• Tidak ada hasil yang ditemukan

Faktor lingkungan

METODE PENELITIAN

4.1 Hasil Penelitian

4.1.1 Deskripsi subyek penelitian

Penelitian ini dilakukan dari bulan Juni-November 2013, melibatkan 17

anak gangguan autistik terdiri dari 13 orang anak laki-laki dan 4 orang anak

perempuan. Terdapat 8 orang anak yang sedang belajar di Yayasan Autism

YAKARI Medan dan 9 orang anak yang sedang belajar di SLB Negeri Binjai.

Sebagian besar anak (58,8%) berada pada rentang usia sekolah (6-12 tahun), usia

termuda 4 tahun dan yang tertua 15 tahun (rata-rata usia 9,5 tahun ± 3,74).

Diagnosis gangguan autistik diketahui pada usia 1-3 tahun saat pemeriksaan ke

dokter dan psikhiater. Mereka semua berasal dari berbagai suku, agama, wilayah

tempat tinggal, berbagai latar belakang pendidikan dan pekerjaan orang tua.

Untuk kelompok kontrol melibatkan 17 orang anak normal tanpa gangguan

perkembangan fisik dan mental pada kelompok umur yang sama.

Di dalam penelitian ini subyek gangguan autistik menjalani diet non

glutein, namun setiap subyek berbeda-beda dalam kepatuhannya menjalani diet

tersebut. Para terapis mengatakan banyak diantara murid mereka yang mengalami

gangguan autistik, gejala autism berkurang jika mereka patuh menjalani dietnya

dan gejalanya bertambah jika mereka mengkonsumsi makanan yang mengandung

lunak karena terdapat gangguan fungsi organ mulut. Selain itu terdapat 1 subyek

yang mengkonsumsi jenis sayuran dan ikan tertentu saja.

Diantara 17 orang anak gangguan autistik hanya 2 orang yang baru belajar

<1 tahun ditempat terapi autism, sedangkan yang lainnya sudah belajar >1 tahun.

Gambaran data demografi subyek dapat dilihat pada tabel 4.1. dibawah.

Tabel 4.1. Distribusi frekuensi data demografi anak gangguan autistik di Yayasan Autism Medan (YAKARI) dan SLB Negeri Binjai tahun 2013 (n = 17)

No Karakteristik demografi Frekuensi (f) Persentase (%)

1. Jenis kelamin Laki-laki Perempuan 12 orang 5 orang 70,6 29,4 2. Usia Balita ( < 5 tahun ) Usia sekolah ( 6-12 tahun) Remaja ( 13-19 tahun) 3 orang 9 orang 5 orang 17,6 52,9 29,4 3. Agama Islam Kristen 12 orang 5 orang 70,6 29,4

4. Tingkat pendidikan orang tua

SMP SMA Diploma Sarjana 1 orang 4 orang 6 orang 6 orang 5,9 23,5 35,3 35,3

5. Pekerjaan orang tua

Petani Pegawai negri Wiraswasta 1 orang 5 orang 11 orang 5,9 29,4 64,7

6. Riwayat keluarga (saudara kandung

gangguan autistik / gangguan perkembangan mental lain)

Gangguan autistik Retardasi mental

Saudara kandung tanpa gangguan perkembangan mental - 1 orang 16 orang 5,9 94,1

4.1.2 Nilai CARS

Sebagian besar subyek gangguan autistik dalam penelitian ini (70,6%)

mempunyai gejala autisme berat. Hanya 5 subyek (29,4%) yang mempunyai

gejala autism ringan. Nilai CARS tertinggi adalah 53, nilai terendah 32 dan

rata-rata 41,7 ± 6,24. Terdapat 1 subyek yang mempunyai riwayat kejang, 4 subyek

yang sangat takut dengan benda-benda tertentu seperti gunting dan pisau, 1

subyek yang mempunyai riwayat gangguan tidur dan 1 subyek yang mempunyai

masalah kesehatan lain (batu saluran kemih, gangguan fungsi organ mulut). Nilai

CARS pada subyek kontrol semuanya (n=17) 15 dan tidak ada yang mempunyai

masalah kesehatan.

