• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Dalam dokumen HAFALAN SHALAT DELISA KARYA TERE LIYE (Halaman 65-118)

A. Struktur Novel Hafalan Shalat Delisa

1. Tema

Tema merupakan ide yang mendasari sebuah cerita sehingga berperan juga sebagai pangkal tokoh pengarang dalam memaparkan karya yang diciptakannya. Tema sebagai makna pokok dari sebuah karya fiksi merupakan makna keseluruhan yang didukung oleh cerita. Tema bersifat obyektif, artinya para pembaca novel akan memiliki penafsiran yang relatif sama terhadap sebuah novel. Novel Hafalan Shalat Delisa bertemakan tentang ketuhanan. Yaitu tentang kecintaan seorang anak berusia enam tahun terhadap keluarganya dan mencoba mengenali Tuhannya melalui hafalan-hafalan bacaan shalat yang telah diajarkan oleh Ummi serta Ustadz tempat ia mengaji. Keluarga yang harmonis dan taat beribadah ditunjukan pada kutipan berikut:

Ummi sedang mengaji; mengajari Cut Aisyah dan Cut Zahra. Sedangkan Fatimah membaca Al-Quran sendiri. Tidak lagi diajari Ummi. Ini jadwal rutin mereka setiap habis subuh. Belajar ngaji dengan Ummi, meskipun juga belajar ngaji TPA dengan Ustadz Rahman di meunasah.

Delisa sedang memegang Juz’ammanya. Terbata-bata mengeja alif-patah-a; ia masih banyak menguap. Terkantuk-kantuk menunggu giliran menghadap Ummi. Menyetor bacaan yang sedang diejanya pelan-pelan. (Tere Liye, 5).

Delisa berusaha untuk menghafalkan bacaan shalat. Walaupun dia mengalami kesulitan, dia masih terus berusaha untuk dapat menghafalkan bacaan shalat. Hal ini tampak pada kutipan berikut:

“In-na sha-la-ti, wa-nu-su-ki, wa-ma…wa-ma…wa-ma…”

Delisa kesulitan melanjutkan hafalan bacaan shalatnya. Matanya terpejam. Tangannya menjawil-jawil rambut keritingnya. “Wa-ma… waaa-, waaa, wa-ma…”

Delisa lagi sibuk duduk di ayunan pohon jambu yang dibuatkan Abi dua bulan lalu pas pulang. Berayun-ayun pelan, sambil menghafal doa iftitah. Delisa memang lagi berjuang menghafal bacaan shalat minggu-minggu ini. setiap kesempatan yang ada, ia pasti menenteng-nenteng buku hafalan bacaan shalatnya. Meski terkadang buku itu hanya sekedar dibawa-bawa

commit to user

saja. Tidak dibaca. Setidaknya ia kelihatan sibuk menghafal, dan Ummi tidak banyak menegurnya. (Tere Liye, 12  13)

Mereka akan ke pasar Lhok Nga. Membeli kalung hadiah hafalan bacaan shalat Delisa (di samping belanjaan rutin mingguan Ummi lainnya). kalung yang dijanjikan Ummi sebulan lalu. Kalung yang membuatnya semangat belajar menghafal bacaan shalat minggu-minggu terakhir. (Tere Liye, 17)

Kutipan lain yang menjelaskan tentang usaha Delisa dalam menghafalkan bacaan shalat tampak pada kutipan berikut:

Malamnya Aisyah yang duduk bersama Zahra juga berdiam diri saat mengerjakan PR buat besok. Tidak sedikitpun mengganggu Delisa yang terbata-bata terus menghafal bacaan shalat di ruang belajar.

“Sub-haa-na-rab-bi-yal a’-la wa-…wa-…bihamdih!”

