• Tidak ada hasil yang ditemukan

Makna perkawinan bagi suami pada masyarakat Manggarai.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Makna perkawinan bagi suami pada masyarakat Manggarai."

Copied!
151
0
0

Teks penuh

(1)

Yohanes Efremi Ngabur

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengungkapkan makna dan dinamika perkawinan pada suami masyarakat desa di Manggarai. Penelitian ini diadakan di desa Kole, kecamatan Satarmese Utara, Manggarai, Nusa Tenggara Timur dengan jumlah informan tiga orang serta kisaran usia antara 25-35 tahun dan semuanya berjenis kelamin laki-laki. Penelitian pendekatan kualitatif ini menggunakan metode fenomenologi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa laki-laki yang menjadi suami pada masyarakat Manggarai memaknai perkawinan sebagai simbol prestise atau perkawinan dimaknai sebagai penunjuk kelas sosial. Perkawinan bukan lagi sebagai lembaga sakral yang mampu menciptakan hubungan kekerabatan yang baik antara keluarga besar pria dan perempuan. Makna perkawinan seperti ini muncul akibat dari sikap arogan atau sikap sombong yang ada dalam diri masyarakat Manggarai itu sendiri. Informan dalam mengungkapkan makna perkawinan sebagai ajang penunjukkan kelas sosial tidak diungkapkan secara langsung. Peneliti menemukan makna tersebut dengan menelusuri dinamika perkawianan berdasarkan pengalaman akan perkawinan yang informan rasakan seperti membebankan, menyengsarakan, penderitaan, perjuangan, kesulitan, dan tantangan akibat dari paktik tradisi paca dalam tubuh budaya masyarakat Manggarai itu sendiri yang sudah bergeser dari pembentuk hubungan kekerabatan menuju ajang uji kelas sosial.

(2)

Yohanes Efremi Ngabur

ABSTRACT

This research is aimed to reveal the meaning and the marriage dynamics to the villagers in Manggarai. It was conducted in Kole village, North Satarmese, Manggarai, East Nusa Tenggara to three male respondents on ages range between 25-35 years old. The study is a qualitative approach using the phenomenological method. The results show that the Manggarai community interprets marriage as a symbol of prestige or marriage as a label of social class. Marriage is no longer a sacred institution to create a kinship within the man’s family and the woman’s family. This sense of marriage appears as a result from arrogance that exists in Manggarai community itself. The respondents did not directly expressing the meaning of marriage as a social class labeling. The researcher found this signification by exploring the dynamics of marriage based on the feel of respondents’ marriage experiences such as burden, misery, suffering, struggle, difficulty, and challenge as the results of paca tradition in the part of Manggarai cultural itself which has shifted from forming an alliance to the social class labeling.

(3)

MAKNA PERKAWINAN BAGI SUAMI PADA MASYARAKAT MANGGARAI

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Disusunoleh:

Yohanes Efremi Ngabur (109114101)

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI, JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

(4)
(5)
(6)

iv

HALAMAN MOTTO

“Sesungguhnya pikiran manusia mampu mengendalikan

semesta tergantung bagaimana manusia secara arif

(7)

v

HALAMAN PERSEMBAHAN

Dengan penuh syukur saya persembahkan karya ini kepada:

Tuhan Yesus dan Bunda Maria

Kedua orang tua tercinta

Kakak-kakak dan adik-adik tersayang

Sahabat dan teman-teman terkasih, dan

(8)
(9)

vii

MAKNA PERKAWINAN BAGI SUAMI PADA MASYARAKAT MANGGARAI

Yohanes Efremi Ngabur

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengungkapkan makna dan dinamika perkawinan pada suami masyarakat desa di Manggarai. Penelitian ini diadakan di desa Kole, kecamatan Satarmese Utara, Manggarai, Nusa Tenggara Timur dengan jumlah informan tiga orang serta kisaran usia antara 25-35 tahun dan semuanya berjenis kelamin laki-laki. Penelitian pendekatan kualitatif ini menggunakan metode fenomenologi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa laki-laki yang menjadi suami pada masyarakat Manggarai memaknai perkawinan sebagai simbol prestise atau perkawinan dimaknai sebagai penunjuk kelas sosial.Perkawinan bukan lagi sebagai lembaga sakral yang mampu menciptakan hubungan kekerabatan yang baikantara keluarga besar pria dan perempuan. Makna perkawinan seperti ini muncul akibat dari sikap arogan atau sikap sombong yang ada dalam diri masyarakat Manggarai itu sendiri. Informan dalam mengungkapkan makna perkawinan sebagai ajang penunjukkan kelas sosial tidak diungkapkan secara langsung. Peneliti menemukan makna tersebut dengan menelusuri dinamika perkawianan berdasarkan pengalaman akan perkawinan yang informan rasakan seperti beban, kesengsaraan, penderitaan, perjuangan, kesulitan, dan tantangan akibat dari paktik tradisi paca dalam tubuh budaya masyarakat Manggarai itu sendiri yang sudah bergeser dari pembentuk hubungan kekerabatan menuju ajang uji kelas sosial.

(10)

viii

THE MEANING OF MARRIAGE FOR A HUSBAND IN MANGGARAI SOCIETY

Yohanes Efremi Ngabur

ABSTRACT

This research is aimed to reveal the meaning and the marriage dynamics to the villagers in Manggarai. It wasconducted in Kole village, NorthSatarmese, Manggarai, East Nusa Tenggarato three male respondents on ages range between25-35years old.The studyisa qualitative approachusingthe phenomenologicalmethod. The results show thatthe Manggarai communityinterpretsmarriageas a symbolof prestigeormarriageas a label ofsocial class. Marriage isno longer asacredinstitution to createa kinshipwithinthe man’s familyandthe woman’s family.This sense of marriage appears as a result fromarrogance that exists inManggarai communityitself. The respondents did not directly expressing the meaning of marriageas asocial class labeling. The researcher foundthis signification byexploringthe dynamics ofmarriagebased on the feel of respondents’ marriage experiences such as burden, misery, suffering, struggle, difficulty, and challengeas the resultsofpaca tradition in the part of Manggarai cultural itself which has shifted fromformingan allianceto the social class labeling.

(11)
(12)

x

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala berkat dan

rahmat-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Makna

Perkawinan Bagi Suami pada Masyarakat Desa Kabupaten Manggarai” sebagai

salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Psikologi pada Program Studi

Psikologi, Fakultas Psikologi, Universitas Sanata Dharma. Penulis akui bahwa

dalam seluruh proses penulisan skripsi ini terdapat banyak kendala, namun berkat

dukungan, doa, dan semangat serta bantuan dari berbagai pihak baik langsung

maupun tidak langsung, skripsi ini bisa terselesaikan. Oleh karena itu, secara

khusus penulis ingin berterima kasih kepada:

1. Bapak Dr. Priyo Widiyanto, selaku Dosen Pembimbing Akademik.

2. Bapak Dr. Y.B. Cahya Widiyanto, M.si selaku dosen pembimbing

skripsi yang sudah bersedia menjadi partner diskusi dan beliau

memberikan banyak masukan yang sangat berharga bagi penulis.

3. Dosen dan staff sekretariat Fakultas Psikologi, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.

4. Kedua orang tuasaya Belasius Ngabur dan Elisabeth Rembung serta

kakak-kakak saya Fransiska Dinarti Ngabur, Elfridus Brekmans

Ngabur, dan adik saya Stefania Natalia Ngabur yang selalu mendukung

(13)
(14)

xii DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ………...i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ………..……..ii

HALAMAN PENGESAHAN ………iii

HALAMAN MOTTO ……….iv

HALAMAN PERSEMBAHAN ………..v

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ………vi

ABSTRAK ………...vii

ABSTRACT ………..viii

HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ………ix

KATA PENGANTAR ……….………...…..x

DAFTAR ISI ………....xii

BAB I ………..………1

PENDAHULUAN ………..1

B. Latar Belakang ………..………2

C. Rumusan Masalah ………13

D. Tujuan Penelitian ………13

E. Manfaat Penelitian ………13

1. Manfaat teoritis ………13

2. Manfaat praktis ………13

a. Untuk masyarakat Manggarai ………13

b. Untuk pemerintah ………14

(15)

xiii

KAJIAN PUSTAKA ………15

A. Perkawinan ………16

1. Pengertian ………16

2. Keabsahan ………17

3. Syarat dan Larangan ………18

4. Tujuan ………18

B. Masyarakat Manggarai ………19

1. Religi ………20

2. Sistem Organisasi Sosial atau Kemasyarakatan ………20

3. Sistem Perkawinan Adat Manggarai ………20

a. Cangkang ………20

b. Tungku ………21

c. Cako ………21

4. Ilmu Pengetahuan ………22

5. Bahasa ………22

6. Kesenian ………23

7. Sistem Mata Pencaharian atau Ekonomi ………24

8. Teknologi ………25

C. Makna ………27

1. Makna dalam konteks Fenomenologi ………27

a. Definisi ………27

b. Sejarah ………29

(16)

