HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.2 Pengujian Hipotesis Penelitian
4.2.3 Hasil Pengujian Hipotesis
Berdasarkan hasil uji normalitas dan homogenitas varians, diperoleh bahwa sebaran data kemampuan berpikir kritis siswa pada tiga kelompok sampel
berdistribusi normal dan memiliki varians yang homogen. Oleh karena itu, uji hipotesis dapat dilakukan dengan menggunakan uji ANAVA Satu Jalur. Kriteria pengujiannya adalah tolak H0 jika Fhit>Ftabel, Ftabel = ( , ), dimana α= 5%. Adapun hipotesis yang diuji adalah sebagai berikut.
H0: = =
yaitu tidak terdapat perbedaan kemampuan berpikir kritis siswa yang mengikuti pembelajaran dengan model IKRAR berorientasi kearifan lokal, siswa yang mengikuti pembelajaran dengan model IKRAR, dan siswa yang mengikuti pembelajaran dengan model konvensional
melawan
H1:Paling tidak satu tanda sama dengan (“=”) tidak berlaku
yaitu terdapat kelompok sampel yang memiliki kemampuan berpikir kritis yang berbeda.
Keterangan:
= rata-rata kemampuan berpikir kritis siswa yang dibelajarkan dengan model pembelajaran IKRAR berorientasi kearifan lokal
= rata-rata kemampuan berpikir kritis siswa yang dibelajarkan dengan model pembelajaran IKRAR
= rata-rata kemampuan berpikir kritis siswa yang dibelajarkan dengan model pembelajaran konvensional
Hasil analisis menggunakan uji ANAVA Satu Jalur ini dapat dirangkum pada tabel 4.3 berikut (perhitungan lengkap dapat dilihat pada Lampiran 16 (c)).
Tabel 4.3 Rangkuman Hasil Uji Anava Satu Jalur Sumber Variasi Jumlah Kuadrat (JK) Derajat Kebebasan (dk) Rata-Rata Jumlah Kuadrat (RJK) Fhit Antara 84,26208 2 42,131040 16,86 Dalam 182,36950 73 2,498212 Total 266,63160 75
Berdasarkan data dalam tabel, diketahui nilai Fhitung = 16,86, sedangkan nilai Ftabel = 3,13. Dari hasil tersebut, karena nilai Fhitung > Ftabel, maka hipotesis nol ditolak. Jadi, terdapat kelompok sampel yang memiliki kemampuan berpikir kritis berbeda.
Untuk menguji kelompok sampel mana yang memiliki rata-rata kemampuan berpikir kritis yang berbeda, dilakukan uji lanjut ANAVA Satu Jalur dengan menggunakan uji Scheffé. Kriteria pengambilan keputusan dilakukan dengan membandingkan nilai dengan F’, dimana = ( − 1) , sehingga diperoleh nilai F’= 2 × 3,13 = 6,26. Apabila > ′, maka H0ditolak. Ini berarti kelompok yang memiliki rata-rata ( ) lebih besar dinyatakan lebih unggul daripada kelompok yang memiliki rata-rata ( ) lebih kecil. Adapun hipotesis yang diuji adalah sebagai berikut.
(1) Kemampuan berpikir kritis siswa yang mengikuti pembelajaran dengan model IKRAR berorientasi kearifan lokal lebih baik daripada siswa yang mengikuti pembelajaran dengan model IKRAR.
Secara statistik, hipotesis tersebut dapat dirumuskan: H0: =
yaitu tidak terdapat perbedaan kemampuan berpikir kritis antara siswa yang mengikuti pembelajaran
dengan model IKRAR berorientasi kearifan lokal dan siswa yang mengikuti pembelajaran dengan model IKRAR
melawan H1: >
yaitu kemampuan berpikir kritis siswa yang mengikuti pembelajaran dengan model IKRAR berorientasi kearifan lokal lebih baik daripada siswa yang mengikuti pembelajaran dengan model IKRAR.