“Aduh itu kan bacaan buat sujud, Delisa!” Fatimah yang juga sedang belajar bersama-sama menoleh. Tadi Delisa bukankah baru saja membaca surat pendek, kemudian takbir hendak ruku’. Jadi seharusnya kemudian bacaan ruku’ kan. Bukan bacaan sujud. (Tere Liye, 24)

2. Penokohan

Pembedaan tokoh menurut Nurgiyantoro dibedakan menjadi dua jenis dalam sebuah cerita, yaitu masing-masing tokoh memiliki peranan yang berbeda. Dilihat dari tingkat peranan atau kepentingan tokoh dibedakan menjadi dua, yaitu 1) tokoh utama, yaitu tokoh yang ditampilkan terus menerus atau paling sering diceritakan, dan 2) tokoh tambahan, yaitu tokoh yang dimunculkan sekali atau beberapa kali saja dalam sebuah cerita (2005). Novel Hafalan Shalat Delisa mempunyai tokoh utama yaitu Delisa. Dan tokoh tambahan, yaitu Ummi Salamah, Abi Usman, Fatimah, Cut Aisyah, Cut Zahra, Koh Acan, Ustad Rahman, Ibu Guru Eli, Teuku Umam, Teuku Dien, Tiur, Ummi Tiur, Ibu Guru Nur, Dr. Michael J Fox, Junior, Jinny, Profesor Strout, Laksamana Jensen Hawk, Michelle, Margaretha, Sersan Ahmed, Prajurit Smith, Dokter Elisa, Suster Sophie, Kak Ubai, Ibu Guru Ani, Dokter Peter, dan Wak Burhan.

Untuk mempermudah pemahaman maka deskripsi data juga ditampilkan. Deskripsi dan pembahasan para tokoh akan dijelaskan sebagai berikut:

commit to user 1. Delisa

Delisa adalah seorang anak berusia 6 tahun yang hidup bersama Ummi dan ketiga kakaknya di kota Lhok Nga. Sedangkan Abinya bekerja di kapal tanker dan hanya pulang tiga bulan sekali. Delisa digambarkan sebagai seorang bocah yang berwajah tidak seperti anak Lhok Nga lainnya. Dia seperti anak keturunan. Dia memiliki rambut ikal berwarna, kulitnya putih kemerah-merahan, dan matanya hijau. Hal ini tampak pada pernyataan:

Beda sekali dengan kakak-kakaknya, rambut Delisa ikal berwarna. Kulitnya putih kemerah-merahan bersih. Matanya hijau. Delisa terlihat seperti anak keturunan. Meskipun itu tidak aneh, Ummi Salamah memang keturunan Turki-Spanyol (meskipun itu jauh ke-kakek-kakeknya Delisa). Mungkin salah satu gen itu itu setelah terpendam begitu lama akhirnya menurun ke Delisa. (Tere Liye, 11)

Delisa anak yang banyak bertanya dan selalu kritis dalam hal apapun. Delisa memiliki pola pikir yang berbeda dengan anak seumurannya. Dia akan menanyakan sesuatu jika ia merasa tidak mengerti. Hal ini tampak pada pernyataan:

“Ummi, kenapa ya Delisa selalu susah bangun shubuh-shubuh?” Ia bertanya sambil menguap. Teringat masalah tadi; juga masalahnya selama ini – susah bangun.

Ummi mengabaikan Aisyah. Tersenyum, “Karena kamu sering lupa doa sebelum tidur, kan?”

“Nggak… Delisa nggak pernah lupa!” Delisa menjawab cepat. Ngotot. Ummi tersenyum lagi. (Tere Liye, 6)

“Satu lagi Ummi…. Kenapa kalau Delisa sudah baca doa sebelum tidur, Delisa tetap saja ngantuk pas sudah bangunnya… Kata Ummi tadi Delisa pasti bisa bangun lebih cepat dan nggak ngantuk lagi, kan? Delisa teringat sesuatu, memikirkan fakta lainnya. Bertanya sambil menguap lebar. (Tere Liye, 9)

“Ustadz, kenapa ya Delisa sering kebolak-balik?” Delisa nyeletuk. Mengangkat kepalanya dari buku iqra di atas rihal. Ingat sesuatu. Ustadz Rahman menatapnya? Kebolak-balik? Oo, bacaan shalat. (Tere Liye, 38)

