• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisa Kadar Raksa (Hg) pada Anak Gangguan Autistik di Yayasan Autisme di Medan dan SLB Binjai - Sumatera Utara

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Analisa Kadar Raksa (Hg) pada Anak Gangguan Autistik di Yayasan Autisme di Medan dan SLB Binjai - Sumatera Utara"

Copied!
107
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISA KADAR RAKSA (Hg)

PADA ANAK GANGGUAN AUTISTIK

DI YAYASAN AUTISME DI MEDAN DAN SLB BINJAI

SUMATERA UTARA

TESIS

Oleh : ELLYTA AIZAR

097008016/BM

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU BIOMEDIK

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

ANALISA KADAR RAKSA (Hg)

PADA ANAK GANGGUAN AUTISTIK

DI YAYASAN AUTISME DI MEDAN DAN SLB BINJAI

SUMATERA UTARA

TESIS

Diajukan sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Biomedik dalam Program Studi Magister Ilmu Biomedik pada Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

Oleh ELLYTA AIZAR

097008016/BM

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU BIOMEDIK

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(3)

Judul Tesis : Analisa Kadar Raksa (Hg) pada Anak Gangguan Autistik di Yayasan Autisme di Medan dan SLB Binjai - Sumatera Utara Nama Mahasiswa : Ellyta Aizar

Nomor Induk Mahasiswa : 097008016 Program Studi : Ilmu Biomedik

Menyetujui Komisi Pembimbing

Dr. Yahwardiah Siregar, PhD

Ketua Anggota

Prof. DR. Zul Alfian, MSc

Ketua Program Studi Dekan

Dr. Yahwardiah Siregar. PhD

NIP. 19550807 198503 2 001 NIP. 19540220 198011 1 001

Prof.dr. Gontar A. Siregar, Sp.PD-KGEH.

(4)

Telah diuji

Pada Tanggal : 11 Februari 2014

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : dr. Yahwardiah Siregar, PhD Anggota : 1. Prof. DR. Zul Alfian, MSc

(5)

Analisa Kadar Raksa (Hg) pada Anak Gangguan Autistik di Yayasan Autisme di Medan dan SLB Binjai – Sumatera Utara

Abstrak

Gangguan autistik (autistic disorder) dapat terjadi akibat ekspresi neurologis terhadap dampak racun dari lingkungan pada anak yang pada dasarnya telah mempunyai kelemahan genetik. Hasil penelitian terbaru oleh Geier et al., (2012) menunjukkan peningkatan konsentrasi raksa (Hg) di rambut mempunyai hubungan yang signifikan dengan peningkatan keparahan autisme. Analisa rambut dapat mengetahui riwayat paparan oleh Hg. Penelitian deskriptif analitik korelasional ini bertujuan mengetahui kadar raksa (Hg) pada anak gangguan autistik di yayasan autisme YAKARI Medan dan SLB Negeri Binjai hubungannya dengan nilai keparahan gejala pada mereka. Sampel rambut dari 17 subyek anak gangguan autistik dan 17 subyek normal (pada kelompok usia dan jenis kelamin yang sama dengan subyek gangguan autistik) diambil dan dianalisa kadar Hg didalamnya menggunakan ICP-OES. Keparahan gejala gangguan autistik dinilai menggunakan CARS. Sebagian besar subyek gangguan autistik (70,6%) mempunyai gejala autisme berat. Rata-rata kadar Hg pada subyek gangguan autistik 1,82 ppm ± 0,52, dan pada subyek normal 0,91 ppm ± 0,68 dimana rata-rata kadar Hg dalam rambut pada subyek gangguan autistik lebih tinggi bermakna dibandingkan pada anak normal (p < 0,05). Namun tidak ada perbedaan bermakna kadar Hg pada subyek gangguan autistik ringan sedang dan subyek gangguan autistik sedang berat. Hal ini memberi gambaran keparahan gejala autisme pada subyek gangguan autistik tidak dipengaruhi oleh beban raksa dalam tubuh mereka. Sangat memungkinkan terdapat faktor lain lain yang belum diketahui yang mempengaruhi keparahan gejala autisme pada subyek gangguan autistik dalam penelitian ini. Oleh karena itu perlu dilakukan studi epigenetik untuk mempelajari hal apa saja yang mempengaruhi keparahan gejala autisme.

(6)

Mercury (Hg) Concentration Analysis in Children with Autistic Disorders at Autism Foundation State in Medan and Disability School in Binjai (North Sumatera)

Abstract

Autistic Disorder can happen due to neurological expressions as the effects of environmental poisons in children who had genetical deficiency history. Current study found that increasing of mercury (Hg) concentration in hairs had significant correlation towards increasing of autisme level of severity. Hair analysis may identify the history of mercury’s exposure in human. This analytical correlational descriptive study aimed to identify mercury (Hg) concentration in children with autistic disorder at YAKARI Autism Foundation in Medan and at State Disability School in Binjai. This study also aimed to analyze the correlation between the Hg concentration and the symptoms’ level of severity. Hair samples were taken from 17 children with autistic disorder and 17 normal children (at similar age and sex). Mercury concentrations were analyzed by using ICP-OES. CARS were used to examine the autism symptoms’ level of severity. Majority of autistic disorder subjects (70.6%) had severe autism symptoms. Mean of Hg concentrations in autism subjects was 1,82 ppm ± 0,52 and in normal subjects was 0,91 ppm ± 0,68. Furthermore, mean of Hg concentrations in autistic disorder subjects was significantly higher than in normal subjects (p < 0,05). However, there was no significant difference on Hg concentrations between mild-fair and fair-severe autistic subjects’ categories. The findings of this study explain that the severity of autism symptoms in the autistic disorder subjects do not influenced by Hg concentrations within their body. Therefore, unidentified factors in this study might be contribute to the severity of autism symptoms. Future studies related epigenetics need to be conducted in order to explore another factors contribute to the severity of autism symptoms.

(7)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, dengan berkat rahmat Allah subhanahu wa ta’ala penelitian

Analisa Kadar Raksa (Hg) pada Anak Gangguan Autistik di Yayasan Autisme dan SLB

di Medan dan Binjai - Sumatera Utara telah selesai dilakukan. Peneliti telah berusaha

melakukan penelitian ini dengan sungguh-sungguh dan semoga hasil penelitian ini

bermanfaat.

Penelitian dan penulisan tesis ini selesai dibuat atas bantuan banyak pihak,

untuk itu perkenankan kami menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya

kepada :

Rektor Universitas Sumatera Utara, Prof. DR. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, MSc

(TM). Sp.A(K) atas kesempatan dan fasilitas yang telah diberikan kepada kami untuk

mengikuti pendidikan dan memberikan bantuan bea siswa selama mengikuti pendidikan

Program Magister (S2) Ilmu Biomedik Universitas Sumatera Utara.

Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Prof. dr. Gontar A.

Siregar, SpPD, KGEH atas kesempatan yang telah diberikan untuk menimba ilmu di

Program Biomedik Universitas Sumatera Utara.

Terima kasih yang tak terhingga kepada yang mulia, Ketua Program Magister

(S2) Biomedik Universitas Sumatera Utara Ibu dr. Yahwardiah Siregar, PhD yang telah

banyak memberikan ilmu pengetahuan, bimbingan, dan motivasi baik dalam

menyelesaikan penelitian ini selaku pembimbing I, dan terlebih saat mengikuti

pendidikan di Magister Biomedik Universitas Sumatera Utara. Semoga Allah Ta’ala

membalas budi baik dan keikhlasannya dengan kebaikan yang lebih baik, jazakumullahu

khairan. Begitu juga untuk Prof. Zul Alfian, MSc, selaku pembimbing II yang telah banyak

membimbing dan mengarahkan peneliti terutama dalam pemeriksaan Hg pada sampel

biologis. Kepada tim penguji Prof. Dr. Syafruddin Ilyas, M. Biomed, dan Prof. dr. H.

Joesoef Simbolon, SpKJ (K) terima kasih banyak atas semua bantuan keilmuan dan

keahlian yang telah diberikan beserta saran-saran perbaikan dalam melakukan

(8)

Kepada yang telah dengan kebaikan budinya yang tak bisa terbalaskan, adik

kami Roksana Devi Tumanggor, S.Kep. Ns. MN Mental Health, yang telah membantu

menterjemahkan isi Childhood Autism Rating (CARS) sebagai kuisioner dalam penelitian

ini, kakak kami Dewi Elizadiani Suza, SKp. MNS, PhD, dan saudara kami bapak Setiawan,

SKp. MNS, PhD yang telah mereview terjemahan tersebut, terima kasih banyak atas

keikhlasan, bantuan dan motivasi yang telah diberikan. Hanya Allah Ta’ala yang mampu

membalas semua kebaikan tersebut.

Kepada Ananda Hajar, Sarah, dan Muhammad, semoga Allah Ta’ala menjaga

kalian, menunjuki kalian pada jalan yang lurus, sirath al mustaqim, dan semoga kita

semua senantiasa berpegang pada Al Qur’an dan Assunnah dengan pemahaman salafus

shalih. Kepada saudara kami, kakanda Faridah, semoga Allah Ta’ala melimpahkan

kebahagiaan untuknya yang telah banyak membantu menjaga buah hati kami.

Untuk yang mulia Ibunda tercinta dan yang semoga dirahmati Allah ta’ala,

almarhum Ayahanda tercinta, tidak ada kemampuan untuk membalas budi baik dan

ketulusan keduanya dan tidak ada perbuatan yang dapat membalas kebaikan keduanya.

