• Tidak ada hasil yang ditemukan

METODE PENELITIAN A. Ruang Lingkup Penelitian

B. Hasil Penelitian dan Pembahasan

1. Responsifitas Pembinaan Jamu Tradisional oleh Dinas Kesehatan

Penilaian responsifitas dinilai berdasarkan indikator yang telah dirumuskan sebelumnya dalam Bab II. Diantaranya di paparkan sebagai berikut :

a. Kemampuan dalam menanggapi permasalahan BKO

Adanya masalah penggunaan BKO pada sejumlah perajin obat tradisional di Kabupaten Cilacap menuntut beberapa lembaga terkait untuk menyikapinya. Diantaranya adalah Dinas Kesehatan. Semakin dini suatu masalah mendapat tanggapan dan tindakan sebagai upaya pemecahannya maka akan semakin cepat masalah tersebut terselesaikan. Kecepatan tersebut juga harus diimbangi dengan ketepatan dari tindakan yang diambil. Masalah yang terjadi dalam industri obat tradisional selama ± 10 tahun belum juga terselesaikan.

Sejumlah peracik obat tradisional kini banyak yang telah berhenti berproduksi. Adanya indikasi pengggunaan BKO pada sejumlah produksi obat tradisional di Cilacap mendapatkan perhatian dan tanggapan dari Dinas Kesehatan melalui sosialisasi sampai pada pembinaan. Pembinaan tersebut telah dilakukan mulai dari tahun 1998-1999 sejak mulai terjadinya pencampuran unsur BKO.

Pembinaan tersebut dilakukan secara formal maupun informal. Pembinaan formal dilakukan dengan melakukan sosialisasi sampai pada pembinaan dengan pelibatan lembaga BPOM. Pembinaan tersebut

commit to user

merupakan pembinaan mengenai CPOTB (Cara Pembuatan Obat Tradisional yang Baik).

CPOTB merupakan panduan standarisasi pembuatan obat tradisional yang sesuai dengan perundang-undangan. Dalam CPOTB terangkum sistem produksi obat tradisional yang sesuai dengan UU kesehatan. Dalam CPOTB memuat hal-hal mengenai bahan-bahan yang boleh digunakan dalam produksi obat tradisional, alur proses produksi dan penggunaan Apoteker yang memantau dan menjamin standarisasi produk. Pembinaan tekhnis CPOTB merupakan bentuk tanggapan dari Dinas Kesehatan dengan adanya sejumlah produk obat tradisional yang menggunakan BKO. Dinas Kesehatan merupakan lembaga yang bertugas sebagai pembina dalam tekhnis pelaksanaan CPOTB. Dalam standarisasi produk obat tradisional yang sesuai dengan CPOTB produksi tersebut dilarang keras menggunakan bahan baku BKO.

Pembinaan CPOTB pada sejumlah peracik obat tradisional diharapkan akan mampu menciptakan produksi obat tradisional tanpa BKO. Dinas Kesehatan berfokus pada masalah tekhnis pelaksanaan CPOTB, yaitu meliputi penjabaran materi yang terdapat dalam CPOTB seperti alur denah gedung, bahan yang harus digunakan, pengolahan limbah, serta UU tentang CPOTB.

“Ya belum punya modalnya mba kalau harus membuat gedung, uang darimana saya. Saya cuma produksi kecil-kecilan buat memenuhi kebutuhan keluarga sehari-hari, produksi saya juga belum banyak apalagi sekarang ini sering dilakukan penertiban di pasaran saya sendiri juga kadang takut untuk berproduksi”. (Wawancara dengan Bapak Warsono, 23 April 2011)

commit to user

Beberapa peracik OT mengeluhkan karena mereka belum mampu memenuhi semua prinsip CPOTB karena keterbatasan modal khususnya dalam pembuatan gedung standar CPOTB. Hal ini dituturkan oleh Bapak Warsono dan Parmin (07 Februari 2011) bahwa mereka belum mampu membuat gedung standar CPOTB karena skala produksi mereka masih kecil mereka belum mempunyai modal apabila untuk membuat gedung standar CPOTB. Namun menurut Bapak Warsono beliau menanggapi positif pembinaan tersebut dan beliau merasa memahami materi yang disampaikan dalam pembinaan tersebut. Berikut merupakan ungkapan dari Bapak Parmin,