Pembandingan dengan uji Scheffe untuk hipotesis di atas adalah sebagai berikut. = ( − ) 1 + 1 = (5.181818 − 4) 2.498212 (221 + 231) = 6.286515
Dengan demikian > ′, sehingga H0 ditolak. Hal ini berarti kemampuan berpikir kritis siswa yang mengikuti pembelajaran dengan model IKRAR berorientasi kearifan lokal lebih baik daripada siswa yang mengikuti pembelajaran dengan model IKRAR.
(2) Kemampuan berpikir kritis siswa yang mengikuti pembelajaran dengan model IKRAR lebih baik daripada siswa yang mengikuti pembelajaran dengan model konvensional.
Secara statistik, hipotesis tersebut dapat dirumuskan: H0: =
yaitu tidak terdapat perbedaan kemampuan berpikir kritis antara siswa yang mengikuti pembelajaran dengan model IKRAR dan siswa yang mengikuti pembelajaran dengan model konvensional
melawan H1: >
yaitu kemampuan berpikir kritis siswa yang mengikuti pembelajaran dengan model IKRAR lebih baik daripada siswa yang mengikuti pembelajaran dengan model konvensional.
Pembandingan dengan uji Scheffe untuk hipotesis di atas adalah sebagai berikut. = ( − ) 1 + 1 = (4 − 2.645161) 2.498212 (231 + 311) = 9.701561
Dengan demikian > ′, sehingga H0 ditolak. Hal ini berarti kemampuan berpikir kritis siswa yang mengikuti pembelajaran dengan model IKRAR lebih baik daripada siswa yang mengikuti pembelajaran dengan model konvensional.
(3) Kemampuan berpikir kritis siswa yang mengikuti pembelajaran dengan model IKRAR berorientasi kearifan lokal lebih baik daripada siswa yang mengikuti pembelajaran dengan model konvensional.
Secara statistik, hipotesis tersebut dapat dirumuskan: H0: =
yaitu tidak terdapat perbedaan kemampuan berpikir kritis antara siswa yang mengikuti pembelajaran dengan model IKRAR berorientasi kearifan lokal dan siswa yang mengikuti pembelajaran dengan model konvensional
melawan H1: >
yaitu kemampuan berpikir kritis siswa yang mengikuti pembelajaran dengan model IKRAR berorientasi kearifan lokal lebih baik daripada siswa yang mengikuti pembelajaran dengan model konvensional.
Pembandingan dengan uji Scheffe untuk hipotesis di atas adalah sebagai berikut. = ( − ) 1 + 1 = (5.181818 − 2.645161) 2.498212 (221 + 311) = 33.14382
Dengan demikian > ′, sehingga H0 ditolak. Hal ini berarti kemampuan berpikir kritis siswa yang mengikuti pembelajaran dengan model IKRAR berorientasi kearifan lokal lebih baik daripada siswa yang mengikuti pembelajaran dengan model konvensional. Dari pengujian hipotesis di atas, terlihat bahwa > > . Dapat disimpulkan kemampuan berpikir kritis siswa yang mengikuti pembelajaran
dengan model pembelajaran IKRAR berorientasi kearifan lokal adalah yang terbaik, disusul oleh siswa yang mengikuti pembelajaran dengan model pembelajaran IKRAR, dan terakhir adalah siswa yang mengikuti pembelajaran dengan model konvensional.
4.3 Pembahasan
Hasil analisis terhadap skor kemampuan berpikir kritis siswa menunjukkan bahwa rata-rata skor yang dicapai kelompok eksperimen IKRAR berorientasi kearifan lokal adalah 5,18 dan rata-rata skor yang dicapai kelompok eksperimen IKRAR adalah 4, sedangkan rata-rata skor yang dicapai kelompok kontrol adalah 2,65. Hal ini menunjukkan bahwa rata-rata skor kemampuan berpikir kritis siswa pada kedua kelompok eksperimen lebih besar daripada rata-rata skor kemampuan berpikir kritis siswa pada kelompok kontrol.