xiv

2. Tradisi ………30

3. Logos ………32

D. Budaya ………35

1. Definisi ………35

2. Pengertian ………36

3. Cara pandang terhadap kebudayaan ………37

a. Kebudayaan Sebagai Peradaban ………37

b. Kebudayaan sebagai sudut pandang umum ………39

c. Kebudayaan sebagai Mekanisme Stabilisasi ………40

4. Penetrasi kebudayaan ………40

E. Kerangka Berpikir ………40

BAB III ………41

METODE PENELITIAN ………41

A. Paradigma dan Pendekatan Penelitian ………41

B. Fokus Penelitian ………48

C. Prosedur dan Tahapan Penelitian ………48

1. Prosedur Penelitian ………48

a. Infoman ………48

b. Populasi dan Sampel ………49

2. Tahap Penelitian ………49

(17)

xv

b. Tahap pelaksanaan penelitiaan ………50

D. Teknik Pengumpulan Data ………50

1. Wawancara Semi-terstruktur ………51

E. Kredibilitas Penelitian ………53

F. Teknik Analisis Data ...54

BAB IV ………56

HASIL DAN PEMBAHASAN ………56

A. Pelaksanaan Penelitian ………56

1. Informan ………56

2. Tempat dan Lokasi ………56

3. Waktu Penelitian ………57

B. Hasil Penelitian ………57

C. Analisis ………60

D. Pembahasan ………65

E. Keterbatasan Penelitian ………71

F. Kerangka Berpikir Hasil Penelitian …………..………..72

BAB V ………73

(18)

1 BAB I PENDAHULUAN

Perkembangan budaya sangatlah cepat. Relasi yang intens antara budaya

dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi menjadikan budaya begitu cair

dan lentur. Penelitian ini menggunakan pendekatan fenomenologi Martin

Heidegger. Hal ini ditetapkan berdasarkan pada konsep fenomenologi Heidegger

yang dengan berani secara radikal memahami hakekat dari realitas tanpa terjatuh

pada asumsi-asumsi yang dimiliki ilmuwan atau peneliti sebelumnya.

Fenomenologi Heidegger mencoba menelusuri makna yang tersembunyi dari

fenomena yang ada—destruksi fenomenologis—dalam hal ini fenomena

perkawinan pada masyarakat desa di Manggarai.

Penelitian ini bertujuan mendeskripsi makna perkawinan bagi suami pada

masyarakat Manggarai. Manggarai menjadi destinasi utama dalam penelitian ini

berangkat dari keunikan jenis perkawinannya. Selain jenis perkawinan yang unik,

Manggarai juga kental dengan tradisi paca. Penerapan tradisi pacadalam perkawinan orang Manggarai tidak terlepas dari isu budaya patriarki. Budaya

patriarki mampu membawa beberapa pengaruh buruk seperti masalah sosial,

(19)

A. Latar Belakang

Peneliti sadar dalam kontestasi budaya global ini mobilitas masyarakat

semakin tinggi, percepatan alur kebudayaan semakin tidak bisa dilihat dengan

model angka-angka kuantitatif. Kondisi ini menjadikan model penelitian kualitatif

semakin dijadikan arus utama dalam melihat kondisi sosial di masyarakat.

Kemampuannya menghasilkan produk analisis yang mendalam sejalan dengan

alur dan setting-nya, diakui sebagai paradigma yang patut diperhitungkan dalam rangka melihat, mengatahui dan menghadirkan refleksi bagi kajian budaya pada

konteks zamannya. Beberapa metode penelitian berbasis paradigma kualitatif ini

diantaranya adalah fenomenologi, analisis wacana, studi kasus, semiotik dan

etnografi (Parker, 2005).

Penelitian ini berada pada alur psikologi humanistik. Para psikolog yang

berorientasi humanistik mempunyai satu tujuan yakni ingin memanusiakan

psikologi. Mereka ingin membuat psikologi sebagai studi tentang “apa makna

hidup sebagai seorang manusia”. Mereka berasal dari berbagai latar belakang dan

keyakinan yang beragam misalnya Brentano yang berusaha membagi dua jenis

psikologi; genetik dan deskriptif. Kebijaksanaan Brentano dimanfaatkan secara

baik oleh Edmund Husserl. Usaha Husserl menjadikan fenomenologi sebagai

pendekatan penelitian diteruskan oleh muridnya Martin Heidegger.

Peneliti dalam menganalisis hasil wawancara menggunakan metode

fenomenologi Martin Heidegger.Destruksi fenomenologis merupakan konsep

dasar fenomenologi Heidegger yang menempatkan metode fenomenologi

(20)

(Palmer, 2005). Konsepsi ini menunjukkan bahwa pengalaman atau tindakan

selalu ada dalam realitas dunia. Artinya makna hadir dan dihadirkan oleh para

pelaku tindakan bergantung bagaimana konteks tindakan dengan realitasnya.

Kontekstualisasi tindakan dengan kehadiran makna menempatkan posisi

fenomenologi sebagai pola penelusuran atau investigasi makna dan kelahiran

makna.

Kehadiran suatu realitas baru bukan serta merta ada dengan sendirinya,

tetapi logika kita akan mempertanyakan realitas baru tersebut dengan pertanyaan

kenapa itu menjadi, maka penelusuran terhadap hal-hal yang menjadikan suatu

realitas baru itu yakni dengan cara melacak proses menjadi sebagai pengungkapan

makna yang berhubungan dengan konteks makna itu dihadirkan. Ini merupakan

konsekuensi dari gejala yang timbul kepermukaan dari realitas sosial

(Puspoprodjo, 2005).

Fenomenologi berusaha untuk memahami segala sesuatu apa adanya.

Usaha ini diikuti dengan ketegasan fenomenologi yang tidak mau terjatuh pada

asumsi-asumsi ilmuwan sebelumnya. Membagi wilayah data dan wilayah

interpretasi peneliti menjadi kunci utama dalam fenomenologi. Fenomenologi

menjadi satu alternatif dari keterikatan ilmu psikologi Indonesia saat ini pada

penelitian kuantitatif (Watimenna, 2008). Pada penelitian ini, fenomenologi

Martin Heidegger menjadi tonggak utama. Pokok-pokok pemikiran Heidegger

ialah fenomenologi sebagai hermeneutik, hakikat pemahaman, dunia dan

(21)

dan interpretasi, dan kemustahilan ketiadaan pra-asumsi interpretasi (Watimenna,

2008).

Pokok-pokok pemikirannya di atas mengantar Heidegger pada apa yang

disebut kenampakkan. Kenampakan ini muncul dari usahanya menelusuri akan

makna ada. Peneliti sadar bahwa konsekuensi logis dari fenomenologi Heidegger

adalah makna tidak bisa ditemukan untuk mendekati ada. Agar mampu mendekati

ada, maka hal penting yang dilakukan adalah dengan mempertanyakan ada itu

sendiri. Mempertanyakan ada berarti berusaha untuk membuka diri akan

penyingkapan ada. Dasein; didefinisikan sebagai yang ada-di-sana, menjadi media

utama dalam penyingkapan ada (Heidegger, 1998). Penyingkapan adalah kata

kunci bagi konsep kebenaran Heidegger. Kebenaran atau realitas akhirnya hanya

merupakan penyingkapan dari Ada ini. Ada merupakan sesuatu yang tersembunyi,

yang tidak bisa disingkapkan secara keseluruhan. Penyingkapan Ada ini disebut

Aletheia atau kebenaran (Rahardjo, 2008).

Di dalam ilmu-ilmu positivis, seperti psikologi positivistik, seorang

pengamat dianggap memiliki status istimewa terhadap objek yang diamati. Cara

pandang positivistik ini menganggap objek; yang sering juga adalah manusia itu

sendiri, adalah subjek yang tidak memiliki dunia (worldless). Cara pandang

semacam inilah yang tidak disepakati Heidegger (1998). Baginya manusia yang

merupakan subjek pengamat adalah bagian dari dunia yang sama dari objek yang

diamati, yakni dunia. Manusia adalah mahluk yang selalu ada di dunia (being in

(22)

Konsekuensinya manusia adalah mahluk yang ada bersama (being among) dan

terlibat (involve) dengan dunia yang sudah selalu ada.

Pandangan-pandangan Heidegger di atas sangat menghargai proses dan

kenyataan atau lebih luas dikenal sebagai konsep eksistensi manusia. Keberadaan

dan proses adalah dua hal yang membentuk satu pola interaksi dan membentuk

sebuah simbol yang dapat dianut. Pernyataan ini mengantar peneliti pada

kesadaran akan hubungan fenomenologi Heidegger dengan konteks manusia

sebagai subjek dari produk budaya. Dengan kata lain kebudayaan (sebagai

produk) tidak terlepas dari keberadaan manusia (subjek peng-ada).