“Sekarang ini modal darimana mba, saya mengharapkan Dinas Kesehatan memberikan waktu untuk mendapatkan modal membuat gedung dengan memberikan kelonggaran produksi jamu. Biaya untuk membuat gedung tersebut kan tidak sedikit”. (Wawancara 07 Februari 2011)

Hal yang sama juga dikemukakan oleh Bapak Sumanto dengan skala usaha yang masih relatif kecil. Berikut merupakan ungkapan dari Bapak Sumanto, “ Kalau usaha saya sudah besar dan memiliki modal ya saya setuju apabila harus membuat gedung tapi sekarang ini modalnya belum ada”. (Wawancara 23 April 2011)

Bagi mereka yang skala produksinya menengah ke atas mereka mengungkapkan akan mencoba untuk mempertimbangkan pembuatan gedung standar CPOTB. Hal ini diungkapkan oleh mantan salah satu manajer peracik OT bahwa manajemennya telah mempertimbangkan

commit to user

dalam upaya membuat gedung berstandar CPOTB. Berikut merupakan ungkapan dari Bapak Wan,

“Ya dari kami sudah pernah membahas akan rencana pembuatan gedung tersebut, dana kayakna ya ada tapi masih kami pertimbangkan karena prosedur yang mengikutinya juga banyak”. (Wawancara 18 Maret 2011)

Berdasarkan ungkapan dari beberapa perajin/pengusaha jamu bahwa mereka sebenarnya menanggapi positif himbauan untuk pembuatan gedung yang merupakan prasyarat CPOTB hanya saja mereka belum mampu memenuhinya karena mereka belum memiliki modal yang cukup untuk memenuhi syarat CPOTB tersebut. Hal ini sesuai dengan yang dituturkan oleh Kepala Koperasi Aneka Sari Bapak Amir bahwa pembinaan tersebut mendapat apresiasi yang baik dari para anggota hanya saja pelaksanaannya masih lemah. Berikut merupakan ungkapan dari Bapak Amir,

“Selama ini para perajin si memberikan apresiasi yang cukup baik terhadap pembinaan formal yang dilakukan oleh Dinas Kesehatan hanya saja dalam pelaksanaannya memang masih cukup lemah”. (Wawancara 27 April 2011)

Namun hal ini tidak sesuai dengan hasil observasi lapangan yaitu dari daftar hadir peserta pembinaan yang dilakukan pada tanggal 12 April 2010 jumlah peserta yang hadir hanya berjumlah 52 dari 300 jumlah undangan. Menurut Sekretaris Koperasi Ibu Kasinem bahwa hal ini karena kelesuan dari para anggota terhadap pembinaan yang dianggap belum mampu memberikan solusi yang baik. Berikut merupakan ungkapan dari Ibu Kasinem,

commit to user

“Mereka pada malas mba, soalnya ya pembinaannya itu-itu saja mereka si paham tapi ya bagaimana mereka belum bisa kalau harus sesuai dengan harapan Dinas Kesehatan dan BPOM.” (Wawancara 18 Februari 2011).