Kemudian, jika skor rata-rata kemampuan berpikir kritis siswa dari dua kelompok eksperimen dibandingkan, maka terlihat bahwa rata-rata skor kelompok eksperimen IKRAR berorientasi kearifan lokal lebih besar dari rata-rata skor kelompok eksperimen IKRAR. Dari hasil uji hipotesis yang telah dilakukan, diperoleh bahwa terdapat perbedaan kemampuan berpikir kritis antara ketiga kelompok sampel. Melalui uji lanjut yang dilakukan, terlihat bahwa kemampuan berpikir kritis siswa yang dibelajarkan dengan model pembelajaran IKRAR berorientasi kearifan lokal dan siswa yang dibelajarkan dengan model pembelajaran IKRAR lebih baik dari pada siswa yang dibelajarkan dengan model pembelajaran konvensional. Hal ini menunjukkan model pembelajaran IKRAR berpengaruh positif terhadap kemampuan berpikir kritis siswa. Ini terjadi karena penerapan model pembelajaran IKRAR dalam pembelajaran matematika
mengoptimalkan partisipasi siswa dalam pembelajaran, seperti menemukan solusi dari suatu masalah atau soal matematika, melakukan diskusi dengan anggota kelompok, dan mempresentasikan hasil diskusinya di depan kelas yang disertai pemberian alasan atas konsep yang digunakan untuk memecahkan masalah.
Dari pengamatan selama proses pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran IKRAR maupun IKRAR berorientasi kearifan lokal, dapat diamati bahwa siswa menjadi terbiasa untuk membangun konsep secara mandiri. Hasil ini sejalan dengan penelitian Santosa (2010) dan Diputra (2010) yang menyatakan bahwa pembelajaran dengan menggunakan model IKRAR dapat melatih siswa berpikir kritis dan kreatif sehingga pemahaman konsep matematika siswa menjadi lebih bermakna. Pembentukan konsep secara mandiri ini terbentuk melalui empat proses yang menjadi pilar utama dalam model pembelajaran IKRAR yaitu inisiasi, konstruksi-rekonstruksi, aplikasi dan refleksi. Berdasarkan hasil pengamatan langsung diperoleh siswa semakin berani untuk memberikan tanggapan atas pertanyaan arahan dari guru maupun menanggapi pendapat temannya serta semakin aktif untuk mengungkapkan masalah yang ada pada LKS dengan kata-katanya sendiri. Apa yang terekam dalam hasil pengamatan langsung merupakan sifat positif yang mampu meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa. Hasil ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan Diputra (2010) terkait model pembelajaran IKRAR, dimana dalam penelitian tersebut dinyatakan bahwa pembelajaran dengan menggunakan model IKRAR dapat menimbulkan keaktifan siswa selama mengikuti proses pembelajaran matematika.
Pada pembelajaran matematika dengan model pembelajaran IKRAR dan IKRAR berorientasi kearifan lokal, siswa diarahkan untuk menemukan sendiri
konsep-konsep matematika. Siswa tidak semata-mata diarahkan menemukan jawaban yang benar, tetapi bagaimana merencanakan, melaksanakan, mengontrol, memonitor seluruh proses dalam kegiatan pemecahan masalah. Sejalan dengan hasil yang diperoleh dalam penelitian Santosa (2010) dan Diputra (2010) yang menyatakan bahwa pembelajaran dengan menggunakan model IKRAR dapat meningkatkan keterampilan siswa dalam melakukan proses pemecahan suatu masalah matematika. Akan tetapi, model IKRAR berorientasi kearifan lokal memiliki nilai lebih jika dibandingkan dengan model pembelajaran IKRAR biasa. Dalam model pembelajaran IKRAR berorientasi kearifan lokal, pembelajaran di kelas diselingi dengan pemberian nasehat-nasehat berorientasi budaya Bali, dimana nasehat ini memotivasi siswa dalam mengikuti pelajaran dan membuat suasana belajar di kelas lebih kondusif dibandingkan dengan pembelajaran dengan model IKRAR biasa.
