• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEOR

2.2 Hasil Penelitian yang Relevan

Darmoko (2002) meneliti tentang “Ruwatan: Upacara Pembebasan Malapetaka Tinjauan Sosiokultural Masyarakat Jawa”. Penelitian ini dilatarbelakangi oleh masyarakat Jawa yang hingga kini masih mempertahankan, melestarikan, meyakini, dan mengembangkan adat-istiadat. Hal ini benar-benar dapat memberikan pengaruh terhadap sikap, pandangan, dan pola pemikiran bagi masyarakat yang menganutnya. Adat-istiadat Jawa telah tumbuh dan berkembang

lama, baik di lingkungan kraton maupun di luar kraton. Adat istiadat Jawa tersebut memuat sistem tata nilai, norma, pandangan maupun aturan kehidupan masyarakat, yang kini masih dipatuhi oleh orang Jawa yang masih ingin melestarikannya sebagai warisan kebudayaan yang dianggap luhur dan agung. Dalam melestarikan adat-istiadat, masyarakat Jawa melaksanakan tata upacara tradisi sebagai wujud perencanaan, tindakan, dan perbuatan dari tata nilai yang telah teratur rapi. Sistem tata nilai, norma, pandangan maupun aturan diwujudkan dalam upacara tradisi yang bertujuan agar tata kehidupan masyarakat Jawa selalu ingin lebih berhati-hati, agar dalam setiap tutur kata, sikap dan tingkah-lakunya mendapatkan keselamatan, kebahagiaan, dan kesejahteraan baik jasmaniah maupun rokhaniah. Tata upacara tradisi yang masih dipatuhi serta tumbuh dan berkembang di tengah-tengah masyarakat Jawa pada prinsipnya merupakan siklus dan selalu mengikuti dalam kehidupan mereka, sejak seseorang belum lahir, lahir, dan meninggal.

Upacara tradisi Jawa yang diperuntukkan bagi manusia sejak dalam alam kandungan hingga meninggal itu sering disebut upacara selamatan. Upacara selamatan diperuntukkan bagi manusia yang belum lahir, seperti: kehamilan bulan ke tiga (neloni), kehamilan bulan ke empat (ngapati), dan kehamilan bulan ke tujuh (mitoni/ tingkeban). Setelah manusia dilahirkan di dunia, maka bentuk upacara yang diperuntukkan baginya, antara lain: kelahiran bayi (brokohan), lima hari (sepasaran), puput pusar, tiga puluh lima hari (selapanan), sunatan, tedak siten, perkawinan, dan ruwatan. Sedangkan upacara selamatan bagi manusia yang telah meninggal, yaitu: saat meninggal dunia (geblak), hari ke tiga, hari ketujuh, hari ke empat puluh, hari ke seratus (nyatus), satu tahun (pendhak pisan), dua

tahun (pendhak pindho), dan tiga tahun (pendhak katelu/ nyewu). Hasil penelitian menunjukkan bahwa adat-istiadat itu mengandung tata nilai, aturan, norma, maupun kebiasaan yang mengikat masyarakat penganutnya sekaligus merupakan cita-cita yang diharapkan untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Upacara ruwatan sebagai salah satu adat-istiadat Jawa merupakan tradisi yang kini masih dipercayai sebagai sarana melepaskan, menghalau, atau membebaskan seseorang dari ancaman mara bahaya yang disebabkan oleh suatu peristiwa. Murwakala berusaha untuk menghubungkan dunia nyata dengan dunia gaib, dalam hal ini melepaskan sukerta (aib) yang melingkupi seseorang.

Arif (2013) meneliti tentang “Makna Simbolik Ruwatan Cukur Rambut Gembel di Desa Dieng Kejajar Wonosobo”. Penelitian ini dilatarbelakangi karena anak berambut gembel memiiki karakter dan perilaku yang berbeda dari kebiasaan anak seusianya. Kalau tidak energik, nakal, berjiwa heroik, suka mengatur, akan muncul perilaku yang diam, pemalu, susah bergaul dengan dunia luar. Ruwatan cukur rambut gembel adalah adalah kegiatan ritual, sedangkan ritual sendiri berkaitan dengan identitas kepercayaan masyarakat. Didalamnya terkandung makna utama yaitu kemampuan masyarakat dalam memahami konteks lokal dan kemudian diwujudkan dengan dialog terhadap kondisi yang ada. Masyarakat cenderung memandang adanya sebuah kekuatan gaib yang menguasai alam semesta dan untuk itu harus dilakukan dialog.

