• Tidak ada hasil yang ditemukan

METODE PENELITIAN A. Ruang Lingkup Penelitian

C. Matriks Responsivitas

Tabel 4.7

Matriks Responsivitas Dinas Kesehatan Terhadap Permasalahan BKO Pada Jamu Tradisional Di Kecamatan Kroya Komponen (1) Kasus (2) Hasil (3) Responsivitas 1. Kemampuan menanggapi

Pembinaan CPOTB baik formal maupun informal. Bahwa semua PJ harus memenuhi CPOTB.

Tanggapan yang diberikan telah tepat yaitu sesuai dengan Perundang-undangan. Dengan demikian bisa dikatakan cukup responsif. 2. Kemampuan dalam

mengenal dan memahami kebutuhan PJ

Kebutuhan dalam pelaksanaan CPOTB sangat beragam namun Dinas Kesehatan hanya berperan sebagai pelaksana tekhnis yang menjelaskan prasyarat yang harus dipenuhi dalam CPOTB. Memandang bahwa semua PJ mampu memenuhi prasyarat tersebut padahal kenyataannya tidak demikian. PJ membutuhkan gedung standar CPOTB dan unsur di dalamnya diantaranya adalah: Apoteker, perizinan, bahan baku, pengetahuan tanaman khasiat obat. Tidak ada fleksibilitaas dari Dinas Kesehatan

Dinas Kesehatan kurang memahami bahwa tidak semua PJ mampu untuk memenuhi kebutuhan terkait CPOTB. Dinas Kesehatan kurang berperan terhadap kebutuhan tersebut. Dengan demikian pada komponen ini Dinas Kesehatan tidak responsif.

3. Kemampuan dalam memenuhi

kebutuhan

Dinas Kesehatan lebih menyerahkan kebutuhan-kebutuhan tersebut kepada PJ, Koperasi serta Disperindagkop. Koperasi merintis gedung Central namun masih terkendala izin ANDAL dan sistem produksi yang akan dilaksanakan belum menemukan titik temu. Dinas Kesehatan menyerahkan urusan ini kepada Koperasi dan Disperindagkop.

Dengan demikian dalam komponen ini Dinas Kesehatan tidak responsif.

4. Kecepatan dalam memenuhi

kebutuhan

Karena Dinas Kesehatan lebih menyerahkan kebutuhan-kebutuhan tersebut kepada Koperasi dan Disperindagkop dan kebutuhan-kebutuhan yang diharapkan oleh PJ kepada Dinas Kesehatan belum terpenuhi maka Dinas Kesehatan bisa dikatakan lambat dalam memenuhi kebutuhan para PJ

Dalam komponen ini Dinas Kesehatan tidak responsif

Hambatan Responsivitas 1. Uang 1). Uang sebagai modal 2). Uang sebagai faktor keuntungan

Susahnya pelaksanaan CPOTB karena PJ tidak memiliki modal untuk memenuhi kebutuhan dalam pelaksanaan CPOTB. Dinas Kesehatan juga kurang berperan dalam usaha pengajuan anggaran untuk memenuhi kebutuhan CPOTB khususnya untuk gedung Central

Keuntungan menggunakan BKO memberikan pertimbangan dan faktor tersendiri bagi PJ untuk meninggalkan BKO

Kebutuhan CPOTB belum terealisasi dengan baik

Selain karena belum mampu memenuhi CPOTB mereka masih tergiur untuk menggunakan BKO 2. Komunikasi 1). Persamaan Konsensus 2). Minimnya penyeluran aspirasi oleh PJ

Terjadi perbedaan konsensus antara pikiran dan harapan PJ dan Dinas Kesehatan tentang jamu

PJ cenderung tidak berani mengeluarkan aspirasi mereka karena merasa takut

Sulitnya dalam penyelesaian konflik

commit to user

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian tersebut maka kesimpulan yang dapat diambil mengenai responsivitas Dinas Kesehatan dalam pembinaan jamu tradisional di kecamatan Kroya adalah sebagai berikut:

1. Pada komponen kemampuan dalam menanggapi persoalan BKO, Dinas Kesehatan bisa dikatakan cukup responsif karena tanggapan yang diberikan melalui sosialisasi dan pembinaan CPOTB merupakan langkah yang tepat karena sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku.