Setelah tsunami melanda Lhok Nga. Delisa masih hidup karena ia diselamatkan oleh Ibu Guru Nur. Delisa diikat di sebuah papan oleh Ibu Guru Nur. Tetapi selama berhari-hari Delisa belum juga ditemukan oleh relawan yang datang membantu. Delisa berada di kaki bukit Lhok Nga dan keadaan Delisa sangat mengenaskan. Hal ini tampak pada pernyataan:

commit to user

Delisa masih hidup. Terseret empat kilometer hingga ke kaki bukit Lhok Nga. Tersangkut di semak-semak.

Siku kanan Delisa juga patah! Siku itu terkulai bagai patahan dahan kayu yang masih menempel sedikit di pohonnya. Maka sempurna sudah, ia tidak berdaya. Hanya menggantung terbaring. Dengan badan sebelah kiri menyentuh becek tanah yang sudah mengering. Sebelah kanan badannya terjepit semak belukar.

Pilu menatap tubuhnya belum usai. Saat siang menjelang, matahari terik memanggang tubuhnya!. (Tere Liye, 92).

Delisa yang masih hidup belum juga ditemukan oleh tim relawan. Keadaannya kini bertambah mengenaskan. Sudah tujuh hari tujuh malam Delisa terkapar tak berdaya. Tetapi ia sudah mulai terbiasa dengan keadaan sekitarnya. Ia tidak takut lagi dengan mayat Tiur, gelap malam dan sepinya kota. Keadaan tubuhnya sungguh mengenaskan. Delisa masih berjuang untuk bertahan hidup. Hal ini tampak pada pernyataan:

Tubuh Delisa terpanggang oleh teriknya matahari. Tubuhnya semakin mengenaskan. Air dan beberapa buah apel yang memang mengisi perutnya dengan baik semalaman, tetapi itu tidak cukup untuk mengurangi semua rasa sakit. Menjelang sore, kaki kanannya sudah benar-benar tak berasa lagi. Seperti tidak ada lagi di sana, saking kebasnya. Matanya perih menahan panas seharian. Kerudung biru yang sekarang ditutupkannya di atas dahi tidak membantu banyak.

Delisa sudah lelah menangis. Air matanya sudah habis sepanjang hari. Tujuh hari tujuh malam sudah ia terkapar. Ia tidak takut lagi dengan mayat Tiur yang mulai membusuk. Ia tidak takut lagi menatap sepinya kota. Tidak takut lagi menatap gelapnya malam. Bahkan Delisa tidak peduli dengan hujan deras yang selalu turun tiap malam. Mengeriputkan badan kecilnya. (Tere Liye, 101).

Setelah berhasil ditemukan oleh Smith, kemudian Delisa dibawa ke rumah sakit kapal induk John F Kennedy. Delisa sudah pingsan selama tujuh hari sebelum dia ditemukan. Dan Delisa juga masih belum siuman selama berhari-hari pasca operasi di rumah sakit. Setelah Delisa siuman, dia bingung dengan keadaan yang dialaminya. Semuanya ini terasa begitu menyakitkan dan memilukan bagi Delisa. Tsunami telah merenggut semuanya. Hal ini tampak pada pernyataan:

Delisa menatap kosong. Ia tiba-tiba tidak bisa berpikir lebih banyak lagi. Terhenti begitu saja. Setelah menyebut nama Ummi, Kak Fatimah, Kak Zahra, dan Kak Aisyah tadi, ingatannya pelan-pelan kembali. Masalahnya ingatan itu kembali bersama “sepotong” hati dan otak yang tertinggal.

commit to user

Apalagi setelah melihat kakinya yang terpotong. Tidak ada lagi jari-jemari disana. Mata kaki. Betis. Hilang. Delisa terdiam. Semua ini terasa menyedihkan. Terasa memilukan. Mata Delisa mulai basah berair.