Dari keseluruhan unit kelompok terdapat beberapa unit yang anggotanya sama sekali tidak ada yang hadir. Yaitu unit 5, 9, dan 11. Anggota kelompok unit yang banyak hadir mengikuti pembinaan adalah unit 2 dan 12. Namun berdasarkan hasil pengamatan, wawancara dan observasi hanya 1 perajin/pengusaha jamu yang menerapkan produksi murni hanya saja belum memiliki gedung. Secara tidak langsung hasil dari pembinaan formal yang dilakukan oleh Dinas Kesehatan dan BPOM selama adanya BKO hanya ada 1 perajin/perngusaha yang menerapkan produksi tanpa BKO. Jumlah peserta 52 tersebut itupun merupakan termasuk anggota Polsek Kroya sebagai tamu undangan dan beberapa perajin yang belum tercatat sebagai anggota unit Koperasi. Berikut merupakan daftar tabel mengenai jumlah peserta yang hadir dalam pembinaan yang dilakukan oleh BPOM dan Dinas Kesehatan dalam rangka penyuluhan mengenai tekhnis CPOTB.

commit to user

Tabel 4.6

Daftar Hadir Peserta BinTek CPOTB Bekerjasama Dengan BPOM Semarang Unit Kelompok (1) Jumlah (2) 1 4 2 8 3 5 4 3 5 -6 5 7 2 8 4 9 -10 2 11 -12 12 Jumlah 45

Sumber: Dokumen Koperasi Aneka Sari

Berdasarkan hasil wawancara dengan mantan Apoteker Koperasi sekaligus merupakan utusan dari Dinas Kesehatan dalam pembenahan jamu Cilacap, yaitu Bapak Ferdi pada 30 April 2011 bahwa Dinas Kesehatan memandang semua peracik OT merupakan orang kaya yang siap dan mampu dalam memenuhi semua persyaratan CPOTB. Sedangkan berdasarkan hasil temuan lapangan tidak semua peracik OT merupakan orang kaya, banyak diantara mereka masih dalam skala ekonomi menengah. Diungkapkan pula oleh Bapak Ferdi bahwa dari 257 perajin jamu 222 diantaranya adalah home industry sedangkan sisanya dalam skala pabrik. Berikut merupakan uangkapan Bapak Ferdi,

”Kadang yang menjadi masalah adalah Dinas Kesehatan memandang semua perajin jamu itu rata-rata orang kaya yang mampu untuk membuat gedung sesuai dengan CPOTB padahal kenyataannya kan tidak seperti itu, itu yang membuat susah. Padahal dari sekitar 257 perajin jamu 222 diantaranya adalah skala home industry”. (Wawancara 30 April 2011)

commit to user

Dinas Kesehatan terbatas dan memfokuskan diri pada permasalahan tekhnis CPOTB yaitu pembinaan tekhnis pelaksanaan CPOTB. Hal ini di dukung oleh pernyataan Kepala bagian Farmami beserta staf di dalamnya, Ibu Listyorini dan Titi (25 April 2011) bahwa Dinas Kesehatan hanya berfokus pada masalah tekhnis CPOTB. Berikut merupakan uangkapan dari Ibu Titi,

“Dinas Kesehatan itu cuma sebatas sebagai pelaksana tekhnis saja mba, hal ini sesuai dengan fungsi Dinas Kesehatan. Kalau masalah lainnya itu ya bukan urusan kami. Itu urusan Disperindagkop dengan Koperasi sana (Aneka Sari)”. (Wawancara 25 April 2011)

Hal-hal yang terkait dengan kebutuhan-kebutuhan lainnya seperti sistem pelaksanaan temasuk sistem pengolahan limbah dan proses melegalisasikannya diserahkan kepada Dinas Perdagangan, Industri dan Koperasi (Disperindagkop) dan Koperasi Aneka Sari. Hal ini terlihat dalam permasalahan gedung standar CPOTB milik Koperasi yaitu gedung Central yang belum juga mendapat legalitasnya dari pihak–pihak yang terkait seperti Dinas Kesehatan dan BPOM karena masih ada kekurangan yang kemudian diserahkan kepada Disperindagkop dan Koperasi. Yaitu mengenai belum sesuainya denah gedung, pengolahan limbah serta belum adanya kesepahaman antara Dinas Kesehatan dengan pengelola Koperasi mengenai sistem pelaksanaan produksi dan distribusi jamu.

