• Tidak ada hasil yang ditemukan

OLEH PEMOHON DALAM PERMOHONANNYA

12. Hasil Penelitian

Menyoroti permasalahan narkoba di Indonesia tidak terlepas dari kondisi global penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba dan kecenderungan terus meningkat.

Menurut estimasi Badan Dunia bidang Narkoba (United Nations Office on Drugs and Crime—UNODC) pada World Drug Report (2006), Angka prevalensi setahun terakhir penyalahguna Narkoba di dunia sebesar 5% dari populasi dunia (kurang lebih 200 juta jiwa) dengan perinciannya yaitu penyalahguna Ganja 162,4 juta jiwa, ATS 35 juta jiwa (terdiri dari Shabu 25 juta jiwa dan Ekstasi 10 juta jiwa), Kokain 13,4 juta jiwa, Opiat 15,9 juta jiwa (dimana heroin sebesar 11,3 juta jiwa).

Menurut survey BNN dan Puslitkes UI (2004), diketahui angka prevalensi penyalahguna Narkoba di Indonesia sebesar 1,5% dari total populasi (± 32 juta jiwa). Dari Jumlah tersebut, ± 572.000 pecandu teridentifikasi sebagai IDU’s yang berpotensi terjangkit HIV dan memicu penyebaran AIDS secara cepat.

(Menurut data Depkes (2005) faktor penyebaran HIV/AIDS oleh IDU’s tahun 2005 sebesar 50,1%. Hal ini mengancam Indonesia pada Epidemi Ganda, yaitu penyalahgunaan Narkoba dan Penyebaran Virus HIV/AIDS yang harus ditangani secara serius). Sedangkan angka kematian pecandu sebesar 15.000 mati per tahun atau 41 orang per hari.

Penyalahgunaan narkoba di Indonesia dewasa ini telah merambah ke seluruh wilayah RI, bahkan tidak ada satu kabupaten/kota di Indonesia yang terbebas dari penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkoba. Penyalahguna narkoba juga telah tersebar ke berbagai lingkungan kehidupan, baik lingkungan pendidikan (Berdasarkan Survey Nasional Penyalahgunaan Narkoba pada Kelompok Pelajar dan Mahasiswa yang dilakukan BNN dengan Puslitkes UI (2006) angka prevalensi penyalahguna narkoba di tingkat pelajar dan mahasiswa di 33 provinsi sebesar 5%), lingkungan kerja (Berdasarkan Survey Nasional Penyalahgunaan Narkoba pada Kelompok Pekerja Formal dan Informal yang dilakukan BNN dengan BPS (2004) angka prevalensi penyalahguna narkoba di kalangan pekerja formal dan informal sebesar 3,3% dari 97,3 juta pekerja di Indonesia) dan lingkungan pemukiman (Berdasarkan Survey Nasional Penyalahgunaan Narkoba pada Kelompok Rumah Tangga dan Rumah Kos yang dilakukan BNN dengan Puslitkes UI (2005) angka prevalensi penyalahguna Narkoba di kelompok Rumah Tangga sebesar 0,8% dan kelompok Rumah Kos sebesar 5,2%). Umumnya yang menjadi sasaran pasar Narkoba para bandar dan sindikat Narkoba adalah generasi muda usia produktif (16-29 tahun). Bahkan dari temuan hasil survey, usia pertama kali menyalahgunakan Narkoba semakin muda

Disadari sepenuhnya, dalam permasalahan Narkoba berlaku hukum pasar, yaitu ada permintaan dan ada penawaran. Permintaan dari pemakai dan calon pemakai dan penawaran dari pengedar/pemasok (sesuai tingkatannya) yang diperoleh dari produsen. Maka penanganannya, tentu haruslah pada kedua pihak (yang meminta dan yang menawarkan). Bila berbicara tentang hukuman mati, maka tentulah hukuman ini diarahkan ke pihak yang menawarkan (supplier) yaitu pengedar dan produsen. Dalam UU Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika dan UU Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika, jelas terdapat pasal-pasal yang memuat ancaman hukuman mati bagi pelaku tindak pidana Narkoba, yaitu Pasal 80 ayat (1) huruf a dan ayat (3)

huruf a UU Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika dan Pasal 59 ayat (2) UU Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika.

Dengan penggambaran ini, jelas pendapat di atas termasuk kelompok yang setuju dan sangat mengharap agar hukuman mati terhadap pengedar dan produsen tetap dipertahankan dan dilaksanakan secara konsisten.

12.1Dari sudut teori pembentukan hukum.

Paul Bohannan mengemukakan teori Re-institutionalization of Norm (pelembagaan hukum berganda). Teori ini mengemukakan, bahwa hukum yang berlaku di suatu negara diambil dari nilai-nilai yang hidup dalam masyarakatnya, kemudian dirumuskan/diramu oleh pemerintah lalu kemudian diberlakukan kepada masyarakat itu. Dihampir semua etnis di Indonesia dikenal hukuman mati, juga didalam ajaran Islam (yang dianut oleh mayoritas masyarakat Indonesia) juga dikenal hukuman mati. Maka di dalam berbagai ketentuan hukum dan perundang-undangan di Indonesia, tercantum hukuman mati. Penetapan semua undang-undang itu, telah melalui pembahasan di DPR-RI yaitu oleh para wakil rakyat, sebagai representase dari seluruh rakyat Indonesia. Maka apabila hukuman mati itu tidak disetujui lagi, maka rakyatlah yang harus menghapusnya, bukan para ahli apalagi pihak lain/negara lain. 12.2Dari Sudut Ideologi dan Politis

Sebagaimana uraian di atas, betapa terancamnya masa depan bangsa ini karena begitu banyaknya generasi muda Indonesia yang telah menjadi korban dan akan menjadi korban dalam kesia-siaan akibat penyalahgunaan Narkoba. Secara bombastis sering kita dengar pernyataan, akan terjadi lost generation, untuk menggambarkan betapa mengkhawatirkannya keadaan yang kita hadapi saat ini. Memang mereka (pemakai) adalah pihak yang meminta, tetapi pasti tidak akan terjadi transaksi kalau tidak ada yang menawarkan (memasok/supplier). Oleh karena itu, sepantasnya kita menyebut bahwa para pengedar dan produsen Narkoba sebagai “pembunuh massal”, karena perbuatan mereka telah mengakibatkan kematian demi kematian, sehingga mencapai angka kematian dalam jumlah besar. Maka untuk menyelamatkan masa depan bangsa Indonesia, cara yang paling tepat adalah dengan cara menjatuhkan hukuman yang seberat-beratnya termasuk hukuman mati kepada para perusak atau pembunuh massal itu, disamping melakukan upaya-upaya

pencegahan (pembinaan, penyuluhan, pelatihan, dll) secara terencana dan berlanjut.

12.3Dari sudut hak asasi manusia.

Hak asasi haruslah proporsional, karena hak asasi bukan tanpa batas, sebagaimana dikemukakan oleh kelompok yang setuju hukuman mati. Hak hidup para “laknat” pengedar dan produsen Narkoba, bukanlah hal yang patut lagi dipersoalkan, bila dibandingkan dengan hak hidup sekian juta anak-anak bangsa yang telah jatuh menjadi korban penyalahgunaan Narkoba.

12.4Dari sudut tujuan hukum.

Kita bisa memahami aspirasi dari kelompok yang setuju hukuman mati, baik dari aspek keadilan, kepastian hukum, maupun dari aspek manfaat/kegunaan. Tentulah akan sangat mewakili rasa keadilan masyarakat terutama para orang tua yang putra/putrinya telah menjadi korban, apabila kepada para “laknat” pengedar dan produsen dijatuhi hukuman mati.

12.5Dari sudut efektifitas untuk menurunkan angka dan kualitas kejahatan Narkoba.

Hal ini sulit dijawab dan perlu penelitian, sebab adalah hal yang mustahil untuk menggambarkan, sejauh mana efektifitas penjatuhan hukuman mati terhadap penurunan angka dan kualitas kejahatan Narkoba, hanya dengan berdasarkan 2 (dua) kali pelaksanaan eksekusi mati dalam kurun waktu 10 (sepuluh) tahun. Namun sebagai bandingan, dengan tindakan yang tegas dan keras oleh pemerintah Thailand, maka batu loncatan/exit point produk heroin dari Daerah Bulan Sabit Emas dan Daerah Segitiga Emas telah bergeser dari Bangkok ke Manila.

13. Pendapat Dr. Rudy Satriyo Mukantardjo (Dosen hukum pidana FHUI) tentang