pengikat hubungan kekerabatan antara keluarga besar dari pihak-pihak yang hendak menikah. Bukan tanpa alasan peneliti mengungkapkan hal ini, terbukti dari penulusuran atas hasil analisis data yang menunjukkan bahwa perkawinan dimaknai sebagai beban.

Bpk F (31) 51-53,”Namun kadang kala orang terbebani gara -gara dengan beban yang begitu tinggi dengan segala macam anggarannya.” Bpk J (35) 341-343, “Belis jangan terlalu membebankan atau bahkan membuat keluarga yang baru berantakan.” Bpk L (25), 216-228,”Yang namanya belis seperti yang saya lihat sekarang belis ini sudah berbeda dengan yang dulu. Ya mungkin pengaruh perkembangan jaman... yang namanya belis itu sebenarnya tidak boleh terlalu menuntut dan jatuhnya memberatkan.”

Perkawinan dimaknai sebagai perjuangan karena syarat paca yang tinggi. Tuntutan paca yang tinggi tentu memaksa (keluarga) calon suami untuk berusaha semaksimal mungkin memenuhi tuntutan permintaan tersebut. Berkaitan dengan

tuntutan seperti ini, orang Manggarai menggalang kerja sama dengan berbagai cara; entah dengan melakukan peminjaman uang dalam bentuk kumpul kope (patungan keluarga besar pria) atau dengan uang tabungan sendiri si pengantin pria, atau jalur ekstrim meminjam uang ke bank. Perjuangan yang dilakukan pun untuk memenuhi paca yang pada dasarnya bersifat sementara; yaitu memenuhi kebutuhan saat upacara perkawinan berlangsung. BpkF (31), 36-44:

”Berjuang dengan segala daya upayanya supaya e...perkawinan itu berjalan dengan baiklah, meriah, dan lain-lain sebagainya. Jadi orang dengan segala kemampuannya entah dengan melibatkan orang lain (menggerakkan tangan ke arah kanan luarnya) atau dengan perjuangannya sendiri (Sambil mengeluskan dadanya sendiri) intinya bahwa dia begitu getol untuk memperjuangkan.”

Perkawinan juga dimaknai sebagai tantangan bagi suami pada masyarakat Manggarai. Ditegaskan lagi, perkawinan masyarakat Manggarai bukan sekedar dituntut untuk membangun relasi antara dua orang yang hendak menikah saja tetapi untuk membangun hubungan kekerabatan antara kedua keluarga besar. Tidak mengherankan jika ada begitu banyak biaya yang harus digunakan untuk melangsungkan ritual perkawinan mengingat banyaknya keluarga besar yang terlibat dalam ritual perkawinan. Inilah yang menjadi tantangan dalam perkawinan masyarakat Manggarai yaitu untuk menyatukan kedua keluarga besar ini. BpkF (31), 282-284, “Dan itu memang sebuah tantangan besar bagi seorang yang hendak untuk masuk ke ranah dan tahap perkawinan. Begitu.”

Paca sudah menjadi momok yang menakutkan bagi suami pada masyarakat Manggarai. Pemaknaan perkawinan sebagai sebuah kesengsaraan ditengarai akibat dari mahar yang begitu tinggi. Paca yang tinggi menuntut pria

yang hendak menikah untuk berjuang mencari uang guna memenuhi paca yang begitu tinggi. Memenuhi hal ini, mereka yang menikah secara tidak langsung atas nama tradisi adat yang dianutnya membuka lembar utang dalam kehidupannya. Usai menikah, yakni saat tinggal dalam lembaga sakral (keluarga) yang baru, mereka bekerja banting tulang untuk membayar utang yang telah mereka adakan saat membiayai ritus perkawinan. Bpk J (35), 207-210, “Kembali lagi tadi perkawinan yang belisnya besar membuat mereka kerja banting tulang untuk membayar lagi utang-utang belis yang membuat mereka sengsara.”

Suami-suami di Manggarai mengamini perkawinan dalam konteks budaya masyarakat Manggarai yakni mengedepankan hubungan kekerabatan keluarga besar kedua belah pihak yang hendak menikah itu tercipta. Membangun relasi kelurga besar bukanlah hal yang sepele mengingat begitu banyak hal yang diperhatikan dalam membangun relasi kekerabatan dalam skala besar. Upaya menyatukan tersebut melibatkan tenaga dan pikiran yang maksimal untuk menyatukan pemikiran-pemikiran dari dua kelompok yang berlatar belakang berbeda. Hal ini yang menjadikan orang Manggarai memaknai perkawinan sebagai kesulitan. Terlebih lagi jika hal ini tidak didukung oleh kualitas SDM (Sumber Daya Manusia) yang memadai. Bpk L (25), 46-51:

“Iya kraeng jangan ketawa ini memang kenyataan saat ini. Yang namanya nikah itu kan sebenarnya bukan hanya menyatukan dua pribadi iya kan? Ha’am tapi bagaimana mereka bisa menyatukan kedua keluarga besar. Itu yang sulit untuk menikah.”