Selain itu Dinas Kesehatan melalui Ibu Listyorini menanggapi bahwa bagi mereka yang merasa tidak mampu untuk memenuhi standar CPOTB diharapkan untuk tidak memproduksi obat tradisional dan atau beralih pada profesi lain. OT hanya boleh beredar asal sesuai dengan

commit to user

aturan. Bentuk tanggapan lainnya adalah memberikan motivasi. Berikut merupakan ungkapan dari Ibu Listyorini, “Ya kalau sekiranya ga bisa ya alih profesi saja, kan banyak lapangan kerja lainnya tidak hanya jamu bisa jualan makanan atau lainnya”. (Wawancara 25 Februari 2011)

Namun berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Amir Kepala Koperasi Aneka Sari pada 27 April 2011 bahwa Dinas Kesehatan kurang memberikan pembinaan yang persuasif. Selain itu Ibu Listyorini (18 Januari 2011) juga mengungkapkan bahwa hasil dari pembinaan tersebut secara kualitatif belum dapat dinilai efektif karena selalu masih ada saja yang harus diproses di meja hijau. Pembinaan tersebut juga dilakukan dengan prosedur penarikan obat tradisional dari peredaran melalui Public Warning dari BPOM atas produk obat tradisional yang tidak memenuhi syarat. Efektivitas dari upaya yang dilakukan oleh Dinas Kesehatan terhadap sejumlah PJ adalah dilihat melalui hasil produksi jamu murni tanpa menggunakan BKO.

Dengan demikian bahwa tanggapan yang ditujukan dan yang diberikan oleh Dinas Kesehatan menyikapi adanya BKO pada sejumlah produksi jamu adalah melalui sosialisasi dan pembinaan CPOTB. Tanggapan tersebut telah sesuai karena mengacu pada UU Kesehatan yang berlaku, para perajin juga menanggapinya cukup apresiasif namun dalam pelaksanaannya Dinas Kesehatan kurang memahami kemampuan para PJ dalam melaksanakan dan menerapkan CPOTB tersebut sehingga hasil dari

commit to user

tanggapan tersebut belum efektif dalam memecahkan permasalahan yang ada.

b. Pengenalan Kebutuhan Dalam Pembinaan Jamu Tradisional

Dalam upaya mewujudkan produksi obat tradisional yang sesuai dengan CPOTB dibutuhkan banyak hal. CPOTB merupakan suatu standar produksi pada obat tradisional yang dikeluarkan oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan. Dalam standar CPOTB produsen obat tradisional harus memiliki gedung standar CPOTB, Apoteker, perijinan yang sah diantaranya izin IKOT (Industri Kecil Obat Tradisional), termasuk di dalamnya alat-alat mesin produksi, pengetahuan tentang khasiat tanaman obat tradisional, bahan baku, dll.

Masih terkait dengan penjabaran diatas bahwa hal yang memberatkan para perajin adalah terkait dengan kesediaan fasilitas sesuai dengan CPOTB khususnya gedung dan alat-alat yang dibutuhkan di dalamnya. Seperti yang diungkapkan oleh Bapak Warsono (23 April 2011) salah seorang peracik OT bahwa agar produksi OT-nya sesuai dengan CPOTB beliau membutuhkan adanya fasilitas gedung CPOTB karena skala produksinya masih kecil maka ia belum mampu untuk membuat gedung yang sesuai dengan CPOTB. Selain itu beliau juga merasa susahnya mendapatkan bahan-bahan OT di lapangan dalam jumlah yang besar. Beliau juga mengeluhkan agar perijinan dipermudah. Berikut merupakan ungkapan dari Bapak Warsono, “Selain gedung, bahan

commit to user

produksi tanaman obat berkhasiat juga susah didapatkan di pasaran dalam jumlah yang besar”. (Wawancara 23 April 2011)