Kebudayaan merupakan hasil karya manusia dalam usahanya

mempertahankan hidup, mengembangkan keturunan dan meningkatkan taraf

kesejahteraan dengan segala keterbatasan kelengkapan jasmaninya serta sumber-

sumber alam yang ada disekitarnya. Kebudayaan boleh dikatakan sebagai

perwujudan tanggapan manusia terhadap tantangan-tantangan yang dihadapi

dalam proses penyesuaian diri mereka dengan lingkungan. Kebudayaan

didefinisikan sebagai keseluruhan pengetahuan manusia sebagai makhluk sosial

yang digunakannya untuk memahami dan menginterpretasi lingkungan dan

pengalamannya, serta menjadi kerangka landasan bagi mewujudkan dan

mendorong terwujudnya kelakuan. Dalam definisi ini, kebudayaan dilihat sebagai

"mekanisme kontrol" bagi kelakuan dan tindakan-tindakan manusia (Geertz,

1973).

Dengan demikian kebudayaan merupakan serangkaian aturan-aturan,

(23)

atas serangkaian model-model kognitif yang digunakan secara kolektif oleh

manusia yang memilikinya sesuai dengan lingkungan yang dihadapinya

(Spradley, 1972). Kebudayaan merupakan pengetahuan manusia yang diyakini

kebenarannya oleh yang bersangkutan. Segala sesuatu yang diselimuti juga

me-nyelimuti perasaan-perasaan serta emosi-emosi manusia. Budaya menjadi sumber

bagi sistem penilaian sesuatu yang baik dan yang buruk, sesuatu yang berharga

atau tidak, sesuatu yang bersih atau kotor, dan sebagainya (Geertz, 1973).

Berpatokan pada konsep kebudayaan seperti di atas peneliti

menyimpulkan bahwa keberadaan sekelompok manusia memiliki berbagai jenis

interaksinya dengan dunia. Dunia yang dimaksudkan seperti dalam konsep

Heidegger padabukunya “Being and Time”bahwa dunia bukanlah sekadar

lingkungan tetapi lebih kepada manusia yang mampu terbuka atas diri serta

mampu melihat akan keberadaanya pada diri objek lain. Berdasarkan pemahaman

ini peneliti menyimpulkan bahwa masyarakat Manggarai; sebagai subjek yang

diteliti adalah masyarakat budaya. Salah satu simbol yang dihasilkan dari pola

interaksi masyarakat Manggarai adalah budaya perkawinan.

Kajian atas pola kehidupan masyarakat sangatlah menarik. Peneliti lebih

tertarik mengkaji budaya perkawinan berawal dari berbagai persoalan pelik pada

tubuh perkawinan saat ini. Banyak media masa memberitakan persoalan-persoalan

seputar perkawinan; mulai dari masalah kekerasan dalam perkawinan hingga pada

kasus penelantaran dan perceraian. Pemberitaan-pemberitaan tak sedap ini sangat

(24)

Duvall dan Miller (1985) mendefinisikan perkawinan sebagai legitimasi

atas relasi seksual untuk mendapatkan keturunan. Perkawinan dalam definisi ini

merupakan lembaga resmi yang tidak dapat digugat oleh siapa pun karena sifatnya

legal. Beberapa sumber lain seperti Regan (2003), Olson dan Defrain (2006),

Seccombe dan Warner (2004) mengungkapkan bahwa perkawinan merupakan

ikatan atau komitmen emosional dan legal antara seorang laki-laki dan perempuan

yang terjalin dalam waktu yang panjang dan melibatkan berbagai aspek seperti

ekonomi, sosial, tanggungjawab pasangan, kedekatan fisik, dan seksual. Beberapa

teori ini sepakat bahwa idealnya perkawinan yaitu relasi kedekatan fisik antara

seorang laki-laki dan seorang perempuan berlandaskan pada komitmen emosional

yang representatif dalam perilaku terhadap pasangan seperti bertanggungjawab,

memberikan rasa aman secara ekonomi dan sosial serta memenuhi kebutuhan

seksual pada pasangannya. Negara Indonesia juga mengamini beberapa

pandangan di atas dengan menetapkan perkawinan dalam perundangan seperti

yang tertera dalam UU No. 1 tahun 1974 (Tunardi, 2012).

Agama pada kapasitasnya juga mengungkapkan makna perkawinan.

Beberapa agama populer (Islam, Katolik, Hindu, Ortodoks, dll) sepakat bahwa

pernikahan adalah prosesi sakral yang melibatkan seorang laki-laki dan

perempuan dan pada dasarnya perkawinan tidak terceraikan (collins dan Gerald,

1996). Semua agama modern juga sepakat akan sifat perkawinan yang monogami

kecuali dalam agama islam yang membolehkan poligami dalam artian perkawinan

antara seorang laki-laki dengan beberapa perempuan (Simbolon, 2008). Agama

(25)

memberi pandangannya terhadap perkawinan. Perkawinan adalah persatuan

seumur hidup, yang diikat oleh perjanjian, antara seorang pria dan seorang wanita

(collins dan Gerald, 1996).

Wahyuningsih (2012) dalam penelitiannya (pada masyarakat budaya Jawa)

mengungkapkan bahwa perkawinan yang berkualitas tinggi adalah perkawinan

yang terus berkembang karena mengejar tujuan pokok dan tujuan bersama.

Kualitas perkawinan yang tinggi dapat dicapai dengan kebajikan/virtue.Faktor

religiusitas dalam model psikologis kualitas perkawinan menjadi master of virtue yang mampu mengintegrasikan virtue yang lain (komitmen perkawinan dan pengorbanan) untuk mengejar kualitas perkawinan yang tinggi. Penelitian ini

menunjukkan bahwa betapabesar faktor religiusitas mempengaruhi kualitas

perkawinan.

Beberapa pandangan di atas mengungkapkan makna perkawinan yang

ideal. Makna perkawinan yang idealis ini menjadi paradigma dalam pembangunan

keluarga tetapi perlu dipahami tentang faktor religiusitas dan keberadaan budaya

sudah mampukah menghilangkan perilaku negatif dalam sebuah keluarga? Karena

terbukti sampai sejauh ini perilaku menyimpang seperti kekerasan dalam rumah

tangga masif terjadi. Gender pada kelompok masyarakat patriarki masih menjadi

isu sentral; seperti pemarginalan terhadap perempuan dan pelegalan politik

(kekuasaan) atas tubuh perempuan.

Budaya partriarkal dalam praktiknya seakan-akan membelenggu

keberadaan perempuan. Nilai-nilai yang dilekatkan norma dalam masyarakat

(26)

Perempuan seakan dihadapkan pada dunia yang miskin akan pilihan-pilihan.

Perempuan tidak memiliki akses sebanyak yang dimiliki oleh kelompok dominan.

Perempuan mau tidak mau harus menempatkan diri sebagai objek norma dan

aturan dalam masyarakat. Keterbelengguan perempuan tidak semata lahir dari

kekuasan yang tidak bisa dihentikan pada diri dominan. Keberadaan perempuan

pulalah yang melahirkan budaya patriarkal. Sikap lemah pada diri perempuan

sudah mampu melucut begitu banyak simbol kekuatan pada dirinya sendiri.

Kondisi ketertindasan ini melahirkan pelbagai gerakan pembebasan perempuan

dan aliran feminisme hingga postfeminisme (Tong, 2008). Konsep budaya

patriarkal seperti ini mengantar peneliti pada kesadaran akan perempuan

Manggarai yang selalu dinomorduakan dalam budayanya.

Isu budaya patriarkal erat kaitannya dengan ketimpangan gender.

Ketimpangan gender juga ditemukan dalam kehidupan masyarakat Manggarai,

terutama dalam sistem perkawinannya. Sistem perkawinan orang Manggarai,

pembayaran paca menjadi syarat penting suatu perkawinan. Perkawinan dalam tradisi kehidupan sosial orang Manggarai umumnya menganut sistem genealogis patrilineal (mengikuti garis keturunan ayah) dan disempurnakan oleh ritual berupa paca (material) yang wajib dipenuhi oleh pihak mempelai laki-laki berdasarkan kesepakatan kedua keluarga mempelai. Anutan seperti ini yang

menjadikan seorang calon suami atau suami lebih merasakan praktik tradisi

perkawinan di Manggarai. Praktik budaya patriarki dalam perkawinan masyarakat

Manggarai mempengaruhi cara pandang suami di Manggarai. Suami didefinisikan

(27)

melindungi, serta bijaksana dalam merencanakan keluarga (Chaniago, 2002).

Definisi ini memberi batasan bahwa suami tidak lebih dari seorang rekan yang

sederajat dengan istri. Masyarakat Manggarai masih mencampur baurkan antara

masalah gender dengan peransosial suami.

Perkawinan dalam lingkup budaya terutama dalam budaya orang

Manggarai, Bagul (1997) menjelaskan dalam beberapa makna seperti

mengungkapkan kebutuhan dasar manusia untuk berada bersama dengan yang lain

dalam suatu ranah kehidupan yang sejahtera. Subur dan berkembang, membuka

sosialitas manusia agar terhubung dengan orang lain dan kelompok lain.