Tabel 4.2 Nilai CARS pada subyek gangguan autistik di Yayasan Autisme YAKARI dan SLB Negeri Binjai tahun 2013 (n = 17)

Derajat Autism (nilai CARS) Frekuensi (f) Persentase (%) Autistik ringan-sedang (30-36,5) 5 29,4 Autistik sedang-berat (37-60) 12 70,6 Jumlah 17 100,0

Hasil uji normalitas nilai CARS subyek gangguan autistik dengan Shapiro

Wilk nilai signifikansi 0,678, rasio Skewness 0,033 dan rasio Kurtosis 0,88,

menunjukkan data nilai CARS berdistribusi normal (p > 0,05, rasio Skewness

dan Kurtosis antara -3,29 s.d 3,29).

4.1.3 Kadar raksa (Hg)

Kadar Hg pada sebagian subyek gangguan autistik (41,2%) berada diatas

Pada subyek normal kadar Hg diatas normal dijumpai pada 3 orang subyek, nilai

tertinggi 2,40 ppm dan terendah 0,29 ppm. Secara keseluruhan terdapat 10 subyek

yang kadar Hg dalam rambutnya berada diatas normal (>2,1 ppm). Untuk lebih

jelas dapat dilihat pada tabel dibawah ini.

Tabel 4.3 Distribusi frekuensi kadar Hg pada kelompok subyek gangguan autistik dan subyek normal

Kadar Hg normal (< 2 ppm)

Kadar Hg diatas normal

(> 2,1 ppm) Jumlah f % f % Subyek gangguan autistik 10 58,8 7 41,2 17 Subyek normal 14 82,4 3 17,6 17 Jumlah 24 70,5 10 29,5 34

Rata-rata kadar Hg pada subyek gangguan autistik 1,82 ppm ± 0,52 dan

rata-rata kadar Hg pada subyek normal 0,91 ppm ± 0,68. Hasil uji normalitas

kadar Hg subyek gangguan autistik dengan Shapiro Wilk nilai signifikansi 0,022,

menunjukkan data kadar Hg subyek gangguan autistik tidak berdistribusi normal

(p < 0,05). Di bawah ini dapat dilihat Normal Q-Q plot kadar Hg pada rambut subyek gangguan autistik.

Gambar 4.1 Normal Q-Q plot kadar Hg pada subyek autism

Kadar Hg pada subyek kontrol juga tidak berdistribusi normal ( p 0,001), dan Normal Q-Q plot kadar Hg pada rambutnya dapat dilihat pada gambar dibawah ini.

Gambar 4.2 Normal Q-Q plot kadar Hg pada subyek normal

Setelah dilakukan transformasi data dan dilakukan uji distribusi dan

homogenitas data, didapatkan data kadar Hg pada subyek gangguan autistik dan

telah dilakukan 3 kali transformasi. Maka dilanjutkan dengan uji non parametrik

yaitu uji Mann-Whitney (uji untuk membandingkan 2 kelompok data yang tidak

berdistribusi normal dan atau tidak homogen).

Tabel 4.4 Perbedaan rerata kadar Hg pada subyek gangguan autistik dan subyek normal dengan uji Mann-Whitney

n Median (minimum-maksimum) Rerata ±SD p Kadar Hg subyek gangguan autistik 17 1,96 (0,89-2,40) 1,819±0,524 0,001 Kadar Hg subyek Normal 17 0,67 (0,29-2,40) 0,616±0,269

Berdasarkan uji Mann-Whitney di dapat p = 0,001, menunjukkan kadar

Hg pada subyek kontrol dan subyek dengan gangguan autistik adalah berbeda

sangat nyata (p < 0,05). Untuk mengetahui perbedaan rerata kadar Hg pada

subyek gangguan autistik ringan-sedang dan autistik sedang-berat juga dilakukan

dengan uji Mann-Whitney. Hasilnya dapat dilihat pada tabel dibawah ini.

Tabel 4.5 Perbedaan rerata kadar Hg pada anak gangguan autistik ringan-sedang dan gangguan autistik sedang-berat (n=17)

n Median (minimum-maksimum) Rerata ±SD p Autistik ringan-sedang (30-36,5) 5 2,20 (1,02-2,40) 1,92±0,27 0,328 Autistik sedang-berat (37-60) 12 1,96 (0,89-2,32) 1,78±0,15

Pada tabel 4.5 diatas dapat dilihat tidak ada perbedaan bermakna rerata

kadar Hg pada kelompok anak gangguan autistik ringan-sedang dengan anak

autistik sedang-berat, nilai signifikansi (p) > 0,05.