Menurut Bapak Parmin (Wawancara 07 Februari 2011) bahwa dalam CPOTB disyaratkan adanya standar gedung yang juga merepresentasikan alur produksi yang benar. Gedung tersebut berukuran ± 4 x 12 meter persegi. Pembangunan gedung tersebut harus sesuai dengan denah yang distandarkan oleh BPOM pusat. Peracik OT dengan skala usaha yang relatif masih kecil tidak mampu jika harus membuat gedung yang sesuai dengan CPOTB. Berikut merupakan ungkapan Bapak Parmin,

“Dalam CPOTB itu para perajin harus memiliki gedung sesuai standar BPOM kurang lebih berukuran 4 x 12 meter disitu alur, dan denah diatur. Para perajin yang masih skala kecil mana mampu mba kalau harus membuat gedung yang seperti itu. Saya juga menyayangkan sikap Dinas Kesehatan yang belum juga mendapatkan perpanjangan izin, padahal saya mendapat banyak bantuan dan dukungan dari pihak lain. Menurut saya Dinas Kesehatan kurang maksimal. Mereka hanya akan memberikan izin apabila saya sudah memiliki gedung”. (Wawancara 07 Februari 2011)

Bapak Parmin (07 Februari 2011) juga mengeluhkan sikap Dinas Kesehatan dalam hal perizinan. Walaupun banyak dinas lain yang ikut mendukung usaha rintisan OT murni-nya tanpa menggunakan BKO ia tak kunjung juga mendapatkan perpanjangan izin dari Dinas Kesehatan karena belum adanya gedung standar CPOTB. Dukungan dari dinas lainnya terbukti dengan adanya beberapa mesin produksi yang hibahkan kepadanya. Diantaranya adalah mesin pencampur atau mixer, mesin pengering atau oven, timbangan, dan mesin penggiling yang semuanya berasa daril LIPI Jawa Tengah dan Kementrian Riset dan Tekhnologi.

commit to user

Tahun 2011 diagendakan bantuan akan kembali turun dari Dinas Perdagangan dan Perindustrian Kabupaten Cilacap yaitu mesin pengemas foil.

Menurut Bapak Parmin (07 Februari 2011) dengan alasan tidak memilikinya gedung standar CPOTB sampai sekarang proses perpanjangan izin belum juga diberikan. Beliau menuturkan bahwa ia keterbatasan modal jika harus memiliki gedung dengan standar CPOTB. Ia tetap semangat memasarkan hasil produksinya kepada konsumen walaupun banyak konsumen yang menyangsikan khasiat OT-nya yang murni tanpa adanya BKO, selain itu produksi OT-nya juga memiliki harga yang lebih mahal dibandingkan OT dengan BKO.

Diungkapkan oleh Pak Parmin (07 Februari 2011) bahwa izin produksi dan edar hanya akan diberikan jika telah memiliki standar CPOTB salah satunya adalah kepemilikan gedung standar CPOTB. Dengan demikian pembinaan yang dilakukan oleh Dinas Kesehatan dalam pelaksanaannya masih terdapat banyak kekurangan dalam mengenal kebutuhan produksi OT yang sesuai dengan CPOTB. Bahwa tidak semua peracik atau pengusaha jamu mampu memiliki gedung standar CPOTB beserta kebutuhan di dalamnya termasuk membayar Apoteker karena modal yang belum memadai.

Kebutuhan yang dirasakan oleh Bapak Parmin (07 Februari 2011) selain gedung dan perijinan ia juga mengungkapkan bahwa ia juga membutuhkan materi mengenai resep-resep khasiat tanaman tumbuhan

commit to user

yang bisa dijadikan sebagai OT. Beliau mengeluhkan materi pembinaan yang hanya berkutat mengenai CPOTB khususnya denah-denahnya. Ia mengharapkan adanya materi lain seperti pengetahuan tentang khasiat tanaman obat serta materi tentang penggunaan bahan pemanis dan pewarna yang diperbolehkan untuk produksi OT. Pak Parmin (07 Februari 2011) bahwa ia sampai sekarang mengeluhkan susahnya mencari bahan baku tanaman obat dalam jumlah yang besar, belum lagi jika ada maka harganya sangat mahal. Berikut merupakan ungkapan Bapak Parmin,