Menjadikan keluarga sebagai ruang transimisi nilai budaya dan moral.

Menjadikan kebebasan manusia terlembaga dalam suatu tatanan moral dan etika

seperti menghargai perempuan yang sudah bersuami (Bagul, 1997).

Masyarakat Manggarai sebagai kelompok sosial berbudaya sangatlah unik

terutama budaya perkawinannya. Masyarakat Manggarai dalam membangun

keluarga sangatlah berbeda dari budaya pada masyarakat lain. Masyarakat

manggarai mengenal tiga jenis perkawinan yaitu perkawinan dengan suku lain

(cangkang), perkawinan dengan sesama suku (tungku), perkawinan dari satu garis

keturunan (cako). Keunikan ini juga tidak jarang membawa pro-kontra dalam

menanggapi budaya mereka sendiri. Terutama semenjak ilmu pengetahuan

merangsek masuk dalam tubuh budaya orang Manggarai itu sendiri. Semisal

perkawinan tungku dan cako bertolak belakang dengan ilmu biologi yang melarang adanya perkawinan sedarah demi menghindar terjadinya

(28)

yang merupakan agama yang paling banyak dianut oleh masyarakat Manggarai.

Satu-satunya perkawinan yang sehat adalah perkawinan cangkang dan sekarang masyarakat manggarai banyak mempraktikkan perkawinan jenis ini (Bagul,

1997).

Jika menilik lebih jauh tentang perkawinan cangkang ternyata tidak kalah menariknya jika dibandingkan dengan perkawinan tungku dan cako. Pada jaman dahulu kala perkawinan cangkang dilakukan hanya oleh keluarga berada atau dari

keturunan raja. Perkawinan cangkang merupakan ajang unjuk gengsi status sosial baik dari pihak laki-laki maupun pihak perempuan. Status sosial yang direbut

disimbolkan melalui paca atau lebih familiar dikenal dengan istilah belis saat ini.

Nenek moyang orang Manggarai lebih memilih perkawinan tungku atau cako karena tidak dibebankan dengan taruhan harga diri. Akan tetapi praktek yang

dilakukan para leluhurnya saat ini sudah jarang dilakukan karena internalisasi

nilai agama yang kuat serta ekspansi ilmu pengetahuan sudah mampu

menyadarkan pikiran orang Manggarai saat ini. Dengan demikian berarti

perkawinan cangkang saat ini sudah sering dipraktekan oleh orang manggarai. Praktik perkawinan seperti ini tidak berjalan mulus ada pro dan kontra tentang

praktek paca (Bagul,1997).

Pada konteks masyarakat Manggarai perbedaan pandangan tentang

perkawinan antara ajaran gereja dan hukum adat menimbulkan

perdebatan-perdebatan terbuka. “Belis” menjadi tesis utama dalam berbagai perdebatan

(29)

Manggarai; sebagai penghormatan pada perempuan (Nggoro, 2013). Bagul (1997)

menjelaskan bahwa bentuk dari seserahan (belis) pada jaman dulu memakai

kearifan lokal, seperti hewan dan tenunan kain daerah Manggarai, namun setelah

masyarakat Manggarai mengenal nominal uang sebagai alat transaksi maka belis pun bergeser dari kearifan lokal ke sistem perekonomian modern yakni

menggunakan uang.

Penelitian yang berkaitan dengan makna perkawinan di Manggarai tidak

banyak dan hampir tidak ada. Akan tetapi penelitian yang membahas unit-unit

dalam tradisi perkawinan masyarakat Manggarai sedikit lebih baik. Semisal,

Jilung (2013) mengamini pernyataan Bagul. Tulisannya mengungkapkan bahwa

belis sudah mengalami pergeseran makna dari hewan dan tanah warisan menjadi transaksi jual-beli. Belis ada saat pernikahan adat berlangsung. Belis untuk perempuan Manggarai saat ini berkisar antara 50-500 juta rupiah bergantung pada

pendidikan perempuan yang akan diperistri mempelai laki-laki (Jilung, 2013).

Hasil penelitian serta keresahan beberapa orang di atas tidaklah semata

sebagai bentuk keresahan yang muncul begitu saja. Ada beberapa interaksi yang

mendorong mereka dalam berpendapat demikian. Salah satu yang menjadi

argumentasi logis yaitu pada masyarakat Manggarai belis lebih dikenal dengan sebutan paca (Toda, 1999); pat kaba ca jarang = empat ekor kerbau dan satu ekor

kuda. Sebelum sistem perekonomian modern masuk masyarakat Manggarai lebih

mengenal pembayaran paca dalam bentuk hewan yang dapat dipelihara oleh keluarga perempuan sedangkan sekarang orang lebih memilih menggunakan uang

(30)

belis yang sudah muncul dipermukaan ini coba peneliti konfirmasi melalu wawancara singkat via telepon (25/07/2016) dengan seorang suami muda

Manggarai berinisial A (25 tahun) yang saat ini sudah menikah. Hasil wawancara

singkat ini mengungkapkan bahwa dia memilih nikah cepat dan menghamili

istrinya sebelum nikah resmi karena adanya ketakutan akan permintaan belis yang

tinggi.

Penelitian sebelumnya dan keresahan masyarakat sangat berpusat pada

keberadaan belis saja. Berpusatnya semua pihak dengan keberadaan belis di Manggarai, akhirnya tidak jarang yang berusaha mendiskreditkan budaya itu

sendiri. Hal lain, bahwasannya membicarakan perkawinan bukan hanya sekedar

membicarakan paca atau belis semata. Pada konteks masyarakat Manggarai memiliki beberapa poin penting dalam tradisi perkawinannya. Banyak persoalan

yang muncul dalam bahtera rumah tangga tidak semata penyebabnya adalah

penerapan belis, bisa juga ada faktor lain yang mempengaruhinya. Dengan demikian menurut peneliti bahwa mengungkapkan makna perkawinan jauh lebih

mendesak ketimbang melihat unit-unit terkecil dari budaya perkawinan.

Berpijak pada kesadaran ini, peneliti memfokuskan penelitian pada

pembuatan kesimpulan dari apa yang dikatakan masyarakat Manggarai tentang

budayanya dengan judul makna perkawinan bagi suami pada masyarakat

(31)

F. Rumusan Masalah

Rumusan masalah pada penelitian ini yaitu bagaimana makna perkawinan

bagi suami pada masyarakat Manggarai?

G. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengungkapkan makna perkawinan bagi

suami pada masyarakat Manggarai.

H. Manfaat Penelitian 3. Manfaat teoritis

Penelitian ini diharapkan bermanfaat sebagai sumbangan ilmu psikologi

budaya. Selain itu, penelitian diharapkan mampu dijadikan acuan untuk

penelitian selanjutnya.

4. Manfaat praktis

c. Untuk masyarakat Manggarai

Penelitian ini bermanfaat bagi masyarakat Manggarai dalam memahami

perkawinan pada budayanya.

d. Untuk pemerintah

Penelitian ini bermanfaat bagi pemerintah yakni membantu pemerintah

Manggarai dalam merugalasi tradisi perkawinan pada masyarakatnya yang

(32)

15 BAB II

KAJIAN PUSTAKA

Pada bab ini peneliti mengulas banyak hal tentang perkawinan masyarakat

Manggarai, budaya, dan makna. Perkawinan dalam pemahaman umum—baik dari

sudut agama, negara, pengamat, dan budaya masyarakat beberapa daerah—

didefinisikansebagai bentuk penyatuan batin dua individu (laki-laki dan

perempuan) untuk membentuk keluarga yang bersifat sakral. Masing-masing

lembaga seperti agama, budaya, dan Negara memiliki andil dalam mengatur

perkawinan—tak terkecuali dalam masyarakat Manggarai yang merupakan

masyarakat adat.

Masyarakat Manggarai memiliki berbagai aturan dan ajaran adat dalam

tatanan kehidupannya. Masyarakat Manggarai dikategorikan sebagai masyarakat

budaya karena cara hidup yang dianutnya diwariskan dari generasi ke generasi.

Cara hidup ini dijalankan secara kolektif dalam sebuah wadah adat. Persis itulah

juga yang menjadi definisi dari masyarakat budaya dalam ilmu pengetahuan.

Hal penting lain dalam memahami budaya adalah metode yang digunakan

untuk menelusuri dan mencari jejak dalam menginvestigasi perubahan-perubahan

yang terjadi dalam tubuh budaya itu sendiri. Dari berbagai macam perubahan

yang diinvestigasi, akan ditemukan hal mendasar; yakni makna. Pencarian makna

sangatlah penting sebab peneliti berusaha mencari tahu dan mendefinisikan soal

(33)

Konsep fenomenologi yang dibahas dalam bab ini menyangkut logos (ilmu) dari fenomenologi. Fenomenologi, kemudian, didefinisikan sebagai studi yang

berusaha menjelaskan arti dari pengalaman hidup beberapa orang tentang suatu

fenomena.