Suami pada masyarakat Manggarai merasa bahwa paca sifatnya memaksa. Keluarga pihak perempuan dalam adat Manggarai biasanya semena-mena dalam menentukan besaran paca. Angka yang sangat fantastis sudah tidak asing lagi di

telinga orang Manggarai. Sifat ini juga bagi suami di Manggarai merupakan cikal bakal penderitaan di balik sakralnya perkawinan. Suami di Manggarai memaknai perkawinan sebagai penderitaan sehingga relatif suami di Manggarai merasa bahwa perkawinan itu tidak membahagiakan. Bpk L (25), 229-233, “Ya belis itu tidak boleh terlalu memaksa karena begini dengan belis yang sangat tinggi akan membuat hidup dari anak kita yang akan berkeluarga itu menderita.”

Sejurus dengan Heidegger maka makna yang tampak pada analisis di atas menyembunyikan makna yang hakiki. Heidegger mengungkapkan bahwa hal paling hakiki dari sebuah fenomena biasanya memiliki tampilan lain (Ryanto, 2001). Peneliti sadar bahwa berdasarkan analisis di atas perasaan yang timbul pada masyarakat Manggarai saat ini merupakan tampilan lain dari sebuah makna yang sebenarnya. Makna perkawinan di atas sebenarnya menjurus pada makna konotasi dari perkawinan. Pemaknaan perkawinan suami pada masyarakat desa di Manggarai sangat apik dirangkai sedemikian rupa sehingga terkesan pihak laki-laki dirugikan. Paca menjadi tema utama bagi suami masyarakat Manggarai dalam memaknai perkawinan.

Tema ini cukup jelas dalam mendeskripsikan makna perkawinan dalam cara pandang mereka. Perkawinan merupakan simbol untuk menjelaskan kelas sosial; dan untuk mengetahui hal ini lebih lanjut akan dijelaskan secara rinci pada subbab pembahasan.

J. Pembahasan

Perkawinan merupakan peristiwa sosial yang sangat penting pada masyarakat Manggarai. Gordon (1975) dalam penelitiannya mengungkapkan

bahwa perkawinan bagi masyarakat Manggarai tidak hanya sekedar sebagai peubah status sosial—sebagai proses yang menunjukkan seseorang sudah mampu melewati usia dewasa awal menuju usia dewasa lanjut—kedua mempelai saja tetapi lebih kepada penentuan peran dan kedudukan keluarga besar kedua mempelai. Perkawinan bagi masyarakat Manggarai selalu dikaitkan dengan hubungan woeneluyang berarti hubungan kekeluargaan akibat dari perkawinan. Melalui perkawinan, keluarga mempelai laki-laki akan disebut sebagai keluarga anak wina (wife-receiver), sedangkan untuk pihak mempelai perempuan disebut anak rona (wife-giver) atau lebih lazim didengar dengan istilah terberi-pemberi dan status ini akan bertahan dan diteruskan secara turun temurun (Gordon, 1975).

Menelisik situasi perkawinan sebagaimana dijelaskan di atas maka perkawinan bagi suami pada masyarakat Manggarai merupakan hal yang sifatnya sakral. Dengan demikian, perkawinan dapat diibaratkan dengan pedang bermata dua; perkawinan dapat dimaknai sebagai tantangan dan peluang. Makna perkawinan seharusnya bisa diarahkan pada makna yang lebih positif. Akan tetapi, makna yang ditemukan dalam hasil penelitian ini berkonotasi negatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perkawinan menurut suami pada masyarakat Manggarai dimaknai sebagai gaya hidup bukan sebagai panggilan hidup untuk membentuk lembaga terhormat yang sering disebut keluarga.

Perkawinan dengan kata lain sudah dianggap sebagai simbol yang menunjukkan kelas sosial seseorang dalam kelompok masyarakat dan ini yang menjadi bencana besar bagi kelompok masyarakat yang belum siap secara sosial,

ekonomi, dan budaya. Simbol yang dimaksud peneliti di sini menjurus pada satu tahap perkawinan masyarakat Manggarai yaitu paca (seserahan).

