• Tidak ada hasil yang ditemukan

Paradigma dan Pendekatan Penelitian

METODE PENELITIAN

D. Paradigma dan Pendekatan Penelitian

Paradigma penelitian kualitatif ini menggunakan pendekatan fenomenologi. Menurut Straus dan Corbin dalam Creswell (1998), yang dimaksud dengan penelitian kualitatif adalah jenis penelitian yang menghasilkan temuan-temuan yang tidak bisa dicapai melalui perhitungan kuantitatif. Pendekatan kualitatif merupakan suatu proses penelitian dan pemahaman yang berdasarkan pada metodologi yang menyelidiki fenomena sosial dan masalah manusia. Pada pendekatan ini, peneliti membuat suatu gambaran kompleks, meneliti kata-kata, laporan terinci dari pandangan informan, dan melakukan studi pada situasi yang alami (Creswell, 1998). Bogdan dan Bilken (1992) juga mengungkapkan pandangannya perihal pendekatan kualitatif. Kualitatif bagi mereka adalah salah satu prosedur penelitian yang menghasilkan data deskripsi

berupa ucapan atau catatan tentang perilaku orang-orang yang diamati. Poerwandari (1998) juga mengungkapkan penelitian kualitatif adalah penelitian untuk menghasilkan dan mengolah data yang sifatnya deskriptif; seperti transkripsi wawancara, catatan lapangan, gambar, foto rekaman video dan lain-lain.

Pandangan beberapa tokoh terkemuka dapat dirangkum dengan pernyatan ini; penelitian kualitatif dinilai sebagai deskripsi tentang segala sesuatu pada informan yang tengah diteliti. Dalam penelitian kualitatif perlu menekankan pentingnya kedekatan dengan orang-orang dan situasi penelitian. Hal ini penting agar peneliti memperoleh pemahaman jelas tentang realitas dan kondisi kehidupan nyata(Patton dalam Poerwandari, 1998).

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan pendekatan fenomenologi. Penelitian fenomenologi berusaha menjelaskan makna konsep atau pengalaman yang didasari oleh kesadaran yang terjadi pada individu. Penelitian ini dilakukan dalam situasi yang alami, sehingga tidak ada batasan dalam memaknai atau memahami fenomena yang dikaji.

Sebelum lebih jauh mengulas pokok fenomenologi, peneliti berusaha menjelaskan terlebih dahulu dasar lahirnya fenomenologi yang menjadi landasan utama penelitian ini. Menurut Creswell (1998), pendekatan fenomenologi menunda semua penilaian tentang sikap yang alami sampai ditemukan dasar tertentu. Penundaan ini biasa disebut epoche (jangka waktu). Konsep epoche mengidentifikasikan pokok pembeda wilayah data (informan) dengan interpretasi peneliti. Konsep epoche memiliki posisi yang menentukan, sebab peneliti

menyusun dan mengelompokkan dugaan awal tentang fenomena guna memahami fakta yang disampaikan informan.

Smith (2007) berusaha menemukan konsep fenomenologi ala Husserl. Husserl mendefinisikan fenomenologi sebagai upaya memahami kesadaran (intensionalitas) dari sudut pandang subyektif orang pertama. Fenomenologi secara literal adalah studi tentang fenomena, mengenai perihal yang tampak pada pengalaman subyektif; bagaimana manusia mengalami segala sesuatu disekitarnya.

Posisi “makna” dalam fenomenologi dinilai konsep yang sangat penting. Smith, pada penelitiannya tentang Husserl, mengungkapkan bahwa makna merupakan isi penting dari pengalaman sadar manusia. Pengalaman setiap individu bisa sama namun makna dari pengalaman tersebut bisa berbeda-beda. Makna, di sini, berperan sebagai pokok pembeda pengalaman dari satu individu dengan individu lain. Tindakan memaknai kesadaran manusia menyentuh suatu struktur teratur dari segala sesuatu yang ada disekitarnya. Walaupun demikian menurut Husserl, makna bukanlah obyek kajian ilmu-ilmu empiris. Makna adalah obyek kajian logika murni (pure logic) atau semantik. Maka dalam arti ini fenomenologi adalah suatu sintesis antara psikologi, filsafat, dan semantik; atau logika murni (Smith, 2007).

