• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERKARA NOMOR 3/PUU-V/2007

II. KEDUDUKAN HUKUM (LEGAL STANDING) PARA PEMOHON

Sesuai dengan ketentuan Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, bahwa para Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang, yaitu :

a. perorangan warga negara Indonesia;

b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam Undang-Undang;

c. badan hukum publik atau privat; atau d. lembaga negara.

Kemudian dalam penjelasannya dinyatakan, bahwa yang dimaksud dengan “hak konstitusional” adalah hak-hak yang diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Lebih lanjut Mahkamah Konstitusi RI telah memberikan pengertian dan batasan tentang kerugian konstitusional yang timbul karena berlakunya suatu undang-undang menurut Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (vide Putusan Nomor 006/PUU-III/2005 dan putusan-putusan berikutnya), harus memenuhi 5 (lima) syarat yaitu :

a. adanya hak konstitusional para Pemohon yang diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

b. bahwa hak konstitusional para Pemohon tersebut dianggap oleh Para Pemohon telah dirugikan oleh suatu Undang-Undang yang diuji;

c. bahwa kerugian konstitusional para Pemohon yang dimaksud bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;

d. adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian dan berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan untuk diuji;

e. adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka kerugian konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi.

Menurut para Pemohon dalam permohonannya bahwa dengan berlakunya ketentuan Pasal 80 ayat (1) huruf a, Pasal 80 ayat (2) huruf a, Pasal 80 ayat (3) huruf a, Pasal 81 ayat (3) huruf a, Pasal 82 ayat (1) huruf a, Pasal 82 ayat (2) huruf a, dan Pasal 82 ayat (3) huruf a Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika, maka hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan, dan dianggap bertentangan dengan ketentuan Pasal 28A, Pasal 28I ayat (1) dan ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Lebih lanjut para Pemohon juga mengajukan Permohonan Pengujian Pasal 51 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, yang dianggap bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Karena itu, perlu dipertanyakan kepentingan para Pemohon apakah sudah tepat sebagai pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika dan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Juga apakah kerugian konstitusional para Pemohon yang dimaksud bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi, dan apakah ada hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian dan berlakunya undang-undang yang dimohonkan untuk diuji, karena hal-hal sebagai berikut :

Terhadap Pemohon Edith Yunita Sianturi dan Rani Andriani (Melisa Aprilia), perorangan warga negara Indonesia, adalah terpidana mati yang telah menjalani proses persidangan di Pengadilan Negeri Tangerang dan Pengadilan Negeri Denpasar, Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung, dalam perkara

tindak pidana sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Narkotika, dan yang bersangkutan dijatuhi hukuman mati, dan putusan tersebut telah mempunyai kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde).

Terhadap putusan tersebut dapat dilakukan upaya hukum luar biasa berupa peninjauan kembali (vide Pasal 263 s.d 269 KUHAP), maupun permohonan pengampunan (grasi) kepada Presiden RI (vide Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi). Karena itu Pemerintah berpendapat rentetan proses pemeriksaan persidangan terhadap terpidana telah sesuai dengan proses/cara-cara pemeriksaan yang benar dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku (due process of law).

Sehingga kalaupun pada akhirnya Hakim menjatuhkan hukuman mati terhadap pelaku tindak pidana narkotika (memproduksi, mengolah, mengekstraksi, mengkonversi, merakit atau menyediakan narkotika dengan permufakatan jahat yang terorganisir), maka hal tersebut merupakan putusan yang dianggap wajar dan adil bagi terpidana maupun rasa keadilan masyarakat. Juga jikalaupun putusan hukuman mati yang didasarkan pada ketentuan Pasal 80, 81 dan 82 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika, tidak diterapkan oleh hakim (Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung) adalah semata-mata merupakan pertimbangan dan keyakinan hati nurani hakim itu sendiri, dan tidak berkaitan dengan masalah konstitusionalitas keberlakuan suatu undang-undang yang dimohonkan untuk diuji.

Yang semestinya dilakukan oleh para Pemohon maupun kuasanya adalah melakukan pembelaan secara komprehensif, menghadirkan ahli dan saksi, mengajukan bukti-bukti yang dapat meringankan dan/atau mematahkan tuntutan Penuntut Umum (Jaksa) pada saat persidangan di pengadilan, dan pada gilirannya Penuntut Umum tidak menuntut mati terhadap terdakwa (para Pemohon), sehingga Hakim dengan keyakinannya dan memperhatikan fakta-fakta dipersidangan diharapkan tidak memberikan vonis mati terhadap terdakwa (para Pemohon), karena Hakim bukan hanya sebagai “corong undang-undang” dalam menegakkan hukum dan keadilan.

Pemerintah berpendapat bahwa pelaksanaan putusan pengadilan yang telah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku tidak dapat dipersamakan dan/atau dianggap telah menimbulkan kerugian dan/atau

kewenangan konstitusional para terpidana dan karenanya putusan tersebut dianggap telah bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Pada kenyataannya para Pemohon (Edith Yunita Sianturi dan Rani Andriani (Melisa Aprilia)), sampai saat ini masih hidup dan menjalani kehidupannya sebagaimana mestinya, dan kedepan bukan tidak mustahil apabila para Pemohon mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali (herziening) atau mengajukan grasi kepada Presiden RI, atau terjadi perubahan sistem pemidanaan, maka dapat dimungkinkan pelaksanaan hukuman mati tersebut dapat ditinjau ulang atau dirubah dengan hukuman yang lain.

Terhadap Myuran Sukumaran, Pemegang Passport No. M1888888, beralamat di 16/104 Woodville Rd, Granville, Sydney, 2142; Andrew Chan, Pemegang Passport No L3451761, beralamat di 22 Beaumaris St Enfield, Sydney,2136 (para Pemohon perkara Nomor 02/PUU-V/2007), dan Scott Anthony Rush, tempat tanggal lahir Brisbane Australia, 03 Desember 1985; Agama Kristen Katholik; Pekerjaan Buruh; Kewarganegaraan Australia; Alamat 42 Glenwood St. Chelmer, Brisbane, Australia (Pemohon perkara Nomor 03/PUU-V/2007), kesemuanya adalah warga Negara asing.

Bahwa sesuai dengan ketentuan Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, secara jelas dan tegas mempersyaratkan pihak-pihak yang dapat memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk menjadi Pemohon dalam pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar , yaitu :

perorangan warga negara Indonesia (termasuk kelompok orang yang mempunyai kepentingan sama);

kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam Undang-Undang;

badan hukum publik atau privat; atau lembaga negara.

Bahwa persyaratan tersebut diatas pada huruf a (perorangan warga Negara Indonesia) dianggap telah menimbulkan hak dan/atau kewenangan konstitusional para Pemohon dirugikan dan dianggap bertentangan dengan

Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang menyatakan “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum”.

Pemerintah berpendapat bahwa frase “setiap orang berhak ……. dst“ sebagaimana tercantum dalam Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, harus paralel/dihubungkan dengan frase “ setiap orang wajib tunduk …….dst” yang tercantum dalam Pasal 28J ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, sehingga hak setiap orang untuk mendapatkan pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum, tetapi juga setiap orang juga wajib tunduk pada pembatasan-pembatasan sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Bahwa pembatasan hanya terhadap “perorangan warga Negara Indonesia” dan bukan menunjuk kepada yang lain, yang dapat menjadi pihak (legal standing) untuk mengajukan permohonan pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, justru dapat mewujudkan adanya kepastian hukum (rechtszekerheid), karena ketentuan a quo telah secara cermat dan tegas memberikan rambu dan batasan-batasan.

Menurut Pemerintah, jikalaupun anggapan para Pemohon tersebut benar adanya, dan permohonannya dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi, maka menurut Pemerintah justru akan menghilangkan kesempatan kepada setiap orang (warga negara Indonesia) menjadi pihak yang mempunyai kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan permohonan pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar.

Karena itu Pemerintah meminta kepada para Pemohon maupun kuasanya melalui Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi untuk membuktikan secara sah terlebih dahulu apakah benar Pemohon sebagai pihak yang hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan. Pemerintah berpendapat bahwa tidak terdapat dan/atau telah timbul kerugian terhadap hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon atas keberlakuan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika dan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, karena itu kedudukan hukum (legal standing) Pemohon

dalam permohonan pengujian ini tidak memenuhi persyaratan sebagaimana tercantum pada Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.

Berdasarkan uraian tersebut diatas, Pemerintah memohon agar Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi secara bijaksana menyatakan permohonan para Pemohon tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard). Namun demikian apabila Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi berpendapat lain, berikut ini disampaikan argumentasi dan penjelasan Pemerintah tentang materi pengujian Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika dan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.

III. PENJELASAN PEMERINTAH ATAS PERMOHONAN PENGUJIAN