Jelas dalam pengakuan semua informan tentang hal ini semisal informan (F, 381-391):

“Status sosial di Manggarai sangat berpengaruh dalam artian kita bisa melihat siapa si wanita apa title-nya (saat ini dia senyum) dan kita bisa menentukan atau orang sudah bisa mencapai target kalau statusnya si perempuan begini maka sekitar beginilah biayanya. Dan itu biasanya dua puluh juta dua puluh lima juta atau bahkan jauh lebih tinggi dari angka yang saya sebutkan. Apalagi kalau misalnya si wanita lebih tinggi lagi dia punya ini kan status sosialnya pasti lebih mahal lagi biayanya.” (J, 140-143), “pengaruh di Manggarai kental sekali dengan belis, terlebih dengan orang yang memiliki apa namanya e status sosial yang begitu tinggi.” (L, 311-318) juga mengungkapkan demikian: “artinya perkawinan di Manggarai sudah terlampau jauh dari yang sebenarnya. Karena dalam artian sebenarnya belis kalau diterjemahkan dalam bahasa manggarai yaitu pat kaba ca jarang yang berarti hanya dengan empat ekor kerbau dan satu ekor kuda saja sudah. Bukan uang yang berpuluh-puluh juta.”

Selain informan dalam penelitian ini yang merasakan hal tersebut, pada penelitian sebelumnya di Manggarai: Patut(2013), Pahun (2012), dan Jilung(2013) mengungkapkan hal yang sama yakni belis sudah mengalami pergeseran makna dari kearifan lokal menuju kalkulasi matematis (dari hewan dan tanah warisan menjadi transaksi jual-beli). Belis untuk perempuan Manggarai saat ini berkisar antara 50-500 juta rupiah tergantung graduasi pendidikan perempuan yang akan diperistri mempelai laki-laki. Kalkulasi-kalkulasi seperti ini yang dimaksud dengan perhitungan matematis, lebih mengedepankan angka (uang) ketimbang hakikat dasar belis yaitu sebagai simbol pengikatan keluarga besar kedua mempelai.

Tentu angka ini dinilai sangat fantastis mengingat pertumbuhan ekonomi masyarakat Manggarai berada di bawah garis kemiskinan. Hal ini tidak sejalan dengan kondisi riil ekonomi masyarakat manggarai itu sendiri. Data kepala keluarga miskin di Manggarai (dalam Marut, 2008) menunjukkan kepala keluarga miskin sebesar 67% dari total keseluruhan kepala keluarga yang ada di Manggarai.

Pada kelompok masyarakat lain di NTT juga seakan melanggengkan budaya belis yang sudah menyetubuhi harkat dan martabatnya sendiri. Tatengkeng (2009) dalam karyanya mengungkapkan bahwa dalam masyarakat suku Dawan di NTT pada mulanya belis memiliki makna yang lebih positif akan tetapi belis yang sangat tinggi mampu membawa efek yang negatif. Efek negatif yang paling dirasakan oleh masyarakat Dawan terdapat pada dinamika psikologi perempuan Dawan. Perempuan Dawan yang sudah menikah merasa tidak bahagia dengan perkawinannya, depresi, dan mereka cenderung cepat marah. Dinamika psikologis seperti ini disebabkan oleh perbedaan antara ekspektasi mereka atas belis yang tinggi berbeda dengan kenyataan yang mereka alami.

Penelitian Banfatin (2012) melaporkan bahwa dalam perkawinan adat masyarakat etnis Sikka di Kota Kupang menempatkan mas kawin (belis) sebagai hal yang penting karena memiliki makna sebagai simbol penghargaan dan pengakuan kepada harkat dan martabat seorang perempuan. Akan tetapi dalam kenyataan sekarang praktik pembayaran belis sudah tidak dilakukan sebagaimana mestinya sehingga menimbulkan pemahaman baru yang negatif dalam masyarakat yaitu menyalahkan adat istiadat. Faktor-faktor dominan yang mempengaruhi

pergeseran makna belis dalam masyarakat suku Sikka adalah simbol prestise, nilai ekonomi dari benda-benda belis.

Penelitan Lembaga Penelitan SMERU, dari bulan Oktober hingga Desember 2006, belis menjadi beban dan salah satu tantangan pembangunan di Nusa Tengara Timur (NTT). Tingginya nilai belis ditengarai menjadi salah satu faktor yang menggangu kesejahteraan masyarakat NTT karena keluarga mempelai laki-laki cenderung berusaha mempertahankan gengsi dan martabat sehingga tidak jarang belis yang diminta akan diserahkan sesuai ketentuan yang disepakati.

Beberapa penelitian di atas mengungkapkan bahwa dinamika perkawinan masyarakat NTT sangatlah jamak. Terlepas dari hasil penelitian-penelitian di atas penelitian ini juga mendapatkan dinamika baru dalam perkawinan bagi suami pada masyarakat Manggarai. Perkawinan di Manggarai dijadikan ajang unjuk kelas sosial. Bpk F (31), 381-391; Bpk J (35) 140-143; dan Bpk L (25) 311-318, mengungkapkan bahwa title (tingkat pendidikan) perempuan akan menentukan besaran paca. Selain itu munculnya budaya pesta dalam kehidupan masyarakat Manggarai turut mendorong permintaan paca begitu tinggi. Bpk F (31) 64-72 mengungkapkan,

“Itukan lebih mementingkan aspek kemeriahan. Tapi dibalik itu sebenarnya dalam hati terdalam orang mungkin akan merasa terbebani dengan bahwa kendati pun pesta telah usai pernikahan sudah dilaksanakan tapi orang terbebani dengan beban dari segi material lah dari segala tanggung jawab yang lain itu bisa jadi sebuah beban (menganggukkan kepalanya beberapa kali).”