(Tere Liye,130)

Di tengah penderitaan yang dialami Delisa. Delisa masih bisa tegar dan bersikap seperti Delisa yang dulu. Delisa masih suka berbagi dengan orang sekitarnya. Hatinya tidak berubah. Meskipun kondisi fisiknya sudah berubah. Hal ini tampak pada pernyataan:

Sophi tertegun. Ia mengerti sekarang. Gadis kecil di hadapannya ternyata hendak berbagi. Sophi menelan ludah. Tersenyum kaku menerima potongan itu. Ya Allah, bahkan Delisa di tengah situasi menyedihkan ini, reflek begitu saja membagi cokelatnya…. Tulus berbagi ….

(Tere Liye, 135).

Setelah diijinkan pulang dari rumah sakit kapal induk tempat Delisa dirawat. Delisa bersama Abi kembali ke Lhok Nga. Delisa senang sekali kembali ke tempat tinggalnya. Ia rindu dengan semuanya. Apa pun itu bentuknya sekarang. Apa pun itu yang masih ada. Tetapi Delisa hanya bisa menatap kosong melihat kotanya hancur tak bersisa. Hanya tinggal lapangan luas dengan puing-puing bangunan di sana-sini. Tetapi Delisa tidak larut dalam kesedihan. Ia siap untuk meneruskan kehidupannya yang sudah berubah. Hal ini tampak pada pernyataan:

Bagi Delisa kehidupan sudah kembali. Bagi Delisa semua ini sudah berlalu. Bagi Delisa hari lalu sudah tutup buku. Ia siap meneruskan kehidupan. Tak ada yang perlu dicemaskan. Tak ada yang perlu ditakutkan. Delisa siap menyambung kehidupan; meski sedikit pun ia belum mengerti apa itu hakikat hidup dan kehidupan. (Tere Liye, 157).

Disaat Delisa sedang berada di kuburan massal tempat kakak-kakaknya, teman-temannya beserta yang lain dikuburkan, Delisa masih saja peduli dengan kesedihan yang dirasakan orang lain. Padahal disini ia sedang melihat kuburan massal tempat saudara-saudaranya dikuburkan. Yang seharusnya anak seusia dia tidak mempedulikan kesedihan orang lain. Yang justru hanya memikirkan kesedihan diri sendiri. Tapi Delisa masih peduli terhadap kesedihan orang lain. Hal ini tampak pada pernyataan:

commit to user

S-i-a-p-ayang meninggal?” Delisa bertanya dengan mata hijaunya. Istri J fox menoleh sambil menyeka air mata. Tidak menyangka akan ada yang menegurnya di negeri antah-berantah ini. Tidak menyangka akan ada yang menyapanya saat ia sedang berdoa untuk suaminya yang entah berada di mana. Istri J Fox memandang wajah menggemaskan Delisa. Bekas luka yang belum hilang, gigi tanggal dua. Tetapi wajah gadis kecil di sebelahnya bertanya tulus meski ia sama sekali tidak mengerti apa yang diucapkannya barusan. (Tere Liye, 168).

Delisa benar-benar anak yang berhati mulia. Ditengah musibah yang sedang menimpanya, kehilangan semuanya yang pernah ia miliki. Delisa masih memberi kepedulian dan perhatian kepada orang lain. Bahkan orang itu belum pernah ditemuinya. Tetapi Delisa sangat baik hati. Dia tidak pernah marah ataupun menolak atas semua musibah yang ia terima ini. Delisa menyikapi semua musibah ini dengan sangat sederhana. Dia menerima dengan ikhlas tanpa ada penolakan sedikitpun. Hal ini tampak pada pernyataan:

Anak ini jelas kehilangan lebih banyak dibandingkan ia. Anak ini jelas kehilangan nama-nama itu. Kehilangan rumah, sekolah, teman-teman, tempat bermain dan segalanya. Tetapi lihatlah, gadis kecil ini menganggap semua kepergian itu dengan sederhana. Benar-benar sederhana. Tidak ada penolakan. Tidak ada pengingkaran. Bahkan gadis kecil dengan mata hijau beningnya, ringan hati telah membuatkan almarhum suaminya nisan yang indah. (Tere Liye, 169)