Usaha Husserl menjadikan fenomenologi sebagai sintesis dari psikologi, filsafat, dan semantik berakar pada pembagian Brentano pada psikologi yaitu psikologi deskriptif dan psikologi genetis. Psikolgi deskriptif berusaha memahami dinamika kehidupan mental manusia. Sementara psikologi genetis

ingin memahami dinamika mental manusia dengan kaca mata ilmu-ilmu genetika yang sifatnya biologistik.

Dalam pandangan Husserl, fenomenologi menjadi suatu displin yang memiliki status otonom. Ia pun merumuskannya secara lugas, yakni sebagai ilmu tentang esensi kesadaran; kesadaran manusia tidak pernah berdiri sendiri. Kesadaran selalu merupakan kesadaran atas sesuatu. Inilah yang disebut dengan intensionalitas, suatu konsep yang sangat sentral di dalam fenomenologi Husserl. Dari argumentasi di atas, pokok yang ingin ditegaskan Husserl terletak pada apa yang ditampakkan individu sebagai makna dari yang dialaminya (Smith, 2007).

Fenomenologi Husserl hendak menganalisis dunia kehidupan manusia sebagaimana ia mengalaminya secara subyektif maupun intersubyektif dengan manusia lainnya. Sebenarnya ia membedakan antara apa yang subyektif, intersubyektif, dan yang obyektif. Hal-hal yang termasuk dalam kategori subyektif adalah pengalaman pribadi kita sebagai manusia yang menjalani kehidupan. Obyektif adalah dunia di sekitar kita yang sifatnya permanen di dalam ruang dan waktu. Dan intersubyektitas adalah pandangan semua orang yang terlibat di dalam aktivitas sosial di dalam dunia kehidupan. Interaksi antara dunia subyektif, dunia obyektif, dan dunia intersubyektif inilah yang menjadi kajian fenomenologi. Fenomenologi membuka kesadaran baru di dalam metode penelitian filsafat dan ilmu-ilmu sosial. Kesadaran bahwa manusia selalu terarah pada dunia, dan keterarahan ini melibatkan suatu horison makna yang disebut sebagai dunia kehidupan. Di dalam konteks itulah pemahaman tentang manusia dan kesadaran dapat ditemukan (Smith, 2007).

Menjelaskan fenomenologi, Heidegger berangkat dari definisi fenomenologi yang diprakarsainya sendiri. Fenomenologi menurut Heidegger adalah gabungan kata phainomenon dan logos. Phainomenon (bahasa Yunani) diambil dari kata kerja ”menampakkan dirinya“, manifestasi. Manifestasi di sini berarti dapat terlihat atau dapat tampak dalam dirinya sendiri, sehingga pengertian phenomenon secara lengkap adalah yang menampakkan diri pada dirinya sendiri (that which shows itself in itself). Sementara logos berarti apa yang sedang dibicarakan dalam wacana seseorang dari penampakkan tersebut. Dalam wacana, logos mengambil pengertian sebagai membiarkan sesuatu tampak. Ketika sebuah wacana dimunculkan, wacana itu sendiri menampakkan apa yang sedang dibicarakan. Dengan demikian, pengertian fenomenologi adalah membiarkan yang menampakkan dirinya tertampak dari dirinya dengan cara menampakkan dirinya dari dirinya sendiri (Riyanto, 2001).

Penampakkan yang dimaksud Heidegger dibagi atas dua bagian yaitu kemiripan dan penampilan. Kemiripan yaitu satu fenomena tampak mirip dengan sesuatu. Sedangkan penampilan adalah sesuatu yang tampak dalam bentuk yang lain. Dengan demikian menurut Heidegger jenis penampakkan penampilan dipahami sebagai penampakan Ada; dimana Ada tidak menampakkan diri seluruhnya, karena dalam penampakannya Ada sekaligus menyembunyikan diri. Ada yang menyembunyikan diri hanya bisa didekati dengan membiarkan dia menampakkan dirinya pada dirinya sendiri. Pemahaman ini yang menjadi cikal bakal Heidegger menikung dari pemikiran Husserl. Dengan demikian disimpulkan bahwa membiarkan Ada menampakkan diri pada dirinya sendiri (Riyanto, 2001).

“Ada” menampakkan diri mengandung pengertian bahwa kita tidak bisa memaksakan berbagai penafsiran melainkan membuka diri agar “Ada” terlihat. Salah satu cara untuk mengungkapkan keberadaan suatu “ada” melalui Dasein. Heidegger menerjemahkan Dasein sebagai yang ada di sana. Dasein dalam hal ini secara harafiah adalah manusia. Heidegger tidak menggunakan kata manusia karena dalam sejarah filsafat manusia mengacu pada definisinya sebagai benda.