2. Kemampuan mengenal dan memahami kebutuhan PJ khususnya dalam pelaksanaan CPOTB masih kurang responsif terlihat bahwa Dinas Kesehatan menganggap bahwa semua PJ mampu memenuhi berbagai kebutuhan dalam pelaksanaan CPOTB. Namun kenyataannya adalah sebaliknya. Kebutuhan-kebutuhan tersebut diantaranya adalah : gedung standar CPOTB temasuk unsur di dalamnya adalah Apoteker, perijinan, bahan baku, serta pengetahuan mengenai tanaman khasiat obat.

3. Kemampuan dalam memenuhi kebutuhan PJ terkait pelaksanaan CPOTB masih kurang responsif terlihat pada sikap Dinas Kesehatan yang lebih menyerahkan urusan kebutuhan PJ kepada PJ itu sendiri, Koperasi dan Disperindagkop. Usaha gedung rintisan yang dipelopori

commit to user

oleh Koperasi yang masih terkendala masalah izin ANDAL, lay-out, dan sistem pelaksanaan produksi yang direncanakan, Dinas Kesehatan kurang melibatkan diri dalam hal ini dan tidak ada fleksibilitas dari Dinas Kesehatan.

4. Kecepatan dalam memenuhi kebutuhan para PJ masih dirasa kurang responsif karena dilihat dari pemenuhan kebutuhan para PJ yang sampai saat ini belum juga terpenuhi dengan baik sesuai dengan harapan PJ maka secara tidak langsung upaya pemenuhan kebutuhan oleh Dinas Kesehatan masih cukup lambat. Hal ini juga karena kurang adanya fleksibilitas dari Dinas Kesehatan dalam mempertimbangkan hal-hal yang mungkin sekiranya akan menjadi lebih baik apabila Dinas Kesehatan memberikan fleksibilitasnya yaitu hal-hal yang tidak akan memeberikan kerugian atau bahaya yang lebih besar dibandingkan dengan keuntungan yang akan di dapat. Misalnya saja pada permasalahan lay-out.

Berdasarkan hasil penelitian keempat komponen tersebut maka dapat dikatakan secara keseluruhan bahwa Dinas Kesehatan masih kurang responsif terhadap pembinaan jamu tradisional terkait permasalahan BKO yang terjadi pada jamu atau obat tradisional di Kecamatan Kroya.

Lemahnya responsivitas Dinas Kesehatan dalam penyelesaian BKO pada sejumlah PJ dipengaruhi oleh beberapa faktor di dalamya. Diantaranya adalah:

commit to user

1) Uang, uang mempengaruhi lemahnya responsivitas Dinas Kesehatan. Uang memeiliki dua kontribusi sebagai penghambat dalam lemahnya responsivitas Dinas Kesehatan. Diantaranya adalah :

a. Uang sebagai modal, keterbatasan modal Dinas Kesehatan dan PJ menyebabkan sulitnya merealisasikan CPOTB dalam produksi jamu atau obat tradisional

b. Uang sebagai nilai keuntungan, tingginya nilai keuntungan yang diberikan dalam produksi jamu menggunakan BKO menyebabkan PJ masih sering tergiur untuk memproduksi dengan BKO selain juga karena mereka merasa frustasi dengan persyaratan CPOTB yang dirasa sangat memberatkan mereka karena mereka tidak memiliki modal yang cukup.