Hanya berbakti kepadanya dan permohonan doa kebaikan untuknya atas semua

ketulusannya yang mampu ananda lakukan dengan setulus-tulusnya, semoga Yang Maha

Pengasih dan Pengampun menerima semua amalan kebaikan keduanya, terbukakan

pintu surga untuk keduanya. Semoga Allah Ta’ala mengabulkan doa kebaikan untuk

keduanya. Amin.

Akhirnya penulis menyadari tesis ini masih jauh dari kesempurnaan, untuk itu

penulis sangat mengharapkan saran untuk kebaikan dari semua pihak untuk

kesempurnaan.

Medan, Januari 2014

Penulis

(9)

RIWAYAT HIDUP

A. Identitas Diri

Nama : Ellyta Aizar

Tempat/Tanggal Lahir : Usi Mesjid/13 Oktober 1974

Agama : Islam

Telp/Hp : 08136-1039881

Email : ummuhajar_ey@yahoo.com

B. Riwayat Pendidikan

SDN Tgk. Dibayu : Tamat Tahun 1987

SMPN Beureuneuen : Tamat Tahun 1989

SMAN Beureunuen : Tamat Tahun 1992

Akademi Keperawatan Dep Kes RI

Banda Aceh : Tamat Tahun 1995

Program Studi Ilmu Keperawatan

Fakultas Kedokteran UNPAD : Tamat Tahun 2000

C. Riwayat Pekerjaan

(10)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

RIWAYAT HIDUP ... v

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR TABEL ... viii

DAFTAR GAMBAR ... ix

DAFTAR LAMPIRAN ... x

BAB 1. PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 10

1.3 Hipotesa Penelitian 1.4 Tujuan Penelitian ... 10

1.4.1 Tujuan umum ... 10

1.4.2 Tujuan khusus ... 11

1.5 Manfaat Penelitian ... 11

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA ... 12

2.1 Gangguan Autistik (Autistic Disorder) ... 12

2.1.1 Etioligi ... 15

(11)

2.1..3 Skala pengukuran keparahan gejala autism ... 19

2.1.4 Manifestasi klisnis ... 20

2.2 Raksa (Hg) dan Efek Raksa (Hg) terhadap Kesehatan Manusia ... 21

2.2.1 Patogenesa toksisitas raksa (Hg) pada anak gangguan autistik ... 22

2.2.2 Batas aman raksa (Hg) dalam tubuh ... 29

2.2.3 Sumber paparan raksa (Hg) pada anak ... 29

2.3 Rambut sebagai Biomarker Toksisitas Raksa (Hg) pada Anak Gangguan Autistik... 31

2.3.1 pemeriksaa raksa (Hg) dalam rambut dengan ICP-OES ... 33

2.3.2 Destruksi ... 35

2.4 Kerangka Konsep Penelitian ... 37

BAB 3. METODE PENELITIAN ... 38

3.1 Jenis Penelitian ... 38

3.2 Populasi dan Sampel ... 38

3.3 Tempat Penelitian ... 40

3.4 Kerangka Kerja Penelitian ... 41 ...

3.5 Definisi Operasional ... 42

3.6 Prosedur Penelitian ... 43

3.6.1 Pengambilan sampel rambut ... 43

3.6.2 Analisa kadar raksa (Hg) dalam rambut ... 45

(12)

BAB 4. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 50

4.1 Hasil Penelitian ... 50

4.1.1 Deskripsi subyek penelitian ... 50 4.1.2 Nilai CARS ... 52 4.1.3 Kadar raksa (Hg) ... 52

4.2 Pembahasan ... 57

BAB 5. KESIMPULAN DAN SARAN ... 71

5.1 Kesimpulan ... 71

5.2 Saran ... 71

(13)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

2.1 Katagori-katagori ASDs ... 14

3.1 Definisi Operasional Penelitian ... 42

4.1 Distribusi frekuensi data demografi anak gangguan autistik di

Yayasan Autisme YAKARI dan SLB Binjai tahun 2013 (n = 17) ... 51

4.2 Nilai CARS pada subyek gangguan autistik di Yayasan Autisme YAKARI

dan SLB Negeri Binjai tahun 2013 (N = 17) ... 52

4.3 Distribusi frekuensi kadar Hg pada kelompok subyek gangguan autistik (n = 17)

dan subyek nornal (n=17) ... 53

4.4 Perbedaan rerata kadar Hg pada subyek gangguan autistik (n=17) dan

Subyek normal (n=17) dengan uji Mann-Whitney ... 55

4.5 Perbedaan rerata kadar Hg pada anak gangguan autistik ringan-sedang

dan gangguan autistik sedang-berat (n=17) ... 55

4.6 Sumber paparan Hg dan rerata kadar Hg pada subyek gangguan autistik (n=17)

(14)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

2.1 Kombinasi faktor genetik dan lingkungan menyebabkan autisme

(Deth, 2012) ... 16

2.2 garis besar secara sederhana sumber dan metabolisme dari jenis merkuri yang berbeda ... 25

2.3 Bagan alat ICP OES spectrometer ... 35

4.1 Normal Q-Q plot kadar Hg pada subyek gangguan autistik ... 54

4.2 Normal Q-Q plot kadar Hg pada subyek normal ... 54

4.3 Scatter plot nilai kadar Hg dan CARS pada subyek gangguan autistik ... 56

(15)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran

1. Lembar penjelasan kepada calon subyek penelitian

2. Persetujuan setelah mendapat penjelasan (informed consent)

3. CARS, skala pengukuran keparahan gejala autism

4. Instrumen penelitian (data demogravi dan riwayat paparan dengan Hg)

(16)

Analisa Kadar Raksa (Hg) pada Anak Gangguan Autistik di Yayasan Autisme di Medan dan SLB Binjai – Sumatera Utara

Abstrak

Gangguan autistik (autistic disorder) dapat terjadi akibat ekspresi neurologis terhadap dampak racun dari lingkungan pada anak yang pada dasarnya telah mempunyai kelemahan genetik. Hasil penelitian terbaru oleh Geier et al., (2012) menunjukkan peningkatan konsentrasi raksa (Hg) di rambut mempunyai hubungan yang signifikan dengan peningkatan keparahan autisme. Analisa rambut dapat mengetahui riwayat paparan oleh Hg. Penelitian deskriptif analitik korelasional ini bertujuan mengetahui kadar raksa (Hg) pada anak gangguan autistik di yayasan autisme YAKARI Medan dan SLB Negeri Binjai hubungannya dengan nilai keparahan gejala pada mereka. Sampel rambut dari 17 subyek anak gangguan autistik dan 17 subyek normal (pada kelompok usia dan jenis kelamin yang sama dengan subyek gangguan autistik) diambil dan dianalisa kadar Hg didalamnya menggunakan ICP-OES. Keparahan gejala gangguan autistik dinilai menggunakan CARS. Sebagian besar subyek gangguan autistik (70,6%) mempunyai gejala autisme berat. Rata-rata kadar Hg pada subyek gangguan autistik 1,82 ppm ± 0,52, dan pada subyek normal 0,91 ppm ± 0,68 dimana rata-rata kadar Hg dalam rambut pada subyek gangguan autistik lebih tinggi bermakna dibandingkan pada anak normal (p < 0,05). Namun tidak ada perbedaan bermakna kadar Hg pada subyek gangguan autistik ringan sedang dan subyek gangguan autistik sedang berat. Hal ini memberi gambaran keparahan gejala autisme pada subyek gangguan autistik tidak dipengaruhi oleh beban raksa dalam tubuh mereka. Sangat memungkinkan terdapat faktor lain lain yang belum diketahui yang mempengaruhi keparahan gejala autisme pada subyek gangguan autistik dalam penelitian ini. Oleh karena itu perlu dilakukan studi epigenetik untuk mempelajari hal apa saja yang mempengaruhi keparahan gejala autisme.

(17)

Mercury (Hg) Concentration Analysis in Children with Autistic Disorders at Autism Foundation State in Medan and Disability School in Binjai (North Sumatera)

Abstract

Autistic Disorder can happen due to neurological expressions as the effects of environmental poisons in children who had genetical deficiency history. Current study found that increasing of mercury (Hg) concentration in hairs had significant correlation towards increasing of autisme level of severity. Hair analysis may identify the history of mercury’s exposure in human. This analytical correlational descriptive study aimed to identify mercury (Hg) concentration in children with autistic disorder at YAKARI Autism Foundation in Medan and at State Disability School in Binjai. This study also aimed to analyze the correlation between the Hg concentration and the symptoms’ level of severity. Hair samples were taken from 17 children with autistic disorder and 17 normal children (at similar age and sex). Mercury concentrations were analyzed by using ICP-OES. CARS were used to examine the autism symptoms’ level of severity. Majority of autistic disorder subjects (70.6%) had severe autism symptoms. Mean of Hg concentrations in autism subjects was 1,82 ppm ± 0,52 and in normal subjects was 0,91 ppm ± 0,68. Furthermore, mean of Hg concentrations in autistic disorder subjects was significantly higher than in normal subjects (p < 0,05). However, there was no significant difference on Hg concentrations between mild-fair and fair-severe autistic subjects’ categories. The findings of this study explain that the severity of autism symptoms in the autistic disorder subjects do not influenced by Hg concentrations within their body. Therefore, unidentified factors in this study might be contribute to the severity of autism symptoms. Future studies related epigenetics need to be conducted in order to explore another factors contribute to the severity of autism symptoms.

