• Tidak ada hasil yang ditemukan

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.7 Hasil Penelitian Terdahulu

Usaha perikanan tangkap di Kota Tegal Jawa Tengah belum mendapat dukungan maksimal dalam pembiayaan. Hasil penelitian Imron (2008) menunjukkan bahwa pembiayaan usaha perikanan tangkap masih diupayakan sendiri oleh nelayan pemilik, mereka selalu kesulitan memenuhi kebutuhan pembiayaan terutama pada kondisi hasil tangkapan kurang baik (musim paceklik). Kondisi ini menyebabkan kontinyuitas penangkapan ikan yang dilakukannya sering terganggu. Sedangkan biaya operasional yang dibutuhkan oleh usaha perikanan tangkap umumnya terdiri dari solar, oli, dan bahan perbekalan. Hasil penelitian Manadiyanto, Latif, dan Irianto (2000) menunjukkan bahwa hasil tangkapan nelayan di perairan utara Jawa sering terganggu oleh terbatasnya ruang gerak usaha perikanan tangkap, dimana hanya usaha perikanan tangkap yang kuat pembiayaannya yang dapat membawa hasil tangkapan lebih banyak dan stabil karena dapat menjangkau fishing ground yang lebih jauh. Hal ini juga disebabkan oleh status pemanfaatan di perairan utara Jawa yang sebagian besar sudah over fishing, sehingga hasil tangkapan sulit diperoleh pada perairan pantai (perairan yang dekat).

Hasil penelitian Pramono (2006) menunjukkan bahwa usaha perikanan tangkap sebenarnya masih dapat dikembangkan di perairan Tegal, Jawa Tengah asalkan difasilitasi dalam pembiayaan dan pengaturan jalur penangkapannya. Selama ini usaha perikanan tangkap masih kalah dalam pembiayaan terutama bila dibandingkan dengan usaha perikanan tangkap skala besar dari Cirebon dan Indramayu. Terkait dengan ini, maka pemerintah perlu menerbitkan strategi kebijakan yang bisa melindungi kelangsungan usaha perikanan tangkap terutama yang banyak menyerapkan tenaga kerja dan yang dikelola dalam skala kecil, dan kebijakan yang sifatnya menghambat perlu dikurangi. Sedangkan hasil penelitian Setiawan (2007) menunjukkan bahwa kebijakan usaha perikanan tangkap yang dapat menjadi penghambat dapat berupa kebijakan publik (public policy) yang mengatur pengelolaan kawasan namun kurang terintegrasi dengan pemangku kepentingan (stakeholders) perikanan, kebijakan tentang potensi dan kondisi sumberdaya yang cenderung sentralistis dan terkadang kurang didukung dengan data yang akurat terkait lokasi dan aktivitas penangkapan ikannya, serta peraturan atau turunan kebijakan publik dalam bentuk program yang secara konseptual bagus namun implementasinya belum menunjukkan hasil yang nyata.

Hasil penelitian Hermawan (2006) menunjukkan bahwa usaha perikanan tangkap yang banyak menyerap tenaga kerja merupakan usaha perikanan tangkap yang dapat menjamin keberlanjutan kegiatan penangkapan ikan di suatu daerah. Hal ini karena usaha perikanan tangkap tersebut umumnya melibatkan nelayan lokal, sehingga bila berkembang dengan baik, maka akan sangat terasa manfaatnya bagi kegiatan perikanan sekitarnya. Sedangkan hasil penelitian Imron (2006) menunjukkan bahwa usaha perikanan tangkap seperti ini sangat mudah terganggu aktivitasnya oleh fluktuasi harga jual ikan di setiap musim. Dimana bila harga jual kurang memuaskan, maka biaya operasional tidak cukup, sehingga nelayan tidak dapat melaut kembali. Harga jual rata-rata ikan tersebut di Kota Tegal dikelompokkan menjadi tiga, yaitu Rp 2.000 per kg pada musim puncak, Rp 4.000 per kg pada musim sedang, dan Rp 7.500 per kg pada musim paceklik.