A. Perkawinan 5. Pengertian

Menurut Ensiklopedia Indonesia, perkataan perkawinan adalah nikah;

sedangkan menurut Purwadarminta (1979), kawin adalah perjodohan laki-laki dan

perempuan menjadi suami istri; nikah, perkawinan adalah pernikahan. Di samping

itu menurut Hornby (1957), marriage: the union of two persons as husband and wife (perkawinan adalah bersatunya dua orang sebagai suami isteri).

Menurut undang-undang perkawinan, perkawinan adalah ikatan lahir batin

antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami-isteri dengan tujuan

untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan

Ketuhanan Yang Maha Esa. Perkawinan merupakan salah satu aktivitas individu.

Aktivitas individu umumnya terkait pada tujuan tertentu yang ingin dicapai oleh

individu yang bersangkutan, demikian pula dalam hal perkawinan. Karena

perkawinan merupakan suatu aktivitas dari satu pasangan, maka sudah selayaknya

mereka juga mempunyai tujuan tertentu. Tetapi karena perkawinan itu terdiri dari

dua individu, maka adanya kemungkinan bahwa tujuan mereka itu tidak sama.

Bila hal tersebut terjadi, maka tujuan itu harus dibulatkan agar terdapat suatu

(34)

Gereja Katolik memiliki pandangan khusus tentang perkawinan.

Perkawinan adalah persatuan seumur hidup yang diikat oleh perjanjian antara

seorang pria dan seorang wanita. Melalui perkawinan mereka menjadi suami-istri,

berbagi kehidupan secara utuh, saling mengembangkan diri secara penuh dan

dalam cinta melahirkan dan mendidik anak-anak (Chen ed., 2012). Agama

modern lain yang berkembang di Indonesia juga sepakat dengan definisi

perkawinan yang dikatakan dalam ajaran gereja Katolik.

Masyarakat Manggarai memiliki makna hakiki tentang perkawinan yang

melekat pada beberapa ungkapan. Pertama, perkawinan mengungkapkan

kebutuhan dasar manusia untuk berada bersama dengan Yang Lain dalam suatu

ranah kehidupan yang sejahtera, subur dan berkembang, seperti ungkapan “saung

bembang ngger eta, wake seler ngger wa”. Kedua, perkawinan bertujuan agar manusia dapat melanjutkan subsistensi dirinya lewat keturunan. Seperti suatu

ungkapan seorang suami, “wua raci tuke, lebo kala ako” (istriku sudah hamil). Ketiga, perkawinan membuka sosialitas manusia agar terhubung dengan Orang

Lain dan kelompok lain sehingga terjalinlah suatu kekeluargaan dan persaudaraan

manusia seperti ungkapan “cimar neho rimang, cama rimang rana, kimpur

kiwung cama lopo (persaudaraan itu ibarat lidi yang tak mudah dipatahkan, kuat seperti batang enau)” Keempat, perkawinan merupakan ruang pembentukan

keluarga yang nantinya akan menjadi ruang transimisi nilai budaya dan moral,

seperti tanggung jawab dan jiwa besar. Itu tersembul dalam ungkapan “Nai

(35)

perkawinan menjadikan kebebasan manusia terlembagan dalam suatu tatana moral

dan etika, seperti menghargai perempuan yang sudah bersuami. Seperti ungkapan

lopan pado olo, morin musi mai (sudah ada yang punya).”

Pada intinya masyarakat Manggarai memiliki pengertian bahwa

perkawinan adalah hubungan antara seorang laki-laki dan perempuan yang

terlembaga dalam ikatan suci. Perkawinan bertujuan meneruskan keturunan serta

mentransformasi nilai-nilai luhur budaya serta nilai sosial.

6. Faktor sebagai Komponen Perkawinan a. Keabsahan

Menurut undang-undang perkawinan, sahnya suatu perkawinan mengikuti

syarat sahnya pernikahan menurut agama yang dianut oleh kedua mempelai yang

hendak menikah. Undang-undang perkawinan di Indonesia memberikan

keleluasaan untuk mengakses perkawinan dengan mengikuti ajaran agama yang

berlaku bagi pasangan yang hendak menikah.

Perkawinan dalam gereja Katolik akan sah jika dilangsungkan di hadapan

uskup setempat, pastor paroki, imam atau diakon yang diberi delegasi secara sah.

Kalau tidak ada imam atau diakon, awam dapat diberi delegasi jika diberikan oleh

konferensi uskup-uskup. Dalam peneguhan perkawinan harus ada dua saksi yang

lain. Kerapkali perkawinan Katolik gagal dilaksanakan secara sah karena adanya

halangan-halangan nikah seperti umur yang belum mencapai standar gereja,

impotensi, ikatan perkawinan yang masih ada, tahbisan, kaul kekal hidup religius

yang dilakukan secara publik, hubungan darah dalam tingkat tertentu (Chen ed.,

(36)

samawalaupun terdapat beberapa perbedaan; terutama soal ajaran gereja katolik

yang lebih radikal dan kaku dalam penerapanya.

b. Syarat dan Larangan

Menurut undang-undang pasal 6-12 syarat perkawinan tidak memiliki

ketentuan sendiri, negara selalu mengikuti agama yang berlaku di Indonesia untuk

menetapkan syarat dan larangan suatu perkawinan. Perbedaan terletak pada

bagaimana negara mengakomodasi kasus perceraian.

Dalam gereja katolik, sebagaimana yang termuat dalam KHK (Kitab

Hukum Kanonik), perkawinan memiliki syarat dan larangan yang tegas. Legalitas

suatu perkawinan ditentukan oleh beragam hal; yaitu bebas dari halangan seperti

umur belum cukup, impotensi, ikatan perkawinan yang masih ada, tahbisan, kaul

kekal hidup religius yang dilakukan secara publik, hubungan darah dalam tingkat

tertentu.

c. Tujuan

Tujuan perkawinan menurut gereja katolik dijabarkan dalam tiga poin,

yaitu kesejahteraan suami-isteri, kelahiran anak, dan pendidikan anak. Tujuan

utama ini bukan lagi pada prokreasi atau kelahiran anak. Hal ini berpengaruh pada

kemungkinan usaha pembatasan kelahiran anak (KB). Sedangkan menurut budaya

Manggarai perkawinan memiliki tujuan lain yaitu untuk membangun hubungan

kekerabatan antara kedua keluarga besar (Chen ed., 2012). Pandangan Gereja

Katolik dan adat Manggarai sengaja dimasukkan dalam tulisan ini mengingat

(37)

B. Masyarakat Manggarai

Masyarakat Manggarai terus berkembang dari waktu ke waktu. Data dari

http://regionalinvestment.bkpm.go.id/melansirkan bahwa secara demografis—

tercatatsampai pada tahun 2013—keberadaanpenduduk Manggarai berjenis

kelamin perempuan lebih banyak dibandingkan penduduk berjenis kelamin

laki-laki. Pertumbuhan ekonomi di Manggarai sangat lambat terlihat dari data

pembangunan infrastruktur yang kurang berkembang begitu signifikan,

pendapatan asli daerah yang rendah, dan pendapatan perkapita juga terhitung

rendah. Pendidikan diManggarai juga menempati posisi rendah berdasarkan data

dari http://www.manggarai.go.id/. Pada laman tersebut tertulis betapa prosentase

kelulusan dan putus sekolah sangat jauh berbeda pada satu dekade terakhir.

Jumlah putus sekolah lebih banyak dibandingkan siswa lulus SMA hingga

sarjana.

Dalam buku yang berjudul “Kebudayaan Manggarai”, Bagul (1996) dengan

gamblang menjelaskan persoalan kehidupan sosial dan budaya masyarakat

Manggarai. Pada umumnya gambaran masyarakat Manggarai bisa dilihat dari

corak maupun ragam budayanya yang tercermin dalam berbagai sistem atau

sub-sistem yang berlaku. Beragam sub-sub-sistem yang hidup dalam masyarakat

Manggarai memperlihatkan bagaimana sesungguhnya corak kebudayaan di

Manggarai. Sub-sistem yang masuk dalam kehidupan masyarakat Manggarai yaitu

sub-sistem religi, sub-sistem organisasi, sub-sistem pengetahuan, bahasa,

(38)

9. Religi

Secara umum, sistem religi asli orang Manggarai adalah monoteis implisit.

Dasar religinya yakni menyembah Tuhan Maha Pencipta dan Maha Kuasa (Mori

Jari Dedek—Ema Pu’un Kuasa). Meskipun masih terdapat cara-cara dan tempat persembahan lain;misalnya compang (mesbah) yang ditempatkan di bawah pohon-pohon besar yang dipandang angker dan suci. Dewasa ini, masyarakat

Manggarai telah mengenal kepercayaan modern. Hal ini terlihat dari kehidupan

religiusnya yang diakomodasi sesuai agama yang dianutnya. Agama yang paling

banyak dianut oleh masyarakat Manggarai saat ini adalah agama Katolik Roma.

10.Sistem Organisasi Sosial atau Kemasyarakatan

Masyarakat Manggarai sejak dahulu sudah mengenal sistem pemerintahan.

