• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEOR

2.1.2 Tradisi Ruwatan

2.1.2.3 Tata Cara Ruwatan

Setelah ubarampe disediakan, hal-hal yang tidak kalah penting dalam meruwat seseorang ialah dalang, lakon wayang, dan anak yang diruwat.

a. Dalang

Seluruh rangkaian upacara ruwatan dipimpin oleh seorang dalang. Dalang yang bisa meruwat adalah seorang dalang yang sudah cukup umur. Selain itu, dalang tersebut juga harus keturunan dari seorang dalang.

b. Lakon Wayang

Pertunjukan wayang dalam rangkaian upacara ruwatan, berbeda dengan pertunjukan wayang dalam acara-acara lain. Pertunjukan wayang kulit ini merupakan puncak dari upacara ruwatan dengan lakon “Batara Kala”.

c. Anak yang diruwat

Anak yang diruwat tidak diperkenankan meninggalkan ruangan selama pelaksanaan puncak ruwatan. Acara ruwatan biasanya dilakukan pada siang hingga sore hari. Cerita wayangnya ialah mengambil lakon ”Murwakala”.

d. Pertunjukan wayang bisa dilanjutkan dengan cerita wayang yang sesuai dengan permintaan tuan rumah. Kemudian, menjelang pagi hari cerita “Murwakala” dilanjutkan kembali. Ceritanya mengenai anak sukerta yang dikejar- kejar oleh Batara Kala. Pada awalnya anak sukerta hamper dimakan oleh Batara Kala tetapi berhasil digagalkan. Akhirnya yang dimakan oleh Batara Kala adalah sesaji yang telah disediakan. Setelah anak sukerta diruwat tadi terlepas dari kejaran Batara Kala, berarti anak tersebut telah terbebas pula dari marabahaya atau malapetaka. Kemudian anak itu memasukkan sejumlah uang ke panci yang berisi kembang setaman.

Bratawidjaja (1988) berpendapat bahwa, upacara ruwatan sudah ada sejak zaman Majapahit dan hingga sekarang pun masih ada masyarakat Jawa yang melakukannya.

Purwadi (2005: 218-219) mengatakan bahwa ruwatan di Jawa merupakan upacara pembebasan seseorang yang kelahirannya dianggap tidak membawa keberuntungan atau karena seseorang melakukan perbuatan-perbuatan yang dilarang. Apabila hal yang dilarang tetap dilakukan maka orang tersebut akan dimakan Batara Kala. Acuan mengenai siapa saja yang menjadi target Batara Kala adalah Serat Murwakala dan Serat Pustaka Raja, jumlahnya mencapai 171 macam. Tradisi-tradisi yang sampai sekarang masih digunakan sebagian besar berasal dari Jawa. Ada penyebab mengapa ruwatan di Jawa sampai melibatkan 171 anak yang dianggap sukerta.

Anak-anak tersebut menjadi ancaman Batara Kala karena dianggap kotor atau terdapat unsur sukerta. Oleh sebab itu, anak-anak tersebut harus melakukan upacara ruwatan agar terbebas dari sukerta. Upacara ruwatan yang dimaksud di sini, berbeda dengan upacara ruwatan saat ini yang dilakukan oleh seorang dalang sejati atau dalang Kandha Buwana. Orang Jawa percaya bahwa yang meruwat segala hal yang menjadi mangsa Batara Kala adalah Sanghyang Wisnu. Keturunan Wisnu juga harus meruwat orang-orang yang menjadi mangsa Batara Kala.

Selain itu, menurut Herawati (2010: 6-8) ada hal pokok yang harus dilakukan pada saat melaksanakan upacara ruwatan, yaitu upacara siraman, memohon doa restu pada orang tua, upacara srah-srahan, pertunjukan wayang dengan lakon “Murwakala”, dan pemotongan rambut. Kemudian, dilanjutkan dengan acara Tirakatan, akan dijelaskan sebagai berikut.

Upacara siraman dilakukan pada pukul sembilan pagi. Siraman tersebut dilaksanakan oleh dalang dengan air kembang setaman yang telah disediakan. Setelah siraman selesai, anak sukerta diminta untuk berganti pakaian dengan

menggunakan pakaian adat Jawa. Tujuan siraman yaitu sebagai pembersihan diri seseorang dari sukerta. Setelah itu, anak sukerta didampingi oleh para pinisepuh dan handai taulan serta dibimbing ki dalang bersujud di hadapan kedua orang tuanya untuk memohon doa restu. Selanjutnya ki dalang membacakan doa kepada anak sukerta untuk keselamatannya dan agar acaranya dapat berjalan dengan baik dan lancar.

Menjelang pukul empat sore, sesaji dibawa ke tempat yang sudah disediakan, yaitu ke tempat pertunjukan wayang. Sesaji dengan berbagai macam benda itu kemudian disusun sesuai dengan aturan yang berlaku. Setelah itu, anak sukerta didampingi oleh ayah dan ibunya menuju ke tempat yang telah disediakan.

Selanjutnya, ki dalang menyerahkan lima tebu wulung sepanjang kurang lebih 40 cm, dua puluh satu kuntum bunga melati, dan sebatang tunas kelapa kepada anak sukerta tersebut. Srah-srahan selesai dilakukan, gamelan segera bertalu diiringi gendhing “Ladrang Wilujeng Laras Pelog Pathet 6”.

Acara inti dalam upacara ruwatan dimulai, yaitu pertunjukan wayang kulit dengan lakon “Murwakala”. Lakon “Murwakala” menceritakan kisah Batara Kala yang mengejar mangsanya yaitu tiga puluh enam jenis anak sukerta, seperti ontang-anting, unting-unting, dhampit, dan lain-lain. Saat Batara Kala mengejar anak sukerta, mereka selalu berlari agar tidak tertangkap dan mencari tempat sembunyi yang aman hingga akhirnya bersembunyi di dekat ki dalang. Biasanya pertunjukan wayang pada malam harinya diselingi dengan cerita wayang lain sesuai dengan keinginan tuan rumah. Setelah itu, dilanjutkan dengan lakon “Murwakala” lagi. Sebelum acara pertunjukan wayang selesai, ki dalang

menghentikannya sejenak. Acara selanjutnya ialah pemotongan rambut yang dilakukan oleh dalang. Pemotongan rambut sebagai tanda bahwa seseorang sudah diruwat dan terbebas dari mangsa Batara Kala.

Acara ruwatan pun berakhir. Anak yang sudah diruwat bersama ayah dan ibunya menghampiri ki dalang mengucapkan terima kasih karena anaknya telah terbebas dari marabahaya. Kemudian, dilanjutkan dengan Tirakatan. Tirakatan dilakukan sebagai ucapan terima kasih dari segenap keluarga besar karena semua yang hadir dalam upacara ruwatan sudah membantu dan menghadiri proses ruwatani sehingga berjalan dengan lancar.

Secara keseluruhan dapat disimpulkan bahwa dalam upacara ruwatan melibatkan anak sukerta, orang tua anak sukerta, dalang, dan warga setempat yang membantu proses upacara ruwatan sehingga dapat berjalan dengan baik dan lancar. Ada lima langkah dalam upacara ruwatan yaitu upacara siraman, memohon doa restu pada orang tua, upacara srah-srahan, pertunjukan wayang dengan lakon “Murwakala”, dan pemotongan rambut.

Dokumen terkait