Senada dengan kondisi kejiwaan anak berambut gembel yang diyakini masyarakat lebih pada kekuatan mitos dimana gejala kejiwaan yang muncul sangat dipengaruhi oleh kondisi fisik rambut yang tumbuh gembel. Lebih jauh berpangkal pada mitos menceritakan bahwa rambut gembel itu merupakan

“titipan”. Karena itu hanya merupakan titipan, maka suatu saat akan diambil kembali oleh yang punya. Kondisi anak yang begitu selanjutnya disebut anak “sukerta” yaitu anak yang dicadangkan menjadi mangsa Batara Kala. Untuk melepaskan dan mengangkat kembali anak dari kondisi sialnya itu atau membersihkan sesukernya (gembelnya) harus dilakukan upacara Ruwatan. Ruwatan berasal dari kata Ruwat yang artinya melepaskan yaitu melepaskan dari karakteristik anak gimbal yang di cadangkan menjadi mangsa Batara Kala.

Budaya Ruwatan Cukur Rambut Gembel yang hingga sekarang masih dilakukan merupakan indikasi bahwa masyarakat Dieng yang masih memegang teguh tradisi- tradisi nenek moyang mereka, meskipun seiring dengan berkembangnya zaman proses dan tata caranya memengalami pergeseran namun esensi dari ruwatan tersebut tetap sama. Bagi masyarakat Dieng, upacara ruwatan ini memiliki makna yang sangat sakral dalam kehidupan mereka. Ketenangan hati mereka akan tercapai jikalau anak mereka yang memiliki rambut gimbal telah diruwat dan dipotong rambut gimbalnya. Mereka sangat yakin dan percaya sekali bahwa setelah anaknya yang berambut gimbal diruwat dan dipotong rambutnya yang gimbal maka si anak tersebut akan terbebas dari sesuker yang dititipkan oleh Kyai Kolodete.

Wening (212) meneliti “Pembentukan Karakter Bangsa Melalui Pendidikan Nilai”. Penelitian ini dilatarbelakangi oleh banyaknya pihak yang menuntut peningkatan intensitas dan kualitas pelaksanaan pendidikan nilai pada lembaga pendidikan formal. Tuntutan tersebut didasarkan pada fenomena sosial yang berkembang, yakni kekerasan yang ditunjukkan oleh kenakalan remaja dalam masyarakat seperti perkelahian massal, perusakan lingkungan hidup, dan

korupsi merupakan tiga contoh permasalahan yang semakin lama dirasakan sebagai permasalahan yang paling banyak terjadi di Indonesia. Perilaku seseorang ditentukan oleh faktor lingkungan dengan landasan teori kondisioning, ada fungsi bahwa karakter ditentukan oleh lingkungan. Seseorang akan menjadi pribadi yang berkarakter apabila dapat tumbuh pada lingkungan yang berkarakter. Tentunya ini memerlukan usaha secara menyeluruh yang dilakukan semua pihak: keluarga, sekolah, dan seluruh komponen yang terdapat dalam masyarakat.

Tujuan penelitian ini adalah untuk (1) mengembangkan dimensi pembentuk karakter, yaitu nilai-nilai kehidupan dalam pendidikan konsumen; (2) menelaah perolehan dimensi pendidikan nilai sebagai pembentuk karakter melalui faktor-faktor lingkungan; (3) mengungkap pencapaian pembentukan karakter melalui faktor-faktor lingkungan dan implementasi pendidikan nilai dalam mata pelajaran/kurikulum. Penelitian ini penting untuk dilaksanakan karena dapat menambah pemahaman para guru tentang pengembangan kurikulum menuju integrated learning, dan pengembangan sekolah sebagai pusat budaya yang kuat dalam pembentukan karakter bangsa. Oleh karena itu, diharapkan hasil penelitian ini memberikan wacana baru dalam merekonstruksi mata pelajaran mulai dari pengembangan konstruk, pembuatan modul pembelajaran nilai, dan proses penilaian.

Berdasarkan hasil refleksi guru, teridentifikasi 17 nilai-nilai kehidupan terkandung dalam pendidikan konsumen. Nilai-nilai kehidupan tersebut berketerkaitan dengan seluruh dimensi pembentuk karakter, yaitu: nilai kesadaran diri dan tanggung jawab dengan nilai kepercayaan; nilai bijaksana dan toleransi sosial dengan nilai menghargai orang; kesadaran diri, tanggung jawab,

menghargai uang dan nasionalisme dengan tanggung jawab; nilai bijaksana dan keadilan dengan nilai keadilan; nilai toleransi sosial, peduli dan sadar lingkungan dengan nilai kepedulian; nilai tanggung jawab dan nasionalisme dengan nilai kewarganegaraan; nilai tanggung jawab dengan nilai kejujuran; nilai kritis dengan nilai keberanian; nilai kesadaran diri, tanggung jawab, hemat, teliti, produktif dan menghargai uang dengan nilai kerajinan; kesadaran diri dan tanggung jawab dengan nilai totalitas.

Berdasarkan jurnal di atas, dua penelitian tentang tradisi ruwatan menyatakan bahwa ruwatan dapat membebaskan seseorang dari segala kesialan, sakit, malapetaka, maharabahaya, dan segala sesuatu yang dianggap mengancam bagi seseorang. Penelitian yang ketiga menyatakan bahwa pendidikan karakter dapat diperoleh dari nilai-nilai kehidupan lingkungan anak.

Dokumen terkait