Fakta ini dapat ditelusuri dari kejelasan struktur kepemimpinan mulai dari raja

hingga tua kilo—kepala keluarga. Tua kilo atau pun kepala-kepala unit yang lain pada masyarakat Manggarai didominasi oleh laki-laki yang berstatus suami.

Dalam tatanan ini, deskripsi tugas warga juga dijalani secara apik dan jelas.

3. Sistem Perkawinan Adat Manggarai

Menurut adat Manggarai, ada tiga sistem perkawinan yaitu:

d. Cangkang

Perkawinan di luar suku atau perkawinan antar suku. Dalam bahasa adatnya

dikatakan laki pe’ang (anak laki-laki yang kawin di luar suku) atau wai pe’ang

(anak wanita yang kawin di luar suku). Orang yang memilih laki pe’ang atau wai

pe’ang membuka jalur hubungan baru dengan suku-suku lain. Dengan itu

(39)

praktek orang tua generasi terdahulu, orang yang laki pe’ang bukan sembarang

orang. Mereka yang memilih untuk laki pe’ang berasal dari kalangan keluarga

yang mampu membayar paca dengan jumlah tertentu. Pacabukan sebatas pada persoalan uang atau hewan, tetapi terutama soal harga diri dan martabat dari

keluarga kedua belah pihak; antara keluarga besar pihak pria dan wanita.

e. Tungku

Perkawinan untuk mempertahankan hubungan woe nelu, hubungan anak rona

dengan anak wina yang sudah terbentuk akibat perkawinan cangkang. Laki-laki dan wanita yang kawin melalui jalur tungku disebut laki one; laki-laki yang menikah dalam sukunya sendiri dan wai leleng one; perempuan yang menikah dalam sukunya sendiri. Pemuda yang laki onemembuka kemungkinan akan adanya pernikahan sekampung. Demikian pula terhadap wanita yang wai leleng one. Berbicara tentang paca untuk orang yang laki one dan wai leleng one tergantung pada jenis jalur tungku. Menurut adat Manggarai ada beberapa jenis tungku: (1) Tungku cu atau tungku dungka (Kawin antara anak laki-laki dari ibu dengan anak perempuan dari saudara ibu—yang kerap dipanggil Paman atau Om).

(2) Tungku neteng nara(perkawinan yang ada hubungan darah antara anak dari saudara sepupu perempuan dengan anak dari saudara sepupu laki-laki), (3)

Tungku anak rona musi (perkawinan hubungan darah dengan keluarga kerabat pemberi istri mertua laki-laki). Pekawinan sedarah seperti ini masih ada penerapan

(40)

f. Cako

Perkawinan dalam suku sendiri. Perkawinan antara anak laki-laki dari

keturunan adik dengan anak perempuan dari keturunan kakak; disebut sebagai

perkawinan cako cama tau. Perkawinan cako biasanya orang tua mulai mencobanya pada lapisan ketiga atau lapisan keempat dalam daftar silsilah

keluarga. Mengapa dikatakan mencoba? Karena menurut adat Manggarai, tidak

semua perkawinan cako direstui sang pemilik semesta (mori agu ngaran).

Orang Manggarai percaya bahwa Tuhan-lah yang menentukan apakah

perkawinan itu direstui atau tidak. Ada bukti bahwa perkawinan cako tidak direstui, misalnya kedua insan yang menikah itu mati pada usia muda sebelum

memperoleh anak. Perkawinan cako cama salang artinya perkawinan yang dilangsungkan dengan sesama anak wina; sesama keluarga penerima istri. Dalam konteks ini paca tidak dituntut, sesuaikan dengan kemampuan laki-laki. Berlaku ungkapan tama beka salang agu beka weki(prinsip yang mengedepankan nilai pembentukan generasi baru).

Penjelasan-penjelasan di atas sebenarnya mau menegaskan bahwa tradisi

masyarakat Manggarai berpusat pada laki-laki; terutama yang berstatus sebagai

suami. Tradisi perkawinannya masyarakat Manggarai sangat berpusat pada

laki-laki (si calon suami); tergambar dari pemberian paca oleh keluarga dan calon suami. Hal ini jelas terlihat dari penggambaran sosok tertinggi dalam sub-sistem

religi; wujud tertinggi digambarkan sebagai seorang laki-laki (Ema mori kraeng).

Selain itu sistem organisasi kepemerintahannya juga dihuni oleh seorang suami.

(41)

4. Ilmu Pengetahuan

Sejak dulu, orang Manggarai memiliki pengetahuan tentang alam sekitarnya,

baik fauna maupun flora serta seluruh ekosistemnya. Sistem dan pola hidup

masyarakat Manggarai yang agraris mengharuskan mereka memiliki pengetahuan

yang cukup tentang flora; tentang tanaman atau tumbuh-tumbuhan yang

bermanfaat bagi kehidupannya. Begitu pula pengetahuan tentang fauna dimiliki

secara turun temurun karena orang Manggarai pada dasarnya senang beternak dan

berburu.

5. Bahasa

Mengutip hasil penelitian Pastor P.J. Verheijen, SVD (1991) yang dilakukan

sebelum 1950 menyebutkan bahwa di Manggarai terdapat enam bahasa, yaitu

bahasa Komodo di pulau Komodo, bahasa Waerana di Manggarai Tenggara,

bahasa Rembong di Rembong yang wilayahnya meluas ke Ngada Utara, bahasa

Kempo di wilayah Kempo, bahasa Rajong di wilayah Rajong dan bahasa

Manggarai Kuku yang termasuk atas lima kelompok dialeg, termasuk bahasa

Manggarai Timur Jauh.

Pengelompokkan bahasa tersebut sekaligus mengisyaratkan secara umum

kelompok budaya di Manggarai yang erat kaitannya dengan corak kesatuan

hubungan darah (genealogis), sebab kesatuan genealogis yang lebih besar di

Manggarai adalah Wa’u (klen patrilineal) dan perkawinan pun ikut dan tinggal di

kampung asal suami (patrilokal). Dalam kesatuan genealogis inilah bahasa

(42)

6. Kesenian

Di Manggarai juga tumbuh dan berkembang berbagai jenis kesenian khas

daerah seperti seni sastra, musik, tari, lukis, desain dan kriya (seni rupa). Dari

berbagai jenis kesenian itu, ada dua jenis yang sudah mencapai tingkat sebuah

peradaban dan sudah dikenal luas, yakni seni pertunjukkan caci dan kriya, dan songke.

Caci merupakan puncak kebudayaan Manggarai yang unik dan sarat makna; seni gerak (lomes), nilai etika (sopan santun), nilai estetika, muatan nilai

persatuan, ekspresi suka cita, nilai sportifitas, serta penanaman percaya diri.

Beberapa macam kesenian di Manggarai: Seni Musik, Seni Tenun, Seni Sastra,

dan Seni Tari.

7. Sistem Mata Pencaharian

Aktivitas perekonomian atau mata pencaharian sudah sangat lama dikenal

dalam masyarakat Manggarai. Bahkan sepanjang usia peradaban yang

dimilikinya, seusia itu pula pengenalan masyarakat setempat terhadap kegiatan

mencari nafkah, berdagang atau bermata pencaharian petani. Dalam bidang

pertanian, sudah sangat lama dikenal pola perkebunan yang disebut oleh

masyarakat setempat dengan lingko (kebun komunal atau sistem pembagian tanah

pertanian yang disebut lodok). Di luar Manggarai, orang mengenal system pembagian tanah pertanian ini dengan sistem sarang laba-laba (spider-field). Sama

seperti halnya sub-sistem sosial yang lain, sub-sistem ekonomi dan mata

(43)

Hal yang paling mudah ditemukan di Manggarai adalah pesta kebun. Pesta

kebun merupakan bentuk ucapan syukur secara kolektif kepada Mori Jari Dedek(Allah yang maha pencipta) dan arwah nenek moyang atas hasil padi dan jagung yang usai dipanen. Begitu pula upacara penanaman benih atau upacara

silih yang dilakukan agar kebun atau ladang terhindarkan dari berbagai hama

penyakit yang mengganggu tanaman dan menurunkan kuantitas hasil di kemudian

hari.

Masyarakat Manggarai pada umumnya adalah masyarakat agraris. Secara

turun temurun dua jenis tanaman andalan masyarakat adalah padi dan jagung.

Kemudian baru berkembang komoditas kopi mendapat tempat sebagai komoditas

yang akrab dengan orang Manggarai. Sejak tahun 1938, pembukaan sawah

dengan sistem irigasi sudah dikenal di Manggarai. Semula sistem irigasi

persawahan ini kurang diminati masyarakat karena terasa asing. Setelah melihat

hasil pekerjaan orang yang mengelola kebunnya dengan sistem irigasi lebih baik

dan menjanjikan, maka sistem irigasi pun perlahan-lahan mulai ditiru. Sistem ini

malahan menjadi primadona pada dekade selanjutnya. Di samping mengerjakan

sawah, berladang, dan menanam kopi, orang Manggarai juga terkenal handal

dalam beternak kerbau, sapi, kuda, babi, anjing, ayam, serta melaut (khususnya

masyarakat pesisir pantai).