Delisa pun harus menyesuaikan diri dengan perubahan hidup yang terjadi pasca tsunami. Semua kegiatan yang selama ini sudah rutin ia lakukan setiap hari. Kini berubah setelah tsunami melanda. Jadwal mengaji berubah menjadi sore hari. Dan Delisa harus bermain bola dengan menggunakan kurk, karena kakinya harus diamputasi. Tetapi Delisa tetap menjalaninya dengan senang hati. Hal ini tampak pada pernyataan:

Dengan jadwal mengaji sore hari di meunasah, “hobi pamungkas” Delisa bermain bola menjadi berkurang. Ia hanya bisa bermain bola satu jam selepas mengaji. Tetapi itu tidak jadi masalah. Lebih dari cukup. Dengan kurk di lengan kanan, Delisa meneruskan hobi menyenangkan tersebut. (Tere Liye, 174).

Perubahan hidup sudah mulai dirasakan oleh Delisa. Dengan adanya musibah yang terjadi membuat Delisa tumbuh menjadi lebih dewasa, menjadi

commit to user

lebih bertanggung jawab kepada dirinya sendiri dan Abinya. Delisa dan Abi berjuang menata kembali kehidupan mereka yang hancur pasca tsunami terjadi. Tanpa perlu belajar untuk menjadi dewasa dan bertanggung jawab, dari mu

sibah ini Delisa bisa tumbuh menjadi lebih bertanggung jawab. Hal ini tampak pada pernyataan:

Delisa sebenarnya tumbuh lebih dewasa dua bulan terakhir. Delisa jauh lebih bertanggung-jawab. Ia membantu Abi menyapu rumah. Mencuci piring. Bahkan sudah bisa mencuci pakaian dan belajar menyetrika. Delisa juga tidak banyak berseru meminta tolong. Dengan sendirinya pengertian itu datang kepadanya. Delisa selalu mengerjakan sendiri apa yang bisa ia kerjakan. Termasuk urusan menyiapkan pakaian mengajinya.

(Tere Liye,177).

Delisa pun akhirnya bisa menyelesaikan hafalan shalatnya. Dia bisa menjalankan shalat pertamanya dengan sempurna. Delisa bisa menghafal bacaan shalatnya setelah ia mengalami kesulitan untuk menghafalnya kembali. Tapi kini Delisa selesai menyelesaikan hafalan shalatnya dan shalat dengan sempurna. Hal ini tampak pada pernyataan:

Dan Delisa entah mengapa terisak pelan. Delisa menangis. Matanya basah. Ya Allah, Delisa akhirnya menyadari kalau ia baru saja bisa mengerjakan shalatnya dengan lengkap. Gadis kecil itu bahagia sekali. Untuk pertama kalinya ia menyelesaikan shalatnya dengan baik. Shalat yang indah. Delisa membaca dari awal hingga akhir bacaan shalatnya. Tidak lupa! Tidak tertukar-tukar. (Tere Liye, 261).

2. Ummi Salamah

Ummi Salamah adalah ibunda Delisa. Seorang ibu yang bertanggung jawab terhadap anak-anaknya. Ummi selalu mengajari anak-anaknya mengaji setiap habis subuh. Hal ini tampak pada pernyataan:

Ummi sedang mengaji; mengajari Cut Aisyah dan Cut Zahra. Sedangkan Fatimah membaca Al-Qur’an sendiri. Tidak lagi diajari Ummi. Ini jadwal rutin mereka setiap habis subuh. Belajar ngaji dengan Ummi, meskipun juga belajar ngaji TPA dengan Ustad Rahman di meunasah (Tere Liye, 5).

Ummi Salamah adalah seorang ibu yang bertanggung jawab terhadap keluarganya. Dia mau membantu Abi memenuhi kebutuhan keluarganya. Jadi tidak hanya menggantungkan pada penghasilan Abi saja, Ummi juga mau bekerja,

commit to user

seperti menjahit yang sering Ummi Salamah lakukan di rumah. Menjahit baju pesanan tetangga. Hal ini tampak pada pernyataan:

Ummi sehari-hari bekerja menjahit, membordir dan semua pekerjaan pakaian pesanan tetangga. Ummi pandai sekali membuat baju, selendang, dan kain-kain (Tere Liye, 10).