(18)

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Gangguan spektrum autism (Autism Spectrum Disorders/ASD) atau

gangguan autistik (autistic disorder) telah didefinisikan oleh American

Psychiatric Assotiation (APA) yaitu gangguan atau kecacatan perkembangan

dengan karakteristik kerusakan interaksi sosial, abnormalitas dalam komunikasi

verbal dan non verbal, dan perilaku berulang. Autistik adalah kondisi yang

menggambarkan individu yang seolah-olah mereka hidup dalam dunianya sendiri.

Di dalam Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia III

(PPDGJ III) gangguan spektrum autisme disebut sebagai Autisme Masa Kanak.

Gejala-gejala gangguan autistik secara klinis dapat dilihat dalam 3 tahun pertama

kehidupan dan menetap sepanjang kehidupan (Depkes RI, 1993; Selvi, Vineeta, &

Paul, 2010; Guerra, 2011; Rai, 2011, dan Dufault et al, 2012).

Gangguan autistik terjadi akibat gangguan neurobiologis yang

memengaruhi fungsi otak sedemikian rupa sehingga anak tidak mampu

berinteraksi dan berkomunikasi secara efektif. Karena berbeda individu dengan

autisme mempunyai ciri dan tingkat keparahan gejala yang sangat berbeda,

autisme disebut sebagai suatu “spektrum” gangguan, yaitu sekelompok gangguan

dengan cakupan ciri yang serupa. Oleh karena itu muncul istilah ASDs (Autism

(19)

dan The National Institute of Child Health and Human Development & U.S.

Department of Health and Human Services, 2005).

Prevalensi anak yang mengalami gangguan autistik diseluruh dunia saat

ini diperkirakan mencapai 0,1%, dimana telah terjadi peningkatan

mengkhawatirkan baik di negara maju maupun negara berkembang. Kejadian

pada anak laki-laki 4 kali lebih sering dibanding pada anak perempuan (Szatmari,

2007; Abrahams & Geschwind, 2008). Menurut Autism Research Institute di

San Diego, jumlah anak yang mengalami gangguan spektrum autisme tahun

1980 diperkirakan 1: 5000 anak dan tahun 2005 sudah menjadi 1:160 anak

(Center for Disease Control and Prevention, 2007). The Centers for Disease

Control and Prevention (CDC) memperkirakan di Amerika Serikat saat ini

terdapat 1 dalam 88 anak teridentifikasi mengalami gangguan autistik, prevalensi

pada anak laki-laki 1 dalam 54 anak dan pada anak perempuan 1 dalam 252 anak.

Perkiraan CDC ini berdasarkan laporan dari Autism and Developmental

Disabilities Monitoring (ADDM) Network yang memonitor jumlah anak autisme

usia 8 tahun selama tinggal di Amerika Serikat dalam komunitas yang berbeda.

Perkiraan prevalensinya meningkat 23% selama 2006 sampai 2008 dan 78%

selama 2002 sampai 2008 (ADDM, 2012 dan Ratajczak, 2011

Indonesia belum mempunyai data akurat anak yang mengalami gangguan

autistik. Sampai saat ini belum ada data resmi, namun lembaga sensus Amerika

Serikat melaporkan bahwa tahun 2004 jumlah anak dengan ciri-ciri autistik atau

gangguan spektrum autism di Indonesia mencapai 475.000 orang (Ginanjar, 2007

(20)

diperkirakan anak yang mengalami gangguan autistik di Indonesia juga sangat

meningkat karena jumlah yang ditangani oleh dokter dan psikolog semakin

meningkat dan semakin banyak pusat terapi yang menangani anak-anak

gangguan autistik. Di Sumatera Utara terdapat 4 pusat terapi anak gangguan

autistik dan 10 Sekolah Luar Biasa (SLB) yang menangani kelas anak gangguan

autistik. Salah satu tempat terapi autism di kota Medan adalah Yayasan Ananda

Karsa Mandiri (YAKARI), berada di Jl. Sei Batu Rata No. 14, Medan dan di

Binjai terdapat SLB Negeri Binjai.

Belum diketahui penyebab peningkatan besar kejadian anak gangguan

autistik. Etiologinya heterogen, para ahli belum mengetahui dengan pasti

penyebab spesifik. Beberapa bukti menunjukkan bahwa genetik, lingkungan, dan

faktor imunologi berperan dalam patogenesisnya. Penelitian dalam faktor biologis

difokuskan pada 4 area : neurologis, biokimia, abnormalitas genetik dan masalah

selama kehamilan dan setelah lahir. Dengan melihat prevalensi anak gangguan

autistik yang meningkat sangat cepat dan mengkhawatirkan, menunjukkan telah

terjadi sesuatu diluar individu dengan faktor genetik autisme yang menyebabkan

gangguan neurobiologis kemudian memengaruhi fungsi otak sedemikian rupa.

Hal ini terbukti bahwa peningkatan anak autistik terjadi seiring dengan kemajuan

teknologi dan industri yang dimanfaatkan oleh manusia untuk meningkatkan

kualitas hidupnya, pada sisi lain memberi dampak negative terhadap lingkungan

dan individu tertentu (Selvi, Vineeta, & Paul, 2010; Ratajczak, 2011, dan

(21)

Bagaimanapun juga peningkatan insiden anak dengan gangguan autistik

mengesankan bahwa faktor epigenetik mempunyai peran, dan lingkungan

memengaruhi fungsi gen-gen tertentu (Ozand et al., 2003). Namun, meskipun

faktor genetik tampaknya berperan penting dalam etiologi autism, sejumlah

penelitian mengesankan bahwa paparan lingkungan khususnya yang terjadi

selama periode kritis perkembangan neurologis dapat memicu penyebab

terjadinya autism pada sebagian besar anak (Woods et al., 2010). Mefford et al.

(2012), telah membuat tinjauan yang sangat bagus tentang faktor genomik pada

gangguan autistik, tetapi ternyata secara kuantitatif jumlahnya kecil dibandingkan

kontribusi non genomik seperti faktor lingkungan (Deth, 2012).

Gangguan autistik dapat terjadi akibat ekspresi neurologis terhadap

dampak racun dari lingkungan pada anak yang pada dasarnya telah mempunyai

kelemahan genetik. Tidak semua anak yang terpapar dengan berbagai macam

racun menjadi autistik. Diperkirakan, tanpa faktor pemicu, gejala gangguan

autistik mungkin tidak timbul, meskipun anak tersebut mempunyai kelemahan

genetik. Faktor pemicu tersebut biasanya berasal dari luar anak dan setiap anak

mempunyai ketahanan yang berbeda terhadap zat tertentu. Saat ini perhatian

dipusatkan pada kemungkinan neurotoxicants atau faktor lingkungan yang

berhubungan dengan kerusakan gen dan mencetuskan gejala gangguan autistik

(Herbert et al., 2006).

Pengaruh faktor lingkungan terhadap ekspresi gen terutama diperantarai

melalui mekanisme epigenetik termasuk methylasi DNA, acethylasi, ubiquinasi,

(22)

selama perkembangan saraf (Dufault et al., 2012). Karena methilasi DNA dapat

dimodifikasi oleh mutasi, maka ekspose maternal dan pengalaman postnatal

menyediakan mata rantai hubungan antara gen dan lingkungan (Schanen, 2006;

Ozand et al., 2003).

Perkembangan saraf dapat menjadi kurang baik ketika ekspresi gen diubah

oleh faktor transkripsi seperti insufisiensi atau defisiensi seng (Zn), atau karena

terpapar oleh substansi toksik seperti raksa atau merkuri (Hg) (Dufault et al.,

2012). Meskipun peran raksa dalam patogenesa autisme masih terus

diperdebatkan, beberapa penelitian menemukan kadar raksa pada rambut, darah,

urine dan gigi anak dengan gangguan autistik lebih tinggi dari anak tanpa

gangguan perkembangan (Kern et.al., 2011). Oleh karena itu beberapa peneliti

menduga autisme disebabkan oleh keracunan logam berat, diantaranya karena

raksa. Hal ini terutama didasari pada peningkatan cakupan imunisasi dimana

hampir semua vaksin yang ada mengandung thimerosal, suatu senyawa raksa

organik atau dikenal sebagai sodium etil merkuri thiosalisilat, mengandung 49,6%

raksa (Autism Research Institute, 2005).

Raksa (Hg) secara alamiah terdapat di alam (air, udara dan tanah), dalam

3 bentuk; elemental, organik dan anorganik. Sumber Hg terdapat dimana-mana

seperti pada ikan, di udara, obat, fungisida/herbisida, dental amalgam, vaksin,

termometer, tensimeter, dan beberapa produk/bahan makanan. Paparan terhadap

merkuri terjadi akibat peningkatan penggunaan merkuri dalam bidang kesehatan

(23)

teknologi dan berbagai industri seperti pada kosmetik dan cat atau resiko paparan

akibat kandungan Hg dalam diet (Geier, et al., 2012 dan WHO, 2008).

Bernard et al. (2001) telah mempublikasikan review artikel tentang

keserupaan antara gejala-gejala keracunan Hg dan gejala-gejala gangguan autistik

(Garrecht & Austin, 2011). Banyak hasil penelitian terbaru menunjukkan

hubungan paparan Hg dengan gangguan autistik dan telah dilaporkan bahwa

paparan terhadap Hg menyebabkan disfungsi imunitas dan beberapa gangguan

neuropsikiatri seperti kekurangan kognitif dan komunikasi, disfungsi sensori,

kerusakan koordinasi motorik, dan prilaku yang serupa dengan ciri definisi atau

berhubungan dengan gangguan autistik. Gangguan-gangguan ini khususnya dapat

diobservasi pada anak gangguan spektrum autisme dan kemiripan tersebut meluas

pada perubahan neuroanatomi, neurotransmitter, dan biokimia (Wood et al.,

2010).