8. Teknologi

Masyarakat Manggarai di masa lalu telah mengenal bahkan mampu

menghasilkan peralatan atau perkakas yang dibutuhkan untuk kehidupannya.

(44)

rumah, misalnya di Manggarai dikenal lima tahapan, sekaligus menggambarkan

konstruksi segi lima. Konstruksi segi lima ini berkaitan dengan latar belakang

filosofis dan sosiologis. Angka ini memang dipandang sebagai angka keramat

karena secara kausalistis dihubungkan dengan rempa lima (lima jari kaki), mosa lima (lima jari dalam ukuran pembagian kebun komunal), sanda lima (nyanyian saat upacara adat yang terdiri dari lima ayat), wase lima(ukuran yang digunakan dalam menghitung besaran hewan), lampek lima (besaran untuk mengukur kejantanan hewan yang digunakan saat upacara adat).

Untuk pakaian, orang Manggarai sebelum mereka mengenal tenun ikat, bahan

pakaiannya terbuat dari kulit kayu cale (sejenis sukun). Sementara untuk perhiasan sebelum mereka mengenal logam, perhiasan mereka umumnya terbuat

dari tempurung kelapa, kayu atau akar bahar. Begitupun teknologi pembuatan

minuman tradisional juga sudah dikenal lama di masyarakat Manggarai, yakni

proses pembuatan atau mencampur air enau dengan kulit damer sehingga

menghasilkan alkohol berkadar tinggi seperti arak atau tuak.

Masyarakat Manggarai sejak dulu juga sudah mengenal cara pembuatan

obat-obatan yang berasal dari daun-daunan, misalnya londek jembu=pucuk daun jambu

untuk mengobati sakit perut, kayu sita, untuk pengombatan disentri. Sebelum mengenal logam, untuk alat-alat pertanian, masyarakat Manggarai sudah

mengenal perkakas dari bambu, kayu atau tanah liat untuk mengolah tanah

pertanian. Sementara alat perburuan yang dikenal yakni bambu runcing, lidi enau,

(45)

C. Makna 1. Makna dalam Konteks Fenomenologi d. Definisi

Kata fenomenologi berasal dari bahasa Yunani, phenomenon, yaitu sesuatu yang tampak, yang terlihat karena berkecukupan. Dalam bahasa Indonesia biasa

dipakai istilah gejala. Secara istilah, fenomenologi adalah ilmu pengetahuan

(logos) tentang apa yang tampak. Dari pengertian tersebut dapat dipahami bahwa

fenomenologi adalah suatu aliran yang membicarakan fenomena atau segala

sesuatu yang tampak atau yang menampakkan diri (Bertens, 1981).

Fenomenologi ini mengacu kepada analisis kehidupan sehari-hari dari sudut

pandang orang yang terlibat di dalamnya. Tradisi ini memberi penekanan yang

besar pada persepsi dan interpretasi orang mengenai pengalaman mereka sendiri.

Fenomenologi melihat komunikasi sebagai sebuah proses membagi pengalaman

personal melalui dialog atau percakapan. Fenomenologi melihat kisah seorang

individu lebih penting dan bermakna daripada hipotesis ataupun

rumusan-rumusan dangkal yang diciptakan manusia (aksioma). Fenomenologi cenderung

menentang segala sesuatu yang tidak dapat diamati. Fenomenologi juga

cenderung menentang naturalisme (biasa juga disebut obyektifisme atau

positifisme). Hal ini cukup beralasan; karena fenomenologi meyakini suatu bukti

atau fakta dapat diperoleh tidak hanya dari dunia kultur dan natural, tetapi juga

(46)

Fenomenologi, sejatinya, mencoba menepis semua asumsi yang

mengkontaminasi pengalaman konkrit manusia. Inilah alasan mengapa

fenomenologi disebut sebagai cara berfilsafat yang radikal. Fenomenologi

menekankan upaya menggapai “hal itu sendiri” terlepas dari segala dugaan

-dugaan awal (presuposisi).

Langkah pertama fenomenologi dalam berfilsafat adalah menghindari semua

konstruksi, asumsi yang dipasang sebelum dan sekaligus mengarahkan

pengalaman. Tak peduli apakah konstruksi filsafat, sains, agama, dan kebudayaan,

semuanya harus dihindari sebisa mungkin. Semua penjelasan tidak boleh

dipaksakan sebelum pengalaman menjelaskannya sendiri dari dan dalam

pengalaman itu sendiri (Adian, 2002).

Fenomenologi menekankan perlunya filsafat melepaskan diri dari ikatan

historis apapun, baik itu tradisi metafisika, epistimologi, atau pun sains. Program

utama fenomenologi adalah mengembalikan filsafat ke penghayatan sehari-hari

subjek pengetahuan; kembali ke kekayaan pengalaman konkrit manusia, lekat, dan

penuh penghayatan. Perlu diketahui bahwa fenomenologi juga menolak klaim

representasionalisme epistimologi modern. Dengan demikian, fenomenologi yang

dipromosikan Husserl ini dapat disebut sebagai ilmu tanpa presuposisi. Hal ini

jelas bertolak belakang dengan modus filsafat sejak Hegel menafikan

kemungkinannya ilmu pengetahuan tanpa presuposisi, dimana presuposisi yang

menghantui filsafat selama ini adalah naturalisme dan psikologisme (Adian,

(47)

Dalam perkembangan, munculnya filsafat fenomenologi telah memberikan

pengaruh yang sangat luas. Hampir semua disiplin keilmuan mendapatkan

inspirasi dari fenomenologi. Psikologi, sosiologi, antropologi, arsitektur sampai

penelitian tentang agama semuanya memperoleh nafas baru dengan munculnya

fenomenologi.

e. Sejarah

Ahli matematika Jerman Edmund Husserl, dalam tulisannya yang berjudul

Logical Investigations (1900) mengawali sejarah fenomenologi. Fenomenologi sebagai salah satu cabang filsafat, pertama kali dikembangkan di

universitas-universitas Jerman sebelum Perang Dunia I, khususnya oleh Edmund Husserl.

Usaha ini kemudian dilanjutkan oleh Martin Heidegger dan yang lainnya, seperti

Jean Paul Sartre, dan Ponty. Selanjutnya Sartre, Heidegger, dan

Merleau-Ponty memasukkan ide-ide dasar fenomenologi dalam pandangan

eksistensialisme. Adapun yang menjadi fokus dari eksistensialisme adalah

eksplorasi kehidupan dunia makhluk sadar, atau jalan kehidupan subjek-subjek

sadar.

Fenomenologi, dari sejarah pemikirannya, tidak dikenal setidaknya sampai

menjelang abad ke-20. Abad ke-18 menjadi awal digunakannya istilah

fenomenologi sebagai nama teori tentang penampakkan, yang menjadi dasar

pengetahuan empiris (penampakan yang diterima secara inderawi). Istilah

fenomenologi itu sendiri diperkenalkan oleh Johann Heinrich Lambert, pengikut

Christian Wolff. Sesudah itu, filosof Immanuel Kant mulai sesekali menggunakan

(48)

G.W.F.Hegel. Pada tahun 1889, Franz Brentano menggunakan fenomenologi

untuk psikologi deskriptif. Dari sinilah awalnya Edmund Hesserl mengambil

istilah fenomenologi untuk pemikirannya mengenai “kesengajaan”(Intentionality);

orientasi pikiran terhadap satu objek (sesuatu) baik yang nyata maupun tidak

nyata. Objek nyata yaitu segala sesuatu yang sengaja diciptakan untuk tujuan

tertentu. Objek tidak nyata adalah abstraksi yang dirumuskan dan diakui oleh

banyak orang, semisal konsep kesabaran, tanggung jawab, atau konsep abstrak

lainnya yang tidak nyata.

f. Fenomenologi sebagai Metode 1. Tradisi

“People actively interpret their experience and come to unnderstand the world by personal experience with it……the process of knowing through direct ecperience is the province of phenomenology.” (Littlejohn and Foss, 2009) ("Orang-orang aktif menafsirkan pengalaman mereka dan datang untuk memahami dunia dengan pengalaman pribadi dengan itu ... proses mengetahui melalui pengalaman langsung adalah wilayah fenomenologi.")

Jika dilanjutkan dengan fenomenologi sebagai sebuah metodologi

penelitian, walaupun ada juga yang lebih senang menyebut sebagi tradisi

penelitian, maka kita dapat menelusuri beberapa pengertian yang sederhana.

Metode Fenomenologi, menurut Polkinghorne (Creswell, 1998) adalah, “a phenomenological study describes the meaning of the lived experiences for several individuals about a concept or the phenomenon. Phenomenologist explore the structure of cosciousness in human experiences“. (sebuah studi fenomenologis menjelaskan arti dari pengalaman hidup untuk beberapa orang tentang suatu konsep atau fenomena. Fenomenolog mengeksplorasi struktur kesadaran dalam pengalaman manusia).

(49)

experience contain both the outward appearance and inward consciousness based on memory, image, and meaning”. (invarian struktur (atau esensi) atau arti yang mendasari pusat pengalaman dan menekankan intensionalitas kesadaran di mana pengalaman mengandung kedua penampilan luar dan kesadaran batin berdasarkan memori, gambar, dan makna).

Alasuutari (1995) menyatakan bahwa, “…..phenomenology is to look at how the individual tries to interpret the world and to make sense of it”. ("... fenomenologi adalah untuk melihat bagaimana individu mencoba untuk menafsirkan dunia dan masuk akal itu".)

Selanjutnya Husserl (Cuff and Payne, 1981) menyatakan bahwa, “Phenomenology referred to his atempt to described the ultimate foundations of human experience by ‘seeing beyond ‘ the particulars of everyday experiences in order to describe the ‘essences’ which underpin them.” ("Fenomenologi berusaha menggambarkan dasar utama pengalaman manusia dengan 'melihat luar' fakta-fakta dari pengalaman sehari-hari dalam rangka untuk menggambarkan 'esensi' yang mendukung mereka.").

Dari beberapa pandangan di atas dapat disimpulkan bahwa fenomenologi

sebagai metode didefinisikan sebagai studi yang berusaha menjelaskan arti dari

pengalaman hidup beberapa orang tentang suatu konsep atau fenomena. Tugas

utama fenomenologi adalah untuk mengeksplorasi struktur kesadaran dalam

pengalaman manusia seperti yang dikemukakan oleh Polkinghorne.

2. Logos

Memahami fenomenologi, terlebih dahulu harus mempertimbangkan dua

aspek penting yang biasa disebut dengan “logos”-nya fenomenologi, yakni

intentionality’ dan ‘bracketing’. Intensionalitas (intentionality) adalah maksud

memahami sesuatu, di mana setiap pengalaman individu memiliki sisi obyektif

dan subyektif. Jika akan memahami, maka kedua sisi itu harus dikemukakan. Sisi

obyektif fenomena (noema) artinya sesuatu yang bisa dilihat, didengar, dirasakan,

(50)

sisi subyektif (noesis) adalah tindakan yang dimaksud (intended act) seperti

merasa, mendengar, memikirkan, dan menilai ide (Suseno, 2006).

Aspek kedua ‘bracketing’ atau juga disebut reduksi fenomenologi, dimana

seorang “pengamat” berupaya menyisihkan semua asumsi umum yang dibuat

mengenai sesuatu fenomena. Seorang pengamat akan berusaha untuk menyisihkan

dirinya dari prasangka, teori, filsafat, agama, bahkan ‘common sense’ sehingga

dirinya mampu menerima gejala yang dihadapi sebagai mana adanya (Suseno,

2006).

Studi fenomenologi dalam pelaksanaannya memiliki beberapa tantangan

yang harus dihadapi peneliti. Creswell (1998) menjelaskan tantangan tersebut

yaitu:

“The researcher requires a solid grounding in the philosophical precepts of phenomenology. The participants in the study need to be carefully chosen to be individuals who have experienced the phenomenon. Bracketing personal experiences by the researcher may be difficult. The researcher needs to decide how and in what way his or her personal experiences will introduced into the study.” (“Peneliti membutuhkan landasan yang solid dalam ajaran filosofis fenomenologi. Para peserta dalam penelitian ini perlu hati-hati dipilih untuk menjadi individu yang telah mengalami fenomena tersebut. Mengurung pengalaman pribadi oleh peneliti mungkin sulit. Peneliti perlu menentukan bagaimana dan dalam hal apa-nya atau pengalaman pribadinya akan diperkenalkan ke ruang kerja”).

Hakekatnya tantangan itu harus mampu dihadapi oleh seorang

fenomenolog, penguasaan pada landasan filosofis dalam cara pikir fenomenologi,

kemampuan memilih individu sebagai subyek yang mengalami yang akan

dieksplorasi, kemampuan memelihara dan meningkatkan kemampuan logos

(51)

dikonstruksi oleh subyek penelitian. Tradisi Fenomenologi terbagi dalam tiga

bagian utama, yakni:

(i) Fenomenologi Klasik

Edmund Husserl, tokoh pendiri fenomenologi modern, adalah salah satu

pemikir fenomenologi klasik. Edmund Husserl dalam Spiegelberg (1994)

menjelaskan orang harus berdisiplin dalam menerima pengalaman itu. Dengan

kata lain, pengalaman secara individu adalah jalan yang tepat untuk menemukan

realitas. Hanya melalui ‘perhatian sadar’ (conscious attention), kebenaran dapat

diketahui.

Guna melakukan hal itu, kita harus menyingkirkan bias yang ada pada diri

kita. Kita harus meninggalkan berbagai kategori berpikir atau kebiasaan kita

melihat sesuatu agar dapat merasakan pengalaman sebagaimana apa adanya.

Melalui cara ini, berbagai objek di dunia dapat hadir dalam kesadaran kita.

Pandangan Husserl demikian dinilai sangat objektif karena hal itu mempengaruhi

proses merasakan pengalaman itu (Driyarkara, N. dan Sudiarja, A., 2006).

(ii)Fenomenologi Persepsi

Kebanyakan pendukung tradisi fenomenologi dewasa ini menolak pandangan

Husserl tersebut. Mereka justru mendukung gagasan bahwa pengalaman adalah

subjektif, tidak objektif, sebagaimana pandangan Husserl. Mereka percaya bahwa

subjektifitas justru sebagai pengetahuan yang penting. Tokoh penting dalam

tradisi ini adalah Mairice Marleau-Ponty, yang pandangannya dianggap mewakili

(52)

dianggap sebagai penolakan terhadap pandangan objektif namun sempit dari

Husserl.Menurut Ponty, manusia adalah mahluk yang memiliki kesatuan fisik dan

mental yang menciptakan makna terhadap dunianya yaitu hubungan dialogis di

mana suatu objek atau peristiwa mempengaruhi objek atau peristiwa lainnya

(Watloly, 2001).

(iii)Fenomenologi Hermeneutik

Cabang ketiga dalam tradisi ini disebut dengan fenomenologi hermeneutic

(hermeneutic phenomenology), yang mirip dengan fenomenologi persepsi, namun

dikembangkan secara luas, dengan menerapkannya secara lebih konperehensif

dalam komunikasi. Tokoh dalam tradisi ini adalah Martin Heidegger, yang

dikenal dalam karyanya philosofhical hermeneutic. Hal penting bagi Heidegger

adalah ‘pengalaman alami’ (natural experience) yang terjadi begitu saja ketika

orang hidup di dunia. Bagi Heidegger, realitas terhadap sesuatu tidak dapat

diketahui hanya melalui analisis yang hati-hati, tetapi melalui pengalaman alami

yang terbentuk melalui penggunaan bahasa dalam kehidupan setiap hari. Yang

dialami adalah sesuatu yang dialami melalui penggunaan alami bahasa dalam

konteks: it is in word and language that things first come into being and are (dalam kata-kata dan bahasalah sesuatu itu terwujud pertama kali dan ada)

(Watloly, 2001).

D. Budaya 5. Definisi

Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh

Referensi

Dokumen terkait

Kesimpulan Ekstrak daun kumis kucing ( Orthosiphion aristatus ) dosis 0,75 dan 1,25 g/kgBB memiliki kemampuan untuk menurunkan kadar glukosa darah lebih baik dari aquades

Pusat pemerintahan adan wilayah kekuasaan adalah atribut yang tidak dimiliki oleh setiap nama dalam silsilah tersebut, atribut ini hanya melekat pada raja-raja

Dari hasil perhitungan untuk menyerap 39,361 kg/j gas fluor dibutuhkan 3348,294 kg/j larutan NaOH 10% dengan diameter kolom 0,937 ft, tinggi packing 17,891 ft, waktu tinggal gas

Pada pertemuan tatap muka antara Daru dengan Lentera, yang mana mestinya sudah ada pengumpulan seluruh sisa majalah, ternyata Lentera mengumpulkan 20 dari 500

Dari hasil penelitian yang dilakukan, diperoleh informasi bahwa jalur transpotasi kereta api dari Bogor-Sukabumi-Bandung dibangun untuk mengangkut hasil

Temuan dari penelitian ini menunjukan bahwa dukhul sebagai alasan pambatalan ikrar talak di tinjau dari pemikiran hakim adalah sesuai pendapat hukum atau aturan

Metode berpikir yang diramu oleh para pemikir muslim seperti Ibn Rushd, Ibn al-Haytham, Jabir ibn Hayyan dan lain-lain yang dikemas dalam suatu cara pandang yang lebih elegan

Kaitanya dengan penjelasan diatas, ketika masalah biaya menjadi satu kendala untuk melangsungkan perkawinan, ada sebuah alternatif bagi masyarakat untuk melakukan