“Saya mengharapkan Dinas Kesehatan juga memberi pengetahuan tentang khasiat tanaman obat, tanaman-tanaman apa saja yang bisa digunakan sebagai obat, bahan pewarna dan pemanis apa saja yang boleh digunakan jangan hanya denah-denah mengenai gedung, selain itu bahan baku di pasaran juga susah dalam jumlah yang besar, jika ada harganya juga mahal”. (Wawancara 07 Februari 2011)

Hal ini juga didukung oleh pernyataan Bapak Wan beliau merupakan salah seorang mantan manajer peracik obat tradisional skala menegah keatas mengungkapkan bahwa untuk sekarang ini harga jahe di pasaran mencapai 8.000 kg.

Diungkapkan oleh Pak Wan 07 April 2011 bahwa untuk mengajukan izin produksi dan edar harus dilakukan uji laboratorium terhadap produksi OT agar dipastikan bebas BKO. Uji tersebut dilakukan secara swadana oleh peracik atau pengusaha OT. Uji laboratorium tersebut berkisar antara 10 juta sampai 12 juta. Biaya tersebut belum termasuk izin TR, dan izin BPOM. Hal ini dikeluhkan karena biaya tersebut sangat mahal tidak sesuai dengan skala usaha yang rata–rata masih kecil. Berikut merupakan uangkapan Bapak Wan:

commit to user

“Prosesnya itu juga banyak mba, jamu harus dilakukan uji laboratorium dulu sebelum mendapatkan izin. Uji laboratorium itu dilakukakan secara swadana dan harganya sekitar 10-12 juta rupiah. Mereka yang usahanya masih kecil saya rasa belum mampu apabila harus melakukan uji laboratorium. Belum lagi proses pengajuan TR dan IKOT”. (Wawancara 07 April 2011)

Selain gedung dan perizinan terdapat kebutuhan lainnya yang sama pentingnya dalam CPOTB. Yaitu kebutuhan akan Apoteker. Hal ini diungkapkan oleh Bapak Sumanto (23 April 2011) bahwa ia mengharapkan terdapat kelonggaran dari Dinas Kesehatan agar seorang Apoteker bisa membawahi satu unit untuk sementara sampai mereka merasa mampu untuk membayar Apoteker secara individual.

Diungkapkan oleh Bapak Amir 27 April 2011 bahwa dalam menyikapi masalah ini gabungan para peracik obat tradisional melalui wadah Koperasi Aneka Sari merintis pembangunan gedung central dengan pengajuan dana dalam APBD Kabupaten Cilacap. Gedung tersebut dibangun pada 20 Februari 2008 dan selesai pada tahun 2009. Namun belum juga mendapat izin karena masih terbelenggu dalam masalah pengolahan limbah dan lay-out yang menggambarkan sistem alur produksi. Sampai saat ini gedung tersebut tidak bisa digunakan dan mengaggur kurang lebih selama dua tahun. Kelambanan masalah tersebut sampai sekarang ini terjadi karena keterbatasan dana dan ketatnya peraturan yang berlaku. Untuk menanggapinya beliau sejak awal tahun 2010 melalui tim di dalamnya telah mengajukan kepada DPRD sekaligus dalam upaya sinkronisasi mengenai persamaan persepsi dan permasalahan

commit to user

perizinan yang belum juga dikeluarkan. Melalui gedung tersebut diharapkan semua proses produksi OT dilakukan dalam gedung tersebut sehingga peracik atau pengusaha OT hanya akan melakukan pemasaran atau pelabelan produksi sesuai dengan nama merk dagangnya. Hal ini dilakukan sebagai salah satu strategi untuk menghindari adanya pencampuran BKO. Gedung ini merupakan tempat untuk mewadahi mereka para peracik OT skala kecil dengan modal yang terbatas yang belum mampu untuk membuat gedung CPOTB. Berikut merupakan ungkapan dari Bapak Amir,