Bpk L (25) 329-332 juga mengungkapkan, “. Nah, sekarang yang bikin paca itu pemintaannya sangat besar karena adanya keinginan bikin-bikin pesta ikut gaya orang kaya e.

Baudrillard menyebut fenomena paca dengan jumlah nominal yang sangat fantastis (bergerak dari 20 juta hingga 200 juta) untuk dihambur-hamburkan seperti ungkapan informan seperti di atas disebut sebagai budaya konsumtif. Manusia tidak memaknai objek berdasarkan kegunaan tetapi berdasarkan prestisius. Fenomena paca pada saat ini tidak sesuai dengan fungsi paca pada dasarnya sebagai pengikat hubungan kekerabatan. Kelahiran budaya konsumtif seperti ini akibat dari konstruksi budaya lokal yang tercemar dengan ideologi kapitalisme. Budaya kapitalisme dengan brutal menyetubuhi martabat budaya lokal yang terkenal mengedepankan kehidupan sosial (Ule, 2011).

Makna perkawinan sebagai simbol kelas sosial menurut suami pada masyarakat Manggarai merujuk pada budaya paca. Paca dianggap sebagai simbol penunjuk kelas sosial dan sebenarnya hal ini sudah ada sejak nenek moyang orang Manggarai mengenal sistem perekonomian modern dan strata sosial. Hal ini bisa ditelusuri melalui jenis perkawinan yang dianut masyarakat Manggarai seperti yang sudah dijelaskan pada bab satu bahwa perkawinan masyarakat Manggarai terdiri atas perkawinan cangkang, tungku, dan cako di mana perkawinan cangkang dianggap perkawinan kaum berada (keturunan raja) karena perkawinan ini sifatnya menikah dengan suku lain yang tidak memiliki hubungan darah sehingga paca-nya besar dan saat itu kaum ber-ada-lah yang memiliki kemampuan untuk membayar paca dengan jumlah yang fantastis (Toda, 1999) sehingga praktis perkawinan cangkang adalah perkawinan orang kaya.

Akselerasi informasi pengetahuan dan teknologi turut mengambil peran penting dalam mempengaruhi orang Manggarai untuk mempertimbangkan praktik

perkawinan cako dan tungku. Berdasarkan pada ajaran Gereja katolik dan berdasarkan studi biologi perkawinan cako dan tungku diharamkan sehingga praktis perkawinan di Manggarai rata-rata perkawinan cangkang. Ketika perkawinan cangkang lazim dipraktikan dengan bertujuan untuk menghindari kelainan biologis dan tidak sejalan dengan perubahan makna dari jenis perkawinan ini justru menjadi “senjata makan tuan” bagi masyarakat Manggarai itu sendiri saat ini.

Paca pada dasarnya diberikan oleh pihak laki-laki sebagai anak wina (wife receiver) kepada anak rona (wife-giver). Alasan laki-laki membayar paca karena setelah prosesi perkawinan dilakukan akan diadakan upacara podo (mengantar pengantin perempuan pada keluarga pengantin laki-laki) yang berarti keberadaan perempuan sudah sah menjadi bagian dari keluarga laki-laki. Hal ini wajar karena masyarakat adat Manggarai bercorak patriarkal (Nggoro, 2006). Keberadaan paca dalam budaya patriarkal sangat sensistif terutama menyangkut isu gender. Paca dalam budaya orang Manggarai seakan-akan menelanjangi martabat perempuan. Isu gender ini mempengaruhi tatanan kehidupan sosial terutama status sosial seseorang. Status sosial sebagai suami juga sering terjebak dalam isu gender yang berlaku dalam rumah. Praktik pelegalan atas pelucutan terhadap harga di perempuan belum disadari secara utuh bahwa terlahir dari kaum minoritas (perempuan) juga.

Perlu disadari bahwa paca tidak bisa disalahkan sepenuhnya pada pihak anak wina (kelompok pengantin laki-laki) tetapi juga dari pihak yang anak rona (kelompok pengantin perempuan) karena dalam proses memberi-menerima untuk

paca itu sendiri melalui tahap perembukan untuk menentukan angka yang ditetapkan. Sikap arogan dari kedua belah pihak akan menentukan paca yang disepakati bernilai fantastis dan tidak manusiawi lagi. Jika kedua belah pihak masing-masing menyadari paca dalam konteks perkawinan masyarakat

Dokumen terkait