Terkait dengan ini, maka dukungan pembiayaan bagi usaha perikanan tangkap tersebut sangat dibutuhkan di Kota Tegal. Menurut Purba (2009), masih kurangnya dukungan lembaga keuangan (terutama perbankan) bagi usaha

perikanan tangkap di pantai utara Jawa lebih disebabkan oleh ketiadaan jaminan dari nelayan bagi kredit yang diberikan. Sedangkan lembaga keuangan tersebut merupakan usaha profit yang membutuhkan kepastian dan jaminan termasuk dalam penggunaan dana yang diberikan. Nelayan umumnya hanya memiliki perahu yang bisa dijadikan jaminan, sedangkan lembaga keuangan terutama perbankan membutuhkan jaminan berupa benda yang tidak bergerak seperti rumah, tanah, dan lainnya. Dalam kaitan ini, maka peran pemerintah sangat dibutuhkan untuk mencari titik temu yang terbaik. Kebijakan pemerintah yang pro rakyat kecil diantaranya bersedia menjadi penjamin usaha perikanan tangkap rakyat, pemberian kepastian harga dan pasar bagi hasil tangkapan nelayan, dan lainnya sangat dibutuhkan untuk mempertahankan kelangsungan usaha perikanan tangkap yang menyerap tenaga lokal yang banyak tersebut.

Hasil penelitian Setiawan (2007) manunjukkan bahwa ada enam hal yang perlu diperjelas dan didukung oleh kebijakan pemerintah untuk membantu pembiayaan dan pengembangan usaha perikanan tangkap di perairan utara Jawa, yaitu pengalihan status mata pencaharian utama menjadi mata pencaharian alternatif pada lokasi yang overfishing (nelayan tidak bergantung pada satu usaha), pengembangan teknologi penangkapan yang tepat guna dan berbasis SDM (nelayan lebih kreatif), pengembangan nelayan kecil menjadi nelayan besar yang lebih stabil usahanya, memperjelas pemasaran hasil produk perikanan (kestabilan harga dan kontinyuitas pasar), pengembangan sarana dan prasarana pendukung peningkatan kinerja perikanan tangkap, dan patroli pengelolaan yang menjamin kelestarian sumberdaya dari illegal fishing dan illegal fisher (jaminan kelangsungan usaha penangkapan). Dalam kaitan ini, maka menurut Radarwati (2010), wilayah basis sangat dibutuhkan untuk mengembangkan usaha perikanan tangkap secara integratif. Dengan pengembangan berbasis wilayah ini, maka usaha perikanan tangkap dikembangkan berdasarkan potensi bahan baku wilayahnya, kesiapan sumberdaya manusianya, prospek pasar, kesiapan sarana dan prasarana, dan keahlian yang ada yang memungkinkan introduksi teknologi baru pada usaha basis. Bila hal ini bisa dilakukan, maka kestabilan dan kemandirian usaha perikanan tangkap tersebut dapat dijaga secara jangka panjang.

Untuk ini, maka pembiayaan usaha yang diberikan haruslah memperhatikan wilayah yang menjadi basis pengembangan, sehingga pembiayaan tersebut lebih bermanfaat dan tepat sasaran. Menurut Imron (2008), untuk meyakinkan lembaga keuangan atau pemberi modal pada usaha perikanan tangkap di Kota Tegal, maka ada dua strategi yang dapat diterapkan, yaitu (1) meningkatkan kualitas dan kuantitas sarana produksi sehingga jangkauan daerah penangkapan lebih luas, dan (2) mengoptimalkan fungsi pelabuhan perikanan yang ada. Peningkatan kualitas dan kuantitas sarana produksi penting untuk menjaga kontinyuitas hasil tangkapan baik pada musim puncak maupun musim paceklik sehingga kewajiban kredit selalu dapat dipenuhi. Sedangkan optimalisasi fungsi pelabuhan perikanan penting untuk menjaga kestabilan pemasaran dan harga jual. Hasil penelitian Purba (2009), kestabilan harga jual dapat dilakukan oleh pelabuhan perikanan dengan terus menjalankan sistem lelang dalam penjualan hasil tangkapan ikan nelayan, sehingga tidak ada permainan atau monopoli harga.

2.8 Pengembangan Analisis Penelitian

Dokumen terkait