“Untuk mengatasinya kami melalui Koperasi secara bersama-sama merintis pembuatan gedung yang sekarang ini disebut gedung Central. Itu merupakan murni rintisan dari pihak kami untuk mewadahi perajin jamu skala kecil yang tidak mampu untuk memenuhi berbagai persyaratan yang ada termasuk gedung dan segala keperluan di dalamnya. Namun itu belum bisa digunakan karena masih ada beberapa yang harus dibenahi. Diantaranya adalah lay-out, izin ANDAL, serta sistem produksi yang nantinya akan dijalankan belum sinkron dengan harapan Dinas Kesehatan”. (Wawancara 27 April 2011)

Hal ini juga didukung oleh pernyataan Bapak Ferdi (30 April 2011) bahwa strategi yang diambil dalam permasalahan ini adalah dengan merintis gedung central yang merupakan wadah bagi para peracik obat tradisional yang tidak memiliki gedung standar CPOTB.

Produksi OT hanya diizinkan beredar apabila memiliki perizinan yang sah dan lengkap. Perizinan tersebut meliputi IKOT/IOT, Izin Prinsip. Izin tersebut hanya bisa dikeluarkan apabila semua persyaratan CPOTB telah terpenuhi dengan baik oleh peracik obat tradisional. Dengan demikian sekarang ini para peracik OT tidak bisa memproduksi atau

commit to user

mengedarkan OT secara sah hukum. Menurut Bapak Ferdi (30 April 2011) bahwa seharusnya pada tahun 2010 semua IOT atau IKOT harus sudah ditutup semua, namun Dinas Kesehatan masih memberikan kelonggaran kepada PJ untuk berbenah diri sampai dengan saat ini. Dikemukakan oleh Bapak Amir 27 April 2011 bahwa susahnya proses perizinan terjadi sekitar awal bulan Januari 2010 sampai sekarang ini. Sedangkan sebelumnya masih dirasa mudah dalam mengajukan perizinan baik pembuatan perizinan maupun perpanjangan izin. Berikut merupakan ungkapan dari Bapak Ferdi,

”Izin yang harus dipenuhi itu macam-macam, ada izin IKOT/IOT, Izin Prinsip, dan TR. Kalau semua izin tersebut sudah terpenuhi maka produk tersebut baru boleh edar sah secara hukum. Sebenarnya awal tahun 2010 jamu Cilacap harus ditutup semua, namun Dinas Kesehatan masih memberikan kelonggaran kepada perajin untuk berbenah diri”. (Wawancara 30 April 2011)

Dengan demikian apabila mengacu pada permasalahan yang ada, upaya baik dari Dinas Kesehatan apabila tidak diimbangi dengan pengenalan permasalahan, sikap humble dan sikap fleksibilitas terhadap kondisi yang ada maka sikap baik tersebut akan susah dirasakan oleh para perajin. Akan menjadi lebih baik apabila upaya Dinas Kesehatan untuk memberikan kesempatan kepada perajin untuk berbenah diri juga mendapat pengawalan, bimbingan, arahan dan bantuan yang memungkinkan untuk dilakukan sehingga permasalahan yang dihadapi oleh para perajin bisa teratasi dengan baik sesuai dengan pengamalan prinsip NPS bagi Dinas Kesehatan.

commit to user

Menanggapi hal ini Dinas Kesehatan hanya akan memberikan pengarahan hal-hal yang harus dipenuhi dalam tercapainya legalitas gedung central. Berkaitan dengan pemecahan masalah yang ada di dalamnya, Dinas Kesehatan lebih menyerahkan kepada Koperasi dan Disperindagkop. Hal ini seperti upaya mendapatkan izin ANDAL dan upaya yang dilakukan Koperasi dalam pembenahan lay-out. Berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan mesin dan bahan baku hal ini memang

Dokumen terkait