Sebaran kadar Hg pada berbagai keadaan keparahan gejala autism yang

dinilai berdasarkan CARS pada subyek gangguan autistik dapat dilihat pada

Scatter plot dibawah ini.

Gambar 4.3 Scatter plot nilai kadar Hg dan CARS pada subyek gangguan autistik

Pada scatter plot diatas dapat dilihat sebaran kadar Hg yang >2,1 ppm tidak hanya dijumpai pada anak dengan keparahan gangguan autistik

sedang-berat, tetapi juga dijumpai pada anak dengan gangguan autistik ringan-sedang.

Berdasarkan hal tersebut diatas, maka itu tidak diperlukan uji statistik

untuk menilai korelasi kadar Hg dengan nilai keparahan derajat autisme.

Tinggi rendahnya Hg di dalam rambut di pengaruhi oleh berbagai faktor,

antara lain sumber paparan, kemampuan tubuh mengeksresi dan lain-lain. Tabel

0 0,5 1 1,5 2 2,5 3 0 20 40 60 µ g H g p e r g r a m b u t Nilai CARS Kadar HG

4.6 dibawah ini memperlihatkan gambaran kemungkinan sumber paparan Hg dan

rata-rata kadar Hg dalam rambut.

Tabel 4.6 Sumber paparan Hg dan rerata kadar Hg pada subyek gangguan autistik (n=17) dan subyek normal (n=17)

Paparan terhadap Hg

Subyek Gangguan Autistik Subyek Normal

f % Mean

[Hg]±SD

f % Mean

[Hg]±SD

Imunisasi

• Imunisasi dasar tidak lengkap • Imunisasi dasar lengkap • Imunisasi dasar lengkap, MMR, HiB, Tifoid 0 12 5 0 70 29 0 1,69 ± 0,57 2,13 ± 0,16 1 6 9 5,8 41 53 - 1,19 ± 0,83 0,27 ± 0,27 Konsumsi ikan :

• Menu ikan hampir

setiap makan

• Menu ikan jarang

(tidak setiap makan)

15 2 88 1,84±0,5 1,67±0,9 9 8 53 1,16±0,85 0,62±0,3

Tidak semua hal terkait faktor resiko kemungkinan paparan Hg dapat di

hitung mean scor-nya karena sebagian faktor tidak dialami oleh subyek atau

hanya dialami oleh sebagian kecil subyek saja.

4.2 Pembahasan

Hasil uji statistik penelitian ini menunjukkan rata-rata kadar Hg pada

subyek anak dengan gangguan autistik lebih tinggi bermakna dibandingkan

pada subyek kontrol (anak normal) dengan nilai signifikansi (p) 0,001. Hasil

perbedaan bermakna rerata kadar Hg pada rambut anak gangguan spektrum

autisme dibandingkan di rambut subyek normal di mana kadar Hg dalam rambut

subyek autisme lebih tinggi bermakna.

Konsentrasi Hg dalam rambut sering digunakan sebagai biomarker untuk

paparan oleh methylmerkuri. Level Hg normal di rambut 1-2 ppm (atau 1-2

microgram/gram), tetapi pada orang yang mengkonsumsi ikan 1 kali atau lebih

sering per hari dapat mempunyai level Hg di rambut lebih dari 10 ppm. Diantara

populasi umum di Jepang, konsentrasi Hg dirambut antara 1-5 ppm dan jarang

melebihi 10 ppm (WH0, 2008 dan Ministry of the Environment, Japan, 2004). Di

dalam penelitian ini, hampir semua subyek autism mengkonsumsi ikan dalam

hampir setiap kali sajian makan, sedang pada subyek kontrol sebagian subyek

sering mengkonsumsi ikan dan sebagian yang lain jarang mengkonsumsi ikan.

Pada tabel 4.6 dapat dilihat rata-rata kadar Hg pada subyek yang mengkonsumsi

ikan lebih tinggi (1,16±0,85) dibandingkan yang lebih jarang mengkonsumsi ikan

(0,62±0,3).

Raksa mempunyai afinitas terhadap lipid dalam tubuh organisme sehingga

cenderung lebih terakumulasi dan terbiomagnefikasi dibandingkan bentuk logam

berat lainnya. Oleh organisme akuatik Hg di akumulasi dalam bentuk metil

merkuri atau ion Hg2+ pada seluruh jejaring makanan (Suseno H, dkk, 2010).

Tiga sumber utama paparan Hg pada anak adalah konsumsi seafood, penggunaan

dental amalgam, dan vaksinasi pada bayi. Wanita yang teratur mengkonsumsi ikan, Hg lebih banyak dalam darah mereka dibandingkan yang tidak

yang mana jika sekali mengkonsumsi 200 gram mengandung Hg sekitar 200

microgram.

Sumber paparan Hg pada anak gangguan autistik bisa dalam bentuk

merkuri elemental (uap merkuri elemental yang didapat saat prenatal dari ibu

hamil yang menggunakan dental amalgam atau dari sumber lain), merkuri

inorganik (terpapar saat prenatal, seperti ibu hamil yang mengkonsumsi

ikan/makanan yang tercemar, atau setelah lahir anak mengkonsumsi ikan yang

tercemar, ASI dari ibu mengkonsumsi makanan yang tercemar Hg). Selain itu

juga paparan oleh merkuri organik (terpapar saat prenatal yang didapat dari

thimerosal saat ibu hamil divaksinasi atau didapat selama post natal dari

thimerosal saat vaksinasi).

Jika dilihat ada tidaknya perbedaan rerata kadar Hg pada subyek gangguan

autistik ringan-sedang dan autistik sedang-berat, ternyata tidak ada perbedaan

bermakna, (p) > 0,05. Maka dapat dipastikan hubungan kadar Hg dengan

keparahan gejala autism pada anak gangguan autistik akan sangat lemah dan

tidak bermakna. Hasil ini berbeda dengan temuan oleh El Baz et al. (2010) dan Geier D.A et al. (2012) yang menunjukkan peningkatan konsentrasi Hg di rambut mempunyai hubungan yang signifikan dengan peningkatan keparahan autisme.

Sebaliknya tidak dijumpai hubungan yang signifikan antara logam toksik lain

yang diperiksa dirambut dengan keparahan autisme pada sampel.

Walaupun paparan logam berat (air raksa) terjadi pada setiap anak, namun

hanya sebagian kecil anak saja yang mengalami gejala gangguan autistik. Hal ini

metalotionin. Beberapa penelitian pada subyek dengan gangguan autistik

didapatkan ditemukan adanya gangguan metabolisme metalotionin.

Metalotionin merupakan sistem yang utama yang dimiliki tubuh dalam

mendetoksifikasi Hg, timbal dan logam berat lainnya. Setiap logam berat

memiliki afinitas yang berbeda terhadap metalotionin. Raksa memiliki afinitas

yang paling kuat terhadap metalotianin dibandingkan logam berat lainnya seperti

tembaga, perak atau seng.

Glutation merupakan salah satu metalotionin dalam tubuh. Neurotoksisitas

Hg dihubungkan dengan kekurangan glutation. Hg mengikat pada grop cystein

thiol (-SH) pada protein intraselular dan menginaktifkan fungsi mereka. Glutation

berperan utama dalam mekanisme eksresi Hg. Individu dengan genetik defisiensi

sintesa glutation, kurang mampu mengeksresi Hg, membuat mereka lebih sensitif

terhadap efek yang kurang baik (Geier dan Geier, 2007).

Kekurangan atau defisiensi sistem antioksidan selular telah terlihat pada

sejumlah anak gangguan autistik. Temuan yang umum pada anak gangguan

autistik adalah berupa abnormalitas level glutation eritrosit (rendah) (Research

Autism Institute, 2005). Glutation merupakan tripeptida dari cysteine, glycine,

dan glutamat yang disintesa dari setiap sel tubuh. Disamping berperan dalam

detoksifikasi logam berat, glutation juga berfungsi mengurangi stres oksidatif.

Berdasarkan beberapa penelitian yang telah dilaporkan para ahli

menunjukkan bahwa gangguan metalotionin disebabkan oleh beberapa hal. Di

sistein, malfungsi regulasi elemen logam, kelainan genetik, antara lain pada gen

pembentuk metalotianin.

Paparan Hg dalam semua bentuk Hg (elemental, inorganik, dan organik)

telah diketahui menyebabkan degeneratif neural. Bagaimanapun, masih sedikit

diketahui secara komprehensif dan luas bagaimana mekanisme degeneratif

neuronal. Tampaknya, tidak terjadi pengaruh pada satu target saja, tetapi terjadi

pada banyak jumlah dan tahapan. Beberapa konsekuensi neurologis dari paparan

Hg pada otak adalah : (i) inhibisi ikatan GTP pada tubulin, dengan demikian

menghambat polimerisasi tubulin di dalam microtubul, (ii) kolaps pertumbuhan

sel kerucut, (iii) gangguan struktur membran, (iv) disintegrasi struktur

tubulin/mikrotubul, (v) kegagalan pertumbuhan somata neuronal, (vi) peningkatan

lipid peroksidase (LPO) atau stress oxidative, (vii) excitotoxicity, peningkatan

cytosolic free calcium dan kematian sel, (viii) gangguan insulin-like growth factor 1 (IGF-1) signaling dan aktivitas methionine syntase dalam otak, (ix) gangguan

glutation antioxidant sistem di otak pada perkembangan post natal, (x) level glutation berkurang dan menurunkan aktivitas enzimatik acetyl cholinesterase

pada berbagai regio yang berbeda di otak, dan (xi) disfungsi

immune-glutamatergic (Kern et al., 2011).

Gangguan autistik dapat terjadi oleh berbagai hal dan belum diketahui

penyebab pasti, begitu juga dengan keparahan gejala yang dialami oleh anak.

Salah satu hal yang mempengaruhi keparahan gejala yang dialami adalah

kandungan glutein dan casein dalam diet yang dikonsumsi anak. Di dalam

berbeda-beda dalam kepatuhan menjalani diet tersebut pada setiap subyek. Para

terapis mengatakan gejala gangguan autistik berkurang jika mereka patuh

menjalani dietnya dan gejalanya bertambah jika mereka mengkonsumsi makanan

yang mengandung glutein.

Penelitian baru menunjukkan tambahan dukungan untuk menggunakan

diet bebas glutein dan casein (glutein-free, casein free) untuk anak autism.

Beberapa ahli menyebutkan bahwa glutein dan casein membawa peptida yang

menyebabkan respon imun pada anak gangguan autistik dan peptida tersebut

memicu gejala-gejala pada saluran cerna dan masalah-masalah perilaku. Beberapa

peneliti menemukan penatalaksanaan diet dengan memindahkan glutein dan

casein secara sempurna, berhubungan dengan peningkatan besar dalam perbaikan

perilaku, psikologis dan gejala-gejala sosial dari pada yang sedikit kepatuhan

dalam mematuhi dietnya. Diet bebas glutein dan casein perlu dijalankan pada

anak gangguan autistik dan memberi pengaruh positif terhadap hasil

perkembangan beberapa anak yang terdiagnosa autisme (Pennesi dan Klein,

2012).

Banyak penelitian melaporkan terjadi pengurangan gejala gangguan

autistik setelah anak menjalani diet bebas glutein dan atau casein. Glutein dan

casein dapat meningkatkan kuantitas jamur (C. Albicans) dalam gastrointestinal anak yang mana meningkatkan gejala-gejala gangguan autistik. Mac Fabe et al.,

(2007) melaporkan asam propionik (C3H6O2) dapat mempengaruhi keadaan

seperti autism dalam percobaan pada tikus. Asam propionik diproduksi dalam

(2009) menduga Candida albicans, jamur yang dapat ada dalam jumlah berlebih

dan berkorelasi dengan gangguan autistik, menghasilkan amoniak (NH3) sebagai

suatu metabolit. Jika asam propionik ada dengan metabolit amonia dalam

gastrointestinal, akan dapat dikonversi ke beta-alanine (C3H9NO2), yang mana

secara struktural dapat menghambat neurotransmiter GABA, gamma-aminobutiric

acid (C4H9NO2

Candida albicans pada dasarnya merupakan mikroorganisme yang bersifat

komensal untuk binatang dan manusia. Koloni C. albicans dapat ditemukan

sebagai flora normal di mukosa saluran pencernaan, mukosa mulut, dan vagina.

Tetapi C. albicans dikelompokkan ke dalam fungi yang berpeluang (oportunistic), karena dapat menyebabkan infeksi terutama pada kondisi defisiensi imun.

Penelitian oleh Herawati R, dkk., di Bandung (2005) menyimpulkan terdapat

hubungan antara hitung koloni C. Albicans dan kejadian autisme. ) ( Emam, Esmat, dan Sadek, 2012).

Candida albicans dapat menghasilkan enzim aspartyl proteinase,

phospholipase, dan lypophospholipase yang berperan dalam proses merekatkan (adhesi) ke epitel mukosa, sehingga dapat meningkatkan permeabilitas mukosa usus. Pada keadaan ini peptida abnormal (caseomorphin dan gluteomorphin) akan

masuk ke dalam sel epitel mukosa usus melalui tight junctions, yang kemudian

terserap dalam aliran darah dan masuk ke susunan saraf pusat. Di dalam susunan

saraf pusat molekul ini akan bertindak sebagai neurotransmitter palsu dan

mengganggu perkembangan otak. Keadaan inilah yang menyebabkan gangguan

persepsi, pemahaman (cognisi), perasaan (emosi) dan perilaku anak gangguan

perilaku, tetapi hasil terapi perilaku tidak akan optimal bila masih terdapat

gangguan metabolisme, dan C. albicans ini berperan dalam menimbulkan

gangguan metabolisme tersebut (Herawati, dkk., 2006).

Teori lain terkait diet bebas glutein dan casein adalah The opioid-excess theory of autism yang mengatakan bahwa level peptida opioid yang tinggi dalam urine sebagian anak autism adalah berasal dari malabsrobsi glutein dan casein.

Glutein dan casein yang terdapat dalam biji-bijian dan produk susu tidak dapat

dimetabolisme dengan baik oleh sistem pencernaan. Peptida tersebut akan dibawa

keluar usus dan masuk ke aliran darah, mengikuti sirkulasi darah keseluruh tubuh

sampai ke otak. Di otak, peptida tadi bertindak sebagai opioid neuroreceptor dan berdampak sebagai neurotransmisi negatif, menimbulkan masalah-masalah

prilaku (Hurwitz, 2013).

Gangguan autistik juga dapat terjadi karena masalah pada gen. Faktor

genetik memegang peran penting pada tercetusnya gejala-gejala gangguan

autistik. Namun dengan melihat prevalensi anak gangguan autistik yang

meningkat sangat cepat dan mengkhawatirkan, menunjukkan telah terjadi sesuatu

diluar individu dengan faktor genetik autism yang menyebabkan perubahan

gangguan neurobiologist kemudian mempengaruhi fungsi otak sedemikian rupa.

Hal ini terbukti bahwa peningkatan autism terjadi seiring dengan kemajuan

teknologi dan industri yang dimanfaatkan oleh manusia untuk meningkatkan

kualitas hidupnya, pada sisi lain memberi dampak negative terhadap lingkungan

Gangguan autistik atau Autisme Spectrum Disorder (ASD) dapat terjadi akibat ekspresi neurologis terhadap dampak racun-racun dari lingkungan pada

anak yang pada dasarnya telah mempunyai kelemahan genetik. Tidak semua anak

yang terpapar dengan berbagai macam racun terutama yang mengandung metil

mercuri dari lingkungan menjadi autistik. Dalam penelitian ini terdapat 3 subyek

anak normal yang kadar Hg dalam rambutnya > 2,1 ppm, namun tidak tampak

adanya gangguan perkembangan. Diperkirakan, bahwa tanpa faktor pemicu,

gejala gangguan autistik mungkin tidak timbul, meskipun anak tersebut

mempunyai kelemahan genetik. Faktor pemicu tersebut biasanya berasal dari luar

diri anak. Pemakaian pestisida dan insektisida yang berlebihan didalam rumah,

pemakaian fungisida dan insectisida pada tanaman, pemakaian zat kimia dalam

kosmetik, cairan pembersih, pemakaian plastik untuk memasak, membungkus

makanan berlebih dalam kertas aluminium dan penggunaan zat-zat kimia

lainnya yang dipakai dirumah menyebabkan paparan keracunan yang hebat pada

anak. Gambar dibawah ini adalah Pie chart yang mengilustrasikan autism dapat terjadi karena banyak faktor.

Penelitian terbaru menemukan sejumlah faktor resiko genetik autism

adalah berupa mutasi de novo. Usia orang tua saat terjadi konsepsi berhubungan

dengan peningkatan resiko autism dan mutasi de novo. Disamping itu,

berdasarkan riset literatur telah teridentifikasi 9 faktor lingkungan yang dapat

meningkatkan paparan pre-konsepsi yang tampaknya berhubungan dengan

peningkatan resiko autism. Lima faktor – merkuri, kadmium, nikel,

trichloroethylene, dan vinyl chlorida - telah ditetapkan sebagai mutagen. Empat

faktor yang lain berhubungan dengan rendahnya paparan sinar matahari dan

meningkatkan resiko defisiensi vitamin D. Vitamin D bermain peran penting

dalam perbaikan kerusakan DNA (Kinney et al., 2011).

Faktor lingkungan yang lain yang dapat meningkatkan kejadian gangguan

autistik adalah polusi udara. Polutan di dalam udara mengandung banyak zat

toksin (racun) yang telah diketahui mempengaruhi fungsi neurologis dan

mempunyai efek terhadap fetus in utero. Penelitian terbaru telah melaporkan

hubungan antara paparan perinatal terhadap polutan udara dan kejadian gangguan

autistik pada anak. Paparan terhadap diesel, timah, mangan, merkuri, methylene

chlorida, dan beberapa logam lain yang terukur secara signifikan berhubungan

dengan gangguan autistik. Arsen, cadmium, kromium, merkuri, methyl clorida,

nikel,styrene, trichloroethylene dan vinyl chlorida di curigai bersifat mutagen.

Mutasi DNA de novo termasuk penyebab autism. Paparan perinatal terhadap

polutan udara dapat meningkatkan resiko autisme (Roberts et al., 2013).

Sebagian anak dengan gangguan autistik gejala-gejala autisme muncul

namun sebagian besar anak yang lain tidak bermasalah setelah mendapat

vaksinasi tersebut. Setiap anak mempunyai ketahanan yang berbeda terhadap zat

tertentu.

Penelitian ini tidak dapat menunjukkan terdapat pengaruh imunisasi

terhadap kadar Hg dalam rambut karena hampir semua subyek mendapat

imunisasi. Begitu juga penggunaan dental amalgam oleh ibu, hanya 2 orang ibu

yang menggunakan dental amalgam. Sementara itu, 3 subyek yang menggunakan

air tanah sebagai sumber air minum dan selebihnya air PDAM dan air minum isi

ulang. Oleh karena itu penggunaan dental amalgam dan sumber air minum juga

tidak dianalisa.

Gangguan autistik atau gangguan spektrum autism lebih sering terjadi

pada laki-laki dibandingkan pada perempuan dengan perbandingan 3-4 : 1. Pada

penelitian ini di dapat 13 subyek autism laki-laki dan hanya 4 subyek perempuan,

suatu fenomena yang menarik untuk di bahas, kaitannya dengan keracunan Hg.

Banyak para ahli menyebutkan terdapat hubungan antara faktor jenis kelamin

dengan kejadian autism. Beberapa penelitian menemukan tingkat keparahan gejala

pada anak perempuan biasanya lebih tinggi dan komplek. Di dalam penelitian ini

ke empat subyek perempuan memiliki gejala autism berat dengan nilai CARS >

44. Belum diketahui penyebab pasti hal ini.

Penelitian pada tikus (rat) menunjukkan tikus jantan lebih peka secara signifikan terhadap pengaruh tidak baik dari Hg inorganik dan thimerosal.

Mekanisme yang mendasari hal ini tampaknya berhubungan dengan perbedaan

Dokumen terkait