Relasi antara Dasein dengan Ada inilah yang disebut eksistensi. Dasein mengalami, namun Dasein tidak hanya berelasi dengan Ada tetapi berelasi juga dengan Dasein lain. Relasi Dasein seperti inilah yang akan mempertemukan Dasein dengan segala sesuatu yang siap dipakai; peralatan dan apa yang terberi begitu saja. Keberadaan Dasein di dunia bukanlah sesuatu yang dipilihnya melainkan sudah ditentukan baginya. Dasein terlempar begitu saja di dalam dunia, tanpa tahu darimana dan mau kemana. Keterlemparan inilah yang disebut Heidegger sebagai faktisitas. Dasein terlempar di dalam dunia. Dalam kondisi berada di dunia, Dasein dimungkinkan untuk bersentuhan dengan Ada. Persentuhan dengan Ada terjadi pada saat dia dihadapkan pada kecemasan (angst) dan kesadaran akan kemungkinan kematian. Angst tidak dapat didefinisikan dan tidak mempunyai objek yang dicemaskan. Angst bertolak pada pengalaman Dasein sebagai ada-di-dalam-dunia. Dengan kata lain, kecemasan Dasein, adalah tentang adanya-di-dalam dunia itu sendiri. Keadaan terlempar begitu saja tanpa mengetahui darimana dan mau kemana (Riyanto, 2001).

Konsep keterlemparan Heidegger ini kerap menjelaskan tentang peristiwa kelahiran dan kematian. Manusia (Dasein) tidak pernah memilih untuk dilahirkan

dari siapa, di mana, dan kapan. Kelahiran manusia dilihat sebagai sesuatu yang terberi; manusia berada di dunia dimaknai sebagai sebuah peristiwa “keterlemparan”. Kemudian, kematian adalah batas yang juga bersifat terberi untuk memberi makna pada kehidupan manusia. Dapat dibayangkan seandainya kehidupan manusia bersifat abadi (tanpa kematian), betapa gamangnya hidup tersebut. Kematian dianugerahkan agar manusia menemukan makna atas kehidupannya (Riyanto, 2001).

Ditegaskan lagi membicarakan yang terberi begitu saja berarti dihadapkan pada persoalan eksitensi; Dasein yang terlempar tanpa tahu dari dan akan ke mana. Heidegger menjabarkan persoalan ini pada konsep waktu yang dia tawarkan; karena waktu menampakkan diri dalam kesadaran begitu saja. Tapi perlu disadari bahwa menangkap fenomena yang sangat subtle seperti waktu tidak semudah melukiskan objek yang jelas-jelas kelihatan secara fisikalnya. Maka, Heidegger memerlukan sarana-sarana baru, di mana waktu itu dihayati oleh manusia. Maksud Heidegger untuk menjelaskan hal tersebut dapat digambarkan dengan ungkapan waktu merupakan yang dihayati dalam berbagai kegiatan manusia(Riyanto, 2001).

Menurut konsep Heidegger, hal paling utama adalah kegiatan itu sendiri, yaitu sibuk, atau kesibukan (manusia itu sibuk). Menurut Heidegger, kesibukan itu sebenarnya adalah fenomena waktu. Ketika kita sibuk, itu maknanya kita sedang terlibat dan berjibaku dengan waktu. Begitu juga ketika informan gelisah, atau cemas, atau merasa sepi, atau merasa bosan dan mengerti masa lalu, itu juga

adalah fenomen waktu yaitu bagaimana waktu menampakkan diri dalam kesadaran manusia (Magee, 2001).

Perbedaan mendasar antara pandangan Husserl dengan Heidegger yaitu terletak pada pemahaman tentang intentionalitas (intentionality). Husserlmemahami intentionalitas secara epistemologi sedangkan Heidegger memahami intentionalitas secara ontologi. Bagi Husserl, intentionalitas itu menyangkut persoalan pengetahuan; bagaimana intensionalitas itu dipertanggungjawabkan dan dipertahankan sebagai ilmu pengetahuan. Manakala, intenisonalitas bagi Heidegger dipahami sebagai persoalan ontologis. Menyangkut persoalan ada-nya realitas tersebut.

Dokumen terkait