2). Komunikasi, komunikasi ikut mempengaruhi dalam lemahnya responsivitas Dinas Kesehatan dalam permasalahan CPOTB. Komunikasi juga memiliki dua kontribusi dalam lemahnya responsivitas. Yaitu :

a. Lemahnya konsensus, lemahnya konsensus diantara Dinas Kesehatan dan PJ menyebabkan pemikiran, serta harapan diantara keduanya susah untuk sinkron. Dengan demikian tujuan yang diharapkan oleh Dinas Kesehatan kurang dipahami oleh Dinas Kesehatan. Begitupula sebaliknya hal-hal yang

commit to user

selama ini menyebabkan mereka masih menggunakan BKO kurang dipahami oleh Dinas Kesehatan.

b. Lemahnya para PJ dalam menyampaikan keluhan dan harapannya

Hal ini masih terkait dengan permasalahan diatas bahwa lemahnya konsensus diantara PJ dan Dinas Kesehatan disebabkan oleh lemahnya PJ dalam menyampaikan aspirasinya kepada Dinas Kesehatan dan masih kurang maksimalnya motivasi yang diberikan oleh Dinas Kesehatan dalam menciptakan kondisi untuk penyampaian keluhan secara optimal. Lemahnya penyampaian aspirasi para PJ disebabkan karena krisis percaya diri pada para PJ karena rasa takut dan bersalah mereka atas tindakan yang mereka lakukan yaitu pencampuran produksi dengan BKO.

B. Saran

Saran yang diajukan oleh peneliti diantaranya adalah :

1. Belum berhasilnya pembinaan tersebut seharusnya Dinas Kesehatan lebih intensif mencari jalan keluar agar pembinaan tersebut berjalan efektif dengan tetap berada dalam koridor keadilan, transparansi, dan semangat citizenship. Dinas Kesehatan seharusnya lebih mendekatkan diri kepada para pengusaha jamu secara personal dengan harapan Dinas Kesehatan lebih memahami permasalahan sebenarnya dari sudut pandang mereka sehingga jalan keluar bersama dapat dicapai dengan baik.

commit to user

2. Belum terealisasinya CPOTB dalam proses produksi jamu disebabkan karena lemahnya modal yang dimiliki oleh para PJ. Adanya inisiatif para PJ melalui Koperasi merupakan wujud kemandirian masyarakat dalam berwiraswasta. Hal ini seharusnya mendapat apresiasi dari lembaga pemerintah khususnya Dinas Kesehatan serta diharapkan mampu melibatkan diri secara maksimal dalam membantu realisasi CPOTB. Diantaranya adalah fleksibilitas mengenai lay-out, manajemen sistem tata produksi, sosialisasi gedung Center, peng-upayaan percepatan penggunaan gedung Center.

3. Mengingat tingginya manfaat yang bisa didapat dengan manajemen yang tepat yaitu sebagai kantong lapangan kerja serta salah satu sektor penghasil PAD Kabupaten Cilacap seharusnya berbagai lembaga pemerintah khususnya Dinas Kesehatan lebih peka dalam permasalahan tersebut dan konsisten menciptakan jalan keluarnya sehingga sektor jamu benar-benar mampu dijadikan sandaran hidup para pelaku di dalamnya. Selain itu hal ini karena mampu memberikan keuntungan kepada Pemerintah Daerah (melalui PAD). Dalam hal ini tentunya sesuai dalam koridor UU dan peraturan yang berlaku.

4. Sesuai dengan PerMenKes 246 Nomor: 246/MenKes/Per/V/1990 tentang Izin Usaha Industri Obat Tradisional Dan Pendaftaran Obat Tradisional Mentri Kesehatan RI mengenai klasifikasi usaha industri obat tradisional yang tertuang pada Bab I Ketentuan Umum Pasal 1 Ayat (2) dan (3) maka penerapan prasyarat CPOTB termasuk di dalamnya gedung standar

commit to user

CPOTB dan Apoteker menjadi tidak logis apabila diterapkan pada seluruh industri skala kecil khususnya home industry jamu tradisional yang di kecamatan Kroya dengan modal jauh di bawah Rp 600.000.000 mengingat pemenuhan prasyarat tersebut membutuhkan dana yang besar dan skala usaha yang besar untuk memenuhi kebutuhan tersebut.

Dokumen terkait