Kemampuan berpikir kritis siswa yang mengikuti pembelajaran dengan model IKRAR lebih baik daripada siswa yang mengikuti pembelajaran dengan model konvensional disebabkan karena pada model pembelajaran IKRAR siswa berkesempatan untuk lebih berpartisipasi dalam kegiatan diskusi di kelas, mempresentasikan hasil diskusi, dan mengkonstruksi sendiri pengetahuan yang dimilikinya. Model pembelajaran IKRAR dirancang untuk membantu siswa mencapai tujuan pembelajaran yang mengedepankan kegiatan pemecahan masalah sebagai pokok pembelajaran. Dengan pandangan ini tentunya siswa tidak semata-mata diarahkan menemukan jawaban yang benar, tetapi bagaimana siswa bisa memahami masalah yang diberikan, melakukan berbagai pengandaian, bisa menentukan rencana penyelesaian masalah dan tahu alasan menggunakan rencana
tersebut, serta mampu untuk menemukan alternatif penyelesaian dari masalah yang diberikan. Pada akhirnya melalui penerapan model pembelajaran IKRAR dalam kegiatan pembelajaran di kelas, siswa dapat melatih kemampuan berpikir kritisnya melalui kegiatan pemecahan masalah open-ended yang diberikan di LKS. Hal ini sejalan dengan penjelasan Sudiarta (2008) bahwa kemampuan berpikir kritis dapat dikembangkan melalui kegiatan pembelajaran yang berbasis masalah matematikaopen-ended.
Pembelajaran dengan model IKRAR dimulai dengan siswa secara kelompok, dihadapkan pada masalah sehari-hari yang berkaitan dengan materi yang sedang dipelajari. Siswa diberikan kesempatan untuk membangun pemikiran orisinalnya dalam memahami setiap permasalahan yang ditemuinya melalui tahapan Inisiasi. Ciri utama tahapan ini adalah siswa mengkaji informasi yang diberikan dalam masalah dan mampu menuangkannya kembali dengan kata-kata sendiri serta mampu untuk melakukan berbagai pengandaian dari masalah yang diberikan. Pada tahapan ini, siswa dapat membuat hubungan antara materi yang telah dipelajari, materi yang sedang dipelajari, masalah yang pernah diselesaikan, dan masalah baru yang ia temui dalam pembelajaran. Tahapan ini juga memberikan kesempatan dalam membuka dan memperluas spektrum permasalahan dari masalah yang diberikan. Tahapan selanjutnya adalah Konstruksi-Rekonstruksi yang merupakan suatu kesatuan proses untuk membangun pengetahuan matematika secara prosedural dan konseptual dalam diri peserta didik berupa kemampuan untuk dapat membedakan konsep dengan yang bukan konsep. Sehingga dalam proses yang kedua ini siswa paham akan konsep apa yang akan digunakan. Hal ini ditandai oleh kemampuan siswa dalam memilih
konsep maupun prosedur yang akan digunakan dalam menyelesaikan masalah dan memberikan alasan mengapa menggunakan konsep maupun prosedur tersebut. Pada tahapan ini, siswa juga mampu menemukan prosedur atau gagasan baru maupun menerapkan ide-ide yang sudah pernah ia lihat sebelumnya dalam menyelesaikan masalah sejenis.
Setelah tahapan Konstruksi-Rekonstruksi, tahapan selanjutnya adalah Aplikasi yang merupakan proses penerapan konsep maupun prosedur yang telah direncanakan secara utuh. Tahapan terakhir adalah Refleksi yang merupakan proses untuk mencermati atau merenungkan kembali keseluruhan proses pemecahan masalah sebelumnya secara mendalam. Proses ini merupakan ruang evaluasi diri untuk membuka kesadaran mendalam bagaimana dan mengapa suatu konsep, prinsip prosedur matematika berkaitan satu sama lain dan dapat dijadikan dasar untuk membangun konsep baru. Tahapan ini juga menjadi ruang bagi siswa untuk melihat kembali penyelesaian permasalahan yang diberikan dan menemukan alternatif penyelesaian lain atau jawaban lain jika memungkinkan. Tahapan-tahapan yang digunakan pada model pembelajaran IKRAR ini menyebabkan siswa terbiasa untuk menghadapi dan menyelesaikan masalah. Hal ini dapat diamati dari cara siswa memahami masalah, dimana siswa tidak menyalin mentah-mentah kalimat yang diberikan dalam masalah yang diberikan, tetapi mampu menyeleksi inti informasi yang diberikan, kemudian siswa mampu menyusun sebuah perencanaan yang masuk akal, dan menggunakannya dalam memecahkan masalah.
Peranan guru sebagai fasilitator dalam pembelajaran menggunakan model pembelajaran IKRAR juga lebih terlihat bila dibandingkan dengan model
pembelajaran konvensional. Apabila biasanya guru kesulitan memberikan bantuan kepada siswa untuk sebatas memberi arahan dan tidak sampai pada temuan yang seharusnya ditemukan oleh siswa itu sendiri, pada model pembelajaran IKRAR, guru dibekali beberapa pertanyaan efektif yang dapat dioptimalkan dalam kegiatan pembelajaran. Pertanyaan efektif ini merupakan wujud bantuan terbatas yang diberikan guru ketika melihat siswa mengalami kesulitan dalam melakukan aktivitas pemecahan masalah, dimana bantuan yang diberikan disesuaikan dengan kebutuhan siswa. Dalam penelitian ini, pemberian pertanyaan efektif disesuaikan dengan seberapa besar kesulitan yang dialami siswa dalam memecahkan masalah. Jika siswa telah mampu memahami dan menemukan penyelesaian masalah secara mandiri, pertanyaan efektif yang diberikan guru dapat dikurangi atau bahkan tidak diberikan sama sekali.
Walaupun unggul dari siswa yang mengikuti pembelajaran dengan model konvensional, kemampuan berpikir kritis siswa yang mengikuti pembelajaran dengan model IKRAR masih lebih rendah daripada siswa yang mengikuti pembelajaran dengan model IKRAR berorientasi kearifan lokal. Pelaksanaan pembelajaran baik pada model IKRAR berorientasi kearifan lokal maupun model IKRAR sama-sama memanfaatkan LKS sebagai media pembelajaran. LKS yang digunakan adalah LKS yang berorientasi pemecahan masalah open-ended. Penggunaan LKS yang berorientasi pemecahan masalah open-ended akan memberikan ruang untuk mengasah kemampuan berpikir kritis siswa. Akan tetapi, model pembelajaran IKRAR berorientasi kearifan lokal memanfaatkan potensi kearifan lokal Bali berupa nasehat-nasehat yang bersumber pada budaya Bali itu sendiri. Nasehat-nasehat yang digunakan adalah nasehat-nasehat yang berpotensi
menimbulkan semangat pantang menyerah dan memicu persaingan sehat antar siswa.
Keunggulan model pembelajaran IKRAR berorientasi kearifan lokal adalah karena model pembelajaran ini lebih memperhatikan karakteristik peserta didik, yang salah satunya adalah siswa belajar apabila mereka memiliki motivasi dan mengintegrasikan nilai-nilai kearifan lokal yang berkembang di Bali ke dalam proses pembelajaran. Berdasarkan hasil pengamatan, kehadiran nasehat-nasehat berorientasi kearifan lokal mampu merangsang motivasi, menumbuhkan sifat pantang menyerah, membangkitkan keberanian untuk bertanya, mengemukakan pendapat, dan menyampaikan hasil diskusi, mengurangi keributan di kelas, serta membelajarkan siswa untuk tidak berpuas diri terhadap apa yang sudah diperoleh selama ini. Bantuan yang diberikan guru pada pembelajaran dengan model IKRAR berorientasi kearifan lokal terdiri atas pertanyaan efektif dan nasehat-nasehat yang bersumber pada kearifan lokal Bali. Untuk menyampaikan kedua bantuanscaffolding ini peranan guru sangat penting karena berkaitan dengan aksi mental yang diperoleh siswa, sehingga diperlukan intonasi yang tepat, kaitan yang tepat antara kondisi pembelajaran dengan nasehat yang diberikan, dan kemampuan memvariasikan nasehat dalam setiap pembelajaran yang dilakukan.
Berdasarkan hasil pengamatan dan wawancara dengan beberapa siswa selama kegiatan penelitian, dapat disampaikan beberapa hal sebagai berikut.
Pertama, saat peneliti menyampaikan nasehat-nasehat di kelas, beberapa siswa tampak terdiam merenungi nasehat yang disampaikan. Ketika ditindak lanjuti dengan wawancara singkat saat jam istirahat, salah satu siswa mengatakan, ”Saya di kelas terdiam karena sedang memikirkan kata-kata Bu Guru. ’S
epuntul-puntulan tiuke yen sangihin pedas dadi mangan’”, ungkapnya. Siswa tersebut menambahkan bahwa setelah mendengar nasehat-nasehat tersebut, rasa malunya sedikit berkurang akibat kemampuannya yang kurang dalam mata pelajaran matematika.
Kedua, siswa semakin aktif di kelas. Hal ini ditandai dengan antusiasnya siswa dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan guru. Keefektifan nasehat-nasehat yang diberikan juga tampak pada beberapa siswa yang malu untuk bertanya karena takut disoraki oleh temannya. Mengetahui hal tersebut, peneliti lebih memotivasi siswa melalui nasehat-nasehat dan memberikan penghargaan bagi siswa yang mau bertanya. Mereka akhirnya tidak lagi malu bertanya dan siswa lain pun berhenti menertawakan temannya.
Ketiga, kelompok yang ketinggalan dari kelompok lain semakin semangat dalam menyelesaikan tugasnya. Saat diskusi kelompok berlangsung, beberapa kelompok yang tertinggal ketika diberikan nasehat-nasehat tampak semakin cepat mengerjakan LKS yang diberikan. Secara tidak disadari, siswa pun belajar bekerja sama untuk memajukan kelompoknya dalam memecahkan masalah yang diberikan di LKS.
Keempat, sebagian besar siswa mengaku membaca nasehat-nasehat yang tersurat pada LKS. Setelah membaca nasehat-nasehat tersebut, sebagian besar siswa mengaku lebih bersemangat, namun ada juga beberapa siswa yang mengaku biasa-biasa saja.
Dari uraian tersebut, secara umum pemberian nasehat-nasehat yang bersumber pada budaya Bali telah mampu membangkitkan motivasi dalam diri siswa untuk lebih bersemangat dalam menyelesaikan tugas-tugas yang diberikan.
Motivasi siswa untuk tidak mau kalah dari teman yang lain menimbulkan suatu persaingan yang sehat dalam belajar. Siswa semakin gigih dalam belajar agar bisa mencapai hasil yang optimal dalam pembelajaran. Motivasi juga membuat siswa semakin aktif di kelas dan tentunya hal ini membuat suasana kelas semakin hangat dan menimbulkan pembelajaran yang menyenangkan. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan Ardana (2007) yang menyatakan bahwa pemberian kalimat-kalimat motivasi kepada siswa dalam pembelajaran dapat membuat siswa lebih bertahan dalam tugas-tugas belajarnya sampai mereka meraih keberhasilannya.
Dalam penelitian ini, ada banyak nasehat yang digunakan selama proses pembelajaran. Namun, beberapa nasehat memberikan dampak positif yang nyata bagi peningkatan motivasi dan kebertahanan siswa dalam menyelesaikan permasalahan yang menuntut kemampuan berpikir kritis siswa. Seperti misalnya nasehat yang berbunyi ”sepuntul-puntulan tiuke yen sangihin pedas dadi mangan” dan ”gede kayu, gede papane”. Nasehat ini sangat sering dimunculkan pada beberapa pertemuan awal selama penelitian. Beberapa siswa yang mengeluh karena tidak bisa menyelesaikan permasalahan yang diberikan di LKS menjadi lebih bersemangat dan lebih bertahan dalam menyelesaikan tugasnya. Siswa tersebut akhirnya percaya diri untuk tetap berusaha hingga menemukan penyelesaian dari masalah yang diberikan.
Nasehat lain yang berpengaruh positif pada siswa dan sering digunakan selama kegiatan diskusi kelompok adalah ”caruk gong muah aud kelor”. Siswa yang tidak mau membantu teman sekelompoknya dalam mengerjakan LKS, setelah diberikan nasehat ini perlahan-lahan menyadari bahwa kerjasama
kelompok sangat penting dalam mengefisienkan waktu selama menyelesaikan permasalahan yang diberikan. Karena waktu yang diberikan untuk diskusi kelompok sangat singkat, kerjasama dan partisipasi setiap anggota kelompok sangat diperlukan agar semua masalah yang ada di LKS dapat terselesaikan. Ada juga nasehat ”paksi bina paksa” yang disampaikan hampir di setiap pertemuan selama kegiatan diskusi antar kelompok. Siswa seringkali memaksakan pendapatnya, tidak mau menerima pendapat yang berbeda dengannya, serta cenderung menyalahkan pendapat temannya. Ini terjadi karena pada tahapan perkembangan anak di masa operasi konkret, sifat egois anak masih tinggi, seperti yang dinyatakan Piaget dalam Hergenhahn & Olson (2008). Dampak nyata pemberian nasehat ini adalah semakin mengertinya siswa akan nilai demokrasi dan saling menghargai pendapat orang lain selama proses diskusi. Siswa menjadi semakin bisa menerima dan tidak langsung menyalahkan pendapat orang lain yang berbeda dari pendapatnya. Nasehat terakhir yang cukup memberikan pengaruh bagi siswa adalah ”pales rajah aji golok, males mlajah dadi belog”. Dilihat dari bahasanya, nasehat ini mengandung konsep jengah bagi siswa. Pada beberapa pertemuan akhir dalam penelitian, nasehat ini sering dimunculkan. Siswa yang bisa mengikuti pembelajaran di kelas dan mampu menyelesaikan masalah yang diberikan dengan baik cenderung menjadi sedikit sombong dan tidak memperhatikan selama pembelajaran. Melalui pemberian nasehat ini, beberapa siswa dengan perilaku seperti itu akhirnya menyadari jika tindakannya salah dan kembali giat belajar agar tidak dilampaui oleh temannya yang lain.
Ditinjau dari kegiatan belajar, aktivitas siswa yang mengikuti model pembelajaran IKRAR berorientasi kearifan lokal terlihat lebih aktif dan antusias
dalam belajar. Hal ini tidak terlepas dari setting pembelajaran yang memberikan kesempatan kepada siswa untuk berdiskusi dan mencoba-coba strategi yang ada di pikirannya dalam menyelesaikan masalah.
Selain itu, interaksi baik antara guru dengan siswa maupun antar siswa juga berlangsung lebih kondusif. Ditinjau dari segi interaksi siswa pada saat pembelajaran, suasana kelas pada siswa yang mengikuti pembelajaran dengan model IKRAR berorientasi kearifan lokal lebih kondusif terutama pada saat kegiatan diskusi dan siswa mulai mempunyai kesadaran untuk memberikan kesempatan temannya yang kurang mampu untuk bergabung dalam kegiatan diskusi, bahkan untuk mewakili kelompok menyajikan hasil diskusi.
Beberapa hal yang dijelaskan di atas merupakan sikap positif yang teramati selama penelitian sebagai pengaruh dari model pembelajaran IKRAR berorientasi kearifan lokal dalam rangka meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa. Meskipun tidak menutup kemungkinan, mengingat keterbatasan peneliti, masih banyak hal positif lain yang luput dari perhatian.
Walaupun banyak hal positif yang dikemukakan, dalam pelaksanaannya di kelas, model pembelajaran IKRAR berorientasi kearifan lokal termasuk pula