Pasca tsunami terjadi keberadaan Ummi Salamah tidak pernah diketahui. Mayatnya tidak pernah ditemukan. Tidak ada yang tahu dimana keberadaan Ummi Salamah. Tetapi di akhir cerita diceritakan bahwa Delisa menemukan kerangka putih yang membawa kalung yang berbandul huruf D. D untuk Delisa. Kerangka itu adalah Ummi Salamah. Hal ini tampak pada pernyataan:

Kalung itu ternyata bukan tersangkut di dedahanan. Tidak juga tersangkut di dedaunan. Tetapi kalung itu tersangkut di tangan. Tangan yang sudah menjadi kerangka. Sempurna kerangka manusia. Putih. Tulang-belulang. Utuh. Bersandarkan semak belukar tersebut.

“U-m-m-i!” (Tere Liye, 264  265). 3. Abi Usman

Abi Usman adalah ayah Delisa. Dia bekerja di tanker perusahaan minyak internasional. Berkeliling dari satu benua ke benua lainnya. Hanya setiap tiga bulan sekali Abi pulang ke Lhok Nga. Hal ini tampak pada pernyataan:

Abi seperti yang dibilang sebelumnya bekerja di tanker perusahaan minyak internasional. Berkeliling dari satu benua ke benua lainnya membawa ribuan meter kubik minyak mentah. Setiap tiga bulan sekali baru kembali merapat di pelabuhan Arun. Kemudian pulang ke Lhok Nga selama dua minggu, sebelum kembali lagi berlayar. Terus saja begitu sepanjang tahun, kecuali pas Ramadhan dan lebaran, Abi bisa cuti panjang, satu setengah bulan penuh. (Tere Liye, 11)

Abi Usman berusia sekitar empat puluh tahun. Bertubuh kekar dan berambut hitam legam. Seperti yang digambarkan pada pernyataan di bawah ini:

Cahaya muka lelaki berumur empat puluh tahunan itu meredup. Parasnya yang seharusnya terlihat berwibawa dan menyenangkan padam. Tubuh kekarnya bergetar. Abi mengusap rambutnya yang hitam legam. Mendesah ke langit-langit Lhok Nga. Udara yang lembut. Angin laut bertiup lemah memainkan anak rambut Abi. Meski apa hendak di kata, angin senyap justru membuka kenangan lama. (Tere Liye, 116)

commit to user 4. Fatimah

Fatimah adalah kakak Delisa. Dia baru berumur 16 tahun. Sebagai anak yang paling tua, Fatimah bertugas menjaga adik-adiknya, membantu Ummi dalam segala hal. Hal ini tampak pada pernyataan:

Fatimah tipikal anak sulung yang bisa diandalkan. Umurnya 16 tahun. Meski masih kelas satu madrasah aliyah, Fatimah bisa menggantikan peran Ummi dengan baik - juga sebagai partner Ummi jika Abi tidak ada di rumah seperti sekarang, Fatimah ikut menjaga adik-adiknya. (Tere Liye, 11)

Dan Fatimah juga ikut menjadi korban dari terjangan tsunami di Lhok Nga. Ia tewas bersama dengan Cut Aisyah dan Cut Zahra. Hal ini tampak pada pernyataan:

“Cut Fatimah sudah dikuburkan tiga hari lalu, Usman….” Teuku Dien menelan ludah. Memeberitahukan. (Tere Liye, 122)

5. Cut Aisyah

Cut Aisyah adalah kakak Delisa. Umurnya 12 tahun. Mempunyai sifat yang pencemburu, iri hati, tetapi sebenarnya dia anak yang baik dan penurut. Cut Aisyah mempunyai saudara kembar yaitu Cut Zahra. Sifat pencemburu dan iri hati Cut Aisyah tampak pada pernyataan:

Aisyah menatap sirik. Ia benar-benar cemburu. Kalung milik Delisa jelas-jelas lebih bagus dibandingkan miliknya. Kan nggak ada huruf A. A untuk Aisyah (Tere Liye, 23).