Anak yang mengalami gangguan autistik diketahui mempunyai

peningkatan beban tubuh yang signifikan terhadap Hg akibat mekanisme biokimia

dan kepekaan genomik dalam perjalanan detoksifikasi (Geier & Geier , 2006;

Landrigan, 2010; Garrecht & Austin, 2011, dan Geier, et al., 2012). Beban tubuh

terhadap Hg dapat diketahui dengan mengukur kadar Hg di dalam darah, rambut,

urine, gigi, kuku dan profil porphyrin urin (WHO, 2008 dan Woods, et al., 2010).

Hg bisa tetap ada diotak dari beberapa tahun sampai beberapa dekade setelah

terpapar (WHO, 2008 dan Geier et al., 2012).

Hasil penelitian terbaru oleh Geier et al. (2012) menunjukkan peningkatan

(24)

peningkatan keparahan gejala autisme. Sebaliknya tidak dijumpai hubungan yang

signifikan antara logam toksik lain yang diperiksa dirambut dengan keparahan

gejala autisme. Hal ini membantu menyediakan mekanisme tambahan yang

mendukung Hg dalam etiologi keparahan gangguan autistik, dan mendukung

menambah jumlah tinjauan terbaru yang kritis bahwa faktor biologis berupa

paparan terhadap Hg berperan dalam patogenesa gangguan autistik.

Keparahan gejala autisme dapat diukur menggunakan Childhood Autism

Rating Scale (CARS). CARS terdiri dari 15 item skala penilaian perilaku yang

dikembangkan untuk mengidentifikasi gambaran kuantitas keparahan gangguan,

telah digunakan secara luas dan dapat mengukur keparahan gejala autisme dengan

baik (Geier et al., 2012 dan El Baz et al., 2010).

Paparan Hg pada anak dapat terjadi saat prenatal atau post natal. Sumber

paparan saat prenatal adalah uap merkuri yang terhirup oleh ibu dari dental

amalgam, vaksinasi selama kehamilan, metil merkuri (MeHg) dari ikan yang

dikonsumsi ibu, penggunaan kosmetik yang mengandung Hg dan sumber paparan

lain dari lingkungan. Saat post natal sumber paparan utama adalah dari vaksinasi.

Ethyl merkuri (EtHg) pada pengawet thimerosal terdapat dalam vaksin dan

beberapa produk pharmasetik (Barregard et al., 2011 dan WHO, 2008).

Dalam darah metilmerkuri terikat pada gugus sulfhidril berbobot molekul

rendah seperti sistein. Reaktifitas metilmerkuri yang tinggi terhadap gugus

sulfhidril pada berbagai protein, menyebabkan jumlah metilmerkuri bebas dalam

cairan biologis sangat kecil. Sistein merupakan asam amino yang penting pada

(25)

sulfhidril terserap dalam rambut, menyebabkan kadar Hg pada rambut kira-kira

250-300 kali lebih tinggi dari konsentrasi dalam darah (WHO, 2008).

Darah dan rambut kepala merupakan indikator utama yang dipakai untuk

mengukur paparan oleh methylmerkuri, namun konsentrasi dalam darah

menunjukkan paparan akut sedangkan level dalam rambut dapat mengukur akibat

paparan kronik. Oleh karena itu rambut kepala menjadi medium/biomarker

indikator yang baik untuk pengukuran paparan kronik methylmerkuri (WHO,

2008).

Neurotoksisitas Hg dihubungkan dengan kekurangan glutation karena

glutation berperan utama dalam mekanisme eksresi Hg. Grop cystein –SH dari

glutation mengikat Hg selanjutnya dieksresikan melalui urine (Geier & Geier,

2007 dan WHO, 2008).

Penelitian Geier et al., (2008) pada 28 anak autism usia 2 sampai 16 tahun

diantaranya menemukan glutation (kunci biokimia pada perjalanan detoksifikasi

merkuri) lebih rendah bermakna pada anak yang didiagnosa autism dibandingkan

kontrol dan peningkatan keparahan keracunan Hg (yang diindikasikan dari nilai

porphyrin urine), berhubungan dengan level glutation yang lebih rendah diantara

anak yang didiagnosa autism. Didasari atas temuan ini, para peneliti

menyimpulkan autisme merupakan hasil kombinasi genetik/kepekaan biokimia

dalam bentuk berkurangnya kemampuan untuk mengeksresikan Hg dan / atau

peningkatan paparan lingkungan pada masa kunci perkembangan anak (CoMeD,

(26)

Individu dengan genetik defisiensi sintesa glutation, kurang mampu

mengeksresi Hg, membuat mereka lebih sensitif terhadap efek yang kurang baik.

Hal ini terjadi pada anak dengan gangguan autistik, menyebabkan urine tidak

dapat menjadi biomarker yang sesuai untuk mengetahui beban tubuh terhadap Hg

pada individu autism (Geier & Geier, 2007 dan WHO, 2008).

Hasil penelitian oleh Geier et al. (2012) dengan subyek anak gangguan

spektrum autism usia 1-6 tahun di kota Dallas, Texas-USA, menyimpulkan

terdapat bukti hubungan yang signifikan peningkatan konsentrasi Hg di rambut

dengan diagnosis autism dan menganjurkan agar selanjutnya dilakukan penelitian

serupa untuk mengevaluasi hubungan paparan Hg dan diagnosis keparahan

autisme pada populasi lain.

Analisa rambut dapat mengetahui riwayat paparan oleh Hg atau oleh

methylmerkuri. Diantara analisa yang bisa dipakai adalah inductively coupled

plasma (ICP) dan atomic absroption spectrometer (AAS). Pemeriksaan ini

memberikan hasil yang akurat dan mudah dilakukan (WHO, 2008).

Saat ini, belum diketahui publikasi hasil penelitian tentang kadar raksa

(Hg) pada anak yang didiagnosa mengalami gangguan spektrum autism atau

gangguan autistik dan hubungannya dengan keparahan gejala pada mereka.

Tujuan dilakukan pemeriksaan kadar raksa (Hg) pada anak yang mengalami

gangguan autistik diantaranya adalah membantu orang tua mengurangi paparan

Hg pada anak dan dapat menjadi pertimbangan untuk terapi dengan chelation.

Penelitian ini menggunakan ICP-OES untuk menganalisa total merkuri pada

(27)

mengidentifikasi gambaran kuantitas atau mengukur keparahan gejala autisme

menggunakan Childhood Autism Rating Scale (CARS).

1.2 Rumusan Masalah

Masalah dalam penelitian ini adalah belum diketahui kadar raksa (Hg)

pada anak gangguan autistik di yayasan autisme YAKARI Medan dan SLB

Negeri Binjai hubungannya dengan nilai keparahan gejala pada mereka.

1.3 Hipotesa Penelitian

Hipotesa penelitian ini adalah :

a. Terdapat perbedaan bermakna kadar raksa (Hg) dalam rambut anak

gangguan autistik di yayasan autisme YAKARI Medan dan SLB Negeri

Binjai dengan kadar raksa (Hg) dalam rambut anak normal.

b. Keparahan gejala autisme pada anak gangguan autistik di Yayasan

Autisme YAKARI Medan dan SLB Negeri Binjai berkorelasi dengan

kadar raksa (Hg) dalam rambut mereka.

1.4 Tujuan

1.4.1 Tujuan umum

Tujuan umum penelitian ini adalah mengetahui kadar raksa pada anak

dengan gangguan autistik yang ada di Yayasan Autisme YAKARI Medan dan

(28)

1.4.2 Tujuan khusus

1). Mengetahui kadar raksa rambut pada anak gangguan autistik di yayasan

autisme di Medan dan SLB Binjai.

2). Mengetahui perbandingan rerata kadar raksa dalam rambut pada anak

gangguan autistik dan anak normal di Medan dan Binjai.

3). Mengetahui nilai keparahan gejala autisme pada anak gangguan autistik di

yayasan autisme di Medan dan SLB Binjai menggunakan Childhood

Autism Rating Scale (CARS).

4). Mengetahui apakah terdapat korelasi kadar raksa dalam rambut dengan

nilai keparahan gejala autisme pada anak gangguan autistik di yayasan

autisme di Medan dan SLB Binjai.

1.5 Manfaat Penelitian

a. Memberikan informasi penting tentang dampak raksa terhadap nilai

keparahan gejala autisme pada anak gangguan autistik.

b. Memberi peluang untuk terapi dengan chelation agent pada anak

gangguan autistik di yayasan autisme di Medan dan SLB Binjai yang

(29)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Gangguan Autistik (Autistic Disorder)

Di dalam DSM IV TR (2000) disebutkan gangguan autistik (autistic

disorder) atau Gangguan Spektrum Autism (Autism Spectrum Disorders)/

(ASDs) adalah suatu gangguan perkembangan saraf yang dikarakteristikkan

dengan kerusakan bahasa dan sosial, defisit komunikasi, dan pola prilaku yang

terbatas dan berulang (Deutsch dan Urbano, 2011). Sementara itu di dalam

PPDGJ III (1993) anak dengan gangguan spektrum autisme disebut dengan

Autisme Masa Kanak yaitu gangguan perkembangan pervasif yang ditandai

oleh adanya abnormalitas dan/atau hendaya perkembangan yang muncul sebelum

usia 3 tahun, dan dengan ciri fungsi yang abnormal dalam tiga bidang yaitu

interaksi sosial, komunikasi, dan perilaku yang terbatas dan berulang. ASDs

disebut juga dengan Pervasive Developmental Disorders (PDDs) yaitu suatu

kelompok heterogen gangguan neuro-behavioral pada masa awal kanak-kanak

(Abdalla et al., 2007 dan DSM IV TR, 2000).

Gejala-gejala gangguan autistik dapat muncul dengan berbagai variasi

intensitas, dari sangat ringan sampai sangat berat. Jadi gangguan autistik

dikatagorikan sebagai suatu “spektrum” karena meliputi suatu kelompok

gangguan dengan berbagai gejala yang bervariasi dalam keparahan (Deutsch dan

(30)

Seorang psikiater anak pada Universitas dan Rumah Sakit John Hopkins

Austria, Kanner (1943) pertama menggambarkan gangguan perkembangan pada

gangguan autistik sebagai suatu gangguan sosial dengan ciri ketidakmampuan

yang dibawa sejak lahir, memengaruhi hubungan dengan yang lain. Saat ini

diketahui bahwa gangguan autistik meliputi suatu cakupan variabel yang luas dari

fenotipe klinis yang telah dikelompokkan kedalam beberapa gangguan secara

terpisah. The Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders, 4th Edition,

Text Revision (DSM-IV,TR) menetapkan lima gangguan dibawah payung istilah

Autistic Spectrum Disorders (ASDs): Autistic Disorder, Asperger’s Disorder,

Pervasive Developmental Disorder Not Otherwise Specified (PDDNOS), Rett’s

Disorder, and Childhood Disintegrative Disorder. Hal serupa disebutkan di dalam

PPDGJ III (1993) bahwa gangguan autistik termasuk autisme masa kanak.

Gangguan-gangguan ini berbeda pada tiap subtipe dengan memandang pada

keparahan gejala, perkembangan dini bahasa, keburukan perkembangan

keterampilan dan kognitif. Bagaimanapun juga, diagnostik batasan-batasan antara

subtipe autisme masa kanak terdapat ketidakjelasan, gejala-gejala dan perilaku

berada dalam suatu rangkaian dan dipertimbangkan sebagai heterogenitas klinis

(Deutsch dan Urbano, 2011).

Gangguan autistik (autistik disorder) merupakan bentuk paling umum dari

gangguan spektrum autism (Abdalla et al., 2007), dapat terjadi pada semua ras,

etnik, dan latar belakang (Johnson et al., 2011). Beberapa kelompok besar

(31)

Tabel 2.1. Katagori-katagori ASDs

Tipe ASDs yang paling umum, dikarakteristikkan dengan kerusakan interaksi sosial, komunikasi dan imajinasi bermain sebelum usia 3 tahun. Prilaku meniru, berulang dan terbatas dalam minat dan lingkup aktivitas. Sampai dengan umur 3 tahun mempunyai minat dan aktivitas yang aneh dalam bermain dan berperilaku.

2. Asperger’s Disorder

Dikarakteristikkan dengan kerusakan dalam interaksi sosial dan terdapat keterbatasan minat dan aktivitas. Secara keseluruhan tidak signifikan dalam keterlambatan bahasa, meskipun mengalami kerusakan kualitatif dan keterbatasan kemampuan untuk percakapan sosial timbal balik. Dibedakan dari Autistic Disorder terutama dari kemampuan linguistik dan kapasitas kognitif dalam 3 tahun pertama kehidupan. Score uji intelegensia biasanya dalam rentang rata-rata sampai rata-rata tinggi. Komunikasi biasanya satu arah, terobsesi pada suatu subjek, misalnya pesawat (yang biasanya dikuasai secara mendetail). Kebanyakan anak SA cerdas, berdaya ingat kuat, tidak memiliki masalah dalam pelajaran sekolah.

3. PDD - NOS

Biasa disebut autism yang tidak umum, juga disebut Atypical Autism. Diagnosis PDD-NOS dibuat ketika seorang anak tidak ditemukan kecukupan kriteria untuk diagnosis yang spesifik tetapi terdapat ketidakmampuan pada beberapa perilakunya. Memiliki gejala gangguan perkembangan dalam komunikasi, interaksi maupun perilaku. Kualitas gangguannya lebih ringan, misalnya masih ada kontak mata.

4. Rett Disorder Didefinisikan sebagai suatu ”gangguan progresif” yaitu

ketidakmampuan yang semakin hari semakin parah,

dikarakteristikkan dengan periode-periode pertumbuhan dan perkembangan yang normal diikuti dengan kehilangan ketrampilan yang telah didapat sebelumnya khususnya gerakan tangan menjadi tidak terkendali dimulai pada umur 1 hingga 4 tahun. Gangguan ini hanya terdapat pada perempuan. Mulai mengalami kemunduran perkembangan sejak umur 6 bulan. Mengalami gangguan bahasa perseptif maupun ekspresif disertai kemunduran psikomotor yang hebat.

5. Kelainan

(32)

2.1.1 Etiologi

Penyebab gangguan autistik merupakan suatu hal yang terus diteliti

dengan intens. Sampai saat ini etiologinya belum di ketahui dengan pasti. Pada

persentase kecil kasus berasosiasi dengan masalah genetik namun pada sebagian

besar kasus penyebabnya belum diketahui (Schultz, 2010). Ketika faktor genetik

diketahui sebagai komponen penting yang kuat dalam patogenesa gangguan

autistik, peran faktor lingkungan telah diterima dan mendapat perhatian. Muncul

bukti yang mendukung hipotesa bahwa gangguan autistik merupakan hasil suatu

kombinasi kepekaan genetik dan paparan terhadap toksin lingkungan pada masa

kritis perkembangan anak (Geier & Geier, 2006; Landrigan, 2010).

Teori-teori tentang faktor pemicu lingkungan yang mungkin sebagai

penyebab gangguan autistik meliputi vaksinasi, kurang mendapat ASI,

penggunaan susu formula infan tanpa suplementasi asam docosahexaenoik dan

asam arachidonik, penggunaan acetaminophen dan analgetik lain, inveksi virus,

dan paparan lain dari lingkungan. Dalam hal ini neorotoksisitas oleh raksa (Hg)

telah banyak menarik perhatian. Paparan oleh Hg seperti penggunaan thimerosal

untuk pengawet vaksin dan paparan Hg dari lingkungan terutama akibat polusi

pembakaran batubara dan penggunaan dental amalgam baru-baru ini telah

dieksplorasi sebagai faktor resiko yang mungkin menyebabkan gangguan autistik

(Schultz, 2010).

Pada beberapa penelitian sebelumnya dijumpai beban tubuh terhadap

logam-logam toksik, khususnya Hg pada subyek yang didiagnosa mengalami

(33)

lingkungan yang tersebar di mana-mana dan terdapat bukti berhubungan dengan

kerusakan neurodevelopmental, termasuk autism. Banyak hasil penelitian terbaru

menunjukkan hubungan paparan Hg dengan gangguan autistik dan telah

dilaporkan bahwa paparan terhadap Hg menyebabkan disfungsi imunitas, sensori,

neurologis, motorik, dan prilaku yang serupa dengan ciri definisi atau

berhubungan dengan gangguan autistik, dan kemiripan tersebut meluas pada

perubahan neuroanatomi, neurotransmitter, dan biokimia. Lagi pula, tinjauan baru

mengesankan bahwa anak dengan gangguan autistik didapatkan mengalami

paparan yang tinggi terhadap Hg dibandingkan kelompok kontrol. Anak dengan

gangguan autistik diketahui mempunyai peningkatan beban tubuh yang signifikan

terhadap Hg akibat mekanisme biokimia dan kepekaan genomik dalam perjalanan

detoksifikasi (Geier & Geier, 2006; Landrigan, 2010; Garrecht & Austin, 2011,

dan Geier et al., 2012).

Diagram dibawah ini menunjukkan gambaran hubungan antar beberapa

faktor penyebab autisme pada seorang anak.

Faktor Genetik

Faktor-faktor yang mempengaruhi Kemampuan untuk detoksifikasi

kapasitas metilasi dan eksresi metal

Faktor Lingkungan

Paparan lingkungan Penambahan terhadap logam berat (Hg) thimerosal

(34)

Hasil penelitian terbaru oleh Geier et al. (2012), menunjukkan

peningkatan konsentrasi Hg di rambut mempunyai hubungan yang signifikan

dengan peningkatan keparahan gangguan autistik. Sebaliknya tidak dijumpai

hubungan yang signifikan antara logam toksik lain yang diperiksa dirambut

dengan keparahan gangguan autistik. Hal ini membantu menyediakan mekanisme

tambahan yang mendukung Hg dalam etiologi keparahan gangguan autistik, dan

mendukung menambah jumlah tinjauan terbaru yang kritis bahwa faktor biologis

berupa paparan terhadap Hg berperan dalam patogenesa gangguan autistik.

2.1.2 Gejala dan kriteria diagnostik

Menurut Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders edisi ke 4

(DSM-IV TR) yang diterbitkan oleh Asosiasi Psikiatri Amerika, gejala utama

gangguann autistik timbul selama 3 tahun pertama kehidupan. Kelainan tingkah

laku pada anak gangguan autistik terbagi atas tiga kategori yaitu: 1) gangguan

kualitatif pada interaksi sosial, 2) gangguan kualitatif dalam komunikasi dan 3)

pola stereotipe tingkah laku, keterbatasan minat dan aktivitas.

Gejala-gejala gangguan autistik dapat diamati secara obyektif. Ada dua

sistem klasifikasi diagnostik utama yang sekarang digunakan, ICD-10

(International Classification of Disease) tahun 1993 dari WHO dan the

Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders 4th edition Text Revision

(DSM-IV TR). Keduanya mempunyai kriteria gejala serupa untuk diagnosis

(35)

A.Untuk dapat dikatakan bahwa seorang anak menderita gangguan spektrum

autisme, maka harus ada sedikitnya 6 gejala dari (1), (2), dan (3), dengan

minimal 2 gejala dari (1) dan masing-masing 1 gejala dari (2) dan (3):

1) Gangguan kualitatif dalam interaksi sosial yang timbal balik.

Minimal harus terdapat dua gejala dari gejala-gejala dibawah ini:

a) tak mampu menjalin interaksi sosial yang cukup memadai seperti

kontak mata sangat kurang, ekspresi muka kurang hidup, gerak gerik

yang kurang tertuju;

b) tak bisa bermain dengan teman sebayanya;

c) tak dapat merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain;

d) kurangnya hubungan sosial dan emosional yang timbal balik.

2) Gangguan kualitatif dalam bidang komunikasi seperti ditunjukkan oleh

minimal satu dari gejala-gejala dibawah ini:

a) bicara terlambat atau sama sekali tidak berkembang (tidak ada usaha

untuk mengimbangi komunikasi dengan cara lain tanpa bicara);

b) bila bisa bicara, bicaranya tidak dipakai untuk komunikasi;

c) sering menggunakan bahasa aneh dan diulangulang;

d) bermain kurang bervariatif, kurang imajinatif dan kurang bisa meniru.

3) Suatu pola yang dipertahankan dan diulang-ulang dari perilaku, minat dan

kegiatan. Adapun gejala-gejalanya antara lain :

a) mempertahankan satu minat atau lebih, dengan cara khas dan berlebihan

b) terpaku pada suatu kegiatan ritualistik atau rutinitas yang tak berguna

(36)

d) sering sangat terpukau pada bagian-bagian benda tertentu.

B. Keterlambatan atau abnormal secara fungsional dalam paling sedikit 1 dari

area berikut ini, dengan waktu mulai terjadi/onset sebelum usia 3 tahun : 1)

interaksi sosial, (2) bahasa yang digunakan dalam komunikasi sosial atau (3)

bermain simbolik atau imajinatif / cara bermain yang kurang bervariatif.

C. Bukan disebabkan oleh Sindroma Rett atau gangguan disintegratif masa

kanak-kanak

(DSM-IV TR, 2000).

Berdasarkan DSM-IV TR mengenai kriteria diagnosis anak autisme, dapat

dilihat bahwa seorang anak harus memenuhi kriteria tersebut untuk dapat disebut

mengalami gangguan autisme. Namun harus diperhatikan bahwa gejala gangguan

spektrum autisme sangat bervariasi dari anak yang satu dengan yang lainnya.

Tidak semua anak menunjukkan gejala yang sama jenisnya, dan tidak semua anak

menunjukkan gejala yang sama beratnya.

2.1.3 Skala pengukuran keparahan gejala autism

Salah satu skala yang dapat dipakai untuk mengukur tingkat keparahan

gejala autisme adalah Childhood Autism Rating Scale (CARS). CARS terdiri dari

15 item skala penilaian perilaku yang dikembangkan untuk mengidentifikasi

gambaran kuantitas keparahan gangguan. Berdasarkan skala ini, tingkat keparahan

gejala gangguan autistik dibedakan menjadi 3 katagori; skore 15-29,5 katagori

nonautistik, skore 30-36,5 dipertimbangkan sebagai autisme ringan sampai

menengah, dan skore 37-60 dikatagorikan sebagai tingkat keparahan menengah

(37)

autisme dengan baik (Geier, et al, 2012 ; Mayes, et al., 2009, dan Kern, et al.,

2011).

2.1.4. Manifestasi klinis

Gangguan perkembangan pada gangguan autistik heterogen dan menetap,

dikarakteristikkan dengan tiga gambaran klinis yaitu defisit sosial, kerusakan

komunikasi, dan pola perilaku yang terbatas dan berulang. Oleh karena itu

gangguan perkembangan pada gangguan autistik dicirikan dengan kerusakan

dalam tiga domain besar : komunikasi, sosialisasi, dan perilaku berulang. Individu

dengan gangguan autistik menunjukkan kekurangan yang berat dalam semua

gejala pada tiga domain fenotipe mayor dan perkembangan abnormal terjadi

sebelum usia 3 tahun (Abdalla, et al., 2007 dan Johnson, et al., 2011).

Gangguan dalam komunikasi meliputi perkembangan bahasa lambat atau

sama sekali tidak ada, anak tampak seperti tuli, sulit berbicara atau pernah

berbicara tapi kemudian sirna, terkadang mengeluarkan kata-kata namun tidak

sesuai dengan artinya (seperti mengatakan “kamu mau jus” ketika dirinya sangat

haus), echolalia (senang membeo), meniru, dapat menghafal suatu kata, frase atau

nyanyian tanpa mengerti artinya.

Gangguan interaksi sosial dimanifestasikan dengan tidak melibatkan orang

lain, lebih suka menyendiri, tidak ada atau sedikit kontak mata atau menghindar

untuk bertatapan, tidak tertarik untuk bermain bersama teman, menghindar atau

menjauh bila diajak bermain.

Gangguan sensoris berupa sangat sensitif terhadap sentuhan seperti tidak

(38)

mencium-cium, menjilat mainan atau benda-benda, tidak sensitif terhadap rasa

sakit dan rasa takut.

Anak-anak dengan gangguan autistik tidak suka bermain seperti

anak-anak pada umumnya, tidak suka bermain dengan teman sebayanya, tidak kreatif,

tidak imajinatif, tidak bermain sesuai fungsi mainan (seperti sepeda dibalik lalu

rodanya diputar-putar). Mereka dapat berperilaku berlebihan (hiperaktif) atau

kekurangan (hipoaktif), memperlihatkan perilaku stimulasi diri seperti

bergoyang-goyang, mengepakkan tangan, berputar-putar, lari atau berjalan mondar mandir.

Emosi mereka sering marah-marah tanpa alasan yang jelas, temper tantrum

(mengamuk tak terkendali), kadang suka menyerang dan merusak, terkadang juga

suka menyakiti dirinya sendiri (Deutsch dan Urbano, 2011).

Sekitar 50% anak gangguan autistik mempunyai ketidakmampuan

intelektual, beberapa dari mereka mengalami abnormalitas peningkatan besar

ukuran kepala, sepertiganya ada yang mengalami kejang epilepsi, dan sekitar

setengah dari mereka mengalami kerusakan bicara yang berat (Landrigan, 2010).

2.2 Raksa (Hg) dan Efek Rraksa (Hg) terhadap Kesehatan Manusia

Semua manusia terpapar dengan raksa (Hg) pada level rendah. Hampir

semua manusia dapat dilacak jumlah Hg dari jaringan mereka. Secara umum

paparan yang rendah tidak menyebabkan efek kurang baik terhadap kesehatan.

Raksa (Hg) menyebabkan efek buruk yang bermakna pada kesehatan manusia jika

terpapar pada level yang berlebihan dari batas aman yang telah ditetapkan (WHO,

(39)

bagaimana keparahannya meliputi bentuk kimia raksa (Hg), dosis, usia saat

terpapar, durasi paparan, rute paparan (inhalasi, saluran cerna, parenteral atau

kontak kulit), dan pola diet konsumsi ikan dan seafood (WHO, 2008 dan Eapen,

2011).

Kepekaan terhadap Hg (metabolisme, eksresi dan toksisitasnya)

dipengaruhi oleh genetik, usia, jenis kelamin, dan status kesehatan. Pada

percobaan binatang menunjukkan diet susu meningkatkan absropsi melalui

gastrointestinal. Untuk eksresi dibutuhkan produksi empedu yang adekuat, pada

bayi baru lahir sering tidak adekuat. Flora normal usus juga bermain peran dalam

menghancurkan Hg untuk dieksresi, oleh karena itu paparan antibiotika

menyebabkan penurunan eksresi (Autism Research Institute, 2005).

Target utama dari toksisitas Hg adalah sistem saraf, ginjal, dan sistem

kardiovaskular. Perkembangan sistem organ (seperti sistem saraf fetus) lebih

sensitif terhadap efek toksik Hg. Organ tubuh lain yang dapat terpengaruh adalah

sistem respirasi, gastrointestinal, hematologi, imun, dan reproduksi (WHO, 2008).

2.2.1 Patogenesa toksisitas raksa (Hg) pada anak dengan gangguan autistik

Tinjauan literatur mengindikasikan peningkatan paparan Hg menginduksi

kerusakan neurologis yang serupa dengan yang diobservasi pada penelitian

patologi otak subyek yang didiagnosa gangguan spektrum autisme. Contoh tipe

kerusakan neurologis akibat paparan Hg konsisten dengan kerusakan neurologis

yang diobservasi pada studi patologi otak pasien autisme meliputi 1) peningkatan

degenerasi neuronal, 2) peningkatan stres oksidatif lipid neuronal, 3) peningkatan

(40)

neuronal, 5) gangguan pada sistem antioksidan neuronal, 6) penurunan neuronal

glutation dan aktivitas acetyl cholinesterase, dan 7) nekrosis neuronal,

demyelinisasi axon dan gliosis (Geier et al., 2010).

Raksa (Hg) atau merkuri ada dalam tiga bentuk utama; uap raksa (merkuri

elemental, Hg0), merkuri inorganik divalen (Hg2+), dan merkuri organik.

Organomerkuri selain metil merkuri cepat terdekomposisi kembali menjadi

merkuri anorganik. Raksa mempunyai afinitas terhadap lipid dalam tubuh

organisme sehingga cenderung lebih terakumulasi dan terbiomagnefikasi

dibandingkan bentuk logam berat lainnya. Oleh organisme akuatik Hg di

akumulasi dalam bentuk metil merkuri atau ion Hg2+

Toksikokinetik (absrobsi, distribusi, metabolisme dan eksresi) Hg sangat

tergantung pada bentuknya. Pada paparan dengan inhalasi, absrobsi Hg

pada seluruh jejaring

makanan (Suseno, dkk, 2010).

0

(uap Hg)

sangat cepat dan efisien masuk ke paru-paru, melewati plasenta dan sawar darah

otak. Bentuk inorganik diabsrobsi melalui saluran cerna dan kulit, dan

terakumulasi di ginjal. Pada banyak jaringan tubuh Hg0 mengalami oksidasi

menjadi Hg2+ dan memungkinkan untuk direduksi oleh jaringan mamalia kembali

menjadi Hg0. Raksa dapat tertahan dalam bentuk ion selama beberapa minggu

atau bulan pada berbagai jaringan tubuh, khususnya otak dan ginjal (WH0, 2008).

Waktu paruh bentuk inorganik dalam darah adalah sekitar 20-66 hari. Bentuk ion

(Hg2+) terutama dieksresi melalui urin, ASI dan feses, begitu juga Hg0 terutama

dieliminasi melalui urin dan feses. Banyak merkuri yang dieksresi melalui urin

(41)

dieksresi langsung sebelum mengalami oksidasi. Umumnya banyak Hg di urin

dalam bentuk ionik.

Sumber paparan penting pada manusia adalah uap Hg yang terhirup dari

dental amalgam dan metil merkuri (MeHg) dari ikan. Uap Hg dan MeHg

keduanya neurotoksik. Target kritis toxisitas MeHg adalah sistem saraf,

khususnya selama tahap perkembangan. MeHg diketahui mempunyai efek tidak

baik terhadap perkembangan otak pada paparan in utero. Waktu paparan

menentukan kritikal toksisitas. Karena konjugasi MeHg-cystein dapat melewati

barier plasenta dan sawar darah otak, dan perkembangan fetus khususnya sensitif

terhadap efek toksik Hg, paparan selama kehamilan menjadi perhatian yang

sangat tinggi (WHO, 2008). Paparan selama masa perkembangan fetus

menyebabkan 5-10 kali lebih sensitif terhadap merkuri. Otak manusia mengalami

perkembangan dan maturasi yang luar biasa pada tahun pertama kehidupan.

Paparan yang terjadi selama “critical windows of development” menimbulkan

lebih banyak kerusakan (Autism Research Institute, 2005).

Campuran Hg organik yang lain adalah etil merkuri (EtHg) ada pada

pengawet thimerosal yang terdapat dalam vaksin dan beberapa produk

pharmasetik. MeHg terdistribusi ke banyak jaringan, eliminasi utama melalui

feses setelah demethylasi, rambut dan urin, dengan waktu paruh mendekati 44-80

hari (Barregard et al., 2011; WHO, 2008).

Dalam darah metilmerkuri terikat secara eksklusif pada protein dan

sulfhidril berbobot molekul rendah seperti sistein. Reaktifitas metilmerkuri yang

(42)

metilmerkuri bebas dalam cairan biologis sangat kecil. Kompleks MeHg-sistein

yang terbentuk beraksi sebagai analog asam amino, mempunyai struktur mirip

metionin. Sistein merupakan asam amino yang penting pada rambut. Metilmerkuri

yang bereaksi dan terikat dengan gugus sulfhidril pada sistein, terserap dalam

rambut, menyebabkan kadar merkuri pada rambut 250-300 kali lebih tinggi dari

konsentrasi dalam darah (Mercury Analysis Manual, 2004).

Inorganic Hg (IHg) Metil Hg (MeHg) Ethil Hg (EtHg)

Gambar 2.2. Garis besar secara sederhana sumber dan metabolisme dari jenis merkuri yang berbeda (Barregard et al., 2011)

EtHg telah digunakan sebagai pengawet sejak tahun 1930, seperti dalam

vaksin, immunoglobulin, obat tetes mata, dan produk kosmetik. Radikal EtHg

berikatan pada grop sulfur dari thiosalisilat menghasilkan produk thimerosal.

Pengawet vaksin dengan thimerosal biasanya mengandung 0,001-0,01%

thimerosal. Dosis tunggal 0,5 milliliter vaksin dengan 0,01% thimerosal

Absorbed in Lung (as Hg) After inhalation

Absorbed in GUT after oral intake

Injected into

Liver, Brain, and other tissue (IHg, MeHg, and EtHg

Urine (IHg)

(43)

mengandung 50 mikrogram thimerosal atau mendekati 25 mikrogram merkuri

(Barregard et al., 2011).

Karena sedikit informasi tentang toksisitas EtHg (bentuk merkuri pada

thimerosal), banyak yang memperkirakan toksisitasnya didasari pada/berdasarkan

(toksisitas) metil merkuri. Penelitian oleh Burbacher (2004), pada primata

mendokumentasikan bahwa etil merkuri mempunyai waktu paruh yang lebih

singkat didalam darah dari metil merkuri, lebih cepat dikonversi ke bentuk

inorganik, lebih toksik dan dapat berada di otak sampai bertahun-tahun. Baskin et

al. (2003) telah mendokumentasikan kerusakan DNA, aktivasi caspase-3,

kerusakan membran nuklear, dan kematian sel pada kultur neuron dan fibroblast

manusia dewasa yang dipapar dengan 201 mikrogram/liter etil merkuri setelah

inkubasi 6 jam atau kurang, yang mana hal ini serupa dengan yang terjadi pada

praktek pemberian rutin vaksinasi selama tahun 1990 yang menyebabkan

kerusakan perkembangan saraf infan. Hal ini serupa dengan penelitian oleh Waly

et al. (2004), telah mencatat bahwa thimerosal, pada konsentrasi nanomolar yang

rendah menghambat insulin like growth factor-1 (IGF-1) dan dopamin

menstimulasi methylasi pada sel neuroblastoma manusia, indikasi potensial

gangguan kontrol faktor pertumbuhan normal dan methylasi (Research Autism

Institute, 2005).

Paparan merkuri telah diketahui menyebabkan kerusakan kognitif, sulit

berfikir abstrak dan mengikuti perintah yang kompleks, keterbatasan sosial, cemas

(44)

Merkuri mengganggu neorotransmiter serotonin, dopamin, glutamat dan

asetilkolin. Abnormalitas yang sama dijumpai pada anak dengan autism. Target

sel pada otak oleh merkuri adalah pada sel Purkinje dan lapisan granula serebelum

seperti amigdala dan hipocampus. Pola ini sama dengan patologi yang dijumpai

pada anakdengan gangguan autistik.

Toksisitas merkuri menyebabkan kerusakan sistem imun dan memicu

proses autoimun, meliputi pergeseran limfosit Th2. Proses autoimun yang sama

telah diketahui terjadi pada gangguan autistik. Paparan terhadap merkuri

menyebabkan kepekaan terhadap strain virus tertentu, yang mana hal ini mungkin

berkaitan dengan penurunan fungsi NK sel. Sebagian anak gangguan autistik

ditemukan bukti nyata mengalami infeksi virus kronik, termasuk virus measles.

Keracunan merkuri mengganggu dan menghambat enzim dan peptida saluran

cerna. Banyak anak gangguan autistik mempunyai masalah pencernaan dan

kesulitan mencerna produk susu dan gandum atau glutein (Research Autism

Institute, 2005).

Logam berat, mencakup ethylmerkuri dari thymerosal mempunyai efek

penting dalam perjalanan metabolisme yang melibatkan asam amino mengandung

sulfur (seperti methionin, S-adenosylmethionin, S-adenosylhomocystein,

homocystein, dan cystein), peptida yang mengandung sulfur (seperti glutathion).

Kemampuan untuk membersihkan logam dari tubuh tergantung pada level thiol

tersebut, khususnya level glutation. Rendahnya level glutation pada anak

gangguan autistik beresiko lebih besar untuk toksisitas logam berat secara

(45)

logam berat dan thimerosal sangat kuat menghambat aktivitas methionin sintase,

yang mana dipakai oleh derivat folate grup methyl untuk mengkonversi

homochystein menjadi methyoin. Inhibisi ini memblok kemampuan Insulin Like

Growth Factor-1 (IGF-1) dan dopamin untuk aktivasi enzim ini, dengan demikian

bertentangan dengan peran methylasi dalam perkembangan dan mekanisme

molekular. Efek inhibisi metal adalah langsung pada sintesa glutation-dependent

dari methylcobalamin (methyl B12), yang mana ini dibutuhkan untuk aktivitas

methionin synthase pada tipe-tipe sel tertentu (seperti lymphosit dan beberapa sel

neuronal). Fungsi methylasi pada sel-sel tertentu ini akan sangat dipengaruhi oleh

logam berat, khususnya pada individu yang mempunyai latar belakang genetik

akan membuat mereka lebih peka (Research Autism Institute, 2005).

Neurotoksisitas merkuri dihubungkan dengan kekurangan glutation.

Merkuri mengikat pada grop cystein thiol (-SH) pada protein intraselular dan

menginaktivkan fungsi mereka. Grop cystein –SH dari glutation mengikat Hg dan

memproteksi protein esensial dari inaktivasi fungsinya. Glutation berperan utama

dalam mekanisme eksresi Hg. Individu dengan genetik defisiensi sintesa

glutation, kurang mampu mengeksresi Hg, membuat mereka lebih sensitif

terhadap efek yang kurang baik (Geier & Geier, 2007). Stress dan sakit juga

diketahui mengurangi level glutation sehingga menurunkan kemampuan tubuh

mengeksresi Hg (Autism Research Institute, 2005).

Kekurangan atau defisiensi sistem antioksidan selular telah terlihat pada

sejumlah anak gangguan autistik. Temuan yang umum pada anak gangguan

(46)

(Research Autism Institute, 2005). Glutation merupakan tripeptida dari cysteine,

glycine, dan glutamat yang disintesa dari setiap sel tubuh. Disamping berperan

dalam detoksifikasi logam berat, glutation juga berfungsi mengurangi stres

oksidatif. Konsisten dengan level glutation yang rendah dan peningkatan stres

oksidatif, anak gangguan autistik mengalami kesulitan resisten terhadap infeksi,

inflamasi, dan detoksifikasi dari kontaminan lingkungan. Anak gangguan autistik

dilaporkan mengalami infeksi kambuhan, neuroinflamasi, inflamasi

gastrointestinal, dan kerusakan kapasitas antioksidan dan detoksifikasi.

Keberadaan logam berat dalam tubuh menyebabkan stres oksidatif dan glutation

cepat habis akibat peningkatan kebutuhan yang diinduksi oleh logam berat (Geier

et al., 2008).

2.2.2 Batas aman raksa (Hg) dalam tubuh

Environmental Protection Agency (EPA) telah menetapkan batas aman

terhadap total paparan merkuri sebesar 0,1 microgram merkuri per kilogram berat

badan per hari (µg/kg BB/hari), Agency for Toxic Substances and Desease

Registry (ATSDR), 0,3 µg/kg BB/hari, dan Food and Drug Administration (FDA)

membuat batas aman 0,4 µg/kg BB/hari (Autism Research Institute, 2005).

2.2.3 Sumber paparan raksa (Hg) pada anak

Tiga sumber utama paparan Hg pada anak di Amerika adalah konsumsi

(47)

EPA telah melaporkan 1 dari 6 wanita di USA mempunyai level Hg yang

memungkinkan bayi mereka beresiko mengalami kerusakan neurologis. Wanita

yang teratur mengkonsumsi ikan 9 kali atau lebih setiap bulan, 7 kali lebih banyak

Hg dalam darah mereka dibandingkan yang tidak mengkonsumsi ikan. Ikan hiu

dan ikan todak rata-rata mengandung 1 ppm (microgram/gram) Hg, yang mana

jika sekali mengkonsumsi 200 gram mengandung Hg sekitar 200 microgram.

Sumber paparan Hg pada anak gangguan autistik bisa dalam bentuk

merkuri elemental (uap merkuri elemental yang didapat saat prenatal dari ibu

hamil yang menggunakan dental amalgam atau dari sumber lain), merkuri

inorganik (terpapar saat prenatal, seperti ibu hamil yang mengkonsumsi

ikan/makanan yang tercemar, atau setelah lahir anak mengkonsumsi ikan yang

tercemar, ASI dari ibu mengkonsumsi makanan yang tercemar Hg), dan merkuri

organik (terpapar saat prenatal yang didapat dari thimerosal saat ibu hamil

divaksinasi atau didapat selama post natal dari thimerosal saat vaksinasi).

Mercury-silver dental amalgam umumnya mengandung 50% Hg. Banyak

penelitian menyebutkan mendekati 80% uap Hg yang dilepas dari dental amalgam

diabsrobsi kedalam badan. Jumlah Hg yang diabsrobsi ke badan berkisar 1-10

microgram/hari, tergantung jumlah dental amalgam yang dipakai. Jumlah ini

tidak berbahaya pada kebanyakan orang, namun menambah beban tubuh terhadap

peningkatan resiko paparan tambahan dari sumber lain (Autism Research

Institute, 2005).

Thimerosal merupakan pengawet yang dipakai pada sejumlah obat

(48)

berat. Saat ini umum dipakai sebagai pengawet pada vaksin anak-anak. Beberapa

contoh thimerosal yang terdapat dalam vaksin meliputi Hep B (12,5 microgram),

DTaP (25 microgram), HiB (25 microgram), dan PCV (25 microgram). Vaksinasi

HepB (dan HiB) diberikan saat lahir, 3 kali selama 6 bulan pertama kehidupan

bayi (Autism Research Institute, 2005).

2.3 Rambut sebagai Biomarker Toksisitas Raksa (Hg) pada Anak Gangguan

Autistik

Paparan terhadap suatu zat dapat diperkirakan dengan mengukur level

polutan pada beberapa jaringan tubuh. Pengukuran ini, juga dikenal dengan

biological marker (biomarker), merupakan alat yang bermanfaat untuk

mengetahui paparan pada manusia. Media biologis yang dapat digunakan sebagai

biomarker untuk paparan Hg pada manusia meliputi rambut, urine, darah, darah

umbilikus dan jaringan umbilikus, ASI dan kuku (WHO, 2008).

Untuk mengkaji kepantasan biomarker tertentu dari paparan Hg, penting

dipertimbangkan beberapa faktor; 1) seberapa baik biomarker berkorelasi dengan

dosis (paparan eksternal) untuk berbagai bentuk merkuri, 2) seberapa baik

biomarker berhubungan dengan konsentrasi merkuri dalam jaringan target, 3)

bagaimana variabilitas waktu suatu biomarker berkaitan dengan perubahan dosis

efektif pada jaringan target, 4) apa tipe biomarker yang paling sesuai untuk

memberikan karakteristik populasi, dan 5) apa teknologi yang tersedia (WHO,

(49)

Banyak media biologis dapat dikumpulkan secara non invasiv (kecuali

darah), dan sampelnya dapat mudah disimpan. Keberadaan Hg dalam urin

umumnya ada karena paparan oleh Hg inorganik dan atau elemental sehingga

level Hg urine umumnya dipertimbangkan sebagai ukuran yang baik terhadap

paparan Hg inorganik atau uap Hg elemental. Hg inorganik terakumulasi di

ginjal dan secara perlahan-lahan dieksresi melalui urin. Oleh karena itu level

merkuri urine dapat juga menilai keberadaan paparan oleh Hg yang terjadi pada

suatu waktu di masa lampau (WHO, 2008). Namun, sampel urin tidak tepat

sebagai biomarker pada individu gangguan autistik karena berdasarkan beberapa

penelitian sebelumnya terbukti level glutatiaon dan methionin yang berperan

dalam eksresi Hg melalui urin rendah pada anak gangguan autistik ( Giear et al.,

2012).

Konsentrasi Hg dalam rambut sering digunakan sebagai biomarker untuk

paparan oleh methylmerkuri karena merefleksikan konsentrasi Hg dalam darah

saat rambut dibentuk. Konsentrasi merkuri di rambut 250-300 kali lebih tinggi

dari konsentrasi dalam darah. Level Hg normal di rambut 1-2 ppm (atau 1-2

mikrogram/gram), tetapi pada orang yang mengkonsumsi ikan 1 atau lebih sering

per hari dapat mempunyai level Hg di rambut lebih dari 10 ppm. Pertumbuhan

rambut rata-rata sekitar 1 cm per bulan. Level Hg di rambut dapat meningkat jika

terjadi paparan dengan uap Hg atau berkurang jika diberi perlakuan yang

permanen (WH0, 2008 dan Public Health Guidance Note, 2002).

Ethyl merkuri mempunyai waktu paruh yang lebih singkat di dalam darah

(50)

bertahun-tahun (Autism Research Institute, 2005). Total (organic + inorganik) konsentrasi

Hg di rambut berkorelasi positif tinggi dengan total konsentrasi merkuri darah,

tetapi konsentrasi merkuri inorganik rambut kerelasinya lemah terhadap

konsentrasi merkuri inorganik darah. Hal ini mungkin karena rambut mempunyai

persense yang lebih besar terhadap methylmerkuri dibandingkan merkuri

inorganik dalam darah (Patch et al., 2009).

Analisa Hg pada sampel biologis dapat dipersulit oleh perbedaan bentuk

organik atau inorganik logam yang ada. Oleh karena itu, semua Hg dalam sampel

biasanya direduksi ke bentuk elemental, merupakan bentuk utama untuk

dianalisis. Beberapa metode diperlukan sebelum sampel dianalisa, yang utama

adalah di reduksi.

Banyak metode yang tersedia untuk menganalisa total Hg dalam rambut

seperti menggunakan atomic absroption spectrometry (AAS), cold vapour

inductively coupled plasma atomic emission (CV-ICP-AES), atomic emission

spectrometry (AES), inductively coupled plasma mass specrometry (ICP MS)

atau inductively coupled plasma optical emission spectrometry (ICP-OES).

Diantara beberapa metode tersebut, metode AAS dan ICP sering dipakai untuk

biomarker rambut (WHO, 2008).

2.3.1 Pemeriksaan raksa (Hg) dalam rambut dengan ICP-OES

Inductively Coupled Plasma Optical Emission Spectrometry – (ICP –

OES) merupakan alat yang digunakan untuk menganalisa unsur-unsur logam

Gambar

Tabel 2.1. Katagori-katagori ASDs
Gambar. 2.1.  Kombinasi faktor genetik dan lingkungan menyebabkan autisme                         (Deth, 2012)
Gambar 2.2.  Garis besar secara sederhana sumber dan metabolisme dari jenis merkuri yang berbeda (Barregard et al., 2011)
Gambar 2.3. Bagan alat ICP OES spectrometer
+7

Referensi

Dokumen terkait