• Tidak ada hasil yang ditemukan

Makna 1. Makna dalam Konteks Fenomenologi 1.Makna dalam Konteks Fenomenologi

KAJIAN PUSTAKA

C. Makna 1. Makna dalam Konteks Fenomenologi 1.Makna dalam Konteks Fenomenologi

d. Definisi

Kata fenomenologi berasal dari bahasa Yunani, phenomenon, yaitu sesuatu yang tampak, yang terlihat karena berkecukupan. Dalam bahasa Indonesia biasa dipakai istilah gejala. Secara istilah, fenomenologi adalah ilmu pengetahuan (logos) tentang apa yang tampak. Dari pengertian tersebut dapat dipahami bahwa fenomenologi adalah suatu aliran yang membicarakan fenomena atau segala sesuatu yang tampak atau yang menampakkan diri (Bertens, 1981).

Fenomenologi ini mengacu kepada analisis kehidupan sehari-hari dari sudut pandang orang yang terlibat di dalamnya. Tradisi ini memberi penekanan yang besar pada persepsi dan interpretasi orang mengenai pengalaman mereka sendiri. Fenomenologi melihat komunikasi sebagai sebuah proses membagi pengalaman personal melalui dialog atau percakapan. Fenomenologi melihat kisah seorang individu lebih penting dan bermakna daripada hipotesis ataupun rumusan-rumusan dangkal yang diciptakan manusia (aksioma). Fenomenologi cenderung menentang segala sesuatu yang tidak dapat diamati. Fenomenologi juga cenderung menentang naturalisme (biasa juga disebut obyektifisme atau positifisme). Hal ini cukup beralasan; karena fenomenologi meyakini suatu bukti atau fakta dapat diperoleh tidak hanya dari dunia kultur dan natural, tetapi juga ideal, semisal angka, atau bahkan kesadaran hidup (Muhajir, 1989).

Fenomenologi, sejatinya, mencoba menepis semua asumsi yang mengkontaminasi pengalaman konkrit manusia. Inilah alasan mengapa fenomenologi disebut sebagai cara berfilsafat yang radikal. Fenomenologi menekankan upaya menggapai “hal itu sendiri” terlepas dari segala dugaan -dugaan awal (presuposisi).

Langkah pertama fenomenologi dalam berfilsafat adalah menghindari semua konstruksi, asumsi yang dipasang sebelum dan sekaligus mengarahkan pengalaman. Tak peduli apakah konstruksi filsafat, sains, agama, dan kebudayaan, semuanya harus dihindari sebisa mungkin. Semua penjelasan tidak boleh dipaksakan sebelum pengalaman menjelaskannya sendiri dari dan dalam pengalaman itu sendiri (Adian, 2002).

Fenomenologi menekankan perlunya filsafat melepaskan diri dari ikatan historis apapun, baik itu tradisi metafisika, epistimologi, atau pun sains. Program utama fenomenologi adalah mengembalikan filsafat ke penghayatan sehari-hari subjek pengetahuan; kembali ke kekayaan pengalaman konkrit manusia, lekat, dan penuh penghayatan. Perlu diketahui bahwa fenomenologi juga menolak klaim representasionalisme epistimologi modern. Dengan demikian, fenomenologi yang dipromosikan Husserl ini dapat disebut sebagai ilmu tanpa presuposisi. Hal ini jelas bertolak belakang dengan modus filsafat sejak Hegel menafikan kemungkinannya ilmu pengetahuan tanpa presuposisi, dimana presuposisi yang menghantui filsafat selama ini adalah naturalisme dan psikologisme (Adian, 2002).

Dalam perkembangan, munculnya filsafat fenomenologi telah memberikan pengaruh yang sangat luas. Hampir semua disiplin keilmuan mendapatkan inspirasi dari fenomenologi. Psikologi, sosiologi, antropologi, arsitektur sampai penelitian tentang agama semuanya memperoleh nafas baru dengan munculnya fenomenologi.

e. Sejarah

Ahli matematika Jerman Edmund Husserl, dalam tulisannya yang berjudul Logical Investigations (1900) mengawali sejarah fenomenologi. Fenomenologi sebagai salah satu cabang filsafat, pertama kali dikembangkan di universitas-universitas Jerman sebelum Perang Dunia I, khususnya oleh Edmund Husserl. Usaha ini kemudian dilanjutkan oleh Martin Heidegger dan yang lainnya, seperti Jean Paul Sartre, dan Ponty. Selanjutnya Sartre, Heidegger, dan Merleau-Ponty memasukkan ide-ide dasar fenomenologi dalam pandangan eksistensialisme. Adapun yang menjadi fokus dari eksistensialisme adalah eksplorasi kehidupan dunia makhluk sadar, atau jalan kehidupan subjek-subjek sadar.

Fenomenologi, dari sejarah pemikirannya, tidak dikenal setidaknya sampai menjelang abad ke-20. Abad ke-18 menjadi awal digunakannya istilah fenomenologi sebagai nama teori tentang penampakkan, yang menjadi dasar pengetahuan empiris (penampakan yang diterima secara inderawi). Istilah fenomenologi itu sendiri diperkenalkan oleh Johann Heinrich Lambert, pengikut Christian Wolff. Sesudah itu, filosof Immanuel Kant mulai sesekali menggunakan istilah fenomenologi dalam tulisannya, seperti halnya Johann Gottlieb Fichte dan

G.W.F.Hegel. Pada tahun 1889, Franz Brentano menggunakan fenomenologi untuk psikologi deskriptif. Dari sinilah awalnya Edmund Hesserl mengambil istilah fenomenologi untuk pemikirannya mengenai “kesengajaan”(Intentionality); orientasi pikiran terhadap satu objek (sesuatu) baik yang nyata maupun tidak nyata. Objek nyata yaitu segala sesuatu yang sengaja diciptakan untuk tujuan tertentu. Objek tidak nyata adalah abstraksi yang dirumuskan dan diakui oleh banyak orang, semisal konsep kesabaran, tanggung jawab, atau konsep abstrak lainnya yang tidak nyata.

f. Fenomenologi sebagai Metode 1. Tradisi

“People actively interpret their experience and come to unnderstand the world by personal experience with it……the process of knowing through direct ecperience is the province of phenomenology.” (Littlejohn and Foss, 2009) ("Orang-orang aktif menafsirkan pengalaman mereka dan datang untuk memahami dunia dengan pengalaman pribadi dengan itu ... proses mengetahui melalui pengalaman langsung adalah wilayah fenomenologi.")

Jika dilanjutkan dengan fenomenologi sebagai sebuah metodologi penelitian, walaupun ada juga yang lebih senang menyebut sebagi tradisi penelitian, maka kita dapat menelusuri beberapa pengertian yang sederhana.

Metode Fenomenologi, menurut Polkinghorne (Creswell, 1998) adalah, “a phenomenological study describes the meaning of the lived experiences for several individuals about a concept or the phenomenon. Phenomenologist explore the structure of cosciousness in human experiences“. (sebuah studi fenomenologis menjelaskan arti dari pengalaman hidup untuk beberapa orang tentang suatu konsep atau fenomena. Fenomenolog mengeksplorasi struktur kesadaran dalam pengalaman manusia).

Sedangkan menurut Husserl (Creswell, 1998). Peneliti fenomenologis berusaha mencari tentang, “The essential, invariant structure (or essence) or the central underlying meaning of the experience and emphasize the intentionality of consciousness where

experience contain both the outward appearance and inward consciousness based on memory, image, and meaning”. (invarian struktur (atau esensi) atau arti yang mendasari pusat pengalaman dan menekankan intensionalitas kesadaran di mana pengalaman mengandung kedua penampilan luar dan kesadaran batin berdasarkan memori, gambar, dan makna).

Alasuutari (1995) menyatakan bahwa, “…..phenomenology is to look at how the individual tries to interpret the world and to make sense of it”. ("... fenomenologi adalah untuk melihat bagaimana individu mencoba untuk menafsirkan dunia dan masuk akal itu".)

Selanjutnya Husserl (Cuff and Payne, 1981) menyatakan bahwa, “Phenomenology referred to his atempt to described the ultimate foundations of human experience by ‘seeing beyond ‘ the particulars of everyday experiences in order to describe the ‘essences’ which underpin them.” ("Fenomenologi berusaha menggambarkan dasar utama pengalaman manusia dengan 'melihat luar' fakta-fakta dari pengalaman sehari-hari dalam rangka untuk menggambarkan 'esensi' yang mendukung mereka.").

Dari beberapa pandangan di atas dapat disimpulkan bahwa fenomenologi sebagai metode didefinisikan sebagai studi yang berusaha menjelaskan arti dari pengalaman hidup beberapa orang tentang suatu konsep atau fenomena. Tugas utama fenomenologi adalah untuk mengeksplorasi struktur kesadaran dalam pengalaman manusia seperti yang dikemukakan oleh Polkinghorne.

2. Logos

Memahami fenomenologi, terlebih dahulu harus mempertimbangkan dua aspek penting yang biasa disebut dengan “logos”-nya fenomenologi, yakni ‘intentionality’ dan ‘bracketing’. Intensionalitas (intentionality) adalah maksud memahami sesuatu, di mana setiap pengalaman individu memiliki sisi obyektif dan subyektif. Jika akan memahami, maka kedua sisi itu harus dikemukakan. Sisi obyektif fenomena (noema) artinya sesuatu yang bisa dilihat, didengar, dirasakan, dipikirkan, atau sekalipun sesuatu yang masih akan dipikirkan (ide). Sedangkan

sisi subyektif (noesis) adalah tindakan yang dimaksud (intended act) seperti merasa, mendengar, memikirkan, dan menilai ide (Suseno, 2006).

Aspek kedua ‘bracketing’ atau juga disebut reduksi fenomenologi, dimana seorang “pengamat” berupaya menyisihkan semua asumsi umum yang dibuat mengenai sesuatu fenomena. Seorang pengamat akan berusaha untuk menyisihkan dirinya dari prasangka, teori, filsafat, agama, bahkan ‘common sense’ sehingga dirinya mampu menerima gejala yang dihadapi sebagai mana adanya (Suseno, 2006).

Studi fenomenologi dalam pelaksanaannya memiliki beberapa tantangan yang harus dihadapi peneliti. Creswell (1998) menjelaskan tantangan tersebut yaitu:

“The researcher requires a solid grounding in the philosophical precepts of phenomenology. The participants in the study need to be carefully chosen to be individuals who have experienced the phenomenon. Bracketing personal experiences by the researcher may be difficult. The researcher needs to decide how and in what way his or her personal experiences will introduced into the study.” (“Peneliti membutuhkan landasan yang solid dalam ajaran filosofis fenomenologi. Para peserta dalam penelitian ini perlu hati-hati dipilih untuk menjadi individu yang telah mengalami fenomena tersebut. Mengurung pengalaman pribadi oleh peneliti mungkin sulit. Peneliti perlu menentukan bagaimana dan dalam hal apa-nya atau pengalaman pribadinya akan diperkenalkan ke ruang kerja”).

Hakekatnya tantangan itu harus mampu dihadapi oleh seorang fenomenolog, penguasaan pada landasan filosofis dalam cara pikir fenomenologi, kemampuan memilih individu sebagai subyek yang mengalami yang akan dieksplorasi, kemampuan memelihara dan meningkatkan kemampuan logos fenomenologi, dan memilih serta memilah pengalaman bermakna yang

dikonstruksi oleh subyek penelitian. Tradisi Fenomenologi terbagi dalam tiga bagian utama, yakni:

(i) Fenomenologi Klasik

Edmund Husserl, tokoh pendiri fenomenologi modern, adalah salah satu pemikir fenomenologi klasik. Edmund Husserl dalam Spiegelberg (1994) menjelaskan orang harus berdisiplin dalam menerima pengalaman itu. Dengan kata lain, pengalaman secara individu adalah jalan yang tepat untuk menemukan realitas. Hanya melalui ‘perhatian sadar’ (conscious attention), kebenaran dapat diketahui.

Guna melakukan hal itu, kita harus menyingkirkan bias yang ada pada diri kita. Kita harus meninggalkan berbagai kategori berpikir atau kebiasaan kita melihat sesuatu agar dapat merasakan pengalaman sebagaimana apa adanya. Melalui cara ini, berbagai objek di dunia dapat hadir dalam kesadaran kita. Pandangan Husserl demikian dinilai sangat objektif karena hal itu mempengaruhi proses merasakan pengalaman itu (Driyarkara, N. dan Sudiarja, A., 2006).

(ii)Fenomenologi Persepsi

Kebanyakan pendukung tradisi fenomenologi dewasa ini menolak pandangan Husserl tersebut. Mereka justru mendukung gagasan bahwa pengalaman adalah subjektif, tidak objektif, sebagaimana pandangan Husserl. Mereka percaya bahwa subjektifitas justru sebagai pengetahuan yang penting. Tokoh penting dalam tradisi ini adalah Mairice Marleau-Ponty, yang pandangannya dianggap mewakili gagasan mengenai fenomenologi persepsi. (phenomenology of perception) yang

dianggap sebagai penolakan terhadap pandangan objektif namun sempit dari Husserl.Menurut Ponty, manusia adalah mahluk yang memiliki kesatuan fisik dan mental yang menciptakan makna terhadap dunianya yaitu hubungan dialogis di mana suatu objek atau peristiwa mempengaruhi objek atau peristiwa lainnya (Watloly, 2001).

(iii)Fenomenologi Hermeneutik

Cabang ketiga dalam tradisi ini disebut dengan fenomenologi hermeneutic (hermeneutic phenomenology), yang mirip dengan fenomenologi persepsi, namun dikembangkan secara luas, dengan menerapkannya secara lebih konperehensif dalam komunikasi. Tokoh dalam tradisi ini adalah Martin Heidegger, yang dikenal dalam karyanya philosofhical hermeneutic. Hal penting bagi Heidegger adalah ‘pengalaman alami’ (natural experience) yang terjadi begitu saja ketika orang hidup di dunia. Bagi Heidegger, realitas terhadap sesuatu tidak dapat diketahui hanya melalui analisis yang hati-hati, tetapi melalui pengalaman alami yang terbentuk melalui penggunaan bahasa dalam kehidupan setiap hari. Yang dialami adalah sesuatu yang dialami melalui penggunaan alami bahasa dalam konteks: it is in word and language that things first come into being and are (dalam kata-kata dan bahasalah sesuatu itu terwujud pertama kali dan ada) (Watloly, 2001).

D. Budaya

Dokumen terkait