Rasa cemburu yang dirasakan Aisyah susah untuk dihilangkan. Bahkan semakin menjadi-jadi. Aisyah sudah terlalu cemburu terhadap Delisa. Hal ini tampak pada pernyataan:

Tidur semalaman justru membuat hati Aisyah terbakar lebih luas, lebih dalam. Ia mengibaskan tangan Fatimah. Pagi ini, hatinya dongkol sekali. Ia sebenarnya sudah dari tadi bangun. Hanya saja malas sekali melihat Delisa ada di dekatnya. Melihat Delisa turun dari ranjang dengan riang. (Tere Liye, 26).

Pasca tsunami terjadi, Cut Aisyah juga ikut tewas. Mayatnya sudah ditemukan dan sudah dikuburkan. Hal ini tampak pada pernyataan:

“Cut Aisyah mayatnya sudah ditemukan empat hari lau, Bang Usman…” Koh Acan berkata pelan. (Tere Liye, 118).

commit to user 6. Cut Zahra

Cut Zahra adalah saudara kembar dari Cut Aisyah yang juga sebagai kakak Delisa. Mempunyai sifat yang sangat berbeda dengan Cut Aisyah. Walaupun pendiam, tetapi Zahra pencinta ketertiban dan kebersihan. Hal ini tampak pada pernyataan:

“Tadi siapa yang ngacak-ngacak lemari pakaian?” Zahra yang pendiam (tetapi pencinta ketertiban) bertanya pelan. Semua mata memandang ke Delisa. (Tere Liye, 48).

“Iya! Tapi kamu nyarinya kan bisa lebih pelan dikit? Nggak mesti merusak lipatan pakaian yang lain, kan?” Zahra menyeringai kepada Delisa.

(Tere Liye, 49)

Cut Zahra pun juga ikut meninggal dalam terjangan tsunami itu. Mayatnya ditemukan berpelukan dengan Cut Aisyah saudara kembarnya. Hal ini tampak pada pernyataan:

“Mayatnya ditemukan sudah membusuk. Berpelukan dengan Cut Zahra….” (Tere Liye, 118).

7. Koh Acan

Koh Acan adalah pedagang emas di pasar Lhok Nga. Walaupun dia seorang konghucu, tetapi dia sangat menghargai perbedaan agama. Misalnya saat Delisa dan Ummi Salamah membeli kalung untuk hadiah hafalan shalat, Koh Acan memberi separuh harga kepada Ummi Delisa. Hal ini tampak pada pernyataan:

“Tidaklah…. Kalau untuk hadiah hafalan shalat ini, Ummi Salamah bayar separuh saja, haiya!”

“Nggak... Haiya, saya nggak mungkinlah pasang harga mahal kalau buat hadiah hafalan shalat! Nggak mungkinlah….” Koh Acan memperbaiki dupa di atas meja panjangnya, tersenyum meyakinkan. Koh Acan 100% Konghucu (Tere Liye, 20)

Sebelum tsunami terjadi di Lhok Nga, bisa dikatakan Koh Acan mempunyai kehidupan yang sukses dan berkecukupan. Tetapi setelah tsunami melanda, dia kehilangan semuanya. Harta bendanya, keluarganya, serta pembantu-pembantunya. Kehilangan semuanya dalam waktu singkat membuat Koh Acan tidak tahu harus melakukan apa. Hal ini tampak pada pernyataan:

commit to user

“Mayat Chi-bi sudah dikuburkan…. Tak ada yang bersisa, Bang…. Tak ada sama sekali…. Toko itu musnah…. Keluarga saya musnah, Papa

Dalam dokumen HAFALAN SHALAT DELISA KARYA TERE LIYE (Halaman 65